Tinta Media: Sekuler
Tampilkan postingan dengan label Sekuler. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sekuler. Tampilkan semua postingan

Senin, 26 Februari 2024

UIY: Umat Islam Tidak Punya Alasan untuk Ikut Sekuler



Tinta Media - Cendekiawan Muslim Ustadz Ismail Yusanto (UIY) mengatakan, umat Islam tidak punya alasan untuk ikut sekuler. 

“Sesungguhnya umat Islam tidak punya alasan sedikit pun baik secara teologis, historis maupun empiris untuk ikut sekuler,” ungkapnya di Focus To The Point: Dua Kunci Eksistensi Umat, melalui kanal Youtube UIY Official Jumat (23/2/2024). 

Ia beralasan, umat Islam tidak punya masalah dengan otentitas Al-Qur’an, tidak punya masalah dengan rezim yang zalim, tidak ada masalah dengan temuan sains. Bahkan banyak temuan saintek diinspirasi dari pemahaman terhadap Al-Qur’an. 

“Ini berbeda dengan orang-orang selain Islam, khususnya Barat. Mereka melihat kenyataan bahwa sumber agama mereka yaitu Bibel, itu ada masalah dari sisi otentitasnya,” bandingnya.  

Otentitas Bibel ini, lanjutnya, sudah dibincangkan berpuluh tahun. “Buku  The Five Gospels  berisi rangkuman dari sebuah riset yang dilakukan oleh 80 ahli Teologi Kristen yang meneliti otentitas Injil. Mereka mendapati kesimpulan bahwa 80 – 82 % itu tidak sampai kepada apa yang mereka katakan sebagai Yesus,” bebernya. 

Oleh karena itu, lanjutnya, mereka menjumpai persoalan kedua yaitu teologis. “Trinitas itu baru dirumuskan pada konsilinesea tahun 300-an Masehi, tiga abad setelah Yesus. Ini membuat problem karena tidak mudah memahami Trinitas,” ungkapnya. 

Di samping itu, UIY juga memaparkan, bahwa Barat mengalami  trauma religiious rezim, ketika penguasa bersekutu dengan kaum agamawan memaksakan doktrin teologis. 

“Karena otentitas Injil dipertanyakan maka kemudian bertabrakan dengan temuan sains teknologi. Puncaknya ketika Galileo Galilei dan Copernicus. Ketika itu gereja memaksakan geosentris sementara Copernicus dan Galileo mendapati hasil pengamatannya itu bukan geosentris tapi heliosentris. Jadi bukan bumi yang menjadi pusat peredaran planet-planet tapi matahari. Dan memang itu yang terbukti,” ulasnya. 

Di sinilah, ucap UIY, Barat lalu berkesimpulan bahwa agama tidak mungkin dihilangkan, sehingga agama ditetapkan untuk mengatur urusan agama, sementara politik atau negara itu urusan politik. 

“Ini yang kemudian memunculkan pandangan sekularisme. Ini tidak dialami oleh umat Islam sehingga tidak ada alasan umat Islam meninggalkan syariat Islam,” pungkasnya.[] Irianti  Aminatun

Minggu, 18 Februari 2024

Ekonomi Buruk Dampak dari Sistem Sekuler


Tinta Media - Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) menemukan adanya kenaikan harga pada komoditas gula konsumsi, beras serta cabai merah keriting dalam inspeksi mendadak (sidak) di pasar tradisional Cihapit Bandung dan Griya Pahlawan Bandung. Sidak ini dilakukan dalam rangka mengantisipasi adanya permainan harga dan penahanan pasokan oleh pelaku usaha tertentu serta stabilitas komoditas di Jawa Barat jelang bulan Ramadan. 

Di daerah Baleendah pun harga beras kian meningkat, bahkan yang sebelumnya harga Rp. 15.000 per kilo itu harga tertinggi sekarang harga itu menjadi harga terendah. 

Disistem sekarang ini membuat rakyat semakin menjerit tercekik oleh harga kebutuhan pokok yang semakin melambung, negara yang katanya subur dan  rempah-rempah yang melimpah tapi seakan negara tidak mampu mengelolanya sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan rakyatnya. 

Sangat berbeda dengan sistem Islam yang sangat memperhatikan kepentingan rakyatnya. Dalam Islam rakyat akan menjadi prioritas utama untuk dipenuhi kebutuhannya karena dalam sistem Islam semua diatur bukan atas dasar kepentingan pribadi saja tapi semuanya diatur oleh yang Maha mengatur yaitu Allah SWT melalui hukum Syara' yang tidak mungkin menzalimi umatnya. 

Sudah saatnya kita kembalikan lagi sistem Islam yang telah berjaya di muka bumi ini selama lebih dari 13 abad lamanya. Dengan cara berjamaah dengan kelompok yang benar-benar berjuang dalam berdakwah meninggikan kalimat Allah untuk mengembalikan Daulah Islam yang akan menerapkan semua hukum Allah di muka bumi ini. 

Dengan begitu rakyat akan kembali merasakan keamanan dan kenyamanan hidup di muka bumi ini karena akan di urus semua kebutuhan hidup mendasarnya sesuai dengan aturan Allah yang sudah barang tentu sesuai dengan fitrah dan memuaskan akal. 

Wallahu a'lam bish shawwab

Oleh: Nurul
Sahabat Tinta Media 

Selasa, 13 Februari 2024

Penyalahgunaan Kutipan Imam Ibnu Taimiyyah untuk Melegitimasi Pemilu Sistem Sekuler



Tanya:
Tinta Media - Assalamualaikum wr wb.
Afwan Ustadz saya Raihan alumni STEI Hamfara Yogyakarta dari Sulawesi. Izin bertanya Ustadz, Jumat kemarin waktu khutbah Jumat, khotib menyerukan kepada jamaah terkait wajib memilih pemimpin mengingat dalil tentang ketika 3 orang berada di tengah gurun pasir, maka salah satu di antaranya wajib diangkat menjadi pemimpin, jika tidak ada yang baik pilih yang sedikit mudaratnya, terus khotib mengutip terkait pernyataan ulama terdahulu yaitu, "lebih baik 60 tahun dipimpin pemimpin yang zalim dari pada 1 tahun tanpa kepemimpinan" Nah, setelah dari pernyataan itu khotib menyeruhkan bahwa kita haru memilih capres nanti. Ini dalam pandangan Islam yang sebenarnya gimana Ustadz? Apakah karena pernyataan dari ulama lebih baik 60 tahun dipimpin pemimpin yang zolim dari pada 1 tahun tanpa pemimpin, kita terpaksa memilih pemimpin yang kita tahu dia tidak akan menjalankan sistem Islam? (Raihan, Sulawesi). 

Jawab:
Wa 'alaikumus salam wr . wb. 

Pendapat khothib tersebut tidak benar jika beliau mengaitkan kutipan tersebut dengan pemilihan capres saat ini dalam sistem sekuler yang ada. Kutipan yang dimaksud adalah apa yang disebutnya sebagai "ucapan ulama terdahulu" yang bunyinya  : "Lebih baik 60 tahun dipimpin pemimpin yang zolim dari pada 1 tahun tanpa kepemimpinan." 

Peru diketahui bahwa kutipan tersebut memang benar adanya, tetapi yang dimaksud dengan "pemimpin yang zalim" adalah Khalifah (atau Imam) yang zalim, yaitu pemimpin dalam negara Khilafah, bukan pemimpin dalam sistem demokrasi yang sekuler saat ini. 

Kutipan aslinya berasal dari Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu' Al Fatawa yang teks Bahasa Arabnya berbunyi sebagai berikut : 

سِتُّوْنَ سَنَةً مِنْ إِمَامٍ جَائِرٍ أَصْلَحُ مِنْ لَيْلَةٍ وَاحِدَةٍ بِلاَ سُلْطَانٍ 

"Enam puluh tahun di bawah Imam (Khalifah) yang zalim, lebih baik daripada satu malam tanpa kepemimpinan/kekuasaan." (Ibnu Taimiyah, Majmu' Al Fatawa, Juz ke-28, hlm. 391). 

Perhatikan teks asli berbahasa Arab tersebut! Teks aslinya berbunyi : سِتُّوْنَ سَنَةً مِنْ إِمَامٍ جَائِرٍ seharusnya diartikan "enam puluh tahun di bawah seorang Imam, atau Khalifah yang zalim", tidak boleh sama sekali diartikan "enam puluh tahun di bawah seorang pemimpin yang zalim." Hal ini karena kata "Imam" (atau "Khalifah") merupakan kata yang bermakna khusus, sedangkan kata pemimpin ("amiir") merupakan kata yang lebih umum cakupannya.  Jadi ketika kalimat aslinya dalam Bahasa Arab diartikan "enam puluh tahun di bawah seorang pemimpin yang zalim", jelas ini adalah suatu penerjemahan yang manipulatif dan keliru.  

Ada perbedaan antara istilah "pemimpin" dengan "Imam". Perbedaannya, kata "pemimpin" (Bahasa Arabnya adalah _amiir_) adalah kata yang bermakna umum, mencakup setiap-tiap pemimpin dalam berbagai sistem pemerintahan. Jadi kata "pemimpin" bisa mencakup Khalifah atau Imam, sebagai kepala negara dari negara Khilafah, mencakup pula Presiden dalam sistem pemerintahan Republik dari Barat, mencakup pula Raja (King) dalam sistem pemerintahan kerajaan (monarchy), dan sebagainya. Adapun istilah "Imam" atau "Khalifah" adalah istilah khusus, bukan istilah umum, yang secara spesifik merupakan istilah untuk pemimpin tertinggi dalam negara Khilafah atau sistem pemerintahan Islam. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz II, hlm. 126).  

