Tinta Media: Sekuler
Tampilkan postingan dengan label Sekuler. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sekuler. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 16 November 2024

Pelajar Terpuruk di Masa Sekuler


Tinta Media - Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Unifah Rosyidi mengatakan bahwa saat ini tengah marak tindak kekerasan yang menimpa guru. Bahkan, ada pula guru yang dikriminalisasi.

Maraknya tindakan pelaporan dan kriminalisasi terhadap guru ketika menjalankan tugas keprofesiannya ini mendorong PGRI untuk mengusulkan adanya UU Perlindungan Guru. Ini dilakukan untuk mencegah kasus serupa terulang kembali, (medcom.id, 01/11/2024)

Ironis, di masa sekuler ini para pelajar yang seharusnya menjadi benih emas untuk memajukan bangsa dengan ilmu yang dihasilkan dari sekolah justru semakin brutal justru semakin brutal dan tidak bisa mengatur diri sendiri di saat tersulut emosi. Kurikulum merdeka yang diberlakukan justru menjadikan pelajar kehilangan pedoman.

Berbanding terbalik dengan masa khilafah yang dulu tegak di muka bumi. Para pemuda justru tidak dibiarkan lalai, tetapi dibentuk pemikiran dan perilakunya agar menjadi insan yang takwa dan siap menjadi pemimpin yang adil dan bertanggung jawab. Setiap keputusan yang diambil sudah berdasarkan pemikiran mendalam yang sesuai dengan syariat Islam. Mereka mempertimbangkan segala sesuatunya dengan matang di setiap langkah yang akan diambil.

Terbukti dengan jelas bahwa kepemimpinan yang diatur oleh ideologi yang rusak akan menghasilkan masyarakat yang rusak juga. Maka, sudah saatnya kita mengemban kembali ideologi yang benar dan aturannya pun diatur langsung oleh Sang Maha Pencipta. Ideologi tersebut adalah Islam.
Wallahu a'lam bish shawwab.





Oleh: Ummu Arvin
Sahabat Tinta Media

Jumat, 15 November 2024

Berantas Judol: Ilusi dalam Sistem Kapitalis Sekuler



Tinta Media - Polda Metro Jaya  melakukan penangkapan terhadap 11 orang terkait judi online. Di antara mereka ada beberapa pegawai Kemkomdigi. Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) RI, Meutya Hafid pun buka suara terkait oknum pegawai yang ikut terlibat kasus judi online. Pihak Kemkomdigi menyatakan dukungan penuh terkait pemberantasan berbagai bentuk aktivitas ilegal, termasuk judi online atas arahan Presiden Prabowo. (VIVA – Jakarta)

Tidak ada pandang bulu dalam penanganan kasus judi online. Penegakan hukum akan diberlakukan dengan tegas pada siapa pun yang terlibat, terkhusus bagi pejabat di lingkungan kementerian. Hal tersebut diungkapkan oleh Meutya dalam keterangan resmi yang dikutip pada tanggal 1 November 2024. 

Memang, penanganan berbagai kasus harus dilakukan dengan tegas, serius, dan tidak tebang pilih. Setiap yang melanggar harus diberi sanksi agar tersangka kasus-kasus seperti judol bisa berkurang dan tidak meluas. Kita ketahui bahwa judi online adalah ibarat lingkaran setan yang sangat berbahaya bagi masyarakat.

Judi adalah sebuah perbuatan yang dilarang oleh syariat. Efek judol juga sangat berbahaya dan merusak moral generasi. Di tengah pesatnya dunia digital ini, semua bisa diakses dengan sangat mudah. Sehingga, wajar kalau saat ini kasus judi online semakin merajalela hingga sangat meresahkan. Sayangnya, pejabat yang diharapkan bisa memutuskan dan memberantas praktik judi online justru ada yang menjadi tersangka karena terlibat kasus tersebut. 

Judi online merupakan kasus sistemik yang tidak bisa diselesaikan cara pragmatis. Semua berawal dari penerapan sistem kapitalisme sekuler. Sistem buatan manusia yang lemah karena berlandaskan kepada akal ini mustahil akan memberi kemaslahatan bagi makhluk. Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan justru akan melahirkan manusia-manusia serakah, korup, dan hanya fokus untuk memperkaya diri dengan segala cara, bahkan cara haram sekalipun.

Sanksi hukum yang lemah dalam sistem demokrasi semakin memberi ruang pada para pelaku kejahatan. Bukan hanya persoalan judi online, masalah lain bertubi-tubi yang menggemparkan dunia hampir tak satu pun yang bisa selesai dengan tuntas dan mendapatkan hukuman adil. Ini karena pada dasarnya memang tidak ada keadilan di dalam sistem rusak demokrasi kapitalis. 

Kasus judi online yang melibatkan oknum pejabat seharusnya bisa menjadi tamparan keras bahwasanya ini adalah problem besar dan sangat merusak. Masalah ini tidak hanya dilakukan sendirian, tetapi justru akan menarik pelaku lainnya agar terlibat. Akhirnya, mereka saling bekerja sama dalam melakukan kejahatan.
 
Sungguh, maraknya judi online tidak akan bisa diberantas dalam sistem kapitalisme sekuler seperti saat ini. Terbukti, berbagai perundangan-undangan tak mampu memberantas praktik judi online selama ini.

Pemberantasan judol sampai akarnya hanya dapat dilakukan oleh negara. Satu-satunya negara yang bisa melakukannya adalah negara yang menerapkan aturan Islam secara kaffah, yaitu khilafah. 

Penerapan sistem Islam akan melahirkan orang-orang yang berkepribadian Islam karena tindak-tanduknya selalu dituntun syariat. Khilafah akan memberlakukan sanksi tegas dengan memakai aturan yang datang dari Allah Swt. yaitu syariat Islam. 

Tidak ada permainan uang/suap di dalam sistem Islam karena semua yang bersalah akan mendapatkan sanski sesuai kesalahannya. Semua dipandang sama dan tidak dibeda-bedakan.

Yang perlu diperhatikan adalah bahwasanya kekuasaan merupakan amanah yang jika berkhianat akan berdosa. Dosa penguasa atau pemangku jabatan sungguh mengerikan karena menyangkut rakyat yang dipimpinnya. 

Walhasil, dengan sistem Islam, akan lahir para pejabat yang amanah, beriman, dan bertakwa. Sehingga, celah terjadinya kecurangan sangat bisa dinetralisir dan tidak akan muncul orang-orang atau pejabat yang mau terlibat dalam kerja sama melakukan kemaksiatan. Semua karena takut dan sadar bahwa segala perbuatannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Wallahu a'lam bishawab.






Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media

Ilusi Berantas Judol dalam Sistem Sekuler Kapitalisme


Tinta Media - Awal November 2024, Polda Metro Jaya melakukan penangkapan terhadap pelaku judi online (judol) yang melibatkan 16 tersangka. Mirisnya, di antara mereka ada sejumlah oknum pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) dan juga rakyat biasa. (Beritasatu.com)

Indonesia merupakan negeri muslim terbesar di dunia. Sungguh memalukan juga memilukan ketika negeri ini menjadi "surga" bagi perjudian. Pemberantasan judol hanya menjadi ilusi belaka ketika para aparatur negara malah memanfaatkan wewenangnya untuk memperkaya.

Walaupun negeri ini mayoritas muslim, tetapi sistem kehidupan yang diterapkan adalah sekuler. Terkuaknya kasus judol ini menunjukkan betapa sistem sekuler ini rusak hingga berdampak pada generasi muda, baik sebagai pelaku atau pun penikmat judi.

Sekulerisme (paham yang memisahkan agama dari kehidupan) merupakan asas sistem demokrasi kapitalisme yang meniscayakan paradigma hidup rusak dan merusak. Judi dan judol merupakan lingkaran setan. Teknologi saat ini ibarat pisau bermata dua. Manusia menyalahgunakannya akibat paradigma kehidupan serba bebas. Apa pun boleh dilakukan, yang penting menguntungkan. Hal ini yang menjerat dan merusak masyarakat akibat jauhnya dari hukum syari'at.

Masyarakat menghalalkan segala cara dalam mendapatkan kekayaan sehingga pemberantasan judol makin jauh dari harapan. Dalam sistem sekuler kapitalis yang berlandaskan asas manfaat, ketika suatu perbuatan menghasilkan keuntungan atau manfaat, maka hal itu sah-sah saja untuk diambil tanpa melihat standar halal atau haram. 

Di Indonesia, ada aturan hukum yang mengatur judi. Ada KUHP baru atau UU 1/2023. Mengenai sanksi bagi pelaku judol secara spesifik diatur dalam UU ITE (UU 1/2024). Namun, pemerintah lamban dalam bekerja, hingga dibentuk satuan tugas pemberantasan judi online yang dibentuk oleh Presiden Jokowi dengan diberlakukannya Keppres 21/2024 pada 14 Juni 2024.

Menko Polhukam Hadi Tjahjanto bertanggung jawab memimpin satgas ini. Lalu dilanjutkan saat ini era Presiden Prabowo, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menginstruksikan Kabareskrim Polri membentuk Satgas Penanggulangan Perjudian Online. Instruksi ini berlaku hingga tingkat Polda untuk menangani segala bentuk praktik judol. 

Namun, pada kenyataannya sanksi dalam hukum positif di Indonesia tidak membuat jera bagi pelaku judi. Sebagai bukti, sejak beberapa tahun yang lalu judol tidak pernah berhenti, padahal di berbagai kalangan sudah menimbulkan kerusakan generasi dan ekonomi masyarakat.

Meskipun ada gerak cepat dari upaya presiden baru dalam rangka memberantas judol, tetapi upaya ini tidak lepas dari pencitraan dalam 100 hari pemerintahan. Sebab, kasus judol realitasnya memiliki efek domino yang meluas, bukan hanya di kementrian atau pejabat tertentu saja.

Hukuman penjara juga tidak membuat efek jera bagi pelaku judi. Justru di dalam penjara mereka makin canggih "belajar" dari sesama napi dalam berbuat kriminal. Sehingga, banyak mantan napi semakin jahat ketika keluar dari penjara. Begitu juga untuk pidana denda, bisa langsung beres ketika denda sudah dibayar lunas.

Berbanding terbalik ketika sistem Islam diterapkan. Dalam Islam, judi merupakan aktivitas haram sehingga sistem Islam akan menutup celah terjadinya judi dengan mekanisme tiga pilar, yaitu metakwaan individu, kontrol masyarakat, dan penerapan sistem hukum yang tegas oleh negara dan membuat efek jera bagi pelakunya.

Dalam sistem Islam, pendidikan Islam meniscayakan terbentuknya kepribadian Islam sehingga terbentuk sumber daya manusia yang amanah, juga taat kepada aturan Allah Swt. Pendidikan Islam juga membentuk masyarakat yang terbiasa beramar makruf nahi mungkar.

Negara Islam juga berperan mengedukasi masyarakat melalui berbagai jenjang sistem pendidikan, baik formal atau informal. Hal ini dilakukan dalam rangka menciptakan generasi yang memiliki kepribadian Islam, paham syariat Islam, dan selalu menyibukkan diri dengan ketaatan sehingga tidak akan terlintas keharaman dan kemaksiatan dalam memikirkan cara mencari kebahagian, tetapi dengan mencari rida Allah Swt.

Negara Islam akan memberi kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk beraktivitas ekonomi secara halal. Penguasa akan mengatur penggunaan teknologi digital agar tidak disalahgunakan untuk aktivitas keharaman seperti judi dan judol.

Penguasa negera Islam akan menerapkan sistem sanksi bagi pelaku judi yang bersifat mencegah (zawajir) dan penebus dosa (jawabir). Sanksi takzir (hukuman atas tindakan pidana yang sanksinya ditentukan oleh ijtihad penguasa negara Islam) diberlakukan untuk tindak pidana perjudian dalam Islam.

Hal ini akan terjadi bila kita menerapkan syariat Islam dalam bingkai daulah Islam. Wallahu'alam bishshawwab.



Oleh: Rosi Kuriyah
(Muslimah Peduli Umat )

Minggu, 22 September 2024

KDRT Berulang Akibat Sistem Kapitalis Sekuler Liberal



Tinta Media - #MarriageIsScary ramai dibicarakan banyak orang dan memenuhi FYP sebagai topik trending di media sosial. Tagar ini muncul karena seorang selebgram bernama Cut Intan Nabila membagikan video rekaman CCTV melalui akun Instagram-nya. Dalam video tersebut, suami korban (Cut Intan Nabila), Armor Toreador, melakukan tindakan KDRT dengan memukulnya berkali-kali hingga anak bayinya yang masih berumur beberapa bulan ikut menjadi korban. 

Setelah viral video tersebut dan dilakukan penangkapan, pelaku pun mengaku sudah melakukan KDRT selama 5 tahun lamanya dan pernah melakukan di depan anak-anak juga.

Kasus tersebut semakin menambah rentetan tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri. Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2023, tindak kekerasan terhadap istri (KTI) yang dilaporkan ke Komnas Perempuan mencapai 674 kasus sepanjang 2023, meningkat 22% dibandingkan 2022. 

Banyaknya kasus KDRT, terutama yang terjadi dengan selebgram Cut Intan Nabila membuat banyak warganet yang mayoritas anak-anak muda mengungkapkan kekhawatirannya dalam melanjutkan ke jenjang pernikahan. 

'Marriage is scary." Begitu menurut mereka.

Padahal, menurut seorang aktivis dakwah sekaligus content creator Aab Elkarimi dalam bukunya yang berjudul Tenang di Rumah, rumah merupakan asal seseorang bertumbuh tanpa kepura-puraan. Dari rumah pula refleksi dan pengumpulan tenaga untuk menghadapi masalah hidup jadi ritual yang dilakukan. Dari rumah, kejujuran sikap diperlihatkan, kehangatan hubungan dibangun, dan tubuh diistirahatkan. 

Menurutnya, jika kita memandang diri lebih luas lagi pada struktur sebuah peradaban, maka rumah akan menjadi benteng pertahanan terakhir di saat struktur tertinggi di atasnya runtuh dan tak acuh terhadap persoalan esensial. Di sini, struktur tertinggi itu juga bisa dikatakan sebagai sebuah struktur negara. 

Namun, banyak penyebab yang menjadikan rumah tidak lagi menjadi tempat perlindungan bagi sebagian orang. Misalnya, permasalahan perekonomian akibat negara membiarkan rakyat dalam kemiskinan, maraknya pergaulan liberal yang tidak mengenal batasan pergaulan antarlawan jenis yang bisa memicu terjadinya perselingkuhan dalam dunia kerja. Cara pandang hidup pun berpengaruh dalam menyelesaikan permasalahan rumah tangga

Jika ditarik ke bekalang, maraknya KDRT ini juga bisa disebabkan oleh pola parenting yang salah terhadap anak. Ada yang mengatakan, idealnya orang yang paham agama pasti berakhlak baik. Namun, tidak menutup kemungkinan malah menjadi orang yang berakhlak paling buruk. 

Banyak faktor eksternal lainnya yang membentuk karakter seseorang, bisa dari keluarga maupun lingkungan. Pola didik yang salah ini akan dibawa sampai dewasa sehingga menimbulkan permasalahan baru, salah satunya KDRT.

Penyebab lainnya adalah ide kesetaraan gender (feminisme) yang diadopsi oleh negara. Ide ini telah menghilangkan fungsi qawwam (kepemimpinan) pada laki-laki/suami. Karena itu, penting untuk mengembalikan fungsi qawwam tersebut. Tanggung jawab siapakah untuk mengembalikannya? Harusnya tanggung jawab negara.

Namun, penerapan sistem kapitalis sekuler liberal hari ini telah banyak melahirkan kerusakan pada umat, termasuk berulangnya tindak KDRT. Keluarga sebagai benteng terakhir umat Islam tak mampu lagi membendung kerusakan tersebut. Permasalahan kompleks ini hanya bisa diselesaikan oleh satu institusi, yaitu institusi daulah Khilafah. 

Khilafah akan menjamin kebutuhan pokok masyarakat dan menciptakan lapangan pekerjaan yang luas, sehingga antara suami istri tidak akan mengalami ketegangan dalam rumah tangga. Hal ini karena kebutuhan pokok sudah terjami. Para suami terangkat sebagian bebannya dengan pekerjaan yang terjamin oleh pemerintah. 

Dalam bidang pendidikan, sudah pasti akan diterapkan sistem pendidikan Islam yang berbasis akidah Islam sehingga membentuk karakter atau syakhsiyah yang penuh iman dan takwa. Sistem pergaulan pun akan diatur sesuai dengan syariat Islam. Jadi, tidak akan ada pergaulan bebas, terutama dengan lawan jenis yang melanggar batas syariat.

Mari kita kembali kepada fitrah, yaitu dengan menerapkan Khilafah, karena hanya Khilafahlah yang bisa menawarkan solusi tuntas dan ampuh untuk menyelesaikan permasalahan KDRT, solusi yang berasal langsung dari Sang Pencipta, yaitu Allah Swt.



Oleh: Fatiyah Danaa. Hidaayah, 
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

Senin, 02 September 2024

Tren Mahasiswa Bunuh Diri, Potret Buram Sistem Pendidikan Sekuler


Tinta Media - Saat ini kasus bunuh diri semakin marak seolah menjadi solusi terbaik untuk menyelesaikan permasalahan. Kematian Aulia Lestari, mahasiswa PPDS Anestasi Universitas Diponegoro (Undip), misalnya. Ia diduga bunuh diri karena tak kuat atas perilaku bullying yang dialaminya. 

Ini menambah daftar panjang kasus bunuh diri di Semarang, Jawa Tengah. Sebelumnya, telah terjadi beberapa kasus serupa di beberapa kampus negeri maupun swasta di Semarang. Penyebab bunuh diri pun beragam, mulai dari depresi, persoalan asmara, utang pinjol,  perundungan, hingga tekanan dalam proses belajar di kampus. (Jawapos.com, Sabtu 17/08/ 2024)

Peristiwa tragis di atas bukanlah fakta baru. Dilansir BBC.com, Ribuan calon dokter spesialis tercatat mengalami depresi, sementara ratusan lainnya mengaku ingin mengakhiri hidup. Beban pendidikan dan tekanan hidup yang tinggi akibat perundungan senior disebut menjadi penyebabnya. Mereka berpikir, daripada menanggung derita, lebih baik mengakhiri hidup dengan membunuh diri. 

Tingginya kasus bunuh diri yang menimpa pemuda hari ini menggambarkan rapuhnya mental generasi. Pemuda hari ini cenderung mengambil jalan pintas dan instan dalam persoalan hidup yang menimpanya. Mereka mudah menyerah hingga memutuskan untuk mengakhiri hidup. 

Tidak bisa dimungkiri bahwa generasi saat ini sedang menghadapi serangan pemikiran Barat yang membentuk cara pandang hidup kapitalisme-liberal. Kapitalisme telah meletakkan standar kebahagiaan hidup tertinggi pada segala hal yang bersifat materi, seperti harta, ketenaran, kedudukan, seks, dan sejenisnya. 

Bunuh diri pun sangat berdampak buruk pada generasi di masa depan, yaitu: 

Pertama, menggerus fungsi strategis pemuda sebagai garda terdepan perubahan. Sungguh ironis bila sang pemimpin perubahan justru dihinggapi banyak problem. Kesehatan metalnya lemah sehingga melakukan bunuh diri demi lari dari masalah.

Kedua, bila dibiarkan, maka kasus bunuh diri akan dianggap  sebagai kelaziman atau hal biasa, bahkan menjadi tren anak muda untuk menyelesaikan masalah. Sesuatu yang buruk bila berlangsung terus-menerus akan dianggap sebagai kebenaran.

Ketiga, mengancam kelangsungan generasi masa depan. Jika kasus bunuh diri tidak serius diatasi, maka akan mengakibatkan mental mahasiswa tak terjaga, sehingga bayang-bayang lost generation akan semakin nyata.

Demikianlah beberapa dampak negatif dari maraknya bunuh diri di kalangan mahasiswa. Ini menjadi bahan pemikiran  seluruh elemen bangsa agar bisa melakukan upaya pencegahan hingga fenomena bunuh diri tidak terus terjadi. 

Persoalan bunuh diri lahir dari sistem kapitalisme yang berasaskan sekularisme atau paham yang memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari, sehingga menjadikan generasi kehilangan jati diri sebagai hamba Allah. Mereka menjalani hidup sesuka hati dan mengikuti hawa nafsu. Standar halal-haram pun tak ada lagi dalam kamus hidup mereka. Maka tak heran, ketika dihadapkan pada persoalan hidup, mereka mempertimbangkannya tanpa dikaitkan dengan pemahaman hidup yang benar. Negara juga gagal membentuk jati diri yang benar bagi generasi. Dengan kurikulum pendidikan kapitalisme-sekularisme, generasi semakin jauh dari cara pandang yang benar tentang hidup.

Solusi tuntas atas persoalan ini hanyalah dengan menerapkan sistem Islam yang sahih sebab berasal dari Sang pencipta manusia, yaitu Allah Swt. Islam menempatkan negara sebagai penanggung jawab besar terbentuknya generasi unggul dan berkepribadian Islam. Oleh karenanya, negara wajib mengondisikan individu dan masyarakat agar memiliki mindset yang benar tentang hidup.

Setiap warga negara khilafah akan dibina untuk memahami jati dirinya sebagai hamba Allah sehingga selalu berusaha untuk taat dan menjauhi maksiat.  Ketika ditimpa masalah, mereka akan fokus menyelesaikan masalahnya sesuai dengan syariat Islam. 

Masalah yang muncul pada generasi pun sejatinya tak akan lahir secara sistemik sebagaimana dalam sistem kapitalisme, sebab masyarakat dalam khilafah akan hidup dalam suasana Islami. Mereka berlomba-lomba dalam mengerjakan amal saleh, bukan berlomba-lomba mengejar materi dan kesenangan duniawi. Mereka akan terbiasa melakukan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar, sehingga pemahaman Islam dalam diri umat, termasuk generasi akan semakin menancap kuat.

Terbentuknya generasi yang mempu menyelesaikan persoalan hidupnya juga didukung oleh sistem pendidikan Islam yang diterapkan khilafah. Tujuan pendidikan yang berasaskan akidah Islam adalah menciptakan generasi berkepribadian Islam yang menguasai tsaqofah Islam dan Iptek. Maka, wajar khilafah akan mampu melahirkan generasi tangguh bukan generasi yang rapuh dan mudah menyerah. Khilafah akan memfasilitasi generasinya untuk menuntut ilmu, selain memberikan pendidikan gratis dan berkualitas. Khilafah juga menyiapkan orang tua untuk memiliki kemampuan mendidik generasi dengan cara dan tujuan yang benar. 

Dengan demikian, hanya khilafah yang mampu mencetak generasi tangguh dan membangun peradaban gemilang dengan menerapkan Islam kaffah di seluruh penjuru dunia. Wallahu a’lam bis shawwab.




Oleh: Hamsia 
(Pegiat Opini)

Beban Berat Mahasiswa dalam Sistem Sekuler



Tinta Media - Bunuh diri merupakan jalan pintas yang dianggap bisa menyelesaikan masalah seseorang. Sistem sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan meniscayakan seseorang nekat mengakhiri hidup. Sistem ini meminggirkan aturan agama, sehingga manusia bebas berbuat sesukanya. Belum lagi beratnya beban kehidupan, rusaknya mental menjadi faktor tambahan.

Sebagaimana terjadi pada Aulia Risma Lestari, mahasiswa PPDS Anestesi Undip yang ditemukan meninggal dunia di kamar kosnya pada Senin (12/8) akibat perundungan (bullying) di kampus. Lalu, pada Oktober 2023, EN (24), mahasiswa semester 11 Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) Semarang ditemukan meninggal dunia. Ia diduga bunuh diri akibat terlilit utang pinjaman online (pinjol).

Masih di tahun yang sama, Mahasiswi Fakultas MIPA Universitas Negeri Semarang (UNNES) dengan inisial NJW (20), mengakhiri hidup dengan dengan terjun dari lantai empat Mall Paragon Semarang. Sementara pada 2022 lalu, Mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi USM berinisial ANI (19) nekat bunuh diri dengan cara melompat dari lantai 6B gedung parkir kampusnya akibat depresi, dan masih banyak lagi kasus serupa (Jawapos.com, 17/8).

Beban Berat

Sungguh, beratnya beban kehidupan makin terasa hari ini. Potret banyaknya mahasiswa bunuh diri menjadi fakta yang memilukan. Menurut Pakar Psikologi Unair, Dr. Nur Ainy Fardana, faktor mahasiswa bunuh diri adalah karena kesehatan mental, tekanan dan tuntutan yang tinggi dalam lingkup akademik dan keluarga, perasaan kesepian karena kurang dukungan keluarga, dan traumatis atau pelecehan. (Kompas.com, 21/11/23)

Kehidupan berat terasa dimulai dari krisis kesehatan mental. Mahasiswa sering mengalami depresi atau gangguan kecemasan. Kehidupan dijauhkan dari aturan Allah Swt. sehingga menghasilkan cara pandang kehidupan yang keliru. Kehidupan didasari dengan upaya untuk meraih tujuan materi sebanyak-banyaknya. Jika goals tidak tercapai, terkadang merasa ingin menyerah dan gagal menjalani kehidupan.

Selanjutnya, beban berat dirasakan oleh mahasiswa akibat mahalnya biaya kuliah dan kebutuhan hidup. Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa makin naik hari ini. 

Di satu sisi, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy justru mendukung mahasiswa membayar UKT dengan menggunakan pinjol. Bunga dan denda pinjol tak main-main, membengkak hingga membuat depresi. Alhasil, banyak ditemui orang yang nekat mengakhiri hidup karena gagal bayar pinjol.

Tuntutan berat juga dialami mahasiswa dari lingkungan akademik. Beban akademik yang banyak dan harus menghadapi senioritas memunculkan tekanan dalam kehidupan. Akibatnya, mahasiswa merasa tertekan dalam menjalani pendidikannya. Belum lagi bullying yang dapat merusak mental seseorang.

Lebih lanjut, beban berat mahasiswa akibat liberalisme, pelecehan seksual semakin tumbuh subur. Peluang perzinaan terbuka lebar dengan maraknya aurat diumbar. Pacaran, pornoaksi dan pornografi merajalela. Liberalisme meniscayakan kehidupan serba bebas. Saat zina telah terjadi, beban mental dirasakan sehingga memilih untuk bunuh diri.

Sesungguhnya, beratnya beban kehidupan di atas bukan hanya dialami oleh mahasiswa, tetapi seluruh manusia. Beban kehidupan akan lebih ringan jika ditopang oleh tiga pilar, yakni individu, masyarakat, dan negara. Ketiga pilar tersebut nihil perannya dalam sekularisme saat ini. Individu jauh dari aturan agama, masyarakat hilang fungsinya sebagai kontrol kehidupan, dan negara hilang perannya mengurus kehidupan rakyat.

Seringkali, solusi yang diberikan negara justru menimbulkan masalah baru. Misalnya, solusi UKT mahal seperti contoh di atas malah didukung dengan pinjol. Tak ada upaya penjagaan dan perbaikan oleh negara yang memisahkan aturan agama.

Kembali pada Islam

Islam adalah agama yang sempurna, bukan sekadar mengatur ranah ibadah saja, melainkan seluruh aspek kehidupan. Tiga pilar, yakni individu, masyarakat, dan negara akan menjalankan fungsi dan perannya dengan penerapan aturan Islam secara kafah (sempurna).

Individu misalnya, di dalam Islam akan dibina dengan akidah yang kuat. Melalui sistem pendidikan Islam, generasi dibentuk kecerdasannya, beriman, dan bertakwa. Sistem pendidikan Islam menjadikan akidah sebagai pondasi perbuatan, sehingga setiap perbuatan seseorang akan berdasarkan aturan dan perintah Allah Swt. 

Sementara, masyarakat berfungsi sebagai kontrol kehidupan. Masyarakat yang tersuasanakan Islam, akan melakukan amar makruf nahi mungkar terhadap pelaku maksiat. Saling mengingatkan ini merupakan perintah Allah Swt. dalam firman-Nya,

وَالْعَصْرِۙاِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ

اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْر

“Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling mengingatkan (sesamanya) dengan kebenaran dan saling mengingatkan (sesamanya) dengan penuh kesabaran.” (QS Al-Ashr: 1-3)

Terakhir adalah peran negara. Fungsi negara di dalam Islam adalah sebagai penanggung jawab kehidupan rakyat. 

Rasulullah saw. bersabda,

".... Kamu semuanya adalah penanggung jawab atas gembalaannya. Maka, pemimpin adalah penggembala dan dialah yang harus selalu bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR  Ahmad, al-Bukhâri, Muslim, Abû Dâwûd, dan at-Tirmîdzi dari Ibn Umar).

Hadits ini sebagai penjelas bahwa negara memiliki tanggung jawab penting kepada rakyat yang dipimpinnya. Islam mewajibkan negara menjamin kebutuhan pokok setiap individu. Selain itu, kebutuhan lain seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan juga merupakan tanggung jawab negara. Dengan hal ini, beban ekonomi rakyat tidaklah berat karena telah tersistem dengan baik sesuai Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Bukan hanya ekonomi, syariat Islam juga diterapkan negara dalam seluruh aspek kehidupan, mulai dari aspek politik, sosial, pergaulan, hukum, dll. Penerapan syariat Islam secara utuh akan menghantarkan manusia pada keberkahan hidup yang banyak. Wallahua'lam bisshawab.




Oleh: Ismawati 
(Aktivis Dakwah dari Banyuasin)

Senin, 26 Februari 2024

UIY: Umat Islam Tidak Punya Alasan untuk Ikut Sekuler



Tinta Media - Cendekiawan Muslim Ustadz Ismail Yusanto (UIY) mengatakan, umat Islam tidak punya alasan untuk ikut sekuler. 

“Sesungguhnya umat Islam tidak punya alasan sedikit pun baik secara teologis, historis maupun empiris untuk ikut sekuler,” ungkapnya di Focus To The Point: Dua Kunci Eksistensi Umat, melalui kanal Youtube UIY Official Jumat (23/2/2024). 

Ia beralasan, umat Islam tidak punya masalah dengan otentitas Al-Qur’an, tidak punya masalah dengan rezim yang zalim, tidak ada masalah dengan temuan sains. Bahkan banyak temuan saintek diinspirasi dari pemahaman terhadap Al-Qur’an. 

“Ini berbeda dengan orang-orang selain Islam, khususnya Barat. Mereka melihat kenyataan bahwa sumber agama mereka yaitu Bibel, itu ada masalah dari sisi otentitasnya,” bandingnya.  

Otentitas Bibel ini, lanjutnya, sudah dibincangkan berpuluh tahun. “Buku  The Five Gospels  berisi rangkuman dari sebuah riset yang dilakukan oleh 80 ahli Teologi Kristen yang meneliti otentitas Injil. Mereka mendapati kesimpulan bahwa 80 – 82 % itu tidak sampai kepada apa yang mereka katakan sebagai Yesus,” bebernya. 

Oleh karena itu, lanjutnya, mereka menjumpai persoalan kedua yaitu teologis. “Trinitas itu baru dirumuskan pada konsilinesea tahun 300-an Masehi, tiga abad setelah Yesus. Ini membuat problem karena tidak mudah memahami Trinitas,” ungkapnya. 

Di samping itu, UIY juga memaparkan, bahwa Barat mengalami  trauma religiious rezim, ketika penguasa bersekutu dengan kaum agamawan memaksakan doktrin teologis. 

“Karena otentitas Injil dipertanyakan maka kemudian bertabrakan dengan temuan sains teknologi. Puncaknya ketika Galileo Galilei dan Copernicus. Ketika itu gereja memaksakan geosentris sementara Copernicus dan Galileo mendapati hasil pengamatannya itu bukan geosentris tapi heliosentris. Jadi bukan bumi yang menjadi pusat peredaran planet-planet tapi matahari. Dan memang itu yang terbukti,” ulasnya. 

Di sinilah, ucap UIY, Barat lalu berkesimpulan bahwa agama tidak mungkin dihilangkan, sehingga agama ditetapkan untuk mengatur urusan agama, sementara politik atau negara itu urusan politik. 

“Ini yang kemudian memunculkan pandangan sekularisme. Ini tidak dialami oleh umat Islam sehingga tidak ada alasan umat Islam meninggalkan syariat Islam,” pungkasnya.[] Irianti  Aminatun

Minggu, 18 Februari 2024

Ekonomi Buruk Dampak dari Sistem Sekuler


Tinta Media - Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) menemukan adanya kenaikan harga pada komoditas gula konsumsi, beras serta cabai merah keriting dalam inspeksi mendadak (sidak) di pasar tradisional Cihapit Bandung dan Griya Pahlawan Bandung. Sidak ini dilakukan dalam rangka mengantisipasi adanya permainan harga dan penahanan pasokan oleh pelaku usaha tertentu serta stabilitas komoditas di Jawa Barat jelang bulan Ramadan. 

Di daerah Baleendah pun harga beras kian meningkat, bahkan yang sebelumnya harga Rp. 15.000 per kilo itu harga tertinggi sekarang harga itu menjadi harga terendah. 

Disistem sekarang ini membuat rakyat semakin menjerit tercekik oleh harga kebutuhan pokok yang semakin melambung, negara yang katanya subur dan  rempah-rempah yang melimpah tapi seakan negara tidak mampu mengelolanya sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan rakyatnya. 

Sangat berbeda dengan sistem Islam yang sangat memperhatikan kepentingan rakyatnya. Dalam Islam rakyat akan menjadi prioritas utama untuk dipenuhi kebutuhannya karena dalam sistem Islam semua diatur bukan atas dasar kepentingan pribadi saja tapi semuanya diatur oleh yang Maha mengatur yaitu Allah SWT melalui hukum Syara' yang tidak mungkin menzalimi umatnya. 

Sudah saatnya kita kembalikan lagi sistem Islam yang telah berjaya di muka bumi ini selama lebih dari 13 abad lamanya. Dengan cara berjamaah dengan kelompok yang benar-benar berjuang dalam berdakwah meninggikan kalimat Allah untuk mengembalikan Daulah Islam yang akan menerapkan semua hukum Allah di muka bumi ini. 

Dengan begitu rakyat akan kembali merasakan keamanan dan kenyamanan hidup di muka bumi ini karena akan di urus semua kebutuhan hidup mendasarnya sesuai dengan aturan Allah yang sudah barang tentu sesuai dengan fitrah dan memuaskan akal. 

Wallahu a'lam bish shawwab

Oleh: Nurul
Sahabat Tinta Media 

Selasa, 13 Februari 2024

Penyalahgunaan Kutipan Imam Ibnu Taimiyyah untuk Melegitimasi Pemilu Sistem Sekuler



Tanya:
Tinta Media - Assalamualaikum wr wb.
Afwan Ustadz saya Raihan alumni STEI Hamfara Yogyakarta dari Sulawesi. Izin bertanya Ustadz, Jumat kemarin waktu khutbah Jumat, khotib menyerukan kepada jamaah terkait wajib memilih pemimpin mengingat dalil tentang ketika 3 orang berada di tengah gurun pasir, maka salah satu di antaranya wajib diangkat menjadi pemimpin, jika tidak ada yang baik pilih yang sedikit mudaratnya, terus khotib mengutip terkait pernyataan ulama terdahulu yaitu, "lebih baik 60 tahun dipimpin pemimpin yang zalim dari pada 1 tahun tanpa kepemimpinan" Nah, setelah dari pernyataan itu khotib menyeruhkan bahwa kita haru memilih capres nanti. Ini dalam pandangan Islam yang sebenarnya gimana Ustadz? Apakah karena pernyataan dari ulama lebih baik 60 tahun dipimpin pemimpin yang zolim dari pada 1 tahun tanpa pemimpin, kita terpaksa memilih pemimpin yang kita tahu dia tidak akan menjalankan sistem Islam? (Raihan, Sulawesi). 

Jawab:
Wa 'alaikumus salam wr . wb. 

Pendapat khothib tersebut tidak benar jika beliau mengaitkan kutipan tersebut dengan pemilihan capres saat ini dalam sistem sekuler yang ada. Kutipan yang dimaksud adalah apa yang disebutnya sebagai "ucapan ulama terdahulu" yang bunyinya  : "Lebih baik 60 tahun dipimpin pemimpin yang zolim dari pada 1 tahun tanpa kepemimpinan." 

Peru diketahui bahwa kutipan tersebut memang benar adanya, tetapi yang dimaksud dengan "pemimpin yang zalim" adalah Khalifah (atau Imam) yang zalim, yaitu pemimpin dalam negara Khilafah, bukan pemimpin dalam sistem demokrasi yang sekuler saat ini. 

Kutipan aslinya berasal dari Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu' Al Fatawa yang teks Bahasa Arabnya berbunyi sebagai berikut : 

سِتُّوْنَ سَنَةً مِنْ إِمَامٍ جَائِرٍ أَصْلَحُ مِنْ لَيْلَةٍ وَاحِدَةٍ بِلاَ سُلْطَانٍ 

"Enam puluh tahun di bawah Imam (Khalifah) yang zalim, lebih baik daripada satu malam tanpa kepemimpinan/kekuasaan." (Ibnu Taimiyah, Majmu' Al Fatawa, Juz ke-28, hlm. 391). 

Perhatikan teks asli berbahasa Arab tersebut! Teks aslinya berbunyi : سِتُّوْنَ سَنَةً مِنْ إِمَامٍ جَائِرٍ seharusnya diartikan "enam puluh tahun di bawah seorang Imam, atau Khalifah yang zalim", tidak boleh sama sekali diartikan "enam puluh tahun di bawah seorang pemimpin yang zalim." Hal ini karena kata "Imam" (atau "Khalifah") merupakan kata yang bermakna khusus, sedangkan kata pemimpin ("amiir") merupakan kata yang lebih umum cakupannya.  Jadi ketika kalimat aslinya dalam Bahasa Arab diartikan "enam puluh tahun di bawah seorang pemimpin yang zalim", jelas ini adalah suatu penerjemahan yang manipulatif dan keliru.  

Ada perbedaan antara istilah "pemimpin" dengan "Imam". Perbedaannya, kata "pemimpin" (Bahasa Arabnya adalah _amiir_) adalah kata yang bermakna umum, mencakup setiap-tiap pemimpin dalam berbagai sistem pemerintahan. Jadi kata "pemimpin" bisa mencakup Khalifah atau Imam, sebagai kepala negara dari negara Khilafah, mencakup pula Presiden dalam sistem pemerintahan Republik dari Barat, mencakup pula Raja (King) dalam sistem pemerintahan kerajaan (monarchy), dan sebagainya. Adapun istilah "Imam" atau "Khalifah" adalah istilah khusus, bukan istilah umum, yang secara spesifik merupakan istilah untuk pemimpin tertinggi dalam negara Khilafah atau sistem pemerintahan Islam. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz II, hlm. 126).  

Perlu diketahui bahwa pemimpin dalam Islam, disebut dengan istilah Khalifah, Imam, atau Amirul Mukminin. Ketiga istilah ini merupakan sinonim (yaitu sama maknanya). Imam Nawawi mengatakan dalam kitabnya Raudhat Al-Thalibin

يَجُوْزُ أَنْ يُقَالَ لِلْإِمَامِ : اَلْخَلِيْفَةُ وَاْلإِمَامُ وَأَمِيْرُالْمُؤْمِنِيْنَ 

“Boleh Imam (pemimpin dalam Islam) itu disebut dengan istilah : Khalifah, atau Imam, atau Amirul Mukminin.” (Imam Nawawi, Raudhat Al-Thalibin, Juz X, hlm. 49). 

Secara lebih khusus, tugas pokok dan fungsi Imam (atau Khalifah) telah dijelaskan oleh para ulama, yaitu menerapkan Syariah Islam dalam kekuasaan. Imam Taqiyuddin An-Nabhani berkata : 

اَلْخَلِيْفَةُ هُوَ الَّذِيْ يَنُوْبُ عَنِ اْلأُمَّةِ فِي الْحُكْمِ وَالسُّلْطَانِ، وَفِيْ تَنْفِيْذِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ. 

“Khalifah (Imam) adalah orang yang mewakili umat Islam dalam pemerintahan dan kekuasaan, dan dalam pelaksanaan hukum-hukum Syariah Islam.” (Abdul Qadim Zallum, Nizham al-Hukmi fi Al-Islam, hlm. 49). 

Dengan demikian jelaslah, bahwa kutipan yang ditanyakan memang ada, tetapi dengan penerjemahan yang salah atau manipulatif, akhirnya diterapkan dalam konteks yang salah, yaitu sistem sekuler saat ini. Seharusnya terjemahan yang benar adalah "enam puluh tahun di bawah Imam (Khalifah) yang zalim" bukan diterjemahkan secara salah menjadi kalimat umum "enam puluh tahun di bawah seorang pemimpin yang zolim". Nah penerjemahan yang salah inilah, yang akhirnya membawa kepada kesimpulan yang sesat dan menyesatkan, bahwa yang dimaksud dengan "pemimpin" adalah presiden, dalam konteks sekuler sekarang ini. Padahal yang dimaksud dengan kalimat "imam yang zalim" (dalam teks Bahasa Arabnya yang asli), adalah Imam atau Khalifah sebagai pemimpin negara Khilafah, bukan presiden dalam sistem republik sekuler yang ada saat ini. Wallahu a'lam

Yogyakarta, 12 Februari 2024 

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

www.shiddiqaljawi.com
www.fissilmi-kaffah.com



Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pakar Fiqih Muamalah

Sabtu, 23 Desember 2023

WATAK PEMIMPIN SEKULER : DEMI MEMUJA MANUSIA, BERANI MENGHINA AGAMA




Tinta Media - Disinyalir seorang pejabat negara atau tepatnya ketua sebuah partai telah melakukan pelecehan atas ajaran Islam hanya demi pemujaannya kepada manusia. Inilah watak asli demokrasi sekuler yang juga akan melahirkan sikap benci kepada agama, khususnya Islam. Sebab demokrasi sekuler adalah sistem politik anti agama. Sekularisme adalah paham urusan dunia dipisahkan dari agama. 

Paham sekularisme agama, sebagaimana juga paham pluralisme dan  liberalisme agama telah dinyatakan haram oleh fatwa MUI tahun 2005 dengan dasar dalil naqli : “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali Imran [3]: 85). “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam...”. (QS. Ali Imran [3]: 19). 

Dalil lainnya adalah : “Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS. al-Kafirun [109] : 6). “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. al-Ahzab [33]: 36). 

Sekularisme itu intinya anti Islam, makanya memuji kemaksiatan dan cenderung melecehkan ajaran Islam, dengan berbagai bentuk dan ekspresinya. Maksiat merupakan lawan dari taat, istiqomah, dan takwa. Perbuatan ini dapat menjerumuskan dan membahayakan manusia, baik di dunia maupun akhirat. Lantas, apa itu maksiat ?.  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maksiat diartikan sebagai perbuatan yang melanggar perintah Allah SWT. Jika seorang hamba melakukan perbuatan bermaksiat, artinya dia menentang Allah SWT. Melecehkan ajaran Islam adalah bentuk kemaksiatan dan karenanya dimurkai oleh Allah. 

Orang yang melakukan maksiat ialah yang berbuat sia-sia dan akan mendapatkan hukuman atas perbuatannya itu. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT yang Artinya : (Aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia akan mendapat (azab) neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (QS. Al Jinn: 23). 

Dalam kitab berjudul Fawaidul Fawaid karya Ibnul Qayyim disebutkan bahwa pokok-pokok maksiat, baik yang kecil maupun yang besar ada tiga perkara, yakni bergantungnya hati kepada selain Allah, mengikuti kekuatan marah, dan menaati kekuatan syahwat. Perdukunan termasuk perkara yang pertama dari kemaksiatan. Sementara nikah beda agama termasuk kemaksiatan jenis ketiga. 

Sementara negeri ini konon katanya adalah negara hukum, setiap tindakan warga negara terikat dengan hukum, termasuk perbuatan yang diduga menghina ajaran agama. Hukum penistaan agama merupakan hukum yang diciptakan untuk mereka yang melakukan penistaan terhadap suatu agama tertentu. Penistaan terhadap agama merupakan tindakan yang tidak bermoral dan menyimpang. 

Penista agama memiliki sifat-sifat yang bertentangan dengan norma-norma kehidupan. Hukum penistaan agama sangat perlu dibuat, demi menjaga kenyamanan para penganut agama. Hukum penistaan agama akan mengurangi kebencian terhadap suatu agama tertentu. 

Hukum Penistaan Agama di Indonesia tertera pada Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi :  pertama, Setiap orang yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun. Kedua, Dalam hal penghinaan dilakukan secara tertulis atau melalui media elektronik dengan ancaman pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun. 

Syarat menjadi tersangka dalam pasal 156a KUHP : pertama, Pelaku dengan sengaja mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Kedua, Perbuatan dilakukan di muka umum atau melalui media tertulis atau elektronik. Jadi, seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan penistaan agama di Indonesia dapat dikenakan hukum pidana penjara selama-lamanya 5 tahun jika perbuatan dilakukan di muka umum atau selama-lamanya 6 tahun jika penghinaan dilakukan secara tertulis atau melalui media elektronik. 

Beberapa kasus yang dinilai sebagai penistaan agama di antaranya adalah : Pertama, Kasus Ahok: Pada tahun 2016, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa dikenal sebagai Ahok, dianggap telah melakukan penistaan agama dalam pidatonya di Kepulauan Seribu. Ahok dianggap telah merendahkan surat Al-Maidah ayat 51 dalam Al-Quran. 

Kedua, Kasus Permadi Arya alias Abu Janda: Pada tahun 2021, aktivis media sosial Permadi Arya atau yang dikenal sebagai Abu Janda dilaporkan atas dugaan penistaan agama dalam cuitannya yang dinilai merendahkan agama Islam. Ketiga, Kasus Sukmawati Soekarnoputri: Pada tahun 2018, Sukmawati Soekarnoputri, dilaporkan atas dugaan penistaan agama dalam puisinya yang dianggap merendahkan agama Islam. 

Sebab watak demokrasi sekuler itu anti agama, maka kecenderungan para pemuja paham ini juga akan membenci agama dengan berbagai motifnya, baik untuk sekedar untuk popularitas maupun untuk kepentingan pragmatis. Maka, jika negeri ini masih terus menerapkan demokrasi sekuler, maka selama itu pula akan marah pelaku pendengki agama dan melecehkannya demi kepentingan duniawi mereka. 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 20/12/23 : 11.02 WIB)

Oleh : Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

Sabtu, 28 Oktober 2023

Kegagalan Sistem Sekuler Kapitalisme dalam Menjaga Kewarasan Keluarga

Tinta Media - Bukan fatamorgana, kasus kriminalitas, terutama pembunuhan terus-menerus terkuak. Setiap detik selalu ada saja berita kematian akibat pembunuhan. Korban pembunuhan bukan hanya orang dewasa, melainkan usia remaja, anak-anak, bahkan bayi baru lahir maupun janin pun menjadi korban pembunuhan. 

Kini, nyawa seolah-olah tidak lagi dianggap berharga. Jika ada masalah kecil ataupun berat, terkadang solusinya adalah putus asa, bunuh diri, dan membunuh. 

Coba kita ingat kembali berita yang baru-baru ini terkuak. Seorang ibu yang melahirkan dan membesarkan anaknya, tetapi malah tega membunuh anaknya sendiri. Astaghfirullah, sungguh miris, nasib malang seorang anak berusia dini hidupnya harus berakhir dengan kekejaman yang ia terima. 

Ibu mana yang tega melakukan hal itu kepada anaknya kecuali yang benar-benar mengalami gangguan kewarasannya. 
Padahal dalam Islam, jelas-jelas Allah melarang untuk membunuh seseorang tanpa sebab yang diperbolehkan secara syar'i, apalagi membunuh anak yang tidak berdosa. 

Bahkan, Allah juga menjelaskan dalam Al-Qur'an, jangan membunuh anak walaupun dikarenakan kekurangan ekonomi.

"Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar." (QS. Al Isra' 17: 31) 

Memang benar, saat ini semua diuji dengan  permasalahan-permasalahan yang berat dan tak mudah untuk menghadapinya. Namun, bunuh-membunuh bukanlah solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah. 
Hal ini terjadi akibat penerapan dari sistem sekuler kapitalisme di negeri ini. Artinya, sistem ini telah gagal dalam menjaga kewarasan umat, sehingga yang terbentuk keluarga-keluarga yang sakit, jauh dari kata waras atau harmonis. 

Di dalam sistem sekuler kapitalisme ini, semua orang sudah tidak peduli lagi tentang halal-haram, bahkan tidak takut berbuat dosa. Semua orang bebas melakukan apa pun tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu akibatnya. 

Berbeda halnya ketika kita hidup dalam naungan Islam. Pemerintahan Islam telah berdaulat menaungi 2/3 dunia lebih 13 abad lamanya. Rakyat yang berada di dalam naungan Islam, hidup sejahtera tanpa masalah-masalah yang ekstrem, seperti yang sering terjadi saat ini. 

Jangankan negara, bahkan setiap individu umat pun sangat diperhatikan, apalagi kondisi keluarga. Sehingga terbentuklah keluarga sakinah mawaddah warahmah akibat diterapkannya sistem peraturan Islam di kehidupan. Masyaallah, tidakkah kita merindukan kehidupan seperti itu? 

Maka dari itu, bersegeralah mencampakkan sistem sekuler kapitalis saat ini. Karena telah tampak kegagalan-kegagalan yang diperoleh dari sistem sekuler kapitalis saat ini yang benar-benar menyengsarakan kehidupan ummat. 

Bangkitlah bersama pejuang-pejuang yang menegakkan kehidupan Islam agar terbentuk keluarga yang benar-benar sakinah mawaddah warahmah dalam bingkai Daulah Islamiyah. Wallahu a'lam bisshsowwab.

Oleh: Marsya Hafidzah Z. (Pelajar)

Selasa, 24 Oktober 2023

Potret Buram Problematika Keluarga dalam Sistem Kapitalisme Sekuler

Tinta Media - Di tengah krisis multidimensi yang terjadi di negeri ini, ada kejadian yang menambah ironi, yaitu kasus pembunuhan yang dilakukan ibu kandung kepada anaknya yang berusia 13 tahun di Kabupaten Subang. Korban ditemukan dalam kondisi berlumuran darah dengan tangan terikat ke belakang. 
Korban pembunuhan tersebut ternyata berasal dari keluarga broken home akibat kasus perceraian kedua orang tuanya. Hal ini menyebabkan korban lebih banyak tinggal di jalanan. Ia pun putus sekolah dan untuk makan harus meminta-minta hingga mencuri (Kompas.com, 8/10/2023).

Pembunuhan yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya bukanlah kasus yang pertama kali terjadi. Lalu, apakah yang menjadi akar masalah dari problematika ini? Apakah hanya karena emosi, seorang ibu bisa kehilangan nurani?

Faktor yang mendorong seseorang melakukan tindak kekerasan bisa dipicu oleh emosi yang kurang terkontrol. Hal ini bisa saja menyebabkan seseorang menjadi gelap mata, bahkan bisa melakukan tindakan kejahatan yang mengancam nyawa. Namun, tentu hal ini hanyalah efek dari problem dasar di dalam keluarga yang memang bersifat multifaktor. Hal ini bahkan tidak terlepas dari problem sistemik akibat penerapan ideologi kapitalisme sekuler saat ini. Lalu, bagaimana relevansinya?

Keluarga yang miskin visi akan melahirkan generasi yang bermental rapuh. Jika berbicara tentang institusi keluarga, maka erat kaitannya dengan proses dalam memilih pasangan. Jika saat memilih pasangan tidak memiliki visi dan misi yang jelas, suami dan istri tidak memahami hak dan kewajibannya, hingga kurangnya pemahaman agama. Maka, wajar jika saat berumah tangga tidak memiliki panduan yang jelas.

Kita bisa melihat bagaimana potret buram keluarga dalam sistem kapitalisme sekuler saat ini yang tidak menjadikan syariat Islam sebagai panduan. Alhasil, standar dalam menilai baik dan buruk pun disandarkan pada sudut pandang akal manusia. 

Para suami kehilangan fungsi utamanya sebagai pemimpin dalam rumah tangga (qawwam). 
Seorang ibu rela menjadi tulang punggung keluarga karena dorongan ekonomi agar bisa bertahan hidup. Suami yang di-PHK, terbatasnya berbagai lapangan pekerjaan bagi laki-laki, hingga masalah disorientasi peran suami istri menjadi faktor pencetus banyak ibu yang mengambil alih tugas suami untuk mencari nafkah.

Selain itu, kapitalisme telah mendorong para ibu yang notabene adalah seorang ummun wa rabatul bait beralih fungsi menjadi mesin penggerak roda ekonomi. Dengan dalih Pemberdayaan Ekonomi Perempuan (PEP), banyak para ibu yang akhirnya harus meninggalkan rumah untuk menjadi tulang punggung keluarga.

Kelelahan secara fisik dari seorang ibu diperparah dengan kelelahan secara emosional akibat kurangnya perhatian dan kasih sayang yang diberikan suami, tidak adanya pendidikan di dalam keluarga, hingga tidak adanya support sistem dari lingkungan sekitar. 

Maka, saat ini kita melihat bahwa isu mental health di tengah keluarga semakin marak.
Lalu, siapa yang mengambil alih tugas untuk mendidik anak-anaknya? 

Kita bisa melihat bahwa anak-anak saat ini banyak yang menjadikan sumber referensi mereka dari internet dan media sosial. Mereka mencari gambaran sosok ideal yang bisa menjadi teladan bukan kepada sosok yang ada di rumah, yaitu ayah dan ibunya. Namun, mereka mencari idola di dunia maya sebagai sarana untuk memenuhi tangki cinta yang tidak mereka dapatkan di rumah.

Keluarga yang notabene sebagai tempat yang seharusnya membuat anak merasa aman, kini menjadi tempat yang bisa jadi menjadi ancaman. Kasus kekerasan seksual pada anak, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan sebagainya banyak terjadi di lingkungan keluarga. Bahkan, tak jarang pelakunya adalah keluarga terdekat korban. Sungguh ironis, potret buram keluarga di dalam sistem kapitalis sekuler.

Berbagai undang-undang yang dibuat nyatanya hanya menjadi sebuah solusi yang tambal sulam. Sebut saja UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Nyatanya, produk hukum buatan manusia tersebut, tidak bisa menjadi solusi tuntas. Bahkan, menimbulkan permasalahan baru di tengah masyarakat.
.
Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Di dalam sistem Islam, keluarga bukanlah institusi yang terpisah dari negara, Sebab, fungsi negara adalah untuk mengurusi (riayah) secara penuh urusan rakyat. Tentu termasuk di dalamya adalah memastikan setiap keluarga bisa diatur oleh aturan Islam.

Negara akan memfasilitasi laki-laki untuk bisa memenuhi kewajibannya dalam mencari nafkah dengan menyediakan banyak lapangan pekerjaan. Dengan demikian, seorang istri bisa fokus untuk mendidik anak-anak di rumah. Negara juga memfasilitasi para perempuan untuk bisa berkarya dan berkontribusi terhadap umat tanpa harus menggerus fitrahnya sebagai seorang ummun warabatul bait (ibu dan pengatur urusan rumah tangga).

Sistem Islam bahkan memiliki mekanisme sampai kepada tataran praktis untuk memastikan bahwa tidak ada anak-anak yang terlantar karena orang tua yang bercerai, meninggal, dan sebagainya. Syariat Islam telah mengatur masalah jalur pengasuhan dan nafkah secara terperinci. 

Sistem pendidikan Islam dirancang untuk menghasilkan generasi yang memiliki kepribadian Islam. Kurikulum yang didesain dengan basis akidah Islam akan membentuk generasi yang visioner dan memiliki imunitas dari gempuran ideologi asing. 

Oleh karena itu, untuk menyelesaikan problematika keluarga secara tuntas, maka diperlukan penerapan Islam secara kafah. Sebab, hanya dengan institusi negaralah tindakan preventif dan kuratif bisa dilaksanakan secara berdampingan untuk menyelesaikan masalah keluarga hingga ke akarnya. Keluarga yang lahir di dalam sistem Islam akan menjadikan akidah Islam sebagai pondasi dan bervisi surgawi.

Oleh: Annisa Fauziah, S.Si.
Aktivis Muslimah
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab