Kisruh Tata Kelola Sawit, Pengaruh UU Cipta Kerja
Tinta Media - Kembali bahasan kelapa sawit menjadi sorotan. Dengan alibi memperbaiki tata kelola industri minyak sawit, pemerintah rezim Joko Widodo memberikan peluang kepada pelaku usaha agar memutihkan 3,3 juta tanah hektare lahan sawit.
Menguatkan ajuan tersebut, Menko Bidang Kemaritiman dan investasi, Luhut Binsar Panjaitan pun ikut berkomentar. Iya menyatakan bahwa pemutihan tersebut sebagai langkah genting yang terpaksa diambil. “Ya, kita mau apain lagi, masa kita copotin, ya kita putihkan terpaksa,” ucapnya di hadapan awak pers (Jumat, 23 Juni 2023).
Selidik punya selidik, ternyata pemutihan itu memiliki makna yang janggal. Di sana terdapat pelanggaran hukum, yaitu yang sebelumnya ilegal selanjutnya dilegalkan. Atas putusan ini, korporasi diputihkan supaya bisa tetap beroperasi setelah membayar denda administrasi. Mereka dibuat legal asal setor pajak dan mau kena denda.
Ini bentuk kuatnya penguasa melindungi korporasi. Usaha ilegal bisa dianggap legal dengan syarat bayar denda. Padahal, pihak Walhi yang diwakili oleh Uli Arta pernah mengemukakan bahwa kerugian perekonomian negara dan praktik kejahatan tersebut pasti jauh lebih besar dibandingkan denda yang diperoleh negara, mengingat kejahatan tersebut dapat menimbulkan kebahayaan pada kerusakan lingkungan, datangnya banjir, longsor, kekeringan, bahkan kebakaran yang nanti harus ditanggung oleh rakyat dan negara. Lantas di mana logikanya jika negara membiarkan ini terjadi?
WALHI mengambil sampel beberapa perusahaan Surya Darmadi yang menjadi objek kasus dan juga mengajukan pengampunan. Padahal, ia telah diputuskan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi perizinan dan pencucian uang. Surya Darmadi dinyatakan telah merugikan keuangan negara sebesar Rp2,2 triliun dan kerugian perekonomian sebesar 39,7 triliun.
Ini merupakan potret kerakusan para pemilik modal yang dilegalkan undang-undang. Perlu digarisbawahi bahwa mekanisme pemutihan ini dilakukan melalui skema perundang-undangan Cipta Kerja pasal 110A dan 110B. Dengan beleid ini, perusahaan yang kegiatannya terbangun di wilayah hutan produksi, bisa mengajukan pelepasan atau pemutihan. Yang demikian tak terlepas dari adanya oligarki yang mencengkeram politik dan ekonomi negara.
Dengan menjerat dua pilar ini, komplotan oligarki ingin turut mengendalikan kekuasaan negara. Semua ini tidak lain sebagai pelaksanaan dari UU Omnibus Law Cipta Kerja, yang jelas secara faktanya dirancang untuk memuluskan kepentingan para pemilik modal. Bahkan, sebelumnya juga telah terbukti, berapa banyak para pemilik tambang yang merasakan manisnya UU Omnibus Law dan sekarang giliran penguasa sawit yang turut menikmatinya.
Gurita kapitalisme telah melilit di berbagai aspek negeri ini, tidak lain sebagai bentuk penjajahan gaya baru.
Liberalisasi ekonomi memberikan jalan para pemilik modal untuk merampok kekayaan alam negeri gemah ripah loh jinawi ini. Lagi-lagi rakyat yang menjadi korban.
Masyarakat kian hari kian terpuruk. Tentu semua harus segera disikapi dengan tepat dan cermat. Jika kapitalisme telah jelas memberikan dampak negatif bagi bangsa, maka tidak bisa ditawar lagi bahwa solusi mengakar itu harus segera diambil dan diterapkan.
Indonesia adalah negara dengan masyarakat muslim terbesar di dunia. Tidak sedikit yang telah memahami bahwa Islam hadir di muka bumi bukan hanya sekadar agama, tetapi juga sebagai solusi dari setiap permasalahan yang dihadapi, tak terkecuali bidang politik dan ekonomi.
Islam dengan syariahnya menetapkan bahwa kedaulatan di tangan Allah ta’ala dan tidak boleh diintervensi oleh pada pemilik kuasa, apalagi pemilik modal. Sudah dibuktikan berabad-abad lamanya bahwa sistem Islam telah menyejahterakan penduduk yang ada dalam naungannya.
Syariat Islam mampu menundukkan nafsu para pemilik modal. Para pelaku bisnis dipersilakan seluas-luasnya, tetapi harus tunduk pada aturan Islam. Halal haram jadi standarnya. Orientasinya pada berkah, yaitu ziadatul khoir atau bertambahnya kebaikan, bukan hanya terpaku pada jumlah yang menjerumuskan pada kecintaan dunia yang melenakan.
Di dalam Islam, kekayaan alam merupakan milik umum, seperti hutan, listrik, tambang yang melimpah, batu bara, timah dan lain sebagainya. Semua dikelola untuk kesejahteraan masyarakat secara luas, melingkupi semua lapisan.
Adapun jika ada pihak yang menyelisihi aturan Islam, maka sanksi tak bisa dielakkan. Hukuman dalam Islam mengandung efek jera. Maka, kembalilah pada solusi Islam agar kita menjadi penduduk negeri yang diberkahi.
Allah ta’ala berfirman dalam Surat An-Nisa ayat 59,
"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
Wallahu ‘alam bishawab.
Oleh: Ammylia Ummu Rabani
(Muslimah Peduli Umat)