Perlu diketahui bahwa pemimpin dalam Islam, disebut dengan istilah Khalifah, Imam, atau Amirul Mukminin. Ketiga istilah ini merupakan sinonim (yaitu sama maknanya). Imam Nawawi mengatakan dalam kitabnya Raudhat Al-Thalibin

يَجُوْزُ أَنْ يُقَالَ لِلْإِمَامِ : اَلْخَلِيْفَةُ وَاْلإِمَامُ وَأَمِيْرُالْمُؤْمِنِيْنَ 

“Boleh Imam (pemimpin dalam Islam) itu disebut dengan istilah : Khalifah, atau Imam, atau Amirul Mukminin.” (Imam Nawawi, Raudhat Al-Thalibin, Juz X, hlm. 49). 

Secara lebih khusus, tugas pokok dan fungsi Imam (atau Khalifah) telah dijelaskan oleh para ulama, yaitu menerapkan Syariah Islam dalam kekuasaan. Imam Taqiyuddin An-Nabhani berkata : 

اَلْخَلِيْفَةُ هُوَ الَّذِيْ يَنُوْبُ عَنِ اْلأُمَّةِ فِي الْحُكْمِ وَالسُّلْطَانِ، وَفِيْ تَنْفِيْذِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ. 

“Khalifah (Imam) adalah orang yang mewakili umat Islam dalam pemerintahan dan kekuasaan, dan dalam pelaksanaan hukum-hukum Syariah Islam.” (Abdul Qadim Zallum, Nizham al-Hukmi fi Al-Islam, hlm. 49). 

Dengan demikian jelaslah, bahwa kutipan yang ditanyakan memang ada, tetapi dengan penerjemahan yang salah atau manipulatif, akhirnya diterapkan dalam konteks yang salah, yaitu sistem sekuler saat ini. Seharusnya terjemahan yang benar adalah "enam puluh tahun di bawah Imam (Khalifah) yang zalim" bukan diterjemahkan secara salah menjadi kalimat umum "enam puluh tahun di bawah seorang pemimpin yang zolim". Nah penerjemahan yang salah inilah, yang akhirnya membawa kepada kesimpulan yang sesat dan menyesatkan, bahwa yang dimaksud dengan "pemimpin" adalah presiden, dalam konteks sekuler sekarang ini. Padahal yang dimaksud dengan kalimat "imam yang zalim" (dalam teks Bahasa Arabnya yang asli), adalah Imam atau Khalifah sebagai pemimpin negara Khilafah, bukan presiden dalam sistem republik sekuler yang ada saat ini. Wallahu a'lam

Yogyakarta, 12 Februari 2024 

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

www.shiddiqaljawi.com
www.fissilmi-kaffah.com



Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pakar Fiqih Muamalah

Sabtu, 23 Desember 2023

WATAK PEMIMPIN SEKULER : DEMI MEMUJA MANUSIA, BERANI MENGHINA AGAMA




Tinta Media - Disinyalir seorang pejabat negara atau tepatnya ketua sebuah partai telah melakukan pelecehan atas ajaran Islam hanya demi pemujaannya kepada manusia. Inilah watak asli demokrasi sekuler yang juga akan melahirkan sikap benci kepada agama, khususnya Islam. Sebab demokrasi sekuler adalah sistem politik anti agama. Sekularisme adalah paham urusan dunia dipisahkan dari agama. 

Paham sekularisme agama, sebagaimana juga paham pluralisme dan  liberalisme agama telah dinyatakan haram oleh fatwa MUI tahun 2005 dengan dasar dalil naqli : “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali Imran [3]: 85). “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam...”. (QS. Ali Imran [3]: 19). 

Dalil lainnya adalah : “Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS. al-Kafirun [109] : 6). “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. al-Ahzab [33]: 36). 

Sekularisme itu intinya anti Islam, makanya memuji kemaksiatan dan cenderung melecehkan ajaran Islam, dengan berbagai bentuk dan ekspresinya. Maksiat merupakan lawan dari taat, istiqomah, dan takwa. Perbuatan ini dapat menjerumuskan dan membahayakan manusia, baik di dunia maupun akhirat. Lantas, apa itu maksiat ?.  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maksiat diartikan sebagai perbuatan yang melanggar perintah Allah SWT. Jika seorang hamba melakukan perbuatan bermaksiat, artinya dia menentang Allah SWT. Melecehkan ajaran Islam adalah bentuk kemaksiatan dan karenanya dimurkai oleh Allah. 

Orang yang melakukan maksiat ialah yang berbuat sia-sia dan akan mendapatkan hukuman atas perbuatannya itu. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT yang Artinya : (Aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia akan mendapat (azab) neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (QS. Al Jinn: 23). 

Dalam kitab berjudul Fawaidul Fawaid karya Ibnul Qayyim disebutkan bahwa pokok-pokok maksiat, baik yang kecil maupun yang besar ada tiga perkara, yakni bergantungnya hati kepada selain Allah, mengikuti kekuatan marah, dan menaati kekuatan syahwat. Perdukunan termasuk perkara yang pertama dari kemaksiatan. Sementara nikah beda agama termasuk kemaksiatan jenis ketiga. 

Sementara negeri ini konon katanya adalah negara hukum, setiap tindakan warga negara terikat dengan hukum, termasuk perbuatan yang diduga menghina ajaran agama. Hukum penistaan agama merupakan hukum yang diciptakan untuk mereka yang melakukan penistaan terhadap suatu agama tertentu. Penistaan terhadap agama merupakan tindakan yang tidak bermoral dan menyimpang. 

Penista agama memiliki sifat-sifat yang bertentangan dengan norma-norma kehidupan. Hukum penistaan agama sangat perlu dibuat, demi menjaga kenyamanan para penganut agama. Hukum penistaan agama akan mengurangi kebencian terhadap suatu agama tertentu. 

Hukum Penistaan Agama di Indonesia tertera pada Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi :  pertama, Setiap orang yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun. Kedua, Dalam hal penghinaan dilakukan secara tertulis atau melalui media elektronik dengan ancaman pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun. 

Syarat menjadi tersangka dalam pasal 156a KUHP : pertama, Pelaku dengan sengaja mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Kedua, Perbuatan dilakukan di muka umum atau melalui media tertulis atau elektronik. Jadi, seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan penistaan agama di Indonesia dapat dikenakan hukum pidana penjara selama-lamanya 5 tahun jika perbuatan dilakukan di muka umum atau selama-lamanya 6 tahun jika penghinaan dilakukan secara tertulis atau melalui media elektronik. 

Beberapa kasus yang dinilai sebagai penistaan agama di antaranya adalah : Pertama, Kasus Ahok: Pada tahun 2016, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa dikenal sebagai Ahok, dianggap telah melakukan penistaan agama dalam pidatonya di Kepulauan Seribu. Ahok dianggap telah merendahkan surat Al-Maidah ayat 51 dalam Al-Quran. 

Kedua, Kasus Permadi Arya alias Abu Janda: Pada tahun 2021, aktivis media sosial Permadi Arya atau yang dikenal sebagai Abu Janda dilaporkan atas dugaan penistaan agama dalam cuitannya yang dinilai merendahkan agama Islam. Ketiga, Kasus Sukmawati Soekarnoputri: Pada tahun 2018, Sukmawati Soekarnoputri, dilaporkan atas dugaan penistaan agama dalam puisinya yang dianggap merendahkan agama Islam. 

Sebab watak demokrasi sekuler itu anti agama, maka kecenderungan para pemuja paham ini juga akan membenci agama dengan berbagai motifnya, baik untuk sekedar untuk popularitas maupun untuk kepentingan pragmatis. Maka, jika negeri ini masih terus menerapkan demokrasi sekuler, maka selama itu pula akan marah pelaku pendengki agama dan melecehkannya demi kepentingan duniawi mereka. 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 20/12/23 : 11.02 WIB)

Oleh : Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

Sabtu, 28 Oktober 2023

Kegagalan Sistem Sekuler Kapitalisme dalam Menjaga Kewarasan Keluarga

Tinta Media - Bukan fatamorgana, kasus kriminalitas, terutama pembunuhan terus-menerus terkuak. Setiap detik selalu ada saja berita kematian akibat pembunuhan. Korban pembunuhan bukan hanya orang dewasa, melainkan usia remaja, anak-anak, bahkan bayi baru lahir maupun janin pun menjadi korban pembunuhan. 

Kini, nyawa seolah-olah tidak lagi dianggap berharga. Jika ada masalah kecil ataupun berat, terkadang solusinya adalah putus asa, bunuh diri, dan membunuh. 

Coba kita ingat kembali berita yang baru-baru ini terkuak. Seorang ibu yang melahirkan dan membesarkan anaknya, tetapi malah tega membunuh anaknya sendiri. Astaghfirullah, sungguh miris, nasib malang seorang anak berusia dini hidupnya harus berakhir dengan kekejaman yang ia terima. 

Ibu mana yang tega melakukan hal itu kepada anaknya kecuali yang benar-benar mengalami gangguan kewarasannya. 
Padahal dalam Islam, jelas-jelas Allah melarang untuk membunuh seseorang tanpa sebab yang diperbolehkan secara syar'i, apalagi membunuh anak yang tidak berdosa. 

Bahkan, Allah juga menjelaskan dalam Al-Qur'an, jangan membunuh anak walaupun dikarenakan kekurangan ekonomi.

"Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar." (QS. Al Isra' 17: 31) 

Memang benar, saat ini semua diuji dengan  permasalahan-permasalahan yang berat dan tak mudah untuk menghadapinya. Namun, bunuh-membunuh bukanlah solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah. 
Hal ini terjadi akibat penerapan dari sistem sekuler kapitalisme di negeri ini. Artinya, sistem ini telah gagal dalam menjaga kewarasan umat, sehingga yang terbentuk keluarga-keluarga yang sakit, jauh dari kata waras atau harmonis. 

Di dalam sistem sekuler kapitalisme ini, semua orang sudah tidak peduli lagi tentang halal-haram, bahkan tidak takut berbuat dosa. Semua orang bebas melakukan apa pun tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu akibatnya. 

Berbeda halnya ketika kita hidup dalam naungan Islam. Pemerintahan Islam telah berdaulat menaungi 2/3 dunia lebih 13 abad lamanya. Rakyat yang berada di dalam naungan Islam, hidup sejahtera tanpa masalah-masalah yang ekstrem, seperti yang sering terjadi saat ini. 

Jangankan negara, bahkan setiap individu umat pun sangat diperhatikan, apalagi kondisi keluarga. Sehingga terbentuklah keluarga sakinah mawaddah warahmah akibat diterapkannya sistem peraturan Islam di kehidupan. Masyaallah, tidakkah kita merindukan kehidupan seperti itu? 

Maka dari itu, bersegeralah mencampakkan sistem sekuler kapitalis saat ini. Karena telah tampak kegagalan-kegagalan yang diperoleh dari sistem sekuler kapitalis saat ini yang benar-benar menyengsarakan kehidupan ummat. 

Bangkitlah bersama pejuang-pejuang yang menegakkan kehidupan Islam agar terbentuk keluarga yang benar-benar sakinah mawaddah warahmah dalam bingkai Daulah Islamiyah. Wallahu a'lam bisshsowwab.

Oleh: Marsya Hafidzah Z. (Pelajar)

Selasa, 24 Oktober 2023

Potret Buram Problematika Keluarga dalam Sistem Kapitalisme Sekuler

Tinta Media - Di tengah krisis multidimensi yang terjadi di negeri ini, ada kejadian yang menambah ironi, yaitu kasus pembunuhan yang dilakukan ibu kandung kepada anaknya yang berusia 13 tahun di Kabupaten Subang. Korban ditemukan dalam kondisi berlumuran darah dengan tangan terikat ke belakang. 
Korban pembunuhan tersebut ternyata berasal dari keluarga broken home akibat kasus perceraian kedua orang tuanya. Hal ini menyebabkan korban lebih banyak tinggal di jalanan. Ia pun putus sekolah dan untuk makan harus meminta-minta hingga mencuri (Kompas.com, 8/10/2023).

Pembunuhan yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya bukanlah kasus yang pertama kali terjadi. Lalu, apakah yang menjadi akar masalah dari problematika ini? Apakah hanya karena emosi, seorang ibu bisa kehilangan nurani?

Faktor yang mendorong seseorang melakukan tindak kekerasan bisa dipicu oleh emosi yang kurang terkontrol. Hal ini bisa saja menyebabkan seseorang menjadi gelap mata, bahkan bisa melakukan tindakan kejahatan yang mengancam nyawa. Namun, tentu hal ini hanyalah efek dari problem dasar di dalam keluarga yang memang bersifat multifaktor. Hal ini bahkan tidak terlepas dari problem sistemik akibat penerapan ideologi kapitalisme sekuler saat ini. Lalu, bagaimana relevansinya?

Keluarga yang miskin visi akan melahirkan generasi yang bermental rapuh. Jika berbicara tentang institusi keluarga, maka erat kaitannya dengan proses dalam memilih pasangan. Jika saat memilih pasangan tidak memiliki visi dan misi yang jelas, suami dan istri tidak memahami hak dan kewajibannya, hingga kurangnya pemahaman agama. Maka, wajar jika saat berumah tangga tidak memiliki panduan yang jelas.

Kita bisa melihat bagaimana potret buram keluarga dalam sistem kapitalisme sekuler saat ini yang tidak menjadikan syariat Islam sebagai panduan. Alhasil, standar dalam menilai baik dan buruk pun disandarkan pada sudut pandang akal manusia. 

Para suami kehilangan fungsi utamanya sebagai pemimpin dalam rumah tangga (qawwam). 
Seorang ibu rela menjadi tulang punggung keluarga karena dorongan ekonomi agar bisa bertahan hidup. Suami yang di-PHK, terbatasnya berbagai lapangan pekerjaan bagi laki-laki, hingga masalah disorientasi peran suami istri menjadi faktor pencetus banyak ibu yang mengambil alih tugas suami untuk mencari nafkah.

Selain itu, kapitalisme telah mendorong para ibu yang notabene adalah seorang ummun wa rabatul bait beralih fungsi menjadi mesin penggerak roda ekonomi. Dengan dalih Pemberdayaan Ekonomi Perempuan (PEP), banyak para ibu yang akhirnya harus meninggalkan rumah untuk menjadi tulang punggung keluarga.

Kelelahan secara fisik dari seorang ibu diperparah dengan kelelahan secara emosional akibat kurangnya perhatian dan kasih sayang yang diberikan suami, tidak adanya pendidikan di dalam keluarga, hingga tidak adanya support sistem dari lingkungan sekitar. 

Maka, saat ini kita melihat bahwa isu mental health di tengah keluarga semakin marak.
Lalu, siapa yang mengambil alih tugas untuk mendidik anak-anaknya? 

Kita bisa melihat bahwa anak-anak saat ini banyak yang menjadikan sumber referensi mereka dari internet dan media sosial. Mereka mencari gambaran sosok ideal yang bisa menjadi teladan bukan kepada sosok yang ada di rumah, yaitu ayah dan ibunya. Namun, mereka mencari idola di dunia maya sebagai sarana untuk memenuhi tangki cinta yang tidak mereka dapatkan di rumah.

Keluarga yang notabene sebagai tempat yang seharusnya membuat anak merasa aman, kini menjadi tempat yang bisa jadi menjadi ancaman. Kasus kekerasan seksual pada anak, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan sebagainya banyak terjadi di lingkungan keluarga. Bahkan, tak jarang pelakunya adalah keluarga terdekat korban. Sungguh ironis, potret buram keluarga di dalam sistem kapitalis sekuler.

Berbagai undang-undang yang dibuat nyatanya hanya menjadi sebuah solusi yang tambal sulam. Sebut saja UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Nyatanya, produk hukum buatan manusia tersebut, tidak bisa menjadi solusi tuntas. Bahkan, menimbulkan permasalahan baru di tengah masyarakat.
.
Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Di dalam sistem Islam, keluarga bukanlah institusi yang terpisah dari negara, Sebab, fungsi negara adalah untuk mengurusi (riayah) secara penuh urusan rakyat. Tentu termasuk di dalamya adalah memastikan setiap keluarga bisa diatur oleh aturan Islam.

Negara akan memfasilitasi laki-laki untuk bisa memenuhi kewajibannya dalam mencari nafkah dengan menyediakan banyak lapangan pekerjaan. Dengan demikian, seorang istri bisa fokus untuk mendidik anak-anak di rumah. Negara juga memfasilitasi para perempuan untuk bisa berkarya dan berkontribusi terhadap umat tanpa harus menggerus fitrahnya sebagai seorang ummun warabatul bait (ibu dan pengatur urusan rumah tangga).

Sistem Islam bahkan memiliki mekanisme sampai kepada tataran praktis untuk memastikan bahwa tidak ada anak-anak yang terlantar karena orang tua yang bercerai, meninggal, dan sebagainya. Syariat Islam telah mengatur masalah jalur pengasuhan dan nafkah secara terperinci. 

Sistem pendidikan Islam dirancang untuk menghasilkan generasi yang memiliki kepribadian Islam. Kurikulum yang didesain dengan basis akidah Islam akan membentuk generasi yang visioner dan memiliki imunitas dari gempuran ideologi asing. 

Oleh karena itu, untuk menyelesaikan problematika keluarga secara tuntas, maka diperlukan penerapan Islam secara kafah. Sebab, hanya dengan institusi negaralah tindakan preventif dan kuratif bisa dilaksanakan secara berdampingan untuk menyelesaikan masalah keluarga hingga ke akarnya. Keluarga yang lahir di dalam sistem Islam akan menjadikan akidah Islam sebagai pondasi dan bervisi surgawi.

Oleh: Annisa Fauziah, S.Si.
Aktivis Muslimah

Selasa, 03 Oktober 2023

Keimanan Terkikis dalam Kehidupan Sekuler Kapitalis

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap para istrinya.“(HR. Tirmidzi)

Tinta Media - Sabda Rasulullah Muhammad saw. tersebut tidak hanya beliau ucapkan, tetapi juga beliau contohkan dalam perbuatan. Sebab, berakhlak baik terhadap sesama merupakan salah satu manifestasi dari keimanan. Oleh karena itu, sudah seharusnya setiap yang dicontohkan Rasulullah harus pula diterapkan oleh seluruh umat manusia, terutama umat Islam. Sebab, Rasulullah adalah suri tauladan terbaik.

Sayangnya, ketika manusia hidup di bawah naungan sekuler kapitalis seperti saat ini, (memisahkan aturan agama dari kehidupan dan kehidupan lebih berorientasi pada keuntungan materi), justru keimanan semakin terkikis. Bahkan, tidak sedikit lahir individu-individu sadis yang tega menyakiti orang terdekat. Padahal, orang terdekat seperti keluarga merupakan pihak yang seharusnya dilindungi dan disayangi.

Seperti dilansir dari Republika.co.id, bahwa Seorang suami bernama Nando (25 tahun) tega membunuh istrinya bernama Mega Suryani Dewi (24). Pembunuhan tersebut terjadi di rumah kontrakannya di Kampung Cikedokan, RT 01, RW 04, Desa Sukadanau, Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, pada Kamis (7/9/2023). Kapolsek Cikarang Barat, AKP Rusna Wati mengatakan, Nando membunuh istrinya lantaran kesal ditanya masalah uang belanja. (12/09/23)

Peristiwa di atas bukanlah satu-satunya. Kekerasan berujung pembunuhan pada pasangan juga terjadi di Kota Singkawang, Kalimantan Barat. Seorang suami berinisial BSK tega menusuk istrinya NSL hingga meninggal dunia karena tidak terima digugat cerai. (Kompas.com, 16/09/23)

Sungguh pilu. Kehidupan suami istri yang seyogyanya penuh kasih sayang justru dihiasi pertikaian berujung kematian. Seorang suami yang seharusnya menjadi pelindung bagi istrinya justru menjadi pencabut nyawa bagi orang yang dulu dicintainya.

Berbagai tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sungguh marak terjadi, bahkan sering berujung pada kematian. Penyebabnya pun bermacam-macam. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya pengelolaan emosi dan daya tahan dalam menghadapi beratnya kehidupan. Ini adalah potret buram kehidupan sekuler kapitalis yang terbukti telah mengikis keimanan individu hingga setipis tisu.

Bagaimana tidak? Masyarakat telah disibukkan dengan urusan dunia demi memenuhi kebutuhan hidup yang kian besar dan sulit. Ditambah lagi tidak terwujudnya suasana keimanan akibat urusan agama dianggap sebagai urusan individu, sehingga diberikan pilihan untuk menaati aturan agama ataukah tidak.

Tak ayal, masyarakat banyak yang semakin jauh dari aturan agama dan mengabaikan halal haram. Bahkan, dalam kehidupan rumah tangga pun masyarakat banyak yang meninggalkan aturan agama. Tak heran, rumah tangga hanya dianggap untuk memenuhi kebutuhan materi. Ketika kebutuhan materi tidak terpenuhi dalam keluarga, maka berbagai kerusakan pun terjadi.

Paradigma kapitalisme sekuler jelas berbeda dengan paradigma Islam. Dalam Islam, setiap perbuatan manusia terikat dengan hukum syara' (syariat Islam) yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, Sang Pencipta. Kehidupan Islam berorientasi pada rida Allah, bukan pada manfaat duniawi. Inilah akidah Islam yang sahih.

Akidah Islam memberikan kekuatan dan membentuk kesabaran seorang hamba dalam menghadapi kesulitan dan beratnya ujian kehidupan. Keimanannya menjadi perisai untuk sabar dan tetap dalam kewarasan ketika menghadapi masalah, sehingga tidak akan berbuat maksiat apalagi sampai menghilangkan nyawa seseorang. Sebab, Islam mewujudkan keyakinan bahwa Allah tidak akan membebani manusia di luar kesanggupannya.

Sebagaimana firman Allah yang artinya:
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (QS. Al-Baqarah: 286)

Selain itu, seperangkat aturan Islam yang sempurna mewujudkan kepemimpinan Islam tegak di atas akidah, sehingga mampu berdiri untuk mengurus urusan umat atas landasan keimanan terhadap Allah Swt. Oleh karena itu, pemimpin dalam Islam akan mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat secara optimal.

Maka, sudah menjadi kewajiban bagi negara untuk memenuhi kebutuhan rakyat hingga tataran individu, baik kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, maupun pendidikan dan ketersediaan lapangan pekerjaan. Dengan begitu, tidak akan terjadi tindak KDRT hanya karena alasan kesulitan ekonomi.

Tidak hanya memenuhi kebutuhan hidup, pemimpin dalam Islam juga wajib menjaga akidah umat sehingga negara menjadi satu-satunya jalan dalam menerapkan syariat Islam secara menyeluruh. Dengan begitu, urusan agama bukan diserahkan kepada individu untuk memilih menerapkan atau tidak. Akan tetapi, negara wajib menjamin terlaksananya aturan tersebut oleh setiap individu.

Dengan begitu, tiga pilar tegaknya aturan Allah akan terwujud, yakni keimanan individu, kontrol masyarakat, dan peran negara. Semua terlaksana atas dasar iman. Hal ini tidak akan terwujud selama aturan kapitalis sekuler masih diterapkan. Wallahu a'lam!

Oleh: Wida Nusaibah (Pemerhati Masalah Sosial)

Jumat, 29 September 2023

Sistem Sekuler Kapitalis Melahirkan Individu Sadis


Tinta Media - Karut- marut masalah negeri ini kian hari kian runyam, bahkan tak kunjung menemukan solusi terbaik. Setiap hari ada saja kasus pembunuhan yang berakhir sadis. Seperti beberapa kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terjadi di beberapa daerah.

Dilansir dari REPUBLIKA.CO.ID, seorang suami bernama Nando (25 tahun) membunuh istrinya, Mega Suryni Dewi (24 tahun) di rumah kontrakan Kampung Cikedokan, Desa Sukadanau, Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi (Kamis, 07/09/2023)
Kapolsek Cikarang Barat AKP Rusna Wati mengatakan, pelaku membunuh korban lantaran kesal saat ditanya masalah uang belanja. Sebelum melakukan pembunuhan, pelaku dan korban sempat cekcok masalah ekonomi.

Dikutip dari Kompas.com pada kamis tanggal 07/09/2023, di Kalimantan Barat, Kota Singkawang, seorang suami berinisial BSK menusuk istrinya NSL karena tak terima digugat cerai hingga korban pun dinyatakan meninggal dunia.

Masih dari sumber yang sama, pada minggu 10/09/2023 di Jawa Barat, Kabupaten Ciamis, seorang juru parkir bernama Asep Malik (51 tahun) diamankan polisi karena telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kepada istri sirinya bernama Teti Maryati (40 tahun). Korban pun meninggal dunia. Peristiwa tersebut terjadi di kediaman pelaku di Dusun Warung Wetan Kecamatan Ciamis.

Miris, ketika menyaksikan berbagai kasus pembunuhan di atas. Banyak faktor yang menjadi sebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, seperti masalah ekonomi, pekerjaan, perselingkuhan, hingga lemahnya iman. Hal ini disebabkan karena lemahnya pengelolaan emosi dan daya tahan dalam menghadapi beratnya kehidupan.
Ditambah gagalnya negara dalam membangun hubungan sosial yang didasari ideologi sekuler kapitalisme.

Sistem saat ini menganggap bahwa penyebab KDRT adalah budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dalam kepemimpinan, terutama di rumah tangga. Laki-laki dianggap memiliki otoritas terhadap keluarganya, seperti istri, anak-anak, dan harta bendanya.

Padahal, penyebab KDRT bukanlah karena kepemimpinan suami terhadap keluarganya, melainkan karena sistem saat ini tidak mengatur hubungan antara suami dan istri sedang baik. Artinya, hubungan antara pemimpin dan orang yang di pimpinnya tidak berjalan dengan baik.

Inilah potret buram kehidupan sekuler kapitalistik yang jauh dari keimanan, yaitu menjadikan Individunya lemah dan sadis, ditambah penegak hukum saat ini yang tidak memberikan efek jera kepada pelaku. Hukum saat bahkan bisa dinegosiasi oleh mereka yang memiliki banyak uang sehingga kasus pembunuhan akan terus ada.

Hal tersebut sangat berbeda dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam, kehidupan rumah tangga diatur dengan aturan Islam yang berasal dari Allah ta'ala sehingga mampu menjadikan rumah tangga tenteram, jauh dari pertengkaran yang menyebabkan kekerasan, apalagi sampai terjadi pembunuhan.

Dalam Qur'an surat Al_A'raf 189 dan Ar-Rum 21, Allah menetapkan bahwa kehidupan rumah tangga seperti kehidupan persahabatan sehingga mampu memberikan kedamaian dan ketenteraman.

Islam juga memerintahkan pergaulan yang baik antara suami dan istri, seperti firman Allah dalam Qur'an surat (An-Nissa ayat 4)
“Dan bergaullah dengan mereka secara makruf (baik).”

Begitu pun riwayat Nabi saw. mengatakan,
“Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada keluarga (istri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluarga (istri)ku.” (HR Al-Hakim dan Ibnu Hibban dari jalur Aisyah ra.)

Kemudian masalah kepemimpinan, Islam menetapkan bahwa seorang suami merupakan pemimpin atas istri dalam rumah tangganya, sebagaimana firman Allah ta'ala,
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS An-Nisa: 34)

Namun, tanggung jawab atau kepemimpinan suami atas istri bukan berarti suami bertindak otoriter terhadap istri atau seperti penguasa yang tidak boleh dibantah.

Akan tetapi, kepimpinan suami adalah mengatur rumah tangga, memelihara urusan rumah tangga, termasuk mendidik dan membimbing istri dan anak-anaknya agar senantiasa taat kepada Allah Swt. Kalaupun dalam rumah tangga terjadi masalah yang dapat mengancam ketenteraman, maka Islam memerintahkan untuk bersabar dan memendam kebencian karena bisa jadi pada kebencian terdapat kebaikan (Q.S An-Nissa:19)

Akidah Islam memberikan kekuatan dan kesabaran pada seorang hamba dalam menghadapi kesulitan dan beratnya kehidupan. Keimanannya menjadi perisai untuk sabar dan tetap dalam kewarasan ketika bertemu masalah sehingga tidak berbuat maksiat.

Dalam sistem Islam, negara berperan untuk membantu rakyat agar hidup tenang, aman, dan damai dalam suasana keimanan dengan memenuhi kebutuhan manusia dan menyejahterakannya melalui penerapan Islam secara keseluruhan.

Negara berperan dalam menegakkan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam aturan keluarga. Dengan penerapan Islam, akan terwujud masyarakat aman, damai, dan sejahtera sehingga mampu menciptakan lingkungan yang kondusif. Jika terjadi pelanggaran syariat seperti tindakan kekerasan yang mengancam keselamatan, maka negara yang akan menerapkan sanksi sesuai dengan syariat Islam.

Oleh: Nasiroh (Aktivis Muslimah)

Selasa, 15 Agustus 2023

Pendidikan Sekuler yang Batil Lahirkan Generasi Kriminil

Tinta Media - Pembunuhan yang dilakukan oleh mahasiswa dari universitas nomor satu di Indonesia baru-baru ini menambah daftar panjang kejahatan mahasiswa di negara ini. Sebagaimana diberitakan bahwa seorang mahasiswa Universitas Indonesia berinisial MNZ (19 tahun) ditemukan tewas di dalam kamar indekos di wilayah Kukusan Beji Depok, Jawa Barat pada Jumat (4/8/2023). 

Dua hari setelah pembunuhan, polisi mengungkapkan bahwa korban dibunuh oleh seniornya sendiri, disingkat AAB (23 tahun). Polisi mengatakan AAB tega mengakhiri hidup yuniornya untuk membayar utang di pinjaman onlinenya, setelah menderita kerugian sebesar Rp80 juta karena investasi crypto. Setelah itu, pelaku mencari pinjaman untuk menutupi kerugian tersebut hingga terjerat pinjol senilai 15 juta. 

Pelaku mengaku tidak memiliki masalah pribadi dengan korban. AAB mengatakan bahwa satu-satunya motif pembunuhan itu keputusasaan untuk mengatasi masalah utang. Tidak ada yang menyangka, seorang mahasiswa yang terkenal cerdas dan aktif berorganisasi di sebuah universitas yang pernah menjadi incaran jutaan lulusan SMA ini menjadi tersangka kasus pembunuhan.

Sungguh menyedihkan output pendidikan saat ini. Beragam tindak kejahatan yang dilakukan oleh para pelajar sekolah hingga mahasiswa benar-benar menunjukkan bahwa ada yang tidak beres dengan sistem pendidikan yang berlaku di negeri ini. Pasalnya, pembunuhan pelajar atau mahasiswa bukan sekadar anomali dalam pendidikan.

Bareskrim Polri mengungkapkan data bahwa sejak Januari hingga Oktober 2022, polisi telah menindak 472 orang terlapor dalam kasus pembunuhan dan kejahatan jiwa. Hal yang paling menyedihkan adalah 4,2% dari mereka yang dilaporkan diidentifikasi sebagai pelajar dan mahasiswa.

Tidak dapat dimungkiri bahwa sistem pendidikan saat ini hanya berorientasi pada kerja dan materialisme, yang meminimalkan orientasi peserta didik untuk membentuk kepribadian Islam yang mulia. Semua ini berakar dari asas pendidikan sekuler atau pemisahan agama dari kehidupan. Akibatnya, generasi yang diwarnai oleh paham sekuler mengarah pada perilaku bebas.

Generasi tidak mengerti bagaimana bertindak dengan benar sesuai syariah untuk menyelesaikan masalah kehidupan mereka. Mereka sibuk mengejar kepuasan materi dan apa pun yang mengikuti nafsunya. Seperti dalam kasus ini, aksi kriminal tersebut dipicu oleh masalah investasi kripto dan pinjaman online senilai puluhan juta rupiah.

Dari sini tampak bahwa generasi ini mendambakan kemewahan hidup yang instan. Mereka rela menggunakan berbagai cara, termasuk riba untuk masuk ke bisnis investasi digital yang transaksinya juga banyak mengandung keharaman.

Pada saat yang sama, negara mengabaikan kerusakan generasi. Generasi hanya dianggap objek eksploitasi untuk menghasilkan uang bagi negara. Ini adalah efek dari membangun sistem pendidikan kapitalis sekuler di negeri ini.

Sesungguhnya, generasi hanya akan terselamatkan dari perilaku bobrok dengan Islam Kaffah. Penerapan Islam Kaffah dalam bingkai negara telah menunjukkan kemampuannya dalam mewujudkan peradaban yang gemilang dan generasi yang berkualitas dan berkarakter Islam di dalamnya. Itulah Khilafah Islamiyah yang terbukti mampu menjadi mercusuar dunia selama lebih dari 13 abad.

Salah satu rahasianya adalah diterapkan sistem pendidikan Islam yang berlandaskan Akidah Islam. Sistem pendidikan Islam akan membuat generasi memahami fitrahnya sebagai hamba Allah sehingga mereka akan selalu berhati-hati dalam beramal. Mereka hanya akan melakukan perbuatan sesuai dengan syariat Islam dan bukan karena yang lain. 

Alasannya, tujuan pendidikan Islam adalah mencerdaskan generasi dengan kepribadian Islam yang handal dalam tsaqafah, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Mereka hanya akan tertarik untuk menciptakan karya-karya terbaik demi membangun peradaban Islam. Pelajar tidak disibukkan dengan kegiatan bisnis atau mencari uang karena negara menjamin pendidikan gratis untuk semua warga negara dan menutup segala bentuk bisnis yang dilarang oleh Islam.

Mereka diberi fasilitas yang memadai untuk belajar, bahkan dapat menerima subsidi bulanan dari negara, seperti yang terjadi di bawah kepemimpinan Khalifah Al Makmun. Saat itu, para pelajar mendapat beasiswa berupa asrama, makanan, minuman, kertas, pulpen, lampu, serta uang 1 dinar per bulan. Jika harga 1 gram emas setara dengan Rp934.000, mereka akan menerima tunjangan sekitar hampir Rp4 juta per bulan.

Tidak hanya melalui sistem pendidikan, terbentuknya masyarakat Islam akan mencegah generasi melakukan tindak kejahatan. Sebab, masyarakat terbiasa untuk beramar ma'ruf nahi mungkar. Ditambah lagi dengan negara yang menjaga dan mengawasi tayangan-tayangan yang menyebar luas di masyarakat. Hanya tayangan yang mendidik dan mencerdaskan yang akan diizinkan, bukan tayangan-tayangan yang mengajak dan mengajari seseorang berbuat maksiat. 

Adanya penerapan sanksi Islam yang tegas bagi pelaku maksiat termasuk pembunuhan, tentu akan mencegah masyarakat melakukan tindak kejahatan. Sebab, sistem sanksi dalam Islam memiliki dua fungsi, yaitu jawabir (penebus) dosa bagi pelaku dan zawajir (pencegah) bagi masyarakat. Dengan penerapan sanksi tegas yang berasal dari Allah ini, maka Insyaallah nyawa tidak akan dipandang remeh oleh siapa pun. Sungguh tegaknya aturan Islam Kaffah dalam kehidupan bernegara akan menyelamatkan generasi dari tindak kriminal yang merugikan. Wallahua'lam bishshawab.

Oleh: Imaz Ummu Farras, Sahabat Tinta Media

Selasa, 08 Agustus 2023

Pamong Institute: Negeri Ini Sedang Banyak Masalah


Tinta Media - Direktur Pamong Institute, Drs. Wahyudi al-Maroky, M.Si. mengatakan negeri ini sedang banyak masalah.
 
“Negeri ini sedang banyak masalah akibat penerapan praktek sistem kapitalisme sekular, serta kedekatan dengan sosialisme komunisme yang juga sekularistik,” ungkapnya di acara Perspektif: Membincang Khilafah sebagai Solusi di Era Pemilu 2024, melalui kanal Youtube  PKAD Sabtu (5/8/2023). 
 
Dari sini, ucapnya, ada dua kemungkinan. Kalau basis politiknya kapitalisme akan lahir pemisahan agama dalam praktek bernegara, dalam hal ini mengambil pemerintahan demokrasi.Kalau sistem komunis, lanjutnya, menolak peran agama dalam bernegara dan memunculkan pemerintahan otoriter atau praktek diktator.
 
“Ini yang sedang terjadi di negeri ini. Pertama kita sedang menjalankan sistem demokrasi sekuler  dari ideologi kapitalisme, dan sedang mendekat ke arah komunisme. Negara yang mewakili ideologi komunisme saat ini adalah Cina,” bebernya.
 
Dalam praktek bernegara di Indonesia, lanjutnya, saat ini Cina lebih banyak diundang untuk berinvestasi dan memberi pinjaman utang.
 
Dua Praktek
 
Wahyudi menilai, terjadi  dua praktek  pengelolaan negara di negeri ini. Kapitalisme dengan sistem demokrasinya yang memisahkan agama dari bernegara,tapi juga mendekat kepada Cina yang berbasis komunisme, yang dua-duanya berefek pada politik maupun sosial.
 
“Kalau mendekat kepada komunisme, resiko yang diambil mencontoh sistem otoritarian. Makanya kalau kita lihat bandul sistem pemerintahan kita menuju kearah pemerintahan otoriter. Ini dibuktikan dengan banyaknya undang-undang yang lahir cenderung berkiblat pada kepentingan-kepentingan segelintir orang  sehingga banyak undang-undang yang diPERPUkan,” ulasnya.
 
Ia melihat, PERPU yang muncul di era Jokowi menunjukkan bahwa praktik sistem pemerintahan demokrasi bergeser bandulnya ke arah sistem otoriter yang terpancar dari ideologi komunisme.
 
Menurutnya, dua praktek sistem politik pemerintahan yang berlaku di negeri ini dua-duanya menimbulkan berbagai persoalan baik di  bidang  ekonomi, politik, budaya, sosial dan seterusnya.
 
“Kita melihat dua-duanya sama-sama membahayakan bagi kehidupan kita di negeri ini, apalagi dalam konteks negeri ini mayoritasnya umat Islam,” nilainya.
 
Ia kemudian memberikan contoh dampak penerapan dua ideologi itu. “Kekayaan alam yang melimpah dikuras oleh perusahaan asing dan aseng melalui korporasi internasional, hutang menggunung, rakyat dibebani dengan berbagai macam pungutan. Uang yang ada di saku rakyat pun dihisap,” bebernya.
 
Di bidang sosial, sambungnya, negeri ini dijajah oleh berbagai budaya asing termasuk L68T. Di bidang kemananan juga mengerikan. “Begal berkeliaran, negara terancam disintegrasi,” tambahnya.
 
Wahyudi merasa geram, karena dua ideologi yang merusak negeri ini justru keduanya menuding bahwa Islam dengan ajaran Islamnya sebagai sumber masalah.
 
“Mereka menuding Islam dengan ajaran Islamnya sebagai bahaya sehingga muncullah praktek-praktek program deradikalisme, islamophobia,  pernyataan-pernyataan pejabat yang memproduksi narasi-narasi kebencian terhadap agama dan tentu orang-orang yang mengajak kepada Islam di tuding radikal dan seterusnya,” sesalnya.
 
 Berbagai produksi narasi negatif itu, katanya,  diproduksi untuk memojokkan peran agama. Padahal  yang memproduksi masalah adalah dua ideologi yang sedang berlaku yaitu kapitalisme dan komunisme. “Islam difitnah oleh dua ideologi ini, umatnya, ulama-ulamanya maupun aktivisnya di kriminalisasi,” sedihnya.
 
Membandingkan
 
Oleh karena itu menurut Wahyudi,  jika negeri ini akan mencari solusi, harus membandingkan antara solusi kapitalisme, komunisme dan Islam mana yang paling ideal untuk menjadi solusi.
 
Ia mengambil satu contoh perbandingan di bidang ekonomi. “Ketika menggunakan syariat islam kekayaan yang melimpah yang saat ini dikuasai asing dan aseng harus dikembalikan sebagai milik umat. Kalau ini digunakan tidak ada rakyat Papua yang kelaparan di atas tanah yang  kekayaannya melimpah,” ujarnya.
 
Untuk membangun kesadaran umat, menurut Wahyudi ada dua hal yang mesti jadi perhatian. Pertama, dari politisi dan penguasa yang ingin mempertahankan posisi untuk menikmati buah praktek kapitalisme.
 
“Mereka yang menguasai berbagai barang tambang dan sumber daya alam kita, akan bertahan sekuat tenaga dengan membuat undang-undang yang melindungi mereka, menempatkan orang yang bisa menjaga kepentingan mereka, mendorong pejabat yang bisa duduk di kursi jabatannya untuk membuat kebijakan yang menguntungkan mereka dan seterusnya. Orang-orang ini, tidak akan setuju diterapkannya syariat islam,” bebernya.
 
Kedua, sebutnya, dari masyarakat sendiri yang sebagian besar belum memahami betul bahaya dari praktek kapitalisme global seperti sekarang ini, dan bahaya dekat-dekat dengan investor yang dari ideologi komunis seperti negara Cina.
 
“Dua pihak ini harus dihadapi bersama, diberikan pemahaman bahwa ada sistem alternatif yang bisa menggantikan dua sistem tersebut yaitu sistem Islam. Diberikan penjelasan dengan baik, dengan cara yang ahsan, dengan cara dialektika yang bisa merubah pemahaman dengan kesadaran baru,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun.

Selasa, 01 Agustus 2023

IJM: Butuh Perubahan di Tengah Kebobrokan Sistem Sekuler Kapitalisme

Tinta Media - Menyikapi munculnya Petisi 100 dari para tokoh yang berisi desakan agar MPR dan DPR RI memakzulkan Presiden Joko Widodo, Direktur Indonesia Justice Monitor Agung Wisnu Wardana menyampaikan bahwa umat Islam membutuhkan perubahan di tengah kondisi kebobrokan sistem sekuler kapitalisme.

"Tentu kita (umat Islam) membutuhkan perubahan di tengah-tengah kondisi yang rumit seperti sekarang ini di tengah kondisi kebobrokan sistem yang ada (sekuler kapitalisme)," ujarnya dalam program Aspirasi: Pemakzulan Jokowi Kandas? Di kanal YouTube Justice Monitor, Minggu (23/7/2023).

Ia melanjutkan, jalurnya bisa lewat konstitusional formal pemilihan umum atau pengajuan seperti yang dilakukan Petisi 100 tersebut. Tetapi menurutnya, tentu ini tidak akan sampai pada konteks perubahan yang diharapkan. 

"Apalagi dalam konteks ingin mengarah pada perubahan hakiki, yaitu tegaknya syariah dalam naungan Khilafah," lanjutnya.

Ia berpendapat, yang sebenarnya dibutuhkan untuk perubahan hakiki adalah jalan konstitusional nonformal. "Yaitu perubahan asasi (mendasar) melalui jalan umat (taghyir 'an thaariqil ummah)," ucapnya.

Dan Agung juga menegaskan, itu harus menjadi konsekuensi yang mesti dilakukan oleh umat Islam dengan mengikuti metode Nabi Muhammad SAW untuk perubahan yang sesungguhnya.

"Subjek politiknya harus berubah, institusi politiknya harus berubah. Juga, sampai sistem dan ideologi politiknya berubah. Dari subjek institusi, ideologi, politik dan sistem sekuler kapitalisme seperti sekarang ini, menuju subjek politik yang Islami," tegasnya.

Sebagai bentuk kepeduliannya terhadap bangsa dan negeri ini, Ia pun mendakwahkan bahwa perubahan ke arah institusi politik dan sistem politik yang benar (hakiki) itu adalah yang sesuai dengan syariah Islam dan sistem pemerintahan Islam (Khilafah Islamiyah).

"Dan juga ideologi politik yang sesuai dengan Islam," pungkasnya," [] Muhar

Rabu, 19 Juli 2023

KDRT dan Pembunuhan Makin Menggila di Sistem Kapitalisme Sekuler

Tinta Media - Peristiwa kekerasan disertai pembunuhan oleh seorang suami terhadap istrinya telah terjadi di Desa Ciapus, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Saat ini, pelaku telah diamankan Polresta Bandung. Begitulah kronologis yang dibeberkan oleh Wakapolresta Bandung AKBP Imron Ermawan saat konfernsi pers, Jumat (7/7/2023).

KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) adalah sebuah tindakan tidak manusiawi, apalagi jika berakhir dengan pembunuhan. Namun faktanya, kekerasan dalam rumah tangga kian hari semakin menggila saja. Berita kekerasan hingga pembunuhan hampir tiap hari kita dengar di media massa. Kekerasan yang dilakukan tidak hanya melukai fisik, tetapi juga psikis korban.

Penyebab terjadinya hal tersebut dapat dikategorikan sebagai faktor internal dan eksternal. Umumnya, faktor internal yang terjadi adalah komunikasi yang kurang baik, kesalahpahaman, ataupun ketidakcocokan antara dua belah pihak. Akidah dan pemahaman agama yang kurang juga menjadi faktor yang menyebabkan seseorang mudah terpancing emosi dan lepas kontrol. 

Sedangkan faktor eksternalnya adalah masalah ekonomi, kecemburuan sosial, dan lain-lain. Keadaan ekonomi yang sulit dengan harga kebutuhan pokok yang serba mahal, akhirnya menjadikan stres dan memicu emosi.

Seorang suami adalah pemimpin rumah tangga yang seharusnya mengayomi dan mendidik anak dan istrinya dengan baik, 

Allah Swt. berfirman, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS An-Nisa [4]: 34).
 
Bukan dari segi individunya saja, permasalahan ini justru menjadi sangat kompleks karena adanya keterkaitan individu dengan faktor yang lain. Ketika ditelaah lebih mendalam, dapat disimpulkan bahwa semua kondisi tersebut adalah akibat dari sistem. 

Negara yang menerapkan sistem kapitalisme sekuler inilah penyebab rusaknya tatanan keluarga, hingga marak tindak kekerasan dalam rumah tangga, bahkan sampai tindakan pembunuhan. 

Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan membuat seseorang bebas berbuat tanpa didasari kesadaran hubungan dengan Allah Swt. Dalam hal ini, terdapat pemahaman bahwa agama hanya sebatas ibadah ritual saja. Hukuman yang tidak memberikan efek jera juga menjadi pemicu terjadinya berbagai macam pelanggaran syariat. Itulah sebabnya, kekerasan dalam rumah tangga hingga pembunuhan makin menjamur di negeri ini. 

Lain halnya dengan Islam yang sangat memuliakan perempuan. Hubungan suami istri dalam Islam layaknya hubungan persahabatan, bukan sebagai atasan dan bawahan. 

Rasullullah saw. adalah teladan yang paling baik dalam segala hal, mulai dari perannya sebagai seorang suami, sahabat, sampai kepala negara. Kehidupan rumah tangga dalam Islam didasari oleh ketakwaan kepada Allah Swt. yang akan memberikan rasa nyaman dan ketenangan jiwa. 

Kekuatan iman dari individu muslim, penjagaan akidah umat oleh negara, serta masyarakat yang islami akan memunculkan kondisi keimanan selalu terjaga. Negara  adalah pengurus urusan rakyat dari mulai urusan sandang, pangan, dan papan.  

Negara juga akan menyediakan lapangan pekerjaan yang banyak untuk para kepala keluarga. Negara juga menjamin kebutuhan rakyat akan pendidikan dan kesehatan, sehingga seorang suami atau kepala rumah tangga tidak terlalu berat menanggung beban. 

Dari segi pergaulan, Islam pun mempunyai aturan yang akan menjaga dan membatasi dalam hal interaksi  antara lawan jenis. Semua diatur sesuai syariat yang sudah pasti ada kemaslahatan di dalamnya.

Di dalam Islam, terdapat larangan khalwat dan ikhtilat, yakni sebagai penjaga agar perempuan dan laki-laki tidak melakukan pergaulan bebas yang akan memicu terjadinya perselingkuhan. Namun, tercapainya keindahan kehidupan Islam itu sungguh ilusi jikalau negara masih mengadopsi sistem kapitalisme sekuler. Islam sebagai solusi problematika kehidupan akan terwujud jika masyarakat sadar akan pentingnya Islam dan mau mengkaji Islam secara kaffah, mengamalkan, serta mendakwahkannya. 

Sesungguhnya, masalah kekerasan dalam rumah tangga dan pembunuhan adalah sebuah problematika kehidupan yang sistematik, sehingga solusinya harus secara sistemik pula. Islamlah satu-satunya ideologi yang diturunkan Allah sebagai solusi yang menyeluruh sehingga terwujud kesejahteraan yang hakiki.

Wallahu a'lam bishawab

Oleh: Dartem (Sahabat Tinta Media)

Nikah Beda Agama Imbas Pola Hidup Sekuler

Tinta Media - Amanah merupakan hal yang harus dipertanggungjawabkan, terlebih ketika amanah tersebut menyangkut kemaslahatan umat dan menyinggung soal keimanan. Maka, sudah sewajarnya seorang muslim mengklarifikasi dan meluruskan pendapat yang melenceng dari agama.

Pada periode ini, kita digempur dengan berita pengadilan negara yang memberikan putusan atas kebolehan umat beda agama melangsungkan pernikahan. Padahal, pernikahan merupakan hal yang sakral dan berdampak pada tujuan hidup selanjutnya, sehingga dalam hal ini kita disuruh untuk menjatuhkan pilihan yang tepat pada calon yang akan memimpin atau mendampingi dalam menjalankan bahtera rumah tangga.

Bukan hal yang gampang untuk memboleh-bolehkan atau memaklumi sesuatu yang hanya dilandaskan atas dasar cinta belaka tanpa memandang arah tujuan hidupnya ke depan, serta keselarasan atas keimanannya. Cinta kadang membuat orang tenggelam dan melupakan batas hukum dalam keyakinan. Namun, bukan sebuah hal yang harus dimaklumi atau bahkan memberikan  peluang agar mereka bisa bersatu sesuai keinginannya tanpa mengembalikan standar perbuatan tersebut sejalan atau tidaknya dengan agama.

Maka, berita dikabulkannya nikah beda agama (laki-laki nonmuslim dengan muslimah) menunjukkan pelanggaran terhadap hukum agama dan keberpihakan toleransi yang melanggar batas hukum agama itu sendiri. Negara tidak lagi berfungsi untuk menjaga tegaknya hukum Allah dan melindungi rakyat untuk tetap dalam ketaatan pada Allah Swt.

Sebagaimana diberitakan oleh media ANTARABENGKULU bahwa Perwakilan Humas PN Jakpus Jamaludin Samosir mengatakan bahwa pasangan beda agama memang bisa mendaftarkan pernikahan di PN Jakarta Pusat dengan mengajukan permohonan izin nikah.

Hal ini menunjukkan bahwa negara yang mengusung sekularisme menjadikan manusia memisahkan urusan Tuhan dengan dirinya. Padahal, sejatinya manusia ada karena Pencipta mengadakannya. Maka, sudah sewajarnya Yang menciptakannya berhak memeberikan aturan pada hamba tadi, bukan malah menjadikan aturan lain yang tidak datang darinya menjadi sesuatu melebihi aturan Penciptanya.

Sungguh miris ketika hidup yang diharapkan damai dan tenteram ini senantiasa berbenturan hanya karena egoisme manusia untuk mendominasi kehidupan. Keadaan ini menggambarkan kepada kita bahwa manusia saat ini tidak meletakkan kesadaran bahwa diri mereka lemah, terbatas, dan bergantung. Sehingga, menjadi sebuah keniscayaan dalam sistem kehidupan saat ini ketika ada aturan yang bertentangan dengan agama. Selama hal tersebut dianggap sebagai bagian toleransi di tengah masyarakat, maka akan tetap dijunjung tinggi, bahkan dilegalkan. 

Beginilah lemahnya aturan-aturan yang lahir dari sesuatu yang terbatas, maka hasilnya pun  tidak akan sempurna, terlebih ketika ingin diterapkan dalam kehidupan.

Kapankah kita akan terlepas dari kerangkeng kesombongan manusia agar dapat menjalani hidup sesuai dengan apa yang digariskan Pencipta untuk manusia ?

Sejatinya aturan itu mengikat. Maka, sebagai umat beragama, sudah seharusnya kita meletakkan pilihan pada aturan yang jelas-jalas mampu membuat perbaikan, menghalau kezaliman, dan mampu menghantarkan manusia pada kebangkitan hakiki. 

Ini termasuk masalah nikah beda agama, karena darinya akan lahir genarasi-generasi pelanjut yang akan meniti kehidupan, sehingga ketika dasar yang dibentuk saja keliru, maka terlebih hasilnya. Sedikit banyaknya dasar akan memengaruhi puncak, maka begitu pula yang terjadi dalam bahtera rumah tangga.

Tentu ini berbeda dengan cara pandang Islam yang memiliki aturan tertentu dalam berbagai persoalan manusia. Dalam Islam semua bersumber pada aturan Allah dan Rasul-Nya. 

Masalah pernikahan merupakan masalah yang tercakup dalam potensi dasar manusia berkenaan dengan naluri untuk melestarikan jenis. Naluri ini merupakan kebutuhan manusia. Namun, sejalan dengan hal tersebut, penyalurannya haruslah sejalan dengan perintah dan larangan Tuhannya. 

Maka di dalam Islam, untuk memenuhi naluri ini harus melalui jalan pernikahan. Nah, dalam hal menikah, Rasulullah saw. menyampaikan bahwa ada empat perkara yang bisa menjadi pertimbangan dalam memilih calon dalam pernikahan yakni; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka, pilihlah wanita yang taat beragama, niscaya engkau beruntung. 

Hal ini menunjukkan bahwa Islam amat menjaga kelangsungan bahtera rumah tangga agar darinya lahir sakinah, mawaddah, dan rahmat bagi kelangsungan rumah tangga tersebut. Diharapkan, keturunan yang lahir darinya akan terbentuk generasi mulia dan tangguh dengan dasar iman yang kuat serta kokoh dalam menjalankan agama.

Tentu untuk menerapkan hal ini akan berat ketika hanya diampu oleh individu-individu belaka. Maka menurut Islam, ini menjadi salah satu tugas negara dalam menjaga tegaknya hukum Allah dan menjaga rakyat agar tetap dalam ketaatan kepada Allah. Wallahualam.

Oleh: Erna Nuri Widiastuti, S.Pd.
Aktivis

Sabtu, 15 Juli 2023

Ustadzah Rif'ah: Inses Bukan Hal Baru dalam Negara Sekuler Kapitalis

Tinta Media - Menanggapi terungkapnya kasus inses seorang Ayah terhadap anaknya di Banyumas Jawa Tengah hingga melahirkan 7 bayi yang semuanya dibunuh, Ustadzah Rif'ah Kholida dari Muslimah Media Center menyatakan bahwa kasus inses bukan hal baru di dalam negara sekuker kapitalis.

"Di dalam negara sekuler kapitalis, munculnya kasus inses bukan hal yang baru," uj arnya dalam program tausyiah Islam Menjawab: Inses Hancurkan Tatanan Keluarga, Bagaimana Pandangan Islam? Di kanal YouTube MMC, Ahad (9/7/2023).

Ia mengungkapkan, kasus inses juga pernah terjadi di daerah lain. Diantaranya kasus inses kakak dan adik di Pasaman, Sumatera Barat (2020), dan kasus inses ayah dan anak di Kecamatan Wowo, Kabupaten Bima NTB (2021).

Ia pun menerangkan, penerapan sistem sekuler kapitalis yang telah menjadikan manfaat sebagai asas dan kebebasan berperilaku di atas segala-galanya adalah penyebab munculnya berbagai pemikiran dan perilaku yang menyimpang (termasuk inses).

"Seseorang bebas berbuat apa saja sekehendak hatinya. Kondisi ini juga diperparah dengan minimnya pemahaman terhadap agama Islam," ucapnya.

Ia juga mengatakan, tidak sedikit individu muslim mengalami disorientasi hidup, bahkan terjerumus pada kemaksiatan karena tidak menjadikan syariat Islam sebagai standar dalam berperilaku.

Maka ia menegaskan, solusinya tiada lain hanyalah melakukan perubahan secara hakiki.

"Yaitu menerapkan syariat Islam secara kaaffah dalam naungan khilafah," pungkasnya. [] Muhar

Jumat, 19 Mei 2023

UMAT ISLAM MAYORITAS BELUM PAHAM KAPITALISME SEKULER BAHAYA NYATA, MASIH BERFOKUS MELIHAT KOMUNISME ANCAMAN DAN ADA YANG TIDAK PAHAM MEMPERSOALKAN SYARIAH & KHILAFAH

Tinta Media - 22 Jam yang lalu, yakni pada Senin (15/5) di AK Channel dibuat polling untuk menjajaki aspirasi subscribers. Polling dibuat dengan pertanyaan pilihan, dan jawaban yang telah disediakan.

Pertanyaan polling berbunyi: Menurutmu, apa ancaman bagi bangsa Indonesia dan dunia?

Dari 15.000 suara peserta polling, 80 % memilih Sosialisme Komunisme sebagai ancaman dan 15 % memilih Kapitalisme Sekuler sebagai ancaman. Sayangnya, ternyata ada yang memilih Syariah & Khilafah sebagai ancaman, dengan jumlah 5 % suara.

Polling ini disukai 2000 suara dan ada 244 komentar. Saat tulisan ini dibuat, polling ini masih terus berjalan.

Ketika penulis membaca komentar peserta polling yang semuanya adalah subscribers AK Channel (karena mode komentar dan keterlibatan hanya diperuntukan bagi subscribers), maka dapat dipahami mengapa Sosialisme Komunisme dianggap sebagai ancaman utama (80% suara), sementara Kapitalisme Sekulerisme hanya 15 % suara. Juga, kenapa ada yang menganggap Syariah & Khilafah sebagai ancaman, meskipun hanya 5 %.

Nampaknya, sejarah kelam pemberontakan PKI mendominasi alam bawah sadar umat ini, sehingga sulit untuk menghilangkan memori kebengisan PKI. Sementara, Kapitalisme sekuler yang menyebabkan tambang emas Indonesia dikuasai Amerika, juga mayoritas batubara dikuasai asing dan aseng, oligarki yang mengendalikan negeri, kerusakan moral karena kehidupan liberal dan hedonis, agama yang menjadi hanya ritual karena di sekulerisasi, kemiskinan negeri karena imperialisme neo kapitalisme, kesemuanya tak mampu dipahami sebagai kerusakan yang disebabkan oleh penerapan ideologi kapitalisme liberal. 

Ada gerakan dan tokoh tertentu yang konsen melawan komunisme. Namun, hingga saat ini belum ada tokoh sentral dan gerakan massif yang anti kapitalisme.

Memang benar, batilnya ideologi komunisme mudah dipahami umat karena akidah komunisme adalah atheisme. Pengingkaran terhadap agama (baca: Islam) yang demonstratif oleh ideologi komunisme melalui dialektika materialisme, dirasakan langsung sebagai musuh akidah Islam sehingga membangkitkan umat Islam untuk melawannya.

Sementara ideologi Kapitalisme liberal tidak menyerang agama secara langsung. Ideologi ini tetap mengakui agama, hanya meminggirkan perannya dari kehidupan.

Padahal, bahaya kapitalisme liberal jauh lebih destruktif ketimbang komunisme. Meskipun, dalam pandangan Islam keduanya, baik kapitalisme maupun komunisme adalah ideologi batil yang bertentangan dengan akidah Islam.

Sayangnya, terhadap kapitalisme terkesan serba permisif. Isu Pancasila selalu dijadikan tameng untuk menentang Komunisme dan Islam. Tapi tak pernah digunakan untuk melawan kapitalisme liberal.

Adapun Khilafah, mengapa masih ada yang menganggap ancaman lebih karena kurangnya dakwah ditengah umat akan urgensi syariah & Khilafah. Sebagaimana diketahui, dakwah Syariah & Khilafah baru masuk ke wilayah Indonesia pada era 80 an.

Sehingga, dakwah Syariah & Khilafah harus lebih digelorakan, agar umat semakin paham dan yakin bahwa Syariah & Khilafah adalah solusi, bukan ancaman. Sebab, semakin umat paham maka semakin umat akan rindu pada syariah & Khilafah, dan akan semakin yakin pada kabar gembira dari Rasulullah SAW akan kembalinya Khilafah Islamiyyah. [].

Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
https://heylink.me/AK_Channel/

Rabu, 17 Mei 2023

Penistaan Agama Menjamur di Sistem Sekuler

Tinta Media - Tidak sedikit kasus yang muncul ke permukaan mengenai orang-orang yang mengaku nabi. Kasus nabi palsu ini kerap terjadi pada masyarakat nonmuslim maupun masyarakat muslim itu sendiri. Seperti halnya kabar yang membuat geger akhir-akhir ini, telah terjadi penembakan di kantor MUI Lampung. Diketahui bahwa pelaku penembakan tersebut ternyata pernah mendeklarasikan dirinya sebagai wakil nabi, dengan mengumpulkan penduduk desa pada tahun 1997 silam. (wartaekonomi.co.id) 

Tidak hanya kantor MUI, pelaku yang mengklaim dirinya sebagai wakil Nabi Muhammad kepada warga Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pasawaran, Lampung ini juga pernah terlibat dalam kasus pemecahan kaca gedung DPRD pada tahun 2016 silam. (Republika.co.id) 

Jelas, tindak kriminal yang dilakukannya membuat masyarakat, khususnya wilayah Lampung merasa resah, ditambah pendeklarasiannya kepada masyarakat daerah Lampung sebagai wakil Nabi Muhammad membuat banyak orang merasa geram. Hal demikian sudah pasti menjadi cikal bakal kesesatan. 

Adanya pengakuan tersebut, menjadikan Islam sebagai sasaran penistaan agama. Bukan hanya di dalam negeri, bahkan kasus seperti ini pun kerap dijumpai di berbagai negara.

Sudah menjadi hal yang wajar di tengah sistem sekuler, adanya upaya menghilangkan sifat sakral pada suatu agama, sehingga dengan mudah dinistakan dan dijadikan bahan celaan. Kasus penistaan agama seolah menjadi hal yang dianggap wajar oleh kebanyakan kalangan. 

Tidak adanya sanksi yang serius bagi para penista agama menjadikan hal semacam ini kian menjamur di tengah masyarakat. Dampak dari rendahnya taraf berpikir umat menjadikan mereka tidak mampu menimbang benar atau salah dalam sebuah tindakan.

Penistaan agama akan berpengaruh buruk terhadap pemahaman masyarakat, akibat dari lemahnya pemikiran saat ini ditambah dengan gempuran paham-paham yang kian menjauhkan orang-orang muslim dari agamanya sendiri. Karena itu, kaum muslimin akan mudah tersesat dari kebenaran. 

Paham sekularisme merusak umat Islam hingga ke akarnya, yaitu akidah. Ketika akidah umat rusak, maka rusak pula dasar keimanannya. Akibatnya,  umat akan jauh dari kemurniannya dan melupakan identitas sebagai seorang muslim.

Akidah adalah dasar yang menjamin ketakwaan individu. Di tengah sistem sekularisme yang mengusung pemisahan agama dari kehidupan dan menjadikan agama hanya sebagai urusan privat, ketakwaan individu tidak terealisasi akibat rusaknya pangkal akidah. Di tambah lagi, tidak adanya masyarakat yang mampu memberikan kontribusi berupa amar ma'ruf dan lebih memilih untuk acuh terhadap urusan saudaranya.

Ditinjau dari aspek kenegaraan, sudah pasti hal semacam ini tidak mungkin lepas dari tanggung jawab negara. Bagaimanapun juga, negara berkewajiban untuk mencegah adanya penghinaan agama dalam bentuk apa pun. Kontrol negara adalah kekuatan utama untuk menjadikan agama sebagai hal yang harus dibela, dijaga kesucian serta kesakralannya. Oleh karenanya dibutuhkan suatu kawalan yang menjaga umat dari pemikiran-pemikiran yang mampu menjerumuskan pada penyelewengan hingga kesesatan. 

Paham sekuler yang telah bercokol di benak umat saat ini harus digantikan dengan pemahaman yang benar, yaitu pemahaman menyeluruh tentang kesempurnaan Islam agar umat mampu menjadikan syariat Islam sebagai landasan dalam mengambil tindakan. 

Untuk itu, diperlukan orang-orang yang mampu menyadarkan masyarakat tentang kebatilan yang ada pada sistem saat ini. Masyarakat harus sadar akan adanya kesempurnaan Islam yang mulia. Masyarakat harus mampu menjaga peradaban Islam dari musuh-musuh Islam itu sendiri. Hal ini bisa diwujudkan dengan pengkajian secara mendalam dan intensif, meningkatkan taraf berpikir dengan mengkaji Islam kaffah dan menyerukannya ke tengah-tengah masyarakat. Dengan begitu, dakwah Islam akan mudah tersebar dan lebih mudah terealisasikan. 

Bangkitnya pemikiran masyarakat akan berdampak pada kebangkitan peradaban Islam. Menjadikan Islam sebagai landasan dalam kehidupan dan dan menjadi ideologi negara, sehingga cita-cita tegaknya daulah Islamiyah yang penuh keberkahan dan jauh dari kebatilan.

Oleh: Olga Febrina
Pelajar dan Aktivis Dakwah Remaja
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab