Kamis, 14 Desember 2023
Klitih, Eksistensi Diri Tanpa Visi
Refleksi Hari Ibu: Nasib Ibu Kian Pilu
Rabu, 13 Desember 2023
Jangan Buru-Buru Bunuh Diri!
Tinta Media - Tampaknya, fenomena bunuh diri bak jamur di musim penghujan. Tidak hanya menyerang usia remaja, dewasa, ataupun orang tua. Tapi juga mampu menyasar usia anak-anak. Seorang bocah SD di Kabupaten Pekalongan yang nekat mengakhiri hidupnya dengan gantung diri setelah dilarang bermain gadget oleh ibunya. WHO memperkirakan setiap 40 detik terjadi kasus bunuh diri di seluruh dunia, Adapun angka bunuh diri di Indonesia menyentuh 826 kasus pada tahun 2022, naik 6,37% dibandingkan tahun 2018 yakni 772 kasus. (health.detik.com, 13/10/2023).
Anehnya, fenomena tersebut semakin masif seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern, yang turut didukung dengan gaya hidup individualistis, egosentris, dan cenderung praktis. Anak-anak saat ini adalah generasi yang dididik oleh gadget, tidak bisa dimungkiri mereka akan menemukan role model virtual di dalam gadget yang dipegang setiap harinya.
Entah itu youtuber kaya raya, game online yang menjanjikan kemenangan, seleb tiktok yang berwajah rupawan, atau reels nyeleneh tapi lucu seperti skibidi toilet yang pernah viral. Terlihat aneh tapi nyata, anak bisa tersenyum sendiri menatap gadget yang ia pegang, tak lama kemudian ia pun bisa marah-marah dan membanting gadgetnya.
Persepsi kebahagiaan di benak anak-anak tidak terlepas dari standar materi duniawi berupa harta atau pujian. Inilah yang membentuk mindset "kepraktisan" dalam benaknya. Mau cepat terkenal di medsos harus memperbanyak konten. Mau mengejar posisi top harus push rank. Atau bisa juga hanya menjadi penonton biasa-biasa saja yang menghabiskan waktu dan kuota demi killing time dan having fun.
Coba bayangkan, anak-anak yang masih alpha dari pemikiran Islam, lagi asyik-asyiknya push rank eh disuruh berhenti. Lagi enak-enaknya nontonin idola malah disita gadgetnya. Jiwanya kosong, dan merasa menjadi anak paling menderita sejagat raya, tidak berguna. Berbagai emosi yang hadir tanpa dibimbing oleh syariat hanya menuju kepada pelampiasan yang sia-sia.
Cikal bakal persepsi keliru inilah yang kemudian berujung kepada depresi. Ditambah bumbu-bumbu perilaku impulsif atas emosi yang tengah bergejolak. Lingkungan sekitar pun tidak ada yang mengarahkan kepada qiyadah fikriyyah Islam. Bukan tidak mungkin berujung kepada pengambilan sikap untuk bunuh diri. Naudzubillah min dzalik.
Sebagai orang tua, ini adalah alarm bagi kita bagaimana mendidik anak di tengah gempuran teknologi yang tidak bisa dielakkan. Segala informasi membanjiri otak anak-anak yang masih polos dan tak berdosa. Jika tanpa kendali orang tua, maka anak akan dikendalikan oleh disrupsi digital.
Ditambah dengan arus feminisme terkait, "Perempuan Berdaya, Perempuan Bekerja" akan makin menggempur ketahanan rumah tangga kaum muslim. Bukan tidak mungkin peran ibu akan tergantikan oleh "ibu virtual". Anak-anak akan meniru apa yang dilihat dan didengar dari gadgetnya. Mereka diasuh oleh tontonan-tontonan yang tidak mendidik.
Tentu hal ini tidak mampu diredam oleh institusi keluarga dan masyarakat saja, dibutuhkan kekuatan yang lebih besar. Bukan kekuatan Superman ataupun Wonder Woman. Melainkan, kekuatan negara yang mampu menyaring informasi dan tayangan ramah anak, dan kurikulum pendidikan yang mampu melahirkan generasi-generasi bermental pejuang.
