Tinta Media: Sadis
Tampilkan postingan dengan label Sadis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sadis. Tampilkan semua postingan

Senin, 11 Maret 2024

Remaja Makin Sadis, Orang Tua Hanya Bisa Menangis



Tinta Media - Entah apa yang membuat para remaja yang digadang-gadang akan menjadi generasi emas pada tahun 2045 hari ini senang melakukan aksi bully, bahkan semakin hari semakin sadis?

Pertanyaan di atas mungkin pernah tersirat dalam pikiran kita, bahkan membuat kita ketakutan saat melepas anak-anak untuk bebas bergaul bersama teman-temannya. Seperti yang viral di sosial media (di Batam), aksi bullying dilakukan oleh sejumlah Gen Z. Tak tanggung-tanggung, mereka berani memukul, bahkan menendang kepala si korban.  Mirisnya, para pelaku semuanya wanita. 

Wajar, beginilah kondisi di saat sistem yang mengatur kehidupan adalah sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, sehingga banyak masyarakat yang tidak peduli terhadap dosa dan maksiat. Karena itu, kekacauan dan kerusakan terjadi di mana-mana. Padahal, bullying adalah perbuatan yang haram dilakukan. Allah dengan jelas berfirman dalam QS. Al-Hujarat ayat 11.

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok).” 

Terlebih jika sudah merambat ke penganiayaan dan penyiksaan fisik, maka semakin besar dosa dan pertanggungjawaban yang akan didapat oleh para pelaku, Sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al Maidah ayat 45. 

Artinya: “Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qishasnya.”

Sayang, kondisi ini pun diperparah dengan hukuman yang tidak tegas bagi pelaku, bahkan banyak kasus yang laporannya tidak ditindaklanjuti oleh para penegak hukum. Akhirnya, orang tua hanya bisa menangisi nasib putra-putrinya yang menjadi korban penganiayaan tersebut.

Hal ini pun sangat jelas memperlihatkan kepada kita bahwa pemimpin di sistem ini tidak serius mengurusi kehidupan rakyat. Penguasa di sistem sekuler terlihat tidak peduli terhadap apa yang terjadi pada rakyatnya. 

Padahal, di dalam Islam, penguasa adalah pengurus rakyat sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW. 

“Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR  Bukhari)

Penguasa di dalam sistem Islam sangat serius dalam mengurusi rakyat. Mereka tahu bahwa kepemimpinannya akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Maka, pemimpin dalam Islam tidak akan membiarkan kasus bullying tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. 

Ada beberapa mekanisme yang akan mereka lakukan di antaranya:

Pertama, penguasa dalam sistem Islam akan menguatkan akidah rakyat melalui sistem pendidikan Islam. Kurikulum pendidikannya adalah berdasarkan atas akidah Islam. Materi yang diajarkan bersumber dari Al-Quran dan hadis sehingga rakyat akan memiliki pemahaman Islam.

Kedua, memberikan sanksi yang tegas kepada para pelaku. Sanksi di dalam Islam berfungsi sebagai penebus dosa dan pencegah kasus tersebut terulang. Dalam Islam, pelaku bisa diberikan sanksi ketika ia sudah memasuki usia balig karena mereka sudah terbebani syariat Islam, bukan berdasarkan batas usia yang ditetapkan manusia. 

Salah satu yang membuat generasi memiliki hobi bully bermunculan adalah karena penetapan label “anak di bawah umur” yang seolah menjadi alasan bahwa sanksi bisa ditangguhkan, disesuaikan, bahkan dikurangi. 

Untuk kasus bullying fisik atau penganiayaan, Islam memberikan hukuman berupa qishash sebagaimana telah Allah jelaskan dalam QS Al-Maidah: 45. 

Artinya: “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at-Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qishasnya ….“

Namun, jika bully masih berupa celaan, maka hukumannya akan diserahkan kepada keputusan hakim.

Jika menginginkan kasus bullying ini hilang maka, kita harus mengganti sistem yang berlaku hari ini, yaitu sistem  sekularisme menjadi sistem Islam yang datangnya langsung dari Pencipta manusia, yaitu Allah Swt. Wallahualam bishawwab.


Oleh: Ririn Arinalhaq
Sahabat Tinta Media

Selasa, 20 Februari 2024

Kapitalis Masih Eksis, Individu Makin Sadis



Tinta Media - Sadisi. Baru-baru ini terjadi pembunuhan satu keluarga berjumlah lima orang oleh seorang remaja berinisial J (16). Kejadian pembunuhan ini terjadi di Desa Babulu Laut, Kecamatan Babulu, Kalimantan Timur dikarenakan persoalan asmara dan dendam pelaku terhadap korban. Antara pelaku dengan korban saling bertetangga.

Mengutip dari Republika.co.id (08/02), pada Senin (05/02) pelaku tengah berpesta minuman keras bersama teman-temannya. Kemudian sekitar pukul 23.30 WITA, pelaku diantar pulang oleh temannya. Dengan bermodal senjata tajam berupa parang, pelaku melakukan aksi pembunuhan pada satu keluarga.  Sebelumnya, pelaku mematikan aliran listrik rumah korban. 

Korban terdiri dari W (34), istri berinisial SW (33), dan ketiga anaknya berinisial RJS (14 tahun), VDS (10 tahun), dan ZAA (2,5 tahun). Sadisnya lagi, pelaku juga memperkosa jasad korban RJS dan ibunya berinisial SW, mengambil ponsel dan uang korban sebesar Rp363 ribu. Motif pelaku adalah karena dendam lantaran sering cekcok perihal ayam dan persoalan asmara dengan korban RJS.

Individu Sadis

Sungguh, membaca berita ini amat memilukan hati. Betapa tidak, bagaimana bisa seorang remaja berusia 16 tahun berbuat kriminal yang amat keji. Padahal, lumrahnya, usia remaja adalah usia untuk mengukir cita, mendulang prestasi untuk kehidupan yang lebih baik. 

Namun, itulah potret individu sekularisme yang memisahkan aturan agama dalam kehidupan. Agama hanya dipakai untuk mengatur ranah ibadah saja, sementara dalam kehidupan manusia bebas menentukan aturannya sendiri. Sering kali jika berbicara masalah agama, dibilang "cukup di masjid saja" atau "apa-apa tidak usah dikaitkan dengan agama".

Padahal, faktanya manusia tanpa agama bagaikan seseorang yang berjalan tanpa punya indra penglihatan, bingung menentukan arah, bisa salah langkah dan berujung tersesat. Individu tanpa paham agama, berujung kesesatan, bahkan mudah melakukan kemaksiatan. Ia akan mudah kalut dan emosi hanya karena masalah sepele. Bahkan, bisa sampai menghilangkan nyawa sebagaimana dalam kasus ini. 

Belum lagi pergaulan para remaja yang makin bebas. Nyatanya, pendidikan tak mampu membuat karakteristik generasi menjadi lebih baik. Wajar, karena pendidikan dalam sekularisme orientasinya adalah materi, pencetak generasi buruh bagi para kapitalis. Maklum, kapitalisme adalah sebuah sistem yang menuhankan materi. Kekayaan materi adalah puncak kebahagiaan tertinggi bagi mereka.

Alhasil, generasi yang dihasilkan dari sistem pendidikan kapitalisme sekuler adalah generasi yang nir adab dan berkepribadian rusak. Seperti mengonsumsi minuman keras (miras). Telah jamak diketahui bahwa efek dari miras sangat membahayakan, yakni mampu merusak akal, hingga berujung kematian. Akan tetapi, remaja yang terkungkung pendidikan sekularisme tak memikirkan itu. Yang terpenting adalah bersenang-senang atau sekadar melampiaskan permasalahan hidup yang terjadi. 

Lemahnya sistem hukum hari ini pun turut menyumbang kerusakan. Hukum tak membuat jera, sekadar penjara dan ancaman denda. Sungguh, membiarkan sistem kapitalisme sekuler tetap eksis sama saja menyuburkan manusia-manusia sadis.

Islam Menjaga Nyawa

Sesungguhnya, Islam adalah sebuah agama yang di dalamnya memuat aturan secara keseluruhan. Islam mewajibkan manusia terikat dengan agama. Sebab, dalam agama muncul syari'at sebagai hukum yang mengikat manusia sehingga manusia tidak diberikan kebebasan dalam mengatur kehidupannya. Manusia harus tunduk pada aturan Pencipta. Sebagaimana benda yang diciptakan oleh manusia, harus taat dalam aturan pembuatnya. Jika melanggar, maka kerusakanlah yang akan terjadi. 

Karena itu, individu dibina agar memiliki akidah (keimanan) yang kokoh, mampu menjadi filter dalam mengarungi kehidupan. Seorang muslim akan senantiasa berhati-hati dalam berbuat, karena sadar akan pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Sebagaimana Sabda Nabi saw.

“Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak dari tempat hisabnya pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai empat hal: (1) umurnya, untuk apakah ia habiskan, (2) jasadnya, untuk apakah ia gunakan, (3) ilmunya, apakah telah ia amalkan, (4) hartanya, dari mana ia peroleh dan dalam hal apa ia belanjakan.” (HR Ibnu Hibban dan at-Tirmidzi).

Hati yang dekat dengan Ilahi Rabbi tak mudah rapuh hanya karena hinaan manusia. Begitu pun jiwa yang dekat dengan Allah Swt. tak mudah menyerah jika harapan berbanding terbalik dengan kenyataan. Ia sadar bahwa apa pun keputusan dari-Nya adalah yang terbaik. Jika remaja muslim memahami hakikat ini, maka ia tak mudah menempuh jalur emosi untuk membalaskan segalanya. 

Namun, membentuk generasi mulia berkepribadian Islam juga butuh sistem kehidupan, terkhusus dalam pendidikan. Islam memandang pendidikan adalah sesuatu yang penting. Dalam pendidikan Islam, penanaman akidah bagi siswa menjadi hal penting sejak usia dini. Output pendidikannya berbeda dalam kapitalisme, yakni selain membentuk generasi yang cerdas ilmu pengetahuan dan terapan, juga memiliki syakhsiyyah Islam (berkepribadian Islam).

Jika sampai terjadi perilaku maksiat, Islam memerintahkan untuk memberikan hukuman yang setimpal, termasuk dalam kasus pembunuhan. Hukum membunuh adalah qishash. Allah Swt. berfirman, 

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) kisas berkenaan dengan orang yang dibunuh.” (QS. Al-Baqarah: 178).

