Tinta Media - Syarat pengurusan SIM dan STNK yang mengharuskan masyarakat memiliki kartu BPJS Kesehatan, dinilai Jurnalis Joko Prasetyo (Om Joy) sebagai kezaliman di atas kezaliman.
"Dijadikannya keikutsertaan BPJS sebagai syarat mengurus SIM dan STNK merupakan kezaliman di atas kezaliman," tuturnya kepada Tinta Media, Jumat (2/9/2022).
Om Joy menilai hal ini sama sekali tidak dapat dibenarkan (bila dilihat dari sudut pandang Islam) karena memaksa umat Islam untuk bermaksiat dan semakin menambah sengsara rakyat saja. "Rezim negara Fansa Zila mestinya sadar mengapa banyak rakyat yang mayoritas Muslim dan sedikit di atas garis kemiskinan (sehingga tetap harus membayar premi bila ikut BPJS) tidak ikut serta BPJS Kesehatan," katanya.
Menurutnya, setidaknya ada tiga alasan. 𝑷𝒆𝒓𝒕𝒂𝒎𝒂, 𝒂𝒍𝒂𝒔𝒂𝒏 𝒊𝒅𝒆𝒐𝒍𝒐𝒈𝒊𝒔. Kaum Muslim yang memahami hakikat BPJS merupakan asuransi, dan memahami akad dan bayar premi asuransi merupakan keharaman tentu saja berupaya keras untuk tidak ikut BPJS. "Karena mengikuti sesuatu yang diharamkan, sama saja dengan bermaksiat. Dan kesadaran ini insyaAllah semakin meningkat," ujarnya.
𝑲𝒆𝒅𝒖𝒂, 𝒂𝒍𝒂𝒔𝒂𝒏 𝒆𝒌𝒐𝒏𝒐𝒎𝒊. "BPJS Kesehatan untuk kelas III, kelas yang paling kecil bayar preminya. Per kepala per bulan itu preminya Rp35 ribu (aslinya Rp42 ribu, yang Rp7 ribu disubsidi negara). Kalau sekeluarga ada lima orang, berapa yang harus dibayar per bulan? Rp175 ribu! Angka yang sangat memberatkan, apalagi di tengah naiknya berbagai harga barang dan jasa, belum lagi akan terjadinya inflasi yang lebih parah akibat penaikan (ya penaikan, bukan kenaikan) harga BBM. Sedihnya, angka kemiskinan akan semakin meningkat," bebernya.
𝑲𝒆𝒕𝒊𝒈𝒂, 𝒂𝒍𝒂𝒔𝒂𝒏 𝒌𝒐𝒎𝒃𝒊𝒏𝒂𝒔𝒊. Kombinasi antara alasan pertama dan kedua. "Dengan dijadikannya keikutsertaan BPJS sebagai syarat mengurus SIM dan STNK tentu saja membuat rakyat yang menghindari keharaman asuransi dan juga yang secara ekonomi berat membayar premi bahkan sekadar untuk kelas III, benar-benar merasa dizalimi," ungkapnya.
Sekali lagi ia katakan, bahwa rezim negara Fansa Zila ini benar-benar zalim! "Bagaimana tidak, bila tidak bikin SIM dan STNK, nanti ketika mengendarai kendaraan bermotor di jalan raya bisa ditilang. Bila bikin SIM dan STNK, jadi bermaksiat dan beban ekonomi semakin bertambah berat," geramnya.
Menurutnya, dengan menjadikan BPJS sebagai syarat pengurusan SIM dan STNK sama saja dengan memaksa rakyat untuk bermaksiat dan semakin menyengsarakan rakyat. "Bukan hanya di dunia ini, tetapi juga sampai di akhirat. Beginilah bila kita hidup di negara yang jauh dari penerapan syariat," tegasnya.
Dalam pandangan syariat, kata Om Joy, sumber daya alam yang hasilnya berlimpah, seperti tambang emas, minyak, dan mineral serta energi lainnya yang hasilnya berlimpah itu termasuk kepemilikan umum (𝑚𝑖𝑙𝑘𝑖𝑦𝑦𝑎ℎ 𝑎𝑚𝑚𝑎ℎ), haram diserahkan kepada swasta, apalagi asing (asing penjajah lagi).
"Negara wajib mengelolanya yang hasilnya dikembalikan kepada rakyat salah satunya dalam bentuk fasilitas kesehatan dan operasional kesehatan sehingga rakyat, baik kaya maupun miskin sama-sama berobat murah bahkan gratis," terangnya.
Namun ia menyayangkan, negeri yang mayoritas Muslim ini tidak menerapkan syariat, tetapi malah menerapkan sistem kufur demokrasi yang merupakan pengamalan dari sila keempat Fansa Zila.
"Dalam sistem kufur demokrasi, 𝑚𝑖𝑙𝑘𝑖𝑦𝑦𝑎ℎ 𝑎𝑚𝑚𝑎ℎ diprivatisasi. Sehingga dengan leluasa kafir penjajah Amerika Serikat dapat merampok tambang emas yang berlimpah di Papua, begitu juga kafir penjajah negara Cina bisa mengeruk dengan semena-mena batu bara di Kalimantan, nikel di Sulawesi. Belum lagi kafir penjajah lainnya, para oligarki, dan para oknum pejabat yang juga turut merampok 𝑚𝑖𝑙𝑘𝑖𝑦𝑦𝑎ℎ 𝑎𝑚𝑚𝑎ℎ. Dan, dalam pandangan demokrasi-Fansa Zila itu legal! Padahal jelas-jelas dalam pandangan Islam itu haram, ilegal, dan kriminal!" bebernya.
Walhasil, kata Om Joy, negara Fansa Zila ini tidak memiliki biaya untuk membiayai kesehatan rakyatnya. "Namun, para penyelenggaranya yang mayoritas beragama Islam ini bukannya tobat kemudian menerapkan syariat, eh, malah menambah maksiat dengan memaksa rakyat untuk membiayai kesehatan dirinya sendiri dengan skema asuransi (yang jelas-jelas diharamkan Islam), dengan kedok gotong-royong. Padahal aslinya, menjamin kesehatan rakyat itu kewajiban negara," sesalnya.
Sedangkan para aktivis Islam yang mendakwahkan kewajiban penerapan syariat Islam secara kaffah (yang di dalamnya termasuk kewajiban pengelolaan 𝑚𝑖𝑙𝑘𝑖𝑦𝑦𝑎ℎ 𝑎𝑚𝑚𝑎ℎ), lanjutnya, malah dipersekusi dan dikriminalisasi. Dan, kini kezalimannya semakin menjadi dengan menjadikan keikutsertaan BPJS sebagai syarat mengurusan SIM dan STNK.
"Mau sampai kapan kita berdiam diri dizalimi bertubi-tubi seperti ini? Jangan lupa, berdiam diri atas kezaliman juga merupakan kezaliman. Karena melakukan amar makruf nahyi mungkar dan 𝑚𝑢ℎ𝑎𝑠𝑎𝑏𝑎ℎ 𝑙𝑖𝑙 ℎ𝑢𝑘𝑘𝑎𝑚 (mengoreksi penguasa) merupakan kewajiban," pungkasnya.[] Achmad Mu’it