Sebagaimana lahir generasi Islam seperti Usamah bin Zaid yang menjadi panglima perang di usia 18 tahun. Kemudian, Muhammad Al Fatih yang berhasil menaklukkan Konstantinopel di usia 21 tahun. Tentu saja, mereka dibesarkan dengan kematangan berpikir, dan kedewasaan sikap yang bersumber dari Alquran dan Hadits.
Tren naiknya kasus bunuh diri di Indonesia adalah alarm bagi kita bahwa ada yang salah dengan sistem kehidupan hari ini. Sistem pendidikannya terbukti gagal mencerdaskan generasi, sistem ekonominya terbukti gagal menyejahterakan para ibu, sistem sosialnya pun terbukti gagal dalam menjaga akal dan jiwa. Jangan buru-buru bunuh diri, wahai kaum muslim. Inilah waktu yang tepat untuk berjuang dan menyambut penerapan Islam secara paripurna. Allahu Akbar!
Oleh: Putri Halimah, M.Si.
Sahabat Tinta Media
Nasib Anak dalam Cengkeraman Sistem Rusak
IKN Itu Memang Mengerikan
Malapetaka, Indonesia Darurat Judi Online pada Anak
Selasa, 12 Desember 2023
Mampukah Kurikulum Baru Mengatasi Stres Guru?
Tinta Media - Keterkejutan Presiden Jokowi terhadap tingkat stres guru disampaikan pada acara peringatan ulang tahun ke-78 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Kelapa Gading, Jakarta, Sabtu (25/11/2023). Presiden mengungkap hasil penelitian lembaga riset internasional, RAND Corporation bahwa stres para guru disebabkan perilaku siswa, perubahan kurikulum, dan perkembangan teknologi. Jika memang karena perilaku siswa, bukankah memang tugas guru mendidik siswa agar berperilaku baik? Mestinya pemerintah membuat kurikulum yang membantu guru agar terwujud siswa berkepribadian Islam dengan memanfaatkan perkembangan teknologi.
Alih-alih membantu, kurikulum yang sering berubah justru menjadi beban guru. Ketika para guru memahami dan menerapkan satu kurikulum, sudah diganti dengan yang baru seiring pergantian menteri pendidikan. Jadi, wajar jika guru stres dengan seringnya perubahan kurikulum.
Untuk mengatasi masalah ini, Mendikbudristek Nadiem membuat kurikulum merdeka yang dianggapnya lebih sederhana dibanding kurikulum sebelumnya. Namun, apakah penyederhanaan semacam ini yang dibutuhkan? Faktanya, banyak guru mengeluh beratnya pembelajaran yang berpusat pada siswa, namun tidak didukung oleh sistem yang baik. Ini membuktikan ketidakmampuan negara menyelesaikan masalah guru.
Perubahan Kurikulum
Menurut Jokowi, kurikulum pendidikan harus berubah seiring perkembangan teknologi, agar guru bisa terus beradaptasi. Harusnya bukan sekadar perubahan kurikulum, tapi peran negara dalam memfasilitasi guru, memanfaatkan perkembangan teknologi dengan pelatihan yang maksimal. Untuk itu, dibutuhkan kurikulum dengan tujuan yang jelas.
Tidak cukup tujuan kurikulum, tapi juga metode pembelajaran yang tegas guna mewujudkan siswa berkepribadian Islam. Butuh dorongan konsistensi pendidik untuk membekali siswa dengan ilmu tsaqafah Islam dan pengetahuan umum maupun keahlian, hingga menghasilkan kecakapan hidup. Jadi, sesering apa pun perubahan kurikulum yang salah, maka tidak akan ada hasilnya.
Penyebab Stres
Jika ditelisik, stres para guru tidak hanya pada sering berubahnya kurikulum, tapi juga berbagai tuntutan. Guru dituntut kreatif dalam mendidik siswa. Di sisi lain, siswa disuguhi berbagai pemikiran sekuler kapitalis yang liberal. Ini berakibat maraknya kasus bullying, kriminalitas siswa, pergaulan bebas, hingga narkoba. Belum lagi wali murid yang menuntut guru yang berusaha mendidik dan mengarahkan siswanya ternyata justru dianggap melanggar HAM. Kondisi ini membuat posisi guru serba sulit hingga stres. Beratnya upaya guru di sekolah dalam mendidik siswa, justru dipudarkan keluarga dan masyarakat. Tenaga dan pikiran guru terkuras untuk memenuhi kebutuhan para kapitalis yang menjadikan pendidikan sebagai penghasil cuan. Maka, guru tidak butuh kurikulum baru yang biasa.