Sanksi tegas yang diberikan ini akan mampu menjadi upaya pencegahan pada pelaku setelahnya sehingga tidak ada lagi remaja sadis di luar sana. Hanya saja, untuk mewujudkan generasi yang terbaik dan kehidupan terbaik, dibutuhkan dukungan sistem. Islam adalah satu-satunya sistem kehidupan yang hukumnya diatur dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Wallahua'lam bisshawab.

Oleh: Ismawati 
(Aktivis Dakwah dari Banyuasin) 

Rabu, 18 Oktober 2023

Menjadi Orang Tua Sadis di Era Kapitalis

Tinta Media - Berusaha menjaga kewarasan mental di era kapitalisme memang tidaklah mudah, di tengah berbagai gempuran masalah dan berbagai polemik kehidupan, kita juga dipaksa wajar menerima kerusakan, kemaksiatan dan berbagai kezaliman.
Maka ketika agama tidak dijadikan pegangan, yang tersisa hanyalah kegilaan.

Bahkan keluarga yang seharusnya menjadi tempat paling nyaman dan aman dari kerasnya kehidupan, bisa berubah jadi tempat paling berbahaya dan tempat meregang nyawa. Seperti kasus yang terjadi di Desa Parigimulya, Kecamatan Cipunagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Seorang bocah bernama Muhammad Rauf (13), ditemukan tewas di saluran irigasi atau sungai di Blok Sukatani, Desa Bugis, Kecamatan Anjatan, Kabupaten Indramayu, Rabu (4/10/2023) dalam kondisi berlumuran darah dengan tangan terikat ke belakang. Ironisnya Rauf dihabisi nyawanya oleh ibu kandungnya N (43), paman S (24) serta kakeknya, W (70). 

Kejadian tersebut bermula dari kedatangan Rauf ke rumah kakeknya, karena telah beberapa hari tidak pulang, si kakek menegurnya, namun karena tidak menerima teguran tersebut Rauf memukul kakeknya. Pukulan tersebut dibalas oleh kakeknya dengan memukul menggunakan gergaji dan menyasar kepala korban. lalu kakeknya tersebut memanggil ibu korban dan korban sempat berusaha melarikan diri, namun sang ibu menghadangnya hingga tertangkap, si ibu langsung membanting korban dan menindihnya. Selanjutnya Ibu korban, menelepon adiknya atau paman korban berinisial S untuk datang, sesampainya di lokasi kejadian, paman korban langsung mengikat tubuh korban.

Saat itu pelaku sekaligus ibu korban, sempat meminjam motor tetangga, berniat mengantarkan korban kepada ayahnya di wilayah Bongas Indramayu. Sebab diketahui ayah dan ibu sudah bercerai. Namun, saat di tengah perjalanan, ibu korban terfikir untuk membuang korban ke saluran irigasi. Menurut para pelaku, saat ditinggalkan korban masih hidup. Dan alasan sang ibu tega menganiaya anaknya lantaran kesal sebab korban diketahui ingin memiliki ponsel dan beberapa kali mengambil ponsel milik ibunya.
(kompas.com /07/10/2023)

Tragis dan miris! ibu yang fitrahnya penuh kasih sayang sekaligus pelindung bagi anak-anaknya bisa berubah menjadi sadis di era kapitalis. Tingkat kekerasan yang dialami oleh anak saat ini memang cukup tinggi. Mengutip data SIMFONI-PPA1 atau sebuah sistem informasi online yang menghimpun data kekerasan terhadap perempuan dan anak dari berbagai sumber, pada tahun 2023 terdapat 20.401 kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sekitar 70 persen pelaku kekerasan terhadap anak adalah orang tua dengan alasan memberi pendidikan dan disiplin. 

Pada dasarnya masalah perilaku anak yang nakal, agresif atau suka mencuri adalah hasil didikan orang tua, sebab bagaimanapun, orang tua adalah pendidik pertama dan utama serta memegang peranan yang paling penting dalam tumbuh kembang anak. Dan hal yang paling mendasar sekaligus, utama yang kerap di lupakan oleh orang tua adalah penanaman aqidah yang benar sejak awal. Serta bagaimana perilaku orang tua dalam memberikan pengasuhan kepada anak. Padahal itu adalah kunci dalam pembentukan kepribadian anak dan dengan berbekal aqidah yang kokoh dalam mengarungi kehidupan, seorang anak tidak akan mudah terpengaruh pada lingkungan yang tidak baik. 

Terlebih ketika orang tua mengalami perceraian. Karena pada dasarnya kesedihan dan psikologis itu tidak hanya di tanggung oleh orang tua, dalam kasus ini seorang ibu, tapi juga di rasakan seorang anak. Kendati dampak perceraian bagi mental anak secara psikologis dan sosialnya bisa bervariasi, tergantung pada usia, kepribadian serta kondisi keluarga anak. Namun secara umum anak korban perceraian cenderung bermasalah dengan perilaku, akibat stres dan bingung dengan situasi yang belum dia mengerti, yang kemudian membuat anak menjadi lebih agresif, impulsif atau nakal.

Jika orang tua memberi pengertian secara berkelanjutan, memberikan dukungan emosional kepada anak. Dengan menunjukkan kasih sayang, perhatian, dan pengertian kepada anak, meskipun mereka sudah bercerai maka masalah tersebut bisa tertangani dengan baik.

Namun di sisi lain orang tua juga seharusnya memiliki pemahaman agama yg benar, sehingga ketika anak melakukan kenakalan, bisa menghadapinya dengan lebih bersabar, dan dapat memaklumi kegoncangan mental anak ketika merasa kehilangan salah satu sosok penting, yang seharusnya berada di sisinya saat pertumbuhannya.

Selanjutnya, persoalan ekonomi pasca perceraian yang sejatinya menjadi kewajiban bagi seorang ayah dalam pemberian nafkah anak, hingga anak mencapai usia baligh, kecuali saat anak memiliki kekurangan fisik maupun mental, yang di masa sekarang, kerap disepelekan kendati itu adalah dosa yang besar.

Sebaliknya tanggung jawab nafkah tersebut dibebankan kepada ibunya, membuat ibu harus bertarung sendirian, mencari penghidupan demi anaknya, dan dari rasa ketidakadilan tersebut, tersimpan rasa frustrasi terpendam, yang ketika terpancing kemarahan, mampu mendorong seseorang ibu bertindak agresif bahkan mampu menyakiti anaknya secara fisik ataupun verbal.

Ini adalah akibat penerapan kapitalisme sekularisme di berbagai bidang kehidupan saat ini menimbulkan lingkaran setan permasalahan. Memicu persoalan pelik, baik bagi individu, keluarga maupun negara.
Bermula dari tujuan kehidupan yang salah dan dijauhkannya agama dari kehidupan membuat manusia lebih mudah menyerah terhadap nafsunya.

Tidak bisa dipungkiri, menjadi orang tua di era kapitalisme sangatlah berat, sebab kerap dihadapkan pada pilihan-pilihan yang terkadang menekan fitrah kemanusiaan. 
Sehingga membuat banyak orang tua melakukan kesalahan dalam mendidik dan mengasuh anak, bahkan anak yang sejatinya adalah amanah sekaligus anugerah dari Allah SWT, terkadang di pandang hanya sebagai beban bagi orang tua.

Mengingat kondisi kesehatan mental orang tua sangat berdampak besar pada anak-anak yang diasuhnya serta kesejahteraan mereka, sepatutnya negara memberikan perhatian khusus untuk hal ini, bagaimanapun juga anak-anak hari ini, adalah aset bangsa yang perlu di jaga. Sebab nasib peradaban bangsa ini kedepan ada di tangan mereka.
 
Namun akibat situasi, ekonomi, sosial dan politiknya yang penuh kerusakan saat ini,telah banyak para orang tua kehilangan jati dirinya dan lupa akan fitrahnya. Maka solusi terbaik untuk bangsa ini adalah mengganti sistem kapitalisme dengan sistem yang jauh lebih baik, yaitu sistem Islam yang berideologi kan Islam, yang berlandaskan Al-Qur'an dan Sunnah sehingga penerapan syariah secara kaffah bisa terlaksana sempurna. Dan setiap anak maupun orang tua, umat manusia khususnya, bisa kembali kepada fitrahnya masing-masing.

Wallahu'alam.

Oleh: Indri Wulan Pertiwi
Aktivis Muslimah Semarang

Jumat, 29 September 2023

Sistem Sekuler Kapitalis Melahirkan Individu Sadis


Tinta Media - Karut- marut masalah negeri ini kian hari kian runyam, bahkan tak kunjung menemukan solusi terbaik. Setiap hari ada saja kasus pembunuhan yang berakhir sadis. Seperti beberapa kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terjadi di beberapa daerah.

Dilansir dari REPUBLIKA.CO.ID, seorang suami bernama Nando (25 tahun) membunuh istrinya, Mega Suryni Dewi (24 tahun) di rumah kontrakan Kampung Cikedokan, Desa Sukadanau, Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi (Kamis, 07/09/2023)
Kapolsek Cikarang Barat AKP Rusna Wati mengatakan, pelaku membunuh korban lantaran kesal saat ditanya masalah uang belanja. Sebelum melakukan pembunuhan, pelaku dan korban sempat cekcok masalah ekonomi.

Dikutip dari Kompas.com pada kamis tanggal 07/09/2023, di Kalimantan Barat, Kota Singkawang, seorang suami berinisial BSK menusuk istrinya NSL karena tak terima digugat cerai hingga korban pun dinyatakan meninggal dunia.

Masih dari sumber yang sama, pada minggu 10/09/2023 di Jawa Barat, Kabupaten Ciamis, seorang juru parkir bernama Asep Malik (51 tahun) diamankan polisi karena telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kepada istri sirinya bernama Teti Maryati (40 tahun). Korban pun meninggal dunia. Peristiwa tersebut terjadi di kediaman pelaku di Dusun Warung Wetan Kecamatan Ciamis.

Miris, ketika menyaksikan berbagai kasus pembunuhan di atas. Banyak faktor yang menjadi sebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, seperti masalah ekonomi, pekerjaan, perselingkuhan, hingga lemahnya iman. Hal ini disebabkan karena lemahnya pengelolaan emosi dan daya tahan dalam menghadapi beratnya kehidupan.
Ditambah gagalnya negara dalam membangun hubungan sosial yang didasari ideologi sekuler kapitalisme.

Sistem saat ini menganggap bahwa penyebab KDRT adalah budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dalam kepemimpinan, terutama di rumah tangga. Laki-laki dianggap memiliki otoritas terhadap keluarganya, seperti istri, anak-anak, dan harta bendanya.

Padahal, penyebab KDRT bukanlah karena kepemimpinan suami terhadap keluarganya, melainkan karena sistem saat ini tidak mengatur hubungan antara suami dan istri sedang baik. Artinya, hubungan antara pemimpin dan orang yang di pimpinnya tidak berjalan dengan baik.

Inilah potret buram kehidupan sekuler kapitalistik yang jauh dari keimanan, yaitu menjadikan Individunya lemah dan sadis, ditambah penegak hukum saat ini yang tidak memberikan efek jera kepada pelaku. Hukum saat bahkan bisa dinegosiasi oleh mereka yang memiliki banyak uang sehingga kasus pembunuhan akan terus ada.

Hal tersebut sangat berbeda dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam, kehidupan rumah tangga diatur dengan aturan Islam yang berasal dari Allah ta'ala sehingga mampu menjadikan rumah tangga tenteram, jauh dari pertengkaran yang menyebabkan kekerasan, apalagi sampai terjadi pembunuhan.

Dalam Qur'an surat Al_A'raf 189 dan Ar-Rum 21, Allah menetapkan bahwa kehidupan rumah tangga seperti kehidupan persahabatan sehingga mampu memberikan kedamaian dan ketenteraman.

Islam juga memerintahkan pergaulan yang baik antara suami dan istri, seperti firman Allah dalam Qur'an surat (An-Nissa ayat 4)
“Dan bergaullah dengan mereka secara makruf (baik).”

Begitu pun riwayat Nabi saw. mengatakan,
“Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada keluarga (istri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluarga (istri)ku.” (HR Al-Hakim dan Ibnu Hibban dari jalur Aisyah ra.)

Kemudian masalah kepemimpinan, Islam menetapkan bahwa seorang suami merupakan pemimpin atas istri dalam rumah tangganya, sebagaimana firman Allah ta'ala,
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS An-Nisa: 34)

Namun, tanggung jawab atau kepemimpinan suami atas istri bukan berarti suami bertindak otoriter terhadap istri atau seperti penguasa yang tidak boleh dibantah.

Akan tetapi, kepimpinan suami adalah mengatur rumah tangga, memelihara urusan rumah tangga, termasuk mendidik dan membimbing istri dan anak-anaknya agar senantiasa taat kepada Allah Swt. Kalaupun dalam rumah tangga terjadi masalah yang dapat mengancam ketenteraman, maka Islam memerintahkan untuk bersabar dan memendam kebencian karena bisa jadi pada kebencian terdapat kebaikan (Q.S An-Nissa:19)

Akidah Islam memberikan kekuatan dan kesabaran pada seorang hamba dalam menghadapi kesulitan dan beratnya kehidupan. Keimanannya menjadi perisai untuk sabar dan tetap dalam kewarasan ketika bertemu masalah sehingga tidak berbuat maksiat.

Dalam sistem Islam, negara berperan untuk membantu rakyat agar hidup tenang, aman, dan damai dalam suasana keimanan dengan memenuhi kebutuhan manusia dan menyejahterakannya melalui penerapan Islam secara keseluruhan.

Negara berperan dalam menegakkan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam aturan keluarga. Dengan penerapan Islam, akan terwujud masyarakat aman, damai, dan sejahtera sehingga mampu menciptakan lingkungan yang kondusif. Jika terjadi pelanggaran syariat seperti tindakan kekerasan yang mengancam keselamatan, maka negara yang akan menerapkan sanksi sesuai dengan syariat Islam.

Oleh: Nasiroh (Aktivis Muslimah)

Selasa, 27 Juni 2023

L6BT Makin Sadis, Bikin Meringis...

Tinta Media - Sejumlah siswa di dua sekolah tingkat SMA dan SMK di  Pekanbaru terindikasi L6BT. Mereka membuat komunitas L6BT yang ternyata menyebar hingga kalangan anak Sekolah Dasar (SD). 

Dilansir dari JawaPos.com, Pemerintah Kota Pekanbaru di Provinsi Riau membahas upaya penanganan masalah yang berkenaan dengan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (L6BT) di lingkungan sekolah. Hal itu menyusul munculnya grup percakapan terkait L6BT di kalangan siswa sekolah dasar.

Berita ini sungguh menyedihkan serta mengkhawatirkan bagi kita sebagai masyarakat umum, terkhusus para orang tua yang memiliki anak yang sedang bersekolah. Jika satu kasus saja baru dapat terindikasi setelah perbuatan tersebut menyebar di salah satu wilayah, maka bagaimana dengan wilayah-wilayah lain yang tidak terverifikasi? 

Akan sangat mungkin jika masih terdapat lagi komunitas-komunitas yang serupa, karena perilaku semacam ini tidak mungkin jika tidak tersebar di tengah masyarakat. Apalagi setelah beberapa kasus sebelumnya yang menyatakan bahwa terdapat banyak pelaku L6BT di Cianjur, Garut, dan kota lainnya.

Kita melihat fakta bahwa perilaku menyimpang L6BT dari hari ke hari semakin marak, khususnya di negara kita, Indonesia. Jika kita waras dan bersandar para akal sehat, maka kita akan sadar bahwa perilaku menyimpang tersebut bukanlah  hal yang dapat dibenarkan. 

Dari segi fitrah manusia pun, tak ada satu pendapat akurat dari seorang dokter ataupun institusi kesehatan manapun yang menyatakan bahwa penyimpangan ini adalah hal yang terjadi akibat pengaruh gen ataupun hormon, seperti yang mereka (para pelaku L6BT) nyatakan. Melainkan ini adalah perilaku yang dinormalisasikan akibat adanya penerapan HAM (Hak Asasi Manusia). 

Suatu perbuatan yang jelas-jelas melenceng dari kodrat manusia, meski itu  berasal dari individu, maka tidak boleh kita terima. Ketika perilaku L6BT dibiarkan dengan tidak ada pencegahan secara khusus atau bahkan sampai dilegalkan di suatu negara, contohnya di Amerika, maka perbuatan semacam ini pun pasti akan sangat memengaruhi masyarakat. 

Sekalipun negara Indonesia mayoritas penduduknya adalah muslim, tetapi jika tidak ada perlindungan bagi masyarakat terhadap dampak buruk yang diakibatkan oleh perilaku L6BT, maka akan mudah bagi masyarakat terpengaruh oleh paham-paham menyimpang tersebut. 

Beberapa waktu yang lalu, salah satu pejabat pemerintah mengumumkan bahwa L6BT ini menurutnya merupakan kodrat yang dimiliki oleh manusia. Ada juga public figure, tokoh masyarakat atau bahkan orang biasa yang dengan terang-terangan mengaku sebagai pelaku L6BT. Mereka menyebarkan opini-opini sesat melalui konten-konten yang memperlihatkan perbuatan bejat mereka kepada masyarakat awam, dengan dalih perbuatan mereka bukanlah hal aneh dan tidak membahayakan. 

Adanya sikap permisif (serba boleh) yang menyebar di tengah-tengah masyarakat menjadikan makin tersebarluasnya perilaku L6BT ini. Masyarakat digerus oleh pemahaman sekuler yang berasal dari Barat, termasuk paham terkait L6BT. 

Paham kebebasan atau liberalisasi sudah menguasai jiwa-jiwa generasi akibat pengaruh gadget dan sosial media, sehingga segala perbuatan dibiarkan tanpa tolak ukur dan batasan. Manusia menjadi bebas dalam berbuat, tanpa mempedulikan aturan yang ada, sekalipun itu adalah aturan agama.

Di sisi lain, tidak ada pencegahan yang khusus dan tegas dari negara mengenai perilaku ini. Para pelaku L6BT juga tidak dikenai sanksi yang tegas sehingga mereka merasa diberi ruang untuk menampakkan eksistensinya. 

Tak dapat dielakkan, bahwasanya di zaman sekarang ini pengaruh gadget sangatlah besar bagi kehidupan. Di kalangan dewasa, remaja, bahkan anak di bawah umur sudah akrab dengan gadget. Ketika seseorang mulai membuka sosial media, maka segala hal akan dapat ditemukan, baik itu berupa kebaikan maupun keburukan. Apalagi ketika anak-anak yang mengakses dengan kenaifan mereka.  

Mereka terus disuguhi dengan konten-konten tidak bermoral seperti pornografi, pornoaksi, sampai konten yang menyuarakan L6BT. Hal ini sangat memengaruhi perbuatan mereka di dunia nyata. Padahal, L6BT merupakan perbuatan yang sangat keji dan dicela semua agama, terutama oleh agama Islam.

Islam bukanlah semata agama ritual, tetapi merupakan aturan hidup yang memberi solusi terhadap berbagai masalah manusia. Terkait perilaku menyimpang L6BT, salah satunya homo seksual (gay/liwath),  Allah Swt. secara tegas menerangkan dalam  Al-Qur'an, surat Al-A'raf ayat 80-81, bahwa perbuatan liwath tersebut merupakan faahisyah atau perbuatan keji yang menimbulkan dosa.

Dinyatakan bahwa hal tersebut merupakan perbuatan yang melampaui batas, bahkan belum pernah dilakukan oleh kaum mana pun kecuali oleh kaum Nabi Luth. Oleh karena itu, dengannya Allah menimpakan azab dengan dihujani batu dari langit, hingga membinasakan kaum tersebut.

Islam memberikan hukuman tegas bagi pelaku homoseksual. Bahkan, sejarah mencatat Khalid bin Walid pernah mengeksekusi mati pelaku homoseksual. 
Dalam riwayat lain yang berasal dari Abdullah bin Abbas, ia berkata terkait hukuman bagi pelaku homoseks:

"Dicari bangunan yang paling tinggi di daerah tersebut, lalu pelaku homoseks dilemparkan dari atasnya dalam kondisi terbalik (kepala di bawah dan kaki di atas), sambil dilempari dengan batu." (Riwayat ad-Duri, al-Ajurri, Ibnu Abi Syaibah, dan al-Baihaqi). 

Ibnu Abbas mengambil hukuman hadd tersebut dari hukuman Allah Swt. kepada kaum Luth. Sahabat ini meriwayatkan dari Nabi saw. bahwasanya beliau bersabda: 

مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ 

"Barang siapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth maka bunuhlah kedua pelakunya." (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Dalam Islam, harga diri umat manusia sangat dijaga dan dimuliakan, tak terkecuali dalam kasus seperti L6BT ini. Islam tidak akan segan-segan menghukum pelaku L6BT atas perbuatan tercelanya. Di samping karena perintah Allah dan sunnah Rasulullah, Islam pun memiliki hikmah lain atas sanksi yang ditetapkan tersebut, yakni sebagai jawabir sekaligus zawajir. Hukum dalam Islam bersifat jawabir yaitu penebus dosa serta zawajir yang artinya memberikan efek jera.

Hukum sanksi Islam ini akan berfungsi jika syariat Islam diterapkan secara komprehensif, dalam sebuah institusi negara (khilafah).  Negaralah yang bertanggung jawab menegakkan sanksi bagi para pelaku maksiat, termasuk sanksi yang diberikan kepada pelaku L6BT, sehingga memustahilkan  adanya pertumbuhan perilaku L6BT, seperti yang terjadi saat ini. Inilah bentuk penjagaan negara terhadap nasab dan kehormatan masyarakat.

Wallahua'lam bishawab. 

Oleh: Isnaeni Nur Azizah
Sahabat Tinta Media 

Minggu, 09 April 2023

Generasi Sadis dalam Sistem Sekuler Kapitalis

Tinta Media - Tindak kekerasan yang dilakukan oleh generasi muda bak sinetron yang terus bersambung dan tidak diketahui kapan episode terakhir terjadi. Bukannya berhenti, tindakan kekerasan tersebut justru dilakukan dengan cara yang kian sadis dan tak manusiawi.

Seperti yang dilakukan oleh ketiga remaja SMP berusia 14th di Sukabumi, Jawa Barat. Mereka ditangkap polisi karena diduga melakukan pembacokan kepada remaja sebaya mereka hingga tewas. Tak hanya itu, tindakan keji tersebut bahkan mereka tayangkan secara langsung melalui media sosial Instagram.  (News.detik.com, 24/3/23)

Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh remaja tersebut sungguh sadis dan di luar nalar. Remaja usia SMP yang seharusnya memegang pensil justru memegang senjata tajam. Remaja yang seharusnya bercengkerama dengan teman seusianya, faktanya justru menjadi pembunuh. Remaja yang seharusnya masih merasa takut melakukan kesalahan ketika dilihat orang lain, justru melakukan tindak kejahatan dalam siaran langsung Instagram yang dapat disaksikan oleh masyarakat luas secara langsung. Di mana hati nurani mereka? Tak adakah rasa takut berbuat salah dan dosa?

Kasus tersebut hanya satu dari deretan kekerasan yang dilakukan oleh para remaja. Tawuran dan penganiayaan, bahkan pembunuhan menjadi aktivitas yang tidak asing lagi bagi mereka. Tindakan kekerasan seolah menjadi jati diri para remaja yang melakukannya demi eksistensi. Jumlah kekerasan dilakukan oleh generasi muda semakin hari semakin banyak, bukannya berkurang, justru beragam pula caranya. 

Beginilah potret buram generasi muda saat ini yang hidup di bawah naungan sekuler kapitalis, paradigma masyarakat yang memisahkan agama dari kehidupan. Setiap aktivitas mereka hanya berorientasi pada kepuasan materi. Pandangan hidup seperti ini telah merusak tatanan masyarakat yang seharusnya saling menghormati dan menjunjung tinggi nilai agama. Kini, akibat sekuler kapitalis, generasi muda bahkan berani berbuat kejahatan dengan begitu sadis. Hal ini karena keimanan individu para pemuda tak mampu diwujudkan. 

Tak hanya itu, masyarakat juga semakin tidak peduli dan tak acuh dengan kondisi generasi muda yang rusak. Bahkan, masyarakat justru menunjukkan perilaku yang juga semakin mudah melakukan tindak kekerasan yang sama. Kasus pembunuhan suami terhadap istri akibat perselingkuhan banyak ditemui. Kasus pembunuhan dengan mutilasi juga sering menjadi headline media. Begitu juga dengan berbagai pembunuhan dengan beragam motif, baik urusan asmara, utang-piutang, maupun perampokan. Semua pembunuhan tersebut dilakukan dengan cara-cara sadis. Sungguh, masyarakat pun sedang dalam kondisi mengerikan. Inilah bukti, bahwa sistem sekuler kapitalis telah melahirkan manusia-manusia yang keji tak berperikemanusiaan. 

Konsep sekuler kapitalis yang berupaya memperbaiki generasi dengan melakukan berbagai perubahan dalam sistem pendidikan faktanya tak mampu menghentikan kondisi rusaknya generasi. Pun juga masyarakat yang disibukkan dengan kerja dan kerja demi memenuhi keinginan hidup, justru mengalami tekanan dan semakin jauh dari pemahaman agama. Masyarakat menjadi apatis dan individualis, hingga abai pada kemaksiatan dan kejahatan di sekitar.

Ditambah lagi penerapan hukum bagi remaja yang dianggap masih di bawah umur tidak mendapatkan hukuman yang sama dengan pelaku kejahatan dewasa. Hal ini semakin memberikan pemikiran pada generasi bahwa kejahatan mereka akan mendapatkan toleransi. Jika kepada Tuhan sudah tak takut berbuat dosa, pada hukum negara pun meremehkan, apalagi yang bisa diharapkan dari generasi semacam ini? 

Hal ini jelas berbeda dengan gambaran kondisi pemuda di masa penerapan Islam secara kaffah, yakni masa kekhilafahan. Sebab, kekhilafahan menerapkan sistem aturan dari Allah, yakni Islam secara sempurna. Sistem pendidikan, ekonomi, sosial, politik, pergaulan, dll semua berasaskan akidah Islam. 

Untuk membentuk generasi beriman dan berkepribadian tangguh dibutuhkan sistem pendidikan Islam yang dapat menyelesaikan persoalan generasi dalam mengembalikan jati diri mereka sebagai muslim sejati. Kemudian tatanan masyarakat juga memahami dan menerapkan amar makruf nahi mungkar, sehingga tak akan acuh ketika ada kemaksiatan.

Tak kalah penting dan yang utama adalah peran negara sebagai pelindung generasi dilaksanakan dengan optimal atas landasan iman, bukan keuntungan. Tak ayal, setiap yang akan melemahkan generasi pasti akan dibasmi tanpa meninggalkan celah sedikit pun. Seperti konten dalam internet yang melanggar syari'at, akan ditutup meskipun menguntungkan secara finansial, jika dianggap akan merusak generasi. Hukum pun diterapkan sesuai aturan syariat. Batas seseorang diberikan beban hukum adalah ketika sudah baligh, bukan pada usia tertentu. Ketika sudah masuk usia baligh, maka sanksi dan hukuman yang diberikan sama, yakni bersifat tegas, adil, dan memberikan efek jera.

Semua pihak bersinergi untuk menjaga akidah dan menyelamatkan generasi dari pengaruh buruk budaya asing. Semua bekerja atas dasar iman, sehingga keimanan individu terbentuk, kontrol masyarakat terwujud, dan peran negara optimal sebagai perisai rakyat. Begitulah, sebab Islam memiliki seperangkat aturan sempurna yang mengatur dan menyelesaikan berbagai problematika manusia. Wallahu a'lam!

Oleh: Wida Nusaibah
Pemerhati Masalah Remaja

Selasa, 21 Maret 2023

UIY Ungkap Faktor Penyebab Kejahatan Makin Sadis

Tinta Media - Cendekiawan Muslim, Ustaz Ismail Yusanto (UIY) menilai banyak faktor yang menyebabkan kejahatan semakin sadis.

“Saya kira ada banyak faktor di dalamnya ya,” tuturnya dalam program Fokus to the Point: Kejahatan Makin Sadis, Apa Penyebabnya? di kanal UIY Official, Sabtu (18/3/2023).

Pertama, lumrahisasi kejahatan karena saking seringnya masyarakat menyaksikan, melihat, dan mendengar kejahatan itu sendiri. “Ini salah satu efek buruk dari gadget. Sekarang ini siapa pun bisa mengakses berbagai peristiwa yang ada di muka bumi ini di berbagai tempat dengan mudah. Dan ketika mereka menyaksikan dalam sebuah frekuensi yang sangat sering maka akan terbentuk pada dirinya itu satu pandangan bahwa hal seperti itu sebagai sesuatu yang biasa atau yang lumrah itu,” paparnya.

Kedua, hukuman yang ada saat ini tidak memberikan efek jera dan pencegahan terhadap kejahatan. “Misalnya orang membunuh paling kena 15 tahun misalnya, 15 tahun dipotong masa tahanan mungkin jatuhnya ini separuh bahkan kurang, setelah itu bebas gitu. Jadi tidak memberikan efek jera,” ungkapnya.

Ketiga, terkait dengan integritas personal. “Jadi situasi ekonomi yang menekan, pergaulan bebas, membuat akhirnya banyak orang itu yang terdorong untuk melakukan kejahatan,” sambungnya.

Terakhir, kecenderungan orang menjadikan kekerasan sebagai jalan penyelesaian persoalan. ”Mereka melihat hukum-hukum ini hari kan hukum yang tidak bisa diandalkan, ketika misalnya orang berselisih ya misalnya lapor kepada aparat jadi dibiarkan atau lapor ke aparat kalau mau diurus harus bayar dulu misalnya gitu. Itu kan membuat akhirnya alih-alih persoalan selesai, bisa menimbulkan masalah baru,” bebernya.

Solusi 

Cendekiawan Muslim ini juga memaparkan kunci menghentikan kejahatan yang makin sadis ini yaitu dengan pembinaan pendidikan generasi, baik di sekolah, rumah oleh orang tua, dan juga masyarakat.

"Menurut saya ini sudah harus menjadi warning yang sangat keras bukan lampu kuning bahkan lampu merah bagi semua kalangan untuk melihat ancaman ini pada generasi kita kalau tidak ingin masyarakat kita makin hari makin kacau ya," tandasnya. 

UIY menilai bahwa Islam mempunyai peran yang sangat besar dalam membentuk integritas personal yang kokoh, yaitu meletakkan pondasi cara berpikir dan berperilaku berdasarkan keimanan kepada Allah. Tauhid, ketundukan kepada Allah akan membuat seseorang mengerti mana yang boleh mana yang tidak, mana yang halal mana yang haram, dan itu adalah sumber kekuatan kepribadian untuk mendorong berbuat baik yang paling kuat.

"Ini harus diletakkan secara mendasar secara pokok terus-menerus kepada generasi muda bahkan kepada seluruh penduduk negeri ini, bahkan oleh negara mestinya," pungkasnya. [] Lussy Deshanti W.
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab