Jumat, 15 November 2024
Selasa, 16 April 2024
Dua Faktor Penyebab Runtuhnya Kekhilafahan Turki Ustmani
Tinta Media - Influencer Aab El Karimi mengatakan bahwa keruntuhan Kekhilafahan Turki Utsmani disebabkan oleh faktor eksternal dan juga internal.
"Keruntuhan Utsmani yang disebabkan faktor eksternal
dan juga internal," ujarnya dalam video The Fall Of The Khilafah di kanal
Youtube Justice Monitor, Ahad (14/4/2024).
Penyebab faktor internal, menurutnya, ada hutang yang
membesar, kesulitan ekonomi, juga pemerintahan yang otoriter dan tidak kapabel
yang menyebabkan Sultan diasingkan. "Lalu yang memegang kendali penuh roda
pemerintahan adalah kelompok Turki muda," tuturnya.
"Kelompok Turki Muda ini di dalam dunia Islam yang
besar itu membawa semangat keturkian (Kebangsaan Turki) bukan semangat
keislaman," ungkapnya.
Dan kelompok Turki muda pula, ujarnya, yang kemudian membawa
Turki masuk ke Perang Dunia I (PD I) bersekutu dengan Jerman melawan blok
Inggris, Prancis dan juga Rusia.
Nah, karena semangat keturkian Kelompok Turki Muda,
bebernya, Utsmani yang pada awalnya menjadi Ibu dari dunia Islam dan
bahkan menjadi Khadimul Haramain (penjaga dua masjid suci) tiba-tiba menjadi
tidak disenangi oleh negeri-negeri Arab.
"Amarah warga Arab ini memunculkan Pan Arabisme,"
tukasnya.
Aab menguraikan bahwa gerakan perjuangan kearaban ini
dimanfaatkan, kemudian disulut untuk terus membesar. "Bahkan didanai oleh
siapa lagi kalau bukan Inggris, yang lebih menjadi Ironi pada sekitaran 1914
sampai 1917," imbuhnya.
Agen Inggris
Menurut Aab, kemunculan Lawrence of Arabia, seorang agen
Inggris berhasil membuat gempar dunia Arab, dia berhasil mengkonsolidasi
penguasa lokal Mesir, Arab Saudi, Suriah untuk memberontak pada Utsmani.
"Ia jugalah yang merekomendasikan Inggris untuk
menyerang Gaza dan wilayah sekitarnya, yang beberapa waktu kemudian muncul
peristiwa Deklarasi Balfour yang membuat Yahudi membentuk Israel hari
ini," cetusnya.
Lantas, ia menyebutkan peristiwa-peristiwa besar inilah yang
cukup memilukan keterpecahan dunia Islam dari Khilafah menyebabkan agama dengan
penganutnya yang menyentuh 2 miliar hari ini ibarat buih besar namun tidak punya
kekuatan.
"Sungguh memilukan," pungkasnya.
"Dulu itu ternyata negeri-negeri kaum Muslimin itu
berada dalam satu naungan yang namanya khilafah," ujar Aab saat
mereview buku yang berjudul The Fall Of The Khilafah.
Ia menuturkan buku itu ditulis oleh Eugene Rogen, seorang
Profesor dari Oxford, dan di buku itu banyak mengcapture peristiwa dahsyat di
Perang Dunia Pertama, sebuah peristiwa yang mengubah selamanya wajah Timur
Tengah dan meruntuhkan Khilafah Utsmaniyah.[] Muhammad Nur
Senin, 01 April 2024
Kisah Sejarah Berbuah Gelisah
Tinta Media - Pada saat itu, para utusan kabilah Abs, Zubyan, Banu Kinanah, Ghatfan dan Fazarah menuju ke rumah orang-orang terkemuka dan menyampaikan kepada Khalifah Abu Bakar bahwa mereka akan menjalankan shalat tetapi tidak akan membayar zakat. Sehingga sang Khalifah mengumpulkan beberapa sahabat dan dengan tegas, Abu Bakar menyatakan pada Umar, “Demi Allah, aku akan memerangi mereka yang membedakan antara kewajiban shalat dengan zakat, orang yang keberatan menunaikan zakat kepadaku, yang dulu mereka lakukan kepada Rasulullah Sallallahu 'alaihi wassalam, akan aku perangi."
Umar khawatir bahwa memerangi mereka akan membahayakan kaum
muslimin. "Bagaimana kita akan memerangi orang yang Rasulullah SAW.
menyatakan 'Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka
berkata: Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya. Barang siapa
telah berkata demikian, maka darah dan hartanya terjamin, kecuali dengan
alasan, dan masalahnya kembali kepada Allah,” ujar Umar.
Khalifah Abu Bakar langsung menjawab, "Demi Allah, aku
akan memerangi siapa pun yang memisahkan antara sholat dengan zakat ”. Dalam
hal ini orang yang menolak membayar zakat berarti mereka tidak mau tunduk pada
aturan Islam secara total. Meskipun mereka telah bersyahadat, berpuasa di bulan
Ramadhan, mematuhi seluruh aturan Islam yang diterapkan oleh negara, kecuali
satu perkara, yakni zakat. Kondisi ini membuat mereka diperangi karena dianggap
telah murtad, menolak satu hukum syariat Islam berarti sama dengan menolak
seluruh isi Al-Qur’an.
Pada akhirnya Umar setuju dengan sikap tegas Abu Bakar
kemudian berkata: "Demi Allah, tidak ada lain yang harus kukatakan, semoga
Allah melapangkan dada Abu Bakar dalam berperang (memerangi mereka). Aku
mengetahui dia benar."
Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa ketika seseorang sudah
bersyahadat, berarti dia telah siap, memasrahkan diri sepenuhnya untuk diatur
oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Dia harus rela untuk hidup berdasarkan seluruh
aturan Allah Subhanahu Wata’ala, tanpa kecuali. Ketika menolak satu aturan,
zakat saja sudah dianggap murtad, bahkan langsung diperangi. Lalu, bagaimana
dengan menolak sebagian besar aturan yang telah diturunkan oleh Allah Subhanahu
Wata’ala? Bukankah itu berarti sama, murtad juga, bahkan lebih parah.
Padahal, saat ini kita hidup dalam sebuah sistem
pemerintahan yang menolak sebagian besar aturan Allah. Tidakkah kita gelisah,
dengan status keislaman kita? Kalau kita hidup di masa Khalifah Abu Bakar,
tentu kita akan menjadi sasaran utama untuk diperangi karena penolakan terhadap
syariat tersebut. Karena kita hidup di masa kekhilafahan sudah diruntuhkan,
kita tidak merasa penolakan terhadap aturan Allah sebagai suatu yang
membahayakan nasib kita kelak, lantaran tidak ada yang dating memerangi kita.
Di dalam hati pun masih optimis masih termasuk hamba yang beriman, bahkan
dengan lantang terang-terangan menolak setiap upaya penerapan Islam secara
keseluruhan.
Memang benar, saat ini tidak ada seorang khalifah yang
sedang berkuasa, sehingga tidak ada yang menyatakan kita sebagai orang yang
murtad, walaupun kenyataannya kita telah menolak syariat. Tetapi, bukankah
aturan yang telah diturunkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala itu tetap berlaku
hingga akhir zaman? Suatu saat kita pasti akan mati dan kelak pasti akan
dimintai pertanggungjawaban atas penerapan semua aturan Allah Subhanahu
Wata’ala di bumi ini. Bila ternyata sebagian besar aturan tersebut diabaikan,
bukankah ini berarti rakyat digiring untuk murtad bersama, didorong untuk masuk
neraka oleh sistem yang ada. Tidakkah ada rasa gelisah, sedangkan akhirat akan
kita jalani selamanya.
Tidak ada penghilang kegelisahan itu kecuali ada upaya
serius untuk menerapkan seluruh hukum Allah itu kembali. Penerapan yang kaffah,
menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan, baik dalam masalah aqidah, ibadah,
akhlaq, makanan, minuman, maupun pakaian. Juga penerapan syariat Islam dalam
seluruh sistem kehidupan, baik ideologi, politik, ekonomi, sosial
kemasyarakatan, hukum, pendidikan, budaya, maupun sistem pemerintahan. Tidak
ada contoh terbaik dalam melangkah menuju ke sana kecuali kembali meneladani
Rasulullah SAW dalam setiap aktivitas dakwah. Bila upaya ini dilakukan dengan
kesungguhan, semoga gelisah itu akan sirna berganti dengan harapan akan
pertolongan dari-Nya.
Oleh: Eko Rahmad P (Aktivis Dakwah)
Minggu, 18 Februari 2024
Membangun Izzah dengan Melihat Sejarah
Kamis, 08 Februari 2024
Menulislah untuk Mengabadikan Sejarah Perjuangan Kebenaran Islam
Kamis, 18 Januari 2024
Palestina Yes, Rohingya No?
Rabu, 13 Desember 2023
Kesultanan Arakan
Sepuluh Mitos tentang Isr4hell, Buku yang Harus Dibaca di Seluruh Dunia
Kronologis Sejarah Penderitaan Muslim Rohingya
Senin, 05 Juni 2023
KH Yasin Muthohar Jelaskan Tujuan Perang Mu’tah
Sabtu, 27 Mei 2023
Al-Karaji, Ilmuwan Muslim Bidang Hidrologi
Ketujuh, atau bagian akhir merupakan pengamalan dari semua bab, pada bab ini al-karaji memberikan beberapa nasihat praktis kepada sang menteri yang mendukung penelitian ini. "Tidak salah al-karaji pada bagian akhir menjelaskan tentang bagaimana tata cara praktis mengatur pengelolaan air bawah tanah, agar pada saat itu bisa dijalankan oleh negara," ujarnya.
Penguasa seperti ini, kata narator, hanya bisa ditemukan dalam Islam bernama khilafah bukan dalam sistem kapitalis," pungkasnya.[] Pakas Abu Raghib
Sabtu, 29 April 2023
Nicko Pandawa: Hubungan Khilafah dan Nusantara Sangat Erat!
Minggu, 23 April 2023
Khilafah Punya Andil Besar untuk Dakwah Islam di Tanah Jawi
Kamis, 02 Februari 2023
MESTINYA FIR’AUN MUHASABAH DIRI
Dokumentasi sejarah berupa kisah-kisah para Nabi dan para musuhnya banyak yang diabadikan oleh Allah dalam Al Qur’an. Salah satu kisah yang sangat terkenal adalah kisah dakwah Nabi Musa kepada penguasa zalim yang bernama fir’aun. Fir’aun adalah sosok pemimpin yang oleh Allah disebut sebagai thaghut yang maknanya melampaun batas.
Tentu saja yang dimaksud batas adalah aturan Allah. Maknanya, fir’aun telah terlalu jauh melanggar aturan-aturan Allah sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi Musa. Bahkan Allah mengawetkan jasad fir’aun agar menjadi pelajaran dan petunjuk bagi manusia di masa depan, terutama para pemimpin.
Perhatikan firman Allah : Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut. Mereka pun diikuti oleh Fir’aun dan tentaranya, karena mereka hendak menganiaya dan menindas (Bani Israil). Ketika Fir’aun telah hampir tenggelam, ia berkata: saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang disembah oleh Bani Israil dan saya termasuk orang yang berserah diri (kepada-Nya). (Allah menyambut ucapan Fir'aun ini dengan berfirman) Apakah kamu (baru kamu percaya) padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Hari ini Kami selamatkan badanmu, supaya kamu menjadi pelajaran bagi (generasi) yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami (QS Yunus : 90-92)
Pakar tafsir Indonesia, Prof Quraish Shihab, dalam bukunya berjudul Mukjizat Alquran menjelaskan, kalimat dalam ayat di atas yang perlu digarisbawahi adalah: “Hari ini Kami selamatkan badanmu, agar engkau menjadi pelajaran bagi generasi yang datang sesudahmu,”.
Ada yang menarik dari ayat di atas bahwa Fir’aun sempat berucap menjelang kebinasaannya menerima sanksi dari Allah : saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang disembah oleh Bani Israil dan saya termasuk orang yang berserah diri (kepada-Nya).
Perkataan Fir’aun ini mestinya diucapkan sejak menerima dakwah Islam dari Nabi Musa. Sebab Nabi Musa telah sejak awal memberikan peringatan bahwa apa yang dia lakukan telah melampaui batas yang akan mendatangkan murka dari Allah. Alih-alih muhasabah diri, menerima dan mengakui kesalahannya, Fir’aun justru bertambah bringas dan zalim dengan menyerang Nabi Musa dan jamaahnya. Bahkan Fir’aun tidak segan-segan menghina, menista dan merendahkan Nabi Musa.
Allah menyambut ucapan Fir'aun ini dengan berfirman : Apakah kamu (baru kamu percaya) padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.
Temuan-temuan dari para arkeolog modern mengkonfirmasi tentang adanya kisah fir’aun yang diceritakan oleh Al-Qur’an. Maurice Bucaille seorang egyptologis mempublikasikan bukunya yang berjudul “The Bible, The Qur’an and Science”.
Dalam bukunya itu ia mengatakan bahwa tidak ada pernyataan dalam al-Qur’an yang bertentangan dengan fakta ilmiah. Kesimpulan Maurice Bucaille tersebut ia buat setelah ia melakukan kajian terhadap mummy Ramesses II yang diperkirakan hidup pada zaman Nabi Musa. Ia menemukan ada sisa garam pada mummy tersebut.
Mummy yang ada di Mesir baru ditemukan sekitar tahun 1898 M. Sementara cerita tentang fir’aun telah diketahui oleh muslim sebagaimana diinformasikan al-Qur’an jauh sebelum itu. Hal inilah yang membuat Maurice Bucaille terheran-heran.
Hasil temuan arkeologi tentang peradaban Mesir kuno termasuk Pharaoh memang sangat menarik. Telah banyak publikasi ilmiah dan film fiksi tentang hal itu. Selaku orang yang beriman, kita patut mengambil pelajaran berharga dari kisah fir’aun ini.
Penggambaran al-Qur’an terhadap Fir’aun ini adalah “manusia yang paling sombong”. Kesombongan terbesar fir’aun adalah ia mengaku dirinya sebagai tuhan. Lalu akibat kesombongannya tersebut, Allah menghukum fir’aun bersama bala tentaranya. Mereka ditenggelamkan di laut.
Kisah Fir’aun ini dapat dilihat pada Surat al-Qashas: 38-42). Dosa besar lain dari fir’aun adalah menindas umat Nabi Musa. Ia melakukan penganiayaan dan termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Selain sombong dengan kekuasaan, fir’aun juga berbuat zolim kepada rakyat kecil. Ada pelajaran penting, bahwa sejarah itu berulang, artinya siapapun dan dimanapun orang atau penguasa yang sombong dan zolim, maka akan terjungkal, cepat atau lambat, sebagaimana fir’aun.
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman:18)
Tak butuh lama bagi Allah untuk menegur kesombongan manusia. Meskipun mereka mengatakan, tidak ada kekuatan yang dapat menghentikannya. Namun, Allah telah membuktikan kekuasaan dan kekuataannya melalui sebuah wabah penyakit yang mematikan.
Kekuasaan memang sering kali menjerat manusia kepada kesombongan dan kecongkakan. Mestinya kisah terjungkalnya fir’aun dan namrud cukup menjadi pelajaran, bahwa sekuat apapun kekuasaan manusia yang sombong dan zolim, maka hanya akan berakhir kepada kehancuran dan kehinaan.
Jika kematian telah mengancam setiap saat, maka apalah arti harta dan tahta yang selama ini dipuja-puja. Untuk para penguasa, kembalilah kepada Allah dan RasulNya. Merunduklah untuk tunduk kepada syariah Allah. Jangan pernah sombong dan congkak menentang hukum dan aturan Allah dan RasulNya, jika tidak ingin bernasib sama seperti fir’aun dan namrud. Maka, semestinya, fir’aun bermuhasabah diri saat didakwahi oleh Nabi Musa, jangan malah tambah sombong.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan,19/01/23 : 10.44 WIB)
Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa
MESTINYA FIR’AUN MUHASABAH DIRI
Dokumentasi sejarah berupa kisah-kisah para Nabi dan para musuhnya banyak yang diabadikan oleh Allah dalam Al Qur’an. Salah satu kisah yang sangat terkenal adalah kisah dakwah Nabi Musa kepada penguasa zalim yang bernama fir’aun. Fir’aun adalah sosok pemimpin yang oleh Allah disebut sebagai thaghut yang maknanya melampaun batas.
Tentu saja yang dimaksud batas adalah aturan Allah. Maknanya, fir’aun telah terlalu jauh melanggar aturan-aturan Allah sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi Musa. Bahkan Allah mengawetkan jasad fir’aun agar menjadi pelajaran dan petunjuk bagi manusia di masa depan, terutama para pemimpin.
Perhatikan firman Allah : Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut. Mereka pun diikuti oleh Fir’aun dan tentaranya, karena mereka hendak menganiaya dan menindas (Bani Israil). Ketika Fir’aun telah hampir tenggelam, ia berkata: saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang disembah oleh Bani Israil dan saya termasuk orang yang berserah diri (kepada-Nya). (Allah menyambut ucapan Fir'aun ini dengan berfirman) Apakah kamu (baru kamu percaya) padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Hari ini Kami selamatkan badanmu, supaya kamu menjadi pelajaran bagi (generasi) yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami (QS Yunus : 90-92)
Pakar tafsir Indonesia, Prof Quraish Shihab, dalam bukunya berjudul Mukjizat Alquran menjelaskan, kalimat dalam ayat di atas yang perlu digarisbawahi adalah: “Hari ini Kami selamatkan badanmu, agar engkau menjadi pelajaran bagi generasi yang datang sesudahmu,”.
Ada yang menarik dari ayat di atas bahwa Fir’aun sempat berucap menjelang kebinasaannya menerima sanksi dari Allah : saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang disembah oleh Bani Israil dan saya termasuk orang yang berserah diri (kepada-Nya).
Perkataan Fir’aun ini mestinya diucapkan sejak menerima dakwah Islam dari Nabi Musa. Sebab Nabi Musa telah sejak awal memberikan peringatan bahwa apa yang dia lakukan telah melampaui batas yang akan mendatangkan murka dari Allah. Alih-alih muhasabah diri, menerima dan mengakui kesalahannya, Fir’aun justru bertambah bringas dan zalim dengan menyerang Nabi Musa dan jamaahnya. Bahkan Fir’aun tidak segan-segan menghina, menista dan merendahkan Nabi Musa.
Allah menyambut ucapan Fir'aun ini dengan berfirman : Apakah kamu (baru kamu percaya) padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.
Temuan-temuan dari para arkeolog modern mengkonfirmasi tentang adanya kisah fir’aun yang diceritakan oleh Al-Qur’an. Maurice Bucaille seorang egyptologis mempublikasikan bukunya yang berjudul “The Bible, The Qur’an and Science”.
Dalam bukunya itu ia mengatakan bahwa tidak ada pernyataan dalam al-Qur’an yang bertentangan dengan fakta ilmiah. Kesimpulan Maurice Bucaille tersebut ia buat setelah ia melakukan kajian terhadap mummy Ramesses II yang diperkirakan hidup pada zaman Nabi Musa. Ia menemukan ada sisa garam pada mummy tersebut.
Mummy yang ada di Mesir baru ditemukan sekitar tahun 1898 M. Sementara cerita tentang fir’aun telah diketahui oleh muslim sebagaimana diinformasikan al-Qur’an jauh sebelum itu. Hal inilah yang membuat Maurice Bucaille terheran-heran.
Hasil temuan arkeologi tentang peradaban Mesir kuno termasuk Pharaoh memang sangat menarik. Telah banyak publikasi ilmiah dan film fiksi tentang hal itu. Selaku orang yang beriman, kita patut mengambil pelajaran berharga dari kisah fir’aun ini.
Penggambaran al-Qur’an terhadap Fir’aun ini adalah “manusia yang paling sombong”. Kesombongan terbesar fir’aun adalah ia mengaku dirinya sebagai tuhan. Lalu akibat kesombongannya tersebut, Allah menghukum fir’aun bersama bala tentaranya. Mereka ditenggelamkan di laut.
Kisah Fir’aun ini dapat dilihat pada Surat al-Qashas: 38-42). Dosa besar lain dari fir’aun adalah menindas umat Nabi Musa. Ia melakukan penganiayaan dan termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Selain sombong dengan kekuasaan, fir’aun juga berbuat zolim kepada rakyat kecil. Ada pelajaran penting, bahwa sejarah itu berulang, artinya siapapun dan dimanapun orang atau penguasa yang sombong dan zolim, maka akan terjungkal, cepat atau lambat, sebagaimana fir’aun.
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman:18)
Tak butuh lama bagi Allah untuk menegur kesombongan manusia. Meskipun mereka mengatakan, tidak ada kekuatan yang dapat menghentikannya. Namun, Allah telah membuktikan kekuasaan dan kekuataannya melalui sebuah wabah penyakit yang mematikan.
Kekuasaan memang sering kali menjerat manusia kepada kesombongan dan kecongkakan. Mestinya kisah terjungkalnya fir’aun dan namrud cukup menjadi pelajaran, bahwa sekuat apapun kekuasaan manusia yang sombong dan zolim, maka hanya akan berakhir kepada kehancuran dan kehinaan.
Jika kematian telah mengancam setiap saat, maka apalah arti harta dan tahta yang selama ini dipuja-puja. Untuk para penguasa, kembalilah kepada Allah dan RasulNya. Merunduklah untuk tunduk kepada syariah Allah. Jangan pernah sombong dan congkak menentang hukum dan aturan Allah dan RasulNya, jika tidak ingin bernasib sama seperti fir’aun dan namrud. Maka, semestinya, fir’aun bermuhasabah diri saat didakwahi oleh Nabi Musa, jangan malah tambah sombong.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan,19/01/23 : 10.44 WIB)
Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa