Tinta Media: Sambo
Tampilkan postingan dengan label Sambo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sambo. Tampilkan semua postingan

Senin, 03 April 2023

Habis Sambo, Terbitlah Teddy (Sebuah Kritik)

Tinta Media - Instansi kepolisian Indonesia menjadi sorotan setelah kasus mafia hukum  Sambo dkk mencuat. Kematian Brigadir Joshua meninggalkan jejak drama panjang penegakan hukum. Tak hanya kasus Sambo dkk, berita terakhir yang sempat viral adalah bisnis sabu dalam skala besar dan internasional oleh Teddy Minahasa, seorang  polisi dengan pangkat jenderal bintang dua. Tentu saja hal ini memunculkan banyak kritik dan menjadi keprihatinan tersendiri bagi rakyat Indonesia. 

Instansi yang seharusnya menjadi pelayan dan pengayom masyarakat, menjadi monster yang diam-diam menghancurkan Indonesia dari dalam. Walau disebutkan hanya oknum, tapi kasus seperti ini ibarat gunung es, yang hanya terlihat puncaknya saja. Jika diusut tuntas, maka akan ada banyak nama yang terseret. Diperlukan ketegasan dalam setiap proses hukum, tanpa ada standar ganda ataupun tebang pilih.

Ada permintaan ada penawaran, bisnis narkoba memang menggiurkan. Bisa dibayangkan betapa rusaknya sumber daya manusia jika satu ton sabu dikonsumsi, cukup untuk menjatuhkan sebuah negara dalam sekejap. Di satu sisi banyak pihak yang ingin menyelamatkan generasi bangsa, tapi di sisi lain hanya demi cuan, ada pihak yang tega untuk menghancurkan. 

Jika dianalisis secara mendalam, oknum-oknum polisi yang melakukan pelanggaran hukum, tidak memahami fungsinya dengan baik sebagai pelayan dan pengayom masyarakat. Individu yang cinta dunia,  rakus terhadap materi. Seseorang yang berkuasa atau  jabatan memiliki peluang untuk menyalahgunakan amanah. Jabatan apa pun jika dipahami sebagai amanah yang akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah kelak, maka seorang polisi akan menjalankan fungsinya sebaik mungkin. 

Indonesia membutuhkan polisi-polisi pelayan masyarakat yang memiliki pandangan yang shahih dan menyeluruh terhadap kehidupan, yang memiliki keimanan yang kokoh, berakhlakul karimah, pro terhadap kebenaran dan kebaikan. Indonesia tidak membutuhkan polisi-polisi yang menjadi alat untuk merusak atau pemecah belah bangsa, memata-matai, mempersekusi dan menangkapi ulama, berkonspirasi menyabotase semua aktivitas dakwah yang menyeru kepada islam, yang notabene, dakwah memiliki tujuan untuk memperbaiki kondisi umat saat ini yang sedang sakit, dan sistem hidup yang carut marut.

Rusaknya individu pada saat ini sebenarnya tak lepas dari diterapkannya sistem sekularisme yang memang tak menjadikan agama sebagai standar kehidupan. Sistem ini hanya akan menghasilkan individu-individu yang rusak baik secara keimanan, pemahaman, pola pikir bahkan pada pola sikapnya. Jika individu-individu rusak ini menguasai jabatan-jabatan dalam kepengurusan urusan umat, bisa dipastikan aturan yang dibuat dan dipakai hanya akan merusak. Jika individu-individu rusak ini tetap dipelihara oleh instansi, maka akan mencoreng nama instansi, merusak tatanan, dan merugikan masyarakat. 

Apakah tak sebaiknya kita buang sekularisme ke dalam tong sampah? Agar Indonesia memiliki sumber daya manusia yang berkualitas baik, beriman dan bertakwa kepada Allah sebagai pemilik bumi. Mulai menasihati para pemegang amanah kekuasaan untuk kembali kepada Allah. Menyeru manusia agar kembali ke jalan yang Allah ridai.

Oleh: Hayyin
Sahabat Tinta Media 

Rabu, 01 Februari 2023

PUTRI CANDRAWATI HANYA DITUNTUT 8 TAHUN, MENYAKITI KELUARGA KORBAN, TIDAK MEMENUHI KEADILAN MASYARAKAT

Tinta Media - Rupanya air mata (buaya) Putri Chandrawathi, mampu mengelabui Jaksa sehingga Putri hanya dituntut 8 tahun penjara. Sungguh, benar-benar tuntutan yang menyakiti keluarga Josua.

Apalagi, dalam tuntutan RR dan KM, jaksa menyebut ada motif perselingkuhan antara Putri Chandrawathi dan Brigadir Novriansyah Josua Hutabarat. Jaksa, telah melemparkan kotoran kepada jasad Josua, dan mengedarkan aib bagi keluarga Josua. Josua mati dalam keadaan tertuduh selingkuh dengan istri komandannya.

Masyarakat pun menjadi antiklimaks. Sidang yang menghadirkan banyak saksi dan ahli, ternyata hanya berujung tuntutan 8 tahun, padahal kasusnya pembunuhan berencana disertai rekayasa tembak menembak antara Brigadir J dan Bharada E. Lebih keji dan tragis lagi, pembunuhan berencana ini direncanakan oleh polisi, terjadi dirumah polisi, dieksekusi oleh polisi dan korbannya juga polisi.

Andai saja hukum Islam yang diterapkan. Kalau hukum Islam yang digunakan, maka semua orang yang terlibat dalam kasus pembunuhan wajib di hukum qisos (hukum mati). Inilah, keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat. Masyarakat harus disterilisasi dari pembunuh yang merusak tatanan kehidupan.

Dalam Islam, membunuh atau turut serta melakukan pembunuhan (delneming) atau terlibat dalam persekongkolan (persekutuan) pembunuhan hukumannya juga qisos, yakni dibalas dengan dibunuh baik yang membunuh maupun yang membantu atau turut serta dalam pembunuhan. Kalau menggunakan hukum Islam, maka Ferdy Sambo, Putri Chandrawati, Richard Eliezer, Kuat Ma'ruf hingga Ricky Rizal, semuanya diqisos dengan dibunuh. Tidak dibeda-bedakan jenis sanksinya, karena semua terlibat dan bersekutu dalam pembunuhan Josua Hutabarat.

Dalam suatu peristiwa pembunuhan, ketika tujuh orang penduduk Sana’a membunuh seseorang, Khalifah Umar bin al-Khattab berkata tegas, 

“Kalau seluruh penduduk Kota Sana’a bersama-sama membunuh orang ini maka saya akan mengqisas mereka semua.” ungkapnya.

Jadi dalam Islam, tidak ada perbedaan hukuman baik yang melakukan, yang menyuruh lakukan, maupun turut serta melakukan pembunuhan. Semua yang terlibat dan bersekutu dalam pembunuhan maka ia harus dibunuh, apapun peran dan keterlibatan.

Penulis kira, keluarga Josua Hutabarat akan setuju dengan hukum Islam, yakni diterapkannya sanksi Qisos kepada semua pelaku yang terlibat dalam persekutuan (persekongkolan) untuk membunuh Josua Hutabarat.

Hukum Islam jelas lebih memenuhi rasa keadilan masyarakat dan sesuai (memuaskan) dengan harapan keluarga korban. Ketimbang hukum KUHP, yang hanya menuntut Putri Chandrawati hanya dengan 8 tahun penjara. 

Jadi, jangan ragu dengan penerapan hukum Islam. Hukum Islam pasti adil karena berasal dari Allah SWT, Dzat yang maha adil. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

PUTRI CANDRAWATI HANYA DITUNTUT 8 TAHUN, MENYAKITI KELUARGA KORBAN, TIDAK MEMENUHI KEADILAN MASYARAKAT

Tinta Media - Rupanya air mata (buaya) Putri Chandrawathi, mampu mengelabui Jaksa sehingga Putri hanya dituntut 8 tahun penjara. Sungguh, benar-benar tuntutan yang menyakiti keluarga Josua.

Apalagi, dalam tuntutan RR dan KM, jaksa menyebut ada motif perselingkuhan antara Putri Chandrawathi dan Brigadir Novriansyah Josua Hutabarat. Jaksa, telah melemparkan kotoran kepada jasad Josua, dan mengedarkan aib bagi keluarga Josua. Josua mati dalam keadaan tertuduh selingkuh dengan istri komandannya.

Masyarakat pun menjadi antiklimaks. Sidang yang menghadirkan banyak saksi dan ahli, ternyata hanya berujung tuntutan 8 tahun, padahal kasusnya pembunuhan berencana disertai rekayasa tembak menembak antara Brigadir J dan Bharada E. Lebih keji dan tragis lagi, pembunuhan berencana ini direncanakan oleh polisi, terjadi dirumah polisi, dieksekusi oleh polisi dan korbannya juga polisi.

Andai saja hukum Islam yang diterapkan. Kalau hukum Islam yang digunakan, maka semua orang yang terlibat dalam kasus pembunuhan wajib di hukum qisos (hukum mati). Inilah, keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat. Masyarakat harus disterilisasi dari pembunuh yang merusak tatanan kehidupan.