Kurikulum Pendidikan Sahih
Berbagai kurikulum pendidikan dijalankan di Indonesia, namun belum memberi hasil nyata. Guru dan siswa butuh kurikulum sahih yang mampu menjawab berbagai persoalan dengan masifnya perkembangan teknologi. Guru dan siswa akan mampu mengendalikan teknologi untuk kemaslahatan umat, bukan sebagai budaknya.
Inilah urgensi diterapkannya kurikulum pendidikan yang sahih. Kurikulum yang memiliki tujuan, metode pembelajaran, hingga peran negara sahih yang mampu menyelenggarakan pendidikan dengan baik, menjadikan teknologi untuk meringankan guru. Sejatinya Allah berfirman dalam QS. An-Nahl: 125. Dalam ayat tersebut, Allah minta manusia menuju jalan yang benar dengan cara yang baik sesuai tuntunan Islam. Meraih pendidikan dengan benar, bijak, dan pengajaran yang baik untuk mendapat ilmu. Allah lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan siapa yang mendapat petunjuk.
Kurikulum ini hanya kompatibel dengan sistem pemerintahan Islam yang akan mendorong guru berbuat yang terbaik, tanpa keluhan apalagi stres. Guru paham yang dikerjakan adalah tugas mulia membawa kebaikan akhirat. Allahu a’lam bish showab.
Oleh: R. Raraswati
Aktivis Muslimah Peduli Generasi
"Pengemis Elite" Campakkan Harga Diri demi Cuan
Derita Rohingya, Derita Umat Islam Seluruhnya
Tinta Media - Populasi Muslim Rohingya di Myanmar (Negara bagian Rakhine) tercatat sekitar sekitar 600 ribu jiwa hingga November 2019.
Menurut data yang diperbarui oleh United Nations High Commissioner for Refugees
(UNHCR), populasi Rohingya di Bangladesh mencapai 1,18 juta jiwa pada 2023.
Bangladesh menjadi negara dengan populasi Rohingya terbanyak karena banyaknya
pengungsi dari etnis tersebut yang melarikan diri dari kekerasan di Myanmar
pada tahun 2017. (Sindonews.com 24/11/2023)
Gelombang kekerasan yang dialami oleh etnis Rohingya di Myanmar disebabkan oleh
serangan militer Myanmar yang melakukan operasi di desa-desa Rohingya pada
Agustus 2017, dengan alasan untuk
“mengusir para pemberontak”. Pemberontak yang dimaksudkan adalah sekelompok
militan Rohingya yang disebut dengan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).
Menurut keterangan PBB, dalam dua minggu pertama operasi militer itu telah
menewaskan sedikitnya 1.000 Orang.
Akibatnya warga Rohingya yang tersisa melarikan diri ke berbagai Negara, hingga
saat ini mereka hidup terkatung-katung tanpa identitas kewarganegaraan yang
jelas. Amnesty International pun telah mengakui bahwa Umat Islam di Burma
menjadi sasaran pelanggaran oleh kelompok-kelompok ekstrimis Budha, yang
disaksikan langsung oleh pihak pemerintah Burma. Umat Islam di Rohingya selama
beberapa dekade memang telah mengalami diskriminasi oleh pemerintah Myanmar
yang menolak mengakui kewarganegaraan mereka.
Menurut Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Muslim Rohingya merupakan salah
satu minoritas paling teraniaya di Dunia. Kelompok etnis yang mayoritas
beragama Islam ini kerap mendapatkan kekerasan seksual, terutama terhadap
perempuan. Sehingga terjadinya peningkatan besar pada kasus cedera alat
kelamin, kehamilan yang tak diinginkan, aborsi yang tidak aman, Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dan segala bentuk infeksi menular lainnya. (National
Library Of Medicine, Desember 2020)
Kejadian memilukan ini tentu sangatlah menyakiti hati Umat Islam seluruhnya.
Karena Muslim Rohingya merupakan bagian tak terpisahkan dari tubuh Muslim lain
di seluruh Dunia yang pada saat ini berjumlah lebih dari 2,18 Miliar orang,
bagaimana mungkin Umat Islam yang begitu banyak itu tidak mampu melindungi
saudaranya yang sedang terdzolimi?
Mirisnya saat etnis Rohingya datang meminta bantuan kepada saudara Muslimnya,
sebagian masyarakat justru enggan menerima mereka, seperti yang terjadi di
Kabupaten Bireuen Provinsi Aceh. Satu perahu tiba berisi 256 orang di dalamnya,
sementara di tempat lain kapal yang memuat 239 etnis Rohingya tiba di wilayah
Pidie di Aceh dan sebuah perahu yang lebih kecil yang membawa 36 orang tiba di
Aceh Timur. Sebagian warga Pidie Provinsi Aceh menolak ratusan pengungsi
Rohingya yang hendak berlabuh, setelah
sebelas hari terkatung-katung di laut.
Penolakan yang didapat Muslim Rohingya ini sungguh tidak mencerminkan sikap
Umat Islam yang bersaudara, seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
"Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam hal berkasih sayang dengan sesama
mereka seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh
tubuhnya akan terjaga (tidak bisa tidur) dan demam (ikut merasakan
sakit)." (HR. Bukhari-Muslim)
Semestinya Umat Islam faham bahwa derita etnis Rohingya merupakan tanggung
jawab Muslim lainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkata :
“Barangsiapa yang bangun di pagi hari dan tidak memperdulikan urusan Muslimin,
maka dia tidak termasuk bagian dari mereka (Muslimin).” (HR. Al-Hakim dari Ibnu
Mas’ud)
Berdasarkan hadits di atas, sudah sepantasnya seluruh Umat Islam di negeri
manapun baik rakyat maupun pemerintah memberikan perlindungan pada imigran
Rohingya yang tiba di wilayahnya, serta menyerukan kepada seluruh kaum muslimin
di Dunia untuk bersatu hidup dan diatur oleh aturan sempurna tiada cela, aturan
yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang berasal dari Rabbul ‘Alamin yaitu aturan Islam Kaffah dalam bingkai
Daulah Khilafah.
Karena hanya Institusi Khilafah yang mampu mempersatukan 2,18 Miliar Umat Islam
serta menjadikan mereka pribadi berkarakter kuat dan militan, mampu mengangkat
harkat dan martabat Umat Islam di seluruh Dunia termasuk Muslim di Rohingya
bisa terwujud dengan segera.
Wallahu ‘alam bishowab.
Oleh: Husnul AK (Sahabat Tinta Media)
Politik Demokrasi Hanya untuk Kekuasaan, Perubahan Hakiki Hanya dengan Islam
Tinta Media - Bertebaran makna politik di sepanjang jalan yang memaknai politik hanya bersenang-senang untuk meraih kekuasaan. Politik riang gembira, politik jalan ninja kita atau pernyataan lainnya yang tidak memahami politik sebagai aktivitas untuk mengurusi umat. Berjoget riang gembira dengan bagi-bagi amplop atau bingkisan sembako menjelang pemilu dianggap langkah pragmatis untuk meraih simpati rakyat agar mau menjatuhkan pilihannya. Aturan dibuat untuk dilanggar, money politik dianggap sedekah yang dilakukan caleg atau capres-cawapres untuk mendapatkan dukungan. Blusukan dan janji-janji manis ditebar dengan memberikan harapan palsu pada rakyat yang menginginkan perubahan dan bisa hidup srjahtera. Namun, pergantian aktor politik atau rezim tidak membawa angin perubahan ke arah yang lebih baik, malah ambisi untuk terus berkuasa ditampakkan secara vulgar oleh mereka yang sudah menikmati kue kekuasaan. Koalisi dilakukan hanya untuk menggalang kekuatan.
Kedaulatan ditangan rakyat adalah ide utopis, janji demokrasi yang tidak pernah terbukti, faktanya kedaulatan ditangan oligarki. Rakyat diberi angan-angan semu untuk menentukan nasib mereka sendiri. Nyatanya, atas nama rakyat banyak aturan dibuat hanya menguntungkan oligarki, tapi merugikan rakyat. Suara buruh yang menyuarakan perbaikan nasib mereka tidak ditanggapi. Suara oligarki lebih didengar dan diberi jalan untuk menguasai negeri yang memiliki kejayaan dan keindahan yang luar biasa. Masihkah sistem demokrasi layak dipertahankan jika ingin sebuah perubahan hakiki.
Sejarah membuktikan demokrasi sistem yang tidak manusiawi. Pergantian rezim tidak membawa perubahan hakiki. Setiap rezim menginginkan politik dinasti yang menjadikan anak keturunannya terus berkuasa, meskipun menghalalkan segala cara bahkan melanggar prinsip-prinsip dalam berdemokrasi. Ambisi kuat untuk mempertahankan kekuasaan ditunjukkan dengan menyalahgunakan kekuasaan, bahkan dengan mengubah aturan yang mereka buat sendiri.
Tentunya hanya dengan Islam kita berharap untuk melakukan perubahan hakiki, yang memaknai politik tidak hanya berebut kekuasaan, tapi lebih pada usaha untuk mengurusi rakyat agar terpenuhi hak dan kebutuhan mereka untuk bisa hidup aman dan sejahtera. Keadilan akan dirasakan oleh semua rakyat dengan menerapkan hukum dari Sang Pencipta manusia, hidup dan alam semesta. Sebuah sistem yang menjaga jiwa, keamanan, kehormatan manusia. Menjaga rakyat dan juga pemimpinnya dari keburukan, bujukan setan yang terkutuk dengan selalu mengaitkan setiap perbuatan dengan semua perintah dan larangan-Nya agar Allah SWT. Ridho pada mereka. Pemimpin yang amanah dan dicintai rakyat akan mampu membawa gerbong perubahan menuju Indonesia maju.
Sementara, politik demokrasi hanya jalan di tempat, Indonesia maju hanya janji semu yang jauh dari kenyataan. Bagaimana bisa Indonesia maju ditopang oleh hutang riba yang terus menggunung tanpa ada usaha untuk menyelesaikannya. Biaya politik yang tinggi membuat para pejabat yang terpilih menyalahgunakan kekuasaan dengan mencuri uang rakyat. Korupsi menggurita karena hikum buatan manusia telah menyuburkannya. Hukum tidak tegas dan memberi celah bagi koruptor, pencuri uang rakyat terbebas dari hukuman. Kehidupan sekuler membuat hidup semakin sulit karena pintu berkah dari langit dan bumi tertutup bagi penduduk suatu negeri yang lebih memilih diatur dengan hukum peninggalan kolonial penjajah.
Politik kotor hanya demi kekuasaan harus diganti dengan politik bersih dan mulia dalam sistem Islam agar kehidupan Islami bisa terwujud untuk menciptakan penduduk suatu negeri yang beriman dan bertakwa. Allah SWT. Membuka pintu berkah langit dan bumi, karena penduduknya yang beriman dan bertakwa. “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Surat Al-A’raf Ayat 96). Saatnya beralih ke politik Islam untuk perubahan hakiki dengan meninggalkan politik demokrasi yang hanya untuk ambisi merebut kekuasaan. Politik dalam sistem Islam yang menghasilkan pemimpin amanah untuk mengurusi rakyat karena dorongan iman dan takwa. Begitu pula rakyat peduli dan mencintai pemimpinnya dengan terus melakukan muhasabah agar pemimpinya bisa tetap lurus menjalankan tugasnya dengan menerapkan Islam secara kaffah.
Seorang muslim yakin bahwa penerapan Islam secara kaffah akan membawa kebaikan. Sebaliknya meninggalkan dan mendustakan syariat-Nya, hanya akan mendatangkan keburukan dan azab yang pedih. Kehidupan dunia yang hanya sementara tidak layak dijadikan tujuan, karena semua ini akan segera tinggalkan. Semua yang ada di dunia akan menjadi cerita pada waktunya nanti saat kita harus kembali kepada-Nya. Sementara, kehidupan akhirat akan menjadi nyata dan kita akan tinggal selama-lamanya. Lalu bagaimana bisa kita meninggalkan Islam saat berpolitik dan mati-matian mengejar kekuasaan dan nikmat dunia yang segera kita tinggalkan. Sudah saatnya kita berpikir cerdas untuk mengatur hidup kita dengan Islam termasuk juga saat kita berpolitik agar Allah SWT. Ridho dengan apa yang kita kerjakan sehingga kita akan mendapatkan kebaikan di dunia terlebih di akhirat nanti.
Oleh: Mochamad Efendi
Sahabat Tinta Media