Dalam Islam, membunuh atau turut serta melakukan pembunuhan (delneming) atau terlibat dalam persekongkolan (persekutuan) pembunuhan hukumannya juga qisos, yakni dibalas dengan dibunuh baik yang membunuh maupun yang membantu atau turut serta dalam pembunuhan. Kalau menggunakan hukum Islam, maka Ferdy Sambo, Putri Chandrawati, Richard Eliezer, Kuat Ma'ruf hingga Ricky Rizal, semuanya diqisos dengan dibunuh. Tidak dibeda-bedakan jenis sanksinya, karena semua terlibat dan bersekutu dalam pembunuhan Josua Hutabarat.

Dalam suatu peristiwa pembunuhan, ketika tujuh orang penduduk Sana’a membunuh seseorang, Khalifah Umar bin al-Khattab berkata tegas, 

“Kalau seluruh penduduk Kota Sana’a bersama-sama membunuh orang ini maka saya akan mengqisas mereka semua.” ungkapnya.

Jadi dalam Islam, tidak ada perbedaan hukuman baik yang melakukan, yang menyuruh lakukan, maupun turut serta melakukan pembunuhan. Semua yang terlibat dan bersekutu dalam pembunuhan maka ia harus dibunuh, apapun peran dan keterlibatan.

Penulis kira, keluarga Josua Hutabarat akan setuju dengan hukum Islam, yakni diterapkannya sanksi Qisos kepada semua pelaku yang terlibat dalam persekutuan (persekongkolan) untuk membunuh Josua Hutabarat.

Hukum Islam jelas lebih memenuhi rasa keadilan masyarakat dan sesuai (memuaskan) dengan harapan keluarga korban. Ketimbang hukum KUHP, yang hanya menuntut Putri Chandrawati hanya dengan 8 tahun penjara. 

Jadi, jangan ragu dengan penerapan hukum Islam. Hukum Islam pasti adil karena berasal dari Allah SWT, Dzat yang maha adil. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Selasa, 18 Oktober 2022

KM 50 DALAM DAKWAAN KASUS SAMBO

Tinta Media - Berdasarkan informasi yang beredar di website kantor berita memberitakan terdapat anggota tim CCTV di kasus unlawfull killing atas enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) di KM 50 muncul di surat dakwaan kasus obstruction of justice Brigadir Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Adapun anggota tim CCTV kasus KM 50 yang masuk surat dakwaan adalah AKBP Ari Cahya Nugraha alias Acay. 
 
Berkaitan dengan hal tersebut diatas saya akan memberikan Pendapat Hukum (legal opini) sebagai berikut: 
 
PERTAMA, Bahwa dalam dakwaan kasus obstruction of justice kematian Brigadir Nofriansyah Joshua Hutabarat (J) mengonfirmasi terjadinya pengamanan CCTV dalam kasus unlawfull killing atas enam anggota Front Pembela Islam (FPI) di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek pada 2020 lalu. Dalam dakwaan AKBP ARA dijelaskan, AKBP Acay pada kasus penghalangan penyidikan kematian Brigadir J, merupakan salah satu saksi. Di dalam dakwaan tersebut disebutkan, bahwa AKBP Acay adalah yang ambil bagian dalam pengamanan CCTV pada kasus unlawfull killing, di KM 50; 
 
KEDUA, Bahwa kasus KM 50 ini bisa diungkap kembali. Tetapi tergantung pada sikap Kapolri. Jika Kapolri berani dan menegakkan hukum hal itu bisa ditelusuri kembali, dakwaan kasus Sambo dapat dijadikan petunjuk. Pengungkapan KM 50 dapat memulihkan citra Polri yang tampak semakin terpuruk;

KETIGA; kasus penembakan laskar FPI di Km 50 Tol Cikampek tergolong unlawful killing, yang merupakan unsur pelanggaran HAM. korban berada dalam kuasa aparat penegak hukum sehingga ketika meninggal dunia menjadi pertanyaan publik. Santri pengawal Habib tersebut telah ditangkap dan teriak minta ampun, terlebih lagi misalnya santri pengawal tersebut tidak mengetahui yang mengejar adalah aparat, maka dalam situasi tersebut aparat dilarang melakukan tindakan pembelaan diri yang melampaui batas misalnya sebagai contoh dengan menganiaya dan menembak. Kenapa? Karena unsur atau syarat serangan "...mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga" tidak terpenuhi, sehingga mestinya mengedepankan proses hukum terhadap santri tersebut seharusnya dapat diproses sebagaimana ketentuan pidana yang belaku. Proses hukum tersebut merupakan cerminan dari asas praduga tak bersalah dan memberikan kesempatan bagi pihak yang dituduh untuk melakukan pembelaan secara adil dan berimbang (due process of law);

Demikian
IG@chandrapurnairawan

Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. 
Ketua LBH PELITA UMAT
 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab