Tinta Media: SDA
Tampilkan postingan dengan label SDA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SDA. Tampilkan semua postingan

Kamis, 17 Oktober 2024

SDA Melimpah, Apakah Rakyat Sejahtera?



Tinta Media - Setiap negara memiliki kekayaan alam yang berbeda-beda, tergantung letak geografis negara tersebut. Secara geografis, Indonesia berada tepat di garis khatulistiwa sehingga memiliki kekayaan alam berupa tambang yang melimpah. 

Indonesia di tahun 2023 menempati posisi ke enam sebagai negara dengan cadangan emas terbesar, yaitu sebanyak 2.600 ton. Dari segi produksi, Indonesia menempati posisi ke delapan dengan produksi sebesar 10 MT. Maka, seharusnya rakyat Indonesia menjadi sejahtera karena adanya kekayaan alam yang dimiliki. (CNBC Indonesia, 15/05/2024)

Warga negara asing (WNA) asal Cina berinisial YH terlibat penambangan emas ilegal di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Perbuatan YH membuat negara rugi hingga 1,02 triliun. Emas yang berhasil dikeruk melalui aktivitas penambangan ilegal ini sebanyak 774,3 kg. YH juga berhasil mengeruk cadangan perak di lokasi tersebut sebanyak 937,7 kg. (CNN Indonesia, 27/09/2024)

Dari uji sampel di lokasi pertambangan, emas  tersebut memiliki kadar yang tinggi, yaitu 136 gram/ton untuk sampel batuan dan 337 gram/ton untuk sampel batu tergiling. Pelaku melakukan aksinya dengan memanfaatkan lubang tambang pada wilayah tambang yang berizin. Pertambangan ilegal ini sudah melubangi tambang sepanjang 1.648,3 meter dengan volume 4.467,2 meter kubik.

Seperti inilah keadaan di negeri tercinta ini. Negara gagal dalam mengelola kekayaan alam yang ada sehingga mengakibatkan terjadinya berbagai hal buruk terhadap rakyat. 

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Solok, Sumatra Barat mengatakan bahwa terjadi tanah longgsor di kawasan tambang ilegal di Nagari Sungai Abu, Kecamatan Hiliran, Gumanti. Diduga, tanah longsor tersebut terjadi akibat hujan lebat pada Kamis 26 September malam. Bencana ini mengakibatkan 15 orang tewas dan 13 orang lainnya terluka. (VoaIndnesia, 29/09/2024)

Dampak dari penambangan ilegal ini pula, kekayaan emas Indonesia akan habis secara perlahan karena dikeruk oleh oknum tertentu. Otomatis keuntungan hanya didapatkan oleh oknum tersebut, sedangkan rakyat hanya mendapatkan imbasnya. 

Kasus tambang ilegal ini tidak terjadi baru kali ini saja, tapi sudah berulang kali. Hal ini menunjukan ketidakmampuan negara dalam mengelola kekayaan alam yang dimiliki negeri ini. Di samping itu, hukum yang ditegakkan negera berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam bersifat tidak tegas.

Ini semua adalah buah dari sistem kapitalisme yang diterapkan dalam negeri ini. Negara kapitalis membolehkan seseorang untuk memprivatisasi tambang yang seharusnya menjadi milik umum. Harusnya, negaralah yang mengelola tambang tersebut untuk dikembalikan lagi kepada rakyat sebagai pemiliknya.

Namun, privatisasi ini tidak dipermasalahkan dalam sistem kapitalisme selagi ada keuntungan di dalamnya. Maka, segala cara diperbolehkan. Itulah tolok ukur sistem ini, yaitu keuntungan semata, bukan syariat Allah.

Sudah seharusnya negara memiliki bigdata terhadap kekayaan alam yang dimiliki. Negara juga harus memiliki kedaulatan dalam mengelolanya. Tidak hanya itu, negara harus memiliki kewaspadaan tinggi kepada pihak asing dan pihak lainnya yang akan merugikan Indonesia. Karena itu, negara harus mengatur tambang, baik besar maupun kecil dengan aturan Islam. 

Dalam negara Islam, khalifah menjalankan perannya sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (perisai). Khalifah menerapkan aturan dalam mengelola kekayaan alam sesuai dengan ketentuan Allah. 

Apakah kekayaan alam tersebut boleh dikelola individu atau harus negara yang mengelolanya? Jika diperbolehkan dikelola oleh individu, itu adalah kekayaan alam yang hasilnya hanya sedikit, tidak melimpah. Sedangkan kekayaan alam yang hasilnya melimpah, maka negara berkewajiban mengelolanya. Dengan begitu, rakyat bisa mendapatkan manfaat yang optimal dan negara mampu menyejaahterakan rakyatnya. Wallahu’alam bishawab.



Oleh: Zidna Ilma
Sahabat Tinta Media

Tambang Ilegal, Dalih Ketidakbecusan Pemerintah Mengelola Sumber Daya Alam



Tinta Media - Pertambangan ilegal bukan hal yang aneh di negeri ini. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama dengan Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Korwas PPNS) Bareskrim Polri kembali berhasil mengungkap aktivitas penambangan emas ilegal di Ketapang, Kalimantan Barat. Penambangan ini dilakukan oleh sekelompok Warga Negara Asing (WNA) asal China, yang telah menggali lubang sepanjang 1.648,3 meter di bawah tanah. 

Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Solok Irwan Efendi, Jumat (27/9/2024) menyatakan bahwa puluhan orang penambang emas ilegal di Nagari Sungai Abu Kecamatan Hiliran Gumanti Kabupaten Solok, Sumatera Barat tertimbun longsor lubang galian tambang, pada Kamis (26/9/2024) sore. Sebanyak 15 orang meninggal dunia, 11 orang sudah dibawa keluarganya, 4 orang masih di lokasi, dan 25 orang lagi masih tertimbun, serta 3 orang  mengalami luka- luka.

Kementerian ESDM telah mencatat ada 2.741 lokasi pertambangan tanpa izin atau PETI alias tambang ilegal yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan bahwa 96 lokasi di antaranya merupakan tambang ilegal yang tersebar di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Bengkulu, dan Sumatera Selatan, sedangkan sisanya atau sebanyak 2.645 lokasi tambang ilegal tersebar merata di hampir seluruh provinsi. 

Jelas, ini merupakan bukti lemahnya fungsi pengawasan dan pengaturan pemerintah dalam tata kelola pertambangan dalam negeri. Padahal, tambang ilegal memiliki banyak dampak yang dapat merusak lingkungan. Kegiatan ini juga membahayakan keselamatan karena tidak mengikuti kaidah-kaidah penambangan yang memadai dan berpotensi merusak lingkungan hidup, antara lain mengakibatkan banjir, longsor, dan mengurangi kesuburan tanah. Kegiatan tersebut juga berpotensi menimbulkan masalah sosial, gangguan keamanan, dan kerusakan lahan.

Barang tambang merupakan sumber daya alam yang berasal dari dalam perut bumi. Sifatnya tidak bisa diperbaharui karena pembentukannya membutuhkan waktu yang lama, bahkan sampai berjuta-juta tahun. 

Pertambangan dilakukan manusia dengan menggali, mengambil, dan mengolah sumber daya alam yang terdapat di perut bumi, serta upaya-upaya pengolahan untuk dijadikan barang setengah jadi sebagai bahan dasar industri guna memenuhi sebagian kebutuhan manusia. Emas adalah barang tambang berbentuk mineral logam golongan B. Artinya, emas merupakan barang tambang yang vital dan penting bagi kehidupan orang banyak atau penting untuk hajat hidup orang banyak.

Indonesia menempati posisi ke-6 sebagai negara dengan cadangan emas terbesar, yaitu sebanyak 2.600 ton. Dari segi produksi, Indonesia menempati posisi ke-8 dengan produksi sebesar 110 MT pada 2023. Negeri ini merupakan salah satu pusat beberapa operasi emas besar. 

Salah satu yang terbesar adalah Distrik Pertambangan Grasberg, perusahaan patungan antara Freeport-McMoRan dan perusahaan milik negara (BUMN) Indonesia Asahan Aluminium. Namun, nyatanya rakyat hidup dalam kemiskinan. Kekayaan alam yang menurut teori harusnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, nyatanya telah dibuat sebegitu rupa oleh penguasa yang ada dalam sistem demokrasi kapitalisme liberal saat ini untuk kemakmuran oligarki dan kelompok elit penguasa. 

Inilah dampak dari liberalisasi di sektor pertambangan, sebagaimana yang tercermin dalam berbagai regulasi di sektor tersebut. Sebagian besar sektor pertambangan di Indonesia dikelola oleh sektor swasta, baik lokal maupun asing.

Pemerintah melalui BUMN dan BUMD juga terlibat dalam pengelolaan sektor ini, tetapi jumlahnya relatif kecil. Kekayaan alam negeri sejatinya milik rakyat dan negara bertanggung jawab mengelolanya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 

Benar bahwa aktivitas penambangan membutuhkan standar jelas agar keselamatan para pekerja bisa terjamin. Alhasil, negara tidak boleh tinggal diam. Negara harus mengelolanya dan hasilnya dikembalikan untuk menyejahterakan rakyat.

Kekayaan alam dalam Islam termasuk kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh negara dan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta, apalagi asing. 

Dalam pengelolaan SDA, Islam memberikan aturan dan rumus baku yang jelas dan gamblang. Pengelolaan SDA berprinsip pada kemaslahatan umat. Pengelolaan dan pemanfaatannya harus memperhatikan AMDAL sehingga tidak merusak lingkungan di sekitar wilayah pertambangan. Kekayaan alam seperti barang tambang, minyak bumi, laut, hutan, air, sungai, jalan umum yang jumlahnya banyak dan dibutuhkan masyarakat, merupakan harta milik umum.

Hal ini merujuk pada hadis Nabi Saw, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” 
(HR Abu Dawud).

Pengelolaan harta milik umum dapat dilakukan dengan dua cara, yakni masyarakat memanfaatkannya secara langsung, semisal air, jalan umum, laut, sungai, dan benda-benda lain yang bisa dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu. Dalam hal ini, negara melakukan pengawasan agar harta milik umum ini tidak menimbulkan mudarat bagi masyarakat. 

Lalu negara mengelola secara langsung pengelolaan SDA yang membutuhkan keahlian, teknologi, dan biaya besar, seperti barang tambang, dll. Negara dapat mengeksplorasi dan mengelolanya agar hasil tambang dapat didistribusikan ke masyarakat. 

Negara tidak boleh menjual hasil tambang—sebagai konsumsi rumah tangga—kepada rakyat untuk mendapat keuntungan. Harga jual kepada rakyat sebatas harga produksi.

Negara Islam, yakni khilafah tidak boleh menyerahkan kepemilikan dan pengelolaan kekayaan alam yang menjadi milik umum kepada individu, swasta, atau asing. Ini karena sektor pertambangan menjadi salah satu pos pemasukan Baitulmal. Pos milik umum ini dikhususkan dari penerimaan negara, seperti fai, kharaj, jizyah, dan zakat. Sementara, distribusi hasil tambangnya hanya dikhususkan untuk rakyat, termasuk untuk membiayai sarana dan fasilitas publik, serta kemaslahatan rakyat. Wallahu'alam Bishawwab.



Oleh: Thaqiyunna Dewi, S.I.Kom
Sahabat Tinta Media

Jumat, 05 Januari 2024

Rakyat Menangis di Tengah Liberalisasi Sumber Daya Alam


Tinta Media - Warga sekitar kelurahan Waylunik, Kecamatan Panjang, Bandar Lampung mengalami gangguan kesehatan akibat debu batu bara stockpile di daerah tersebut. Mereka merasakan sesak napas dan matanya perih saat berada di luar rumah. 

Saat angin kencang berembus, apalagi di musim panas, debu dari tumpukan batu bara beterbangan dan mau tak mau pasti terhirup oleh warga. Debunya selalu mengotori sekitar rumah warga, hingga masuk ke dalam rumah. Mirisnya, hingga saat ini, belum ada solusi. Dari 2.000 kepala keluarga di Kelurahan Wailunik, terdapat 5 TR yang terdampak dari debu stockpile atau batubara tersebut. (REPUBLIKA.CO.ID, Sabtu, 23/12/2023) 

Warga Waylunik juga mempertanyakan kepada Pemkot Bandar Lampung, mengapa pihaknya belum mengeluarkan sanksi atau tindakan kepada perusahaan stockpile yang mengakibatkan terjadinya masalah kesehatan di masyarakat sekitar. Padahal, semua itu sudah berlangsung kurang lebih lima bulan terakhir. 

Terkait debu beterbangan yang mengganggu kesehatan warga sekitar, Direktur PT Sentral Mitra Energi, William Budiono, selaku perusahaan stockpile batu bara di kawasan Waylunik belum bisa dikonfirmasi hingga saat ini. 

Fakta di atas menunjukkan bahwa rakyat tidak pernah mendapatkan haknya sebagai warga negara yang harus diayomi dan dilindungi, serta dicukupi kebutuhannya. Padahal, kesehatan adalah hak setiap individu secara keseluruhan. Semua adalah tanggung jawab negara dalam mengurus urusan rakyat. Namun, pada faktanya rakyat selalu terpinggirkan dan menderita. 

Kenapa bisa terjadi hal demikian? Semua berawal dari aturan dan sistem yang diterapkan di negeri ini, yaitu kapitalisme sekuler. Sistem rusak yang diadopsi ini berdampak pada penderitaan yang dirasakan oleh rakyat. 

Kapitalisasi dan liberalisasi mengakibatkan para oligarki bebas mengelola sumber daya alam yang ada di Indonesia. Dalam kapitalisme sekuler, pihak asing atau segelintir orang (oligarki) akan menguasai dan mengeruk kekayaan alam tanpa memikirkan penderitaan orang lain. Bagi mereka, yang penting bisa untung besar dan dapat legalitas dari negara melalui kebijakan atau undang-undang yang dibuat oleh negara. 

Di sistem kapitalisme, posisi negara hanya sebagai regulator saja. Begitulah watak dari sistem demokrasi sebenarnya. Walaupun sudah terjadi kesepakatan dengan lurah atau perangkat desa setempat, bahwa selama perusahaan beroperasi jangan sampai merugikan warga sekitar, toh semua itu hanya sebuah kesepakatan belaka, nihil dalam pelaksanaan. 

Begitulah kalau pengelolaan tambang seperti batu bara diserahkan kepada asing. Yang terjadi adalah berbagai kerusakan dan kerugian yang dirasakan oleh rakyat yang terdampak dari perusahaan tersebut. 

Semua berawal dari sistem yang salah, sehingga solusinya harus dengan sistem juga, tidak bisa hanya dengan solusi yang pragmatis seperti yang ditawarkan saat ini. Karena itu, harus ada sistem sahih yang sudah pasti mampu memberi solusi yang hakiki, yaitu Islam. 

Islam secara rinci mengatur semua aspek kehidupan, mulai dari urusan bangun tidur hingga bangun negara. Terkait pengelolaan barang tambang pun ada aturannya. Dalam Islam, sumber daya alam yang ada, seperti air, api, dan rumput adalah milik umum, tidak boleh dikuasai oleh pihak swasta atau individu. 

Barang tambang termasuk harta kepemilikan umum, sehingga pengelolaannya dilakukan oleh negara, lalu hasilnya diserahkan kembali kepada rakyat dalam bentuk berbagai layanan, seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur.  

Itulah tugas dari seorang khalifah atau pemimpin dalam Islam. Pemimpin dalam Islam adalah orang terpilih yang selalu tunduk dan takut kepada Allah SWT, sehingga dalam kepemimpinannya, ia akan betul-betul mengabdikan diri untuk mengurusi urusan rakyat dengan baik sesuai syariat Islam. 

Begitu juga dengan para aparat negaranya, mereka adalah orang yang bertakwa, serta takut akan perbuatan dosa, seperti korupsi dan berbagai penyimpangan yang akan merugikan rakyat. Keimanannya terjaga karena terkondisikan dengan semua aturan yang berasal dari Sang Khalik, yaitu syariat Islam. 

Jadi, solusi untuk semua permasalahan tersebut hanya ada satu, yaitu penerapan Islam secara kaffah di setiap aspek kehidupan. Itulah solusi hakiki dari problematika kehidupan, sehingga rakyat akan merasakan keadilan dan mendapatkan haknya. Kesejahteraan akan terwujud nyata dan dirasakan oleh semua mahluk Allah Swt. seluruhnya. 

Wallahu a'lam bishawab.
.

Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media 

Selasa, 02 Januari 2024

Analis: Allah SWT Turunkan SDA untuk Menyejahterakan Rakyat



Tinta Media - Analis Politik dan Media Hanif Kristianto menilai bahwa ketika Allah menurunkan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah itu agar bisa menyejahterakan dan menghidupi rakyat. 

"Sebetulnya ketika Allah SWT telah mengaruniakan SDA yang melimpah di negeri Indonesia ini sebenarnya ada modal di situ untuk bisa menyejahterakan dan menghidupi rakyatnya," tuturnya dalam acara Kabar Petang dengan tema Refleksi Akhir Tahun: Harapan Hanya Kepada Islam di kanal Youtube Khilafah News Jumat (29/12/23). 

Menurutnya, tinggal penguasanya yang menggunakan modalnya ini, dipakai dengan baik sehingga tidak boncos atau tidak. 

"Nah kalau boncos ya tadi tidak ada jaminan bagi rakyatnya untuk sejahtera. Jadi kata sejahtera itu sangat jauh dari kehidupan kita" ujarnya. 

Padahal, sambungnya, ada kewajiban negara yang di situ harus dilakukan yakni kewajiban dalam memenuhi yakni sandang, papan, dan pangan pada rakyatnya. 

"Bahkan air kemudian bumi dan apa-apa terkandung di dalam bumi negeri ini, itu harus diberikan sebesar-besarnya pada kemakmuran dan kebermanfaatan rakyatnya," bebernya. 

Makanya, jika diamati ungkapnya, ada kesalahan pengelola negara yang tidak mengelola sumber daya alam secara utuh justru malah diberikan kepada asing, bahkan negeri ini hanya menjual barang mentah dan membeli barang jadi yang nilainya itu sangat mahal. 

"Jadi kalau kita amati dari sisi bidang energi, nanti pengelolaan itu juga akan berkaitan dengan Undang-Undang yang imperalistik, menyerahkan pengelolaan SDA nya kepada pihak swasta ataupun asing, bahkan swastanisasi beberapa perusahaan-perusahaan ini ada kaitannya dengan keputusan politik," pungkasnya. [] Setiyawan Dwi.

Sabtu, 23 September 2023

IJM: Pengelolaan SDA Sekuler Kapitalistik Tidak Memberikan Banyak Manfaat bagi Rakyat




Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana memandang, pengelolaan sumber daya alam (SDA) berdasarkan aturan sekuler kapitalistik tidak memberikan banyak manfaat bagi rakyat.
 
"Selama pengelolaan sumber daya alam didasarkan pada aturan-aturan sekuler kapitalistik, semua itu tak akan banyak manfaatnya bagi rakyat," ujarnya dalam program Aspirasi: Trenggalek Menolak Tambang Emas? di kanal Youtube Justice Monitor, Kamis (21/9/2023).
 
Dan pasti, lanjut Agung, ini juga akan kehilangan berkahnya. Terbukti di tengah berlimpahnya sumber daya alam di negeri ini, namun rakyatnya banyak yang miskin.
 
"Pasalnya, sebagian besar kekayaan alam kita hanya dinikmati oleh segelintir orang, terutama pihak korporasi, bukan oleh rakyat kebanyakan," ucapnya.
 
Agung pun memberikan pemahaman, proses-proses prioritas sumber daya alam oleh segelintir orang oleh privat (swasta dan asing) ini menyalahi aturan Islam. "Tidak akan membawa keberkahan dan ujungnya kerusakan," tegasnya.
 
Menurut aturan Islam, ia menerangkan, kekayaan sumber daya alam adalah bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini, sambungnya, wajib dikelola oleh negara, dan hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum.
 
"Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu swasta apalagi asing," terangnya.
 
Agung melanjutkan, Rasul Saw. juga bersabda dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah. Dan ini penting untuk dipahami.
 
"Tiga hal yang tidak boleh dimonopoli (dikuasai), yaitu air, rumput dan api (energi)," kutipnya memungkasi. [] Muhar

Kamis, 10 Agustus 2023

Ke Manakah SDA Bersembunyi? Sampai-Sampai Rakyat Turut Merana

Tinta Media - Ironis, berita pilu baru-baru ini sungguh membuat sakit hati rakyat tanah air melihat rakyat Papua hidup dengan derita. Selama ini mungkin kita tidak menelusuri masih ada suatu daerah yang masih menderita kelaparan.Namun pada faktanya masih banyak di negeri kaya akan SDA ini, ada saja rakyat yang hidup dengan kelaparan.

Ini menunjukkan bahwa sistem kehidupan di negeri ini benar-benar tidak membuat rakyat sejahtera melainkan mensejahterakan rakyat dengan setengah-setengah. Hak hidup yang diberikan untuk rakyat malah jadi kacau balau. Alibinya akibat dari kasus kelaparan karena musim atau cuaca yang tidak memungkinkan untuk mendapatkan bahan pangan. 

Padahal SDA di negeri ini berlimpah ruah. Lalu ada apa sebenarnya di balik semua ini terjadi?

Sebanyak enam orang warga meninggal dunia akibat bencana kekeringan yang melanda Distrik Lambewi dan Distrik Agandugume, Kabupaten Puncak, Papua Tengah. Dari enam orang tersebut, satu orang di antaranya adalah anak-anak. (Kompas.com)

"Bencana kekeringan telah menyebabkan enam orang meninggal dan kelaparan bagi masyarakat di daerah terdampak," kata Bupati Puncak Willem Wandik dalam keterangan tertulisnya, Kamis (27/7/2023).

Meninggal karena kelaparan merupakan kejadian yang bikin miris sekali. Padahal Indonesia adalah Negara yang kaya akan SDA namun, sayangnya ada suatu rakyat di daerah tertentu yang masih menderita kelaparan. Justru ini membuat simpati iba bagi rakyat yang lainnya.

Ini bukti ketidakmerataannya kesejahteraan bagi rakyat. Sepatutnya negara wajib menyejahterakan seluruh rakyatnya yang hidup di negara tersebut. Bukan malah berdalih karena permasalahan bencana kekeringan yang membuat sebagian rakyat di suatu wilayah menjadi kelaparan. 

Kalaupun demikian hendaknya negara yang berwewenang untuk mengurus urusan rakyatnya, harus sigap dalam menindaklanjuti hal ini.

Apalagi SDA yang dimiliki negara bisa dikatakan cukup bahkan cukup sekali untuk kesejahteraan rakyat. Namun, apa penghambat di balik rakyat bisa kelaparan bahkan sampai meninggal di negara yang kaya SDA ini?

Kembali lagi, ini bukti bahwa negara saat ini benar-benar tidak mengayomi rakyatnya dengan sepenuh hati melainkan setengah-setengah.

Inilah sistem kapitalisme yang di tegakkan di negara hari ini. Sistem kapitalisme yang gagal dalam mengayomi urusan setiap rakyat, bahkan dari hal terkecil seperti bahan pangan.
Berbeda halnya jika sistem Islam di tegakkan di tengah-tengah kehidupan hari ini. Niscaya seluruh rakyat akan sejahtera. Semua mendapatkan keadilan dan seluruh urusan rakyat negara yang menanggung jawabi, karena memang tugas negaralah untuk melindungi rakyat.

Kembali merujuk pada masa kejayaan Islam yang dulu masih tegak di tengah-tengah kehidupan ummat. Bahkan sang Khalifah sajapun berani terjun untuk memperhatikan kehidupan setiap ummatnya. Seperti Amirul mukminin Umar bin Khattab dari hal makanan saja beliau langsung memperhatikan dan memastikan bahwa tidak ada satupun ummat ada yg kelaparan semasa beliau menjadi Amirul mukminin.

Karena menjadi seorang pemimpin itu adalah amanah yang harus dilaksanakan. Amanah yang di pikul seorang pemimpin itu pahalanya tidak main-main. Apabila amanah dilaksanakan dengan jujur dan sadar akan ke Maha Tahunya Allah maka pahala yang di dapat sang pemimpin bukanlah main-main. Apabila seorang pemimpin tidak melaksanakan amanahnya dengan jujur dan tidak menyadari bahwa Allah akan menghisap semuanya di akhirat maka jangan salah balasan yang Allah sediakan juga tidak main-main.

Seperti itulah standar kepemimpinan pada masa kejayaan Islam. Sehingga seluruh rakyat yang hidup dalam sistem Islam merasakan kesejahteraan di dalamnya. Tanpa terkecuali yang Islam maupun kafir Dzimmih sekalipun tetap merasakan kesejahteraan hidup di dalam naungan Islam.

Lalu, tidakkah kita menginginkan hal ini terjadi? Kalaulah kita menginginkan sistem Islam kembali hendaknya kita ikut memperjuangkannya salah satunya dengan tidak bosan menuntut ilmu dan menambah wawasan sejarah Islam dan dakwah Islam kaffah ke tengah-tengah ummat.
Wallahu a'lam bisshowwab.

Oleh: Marsya Hafidzah Z. 
Pelajar

Senin, 08 Mei 2023

Dalam Islam, SDA Haram Diprivatisasi

Tinta Media - Narator Muslimah Media Center (MMC) menegaskan bahwa prinsip dasar pengelolaan sumber daya alam (SDA) dalam kacamata Islam adalah harta kepemilikan umum yang haram diprivatisasi. 

"Dalam Islam, kekayaan alam dapat memberikan kemaslahatan luar biasa untuk rakyat dan negara karena prinsip dasar pengelolaan sumber daya alam dalam kacamata Islam adalah harta kepemilikan umum yang haram diprivatisasi," tegasnya dalam Program Serba-Serbi: Izin Ekspor Freeport Diperpanjang, Kekayaan Alam Negara Hanya Dinikmati Asing? Di kanal Youtube Muslimah Media Center, Ahad (30/4/2023).

Narator menjelaskan melalui hadits riwayat Ibnu Majah bahwa Rasulullah SAW menyatakan ada tiga hal yang tidak boleh dimonopoli yaitu air, rumput, dan api. Pada hadits yang lain, yaitu riwayat At Tirmizi, juga diceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah meluluskan permintaan sahabat bernama Abiyadh bin Hammal untuk mengelola sebuah tambang garam. Tapi kemudian Rasulullah SAW diingatkan oleh seorang sahabat lainnya bahwa Nabi telah memberikan sesuatu bagaikan air mengalir sehingga Nabi bersabda untuk mengambil kembali tambang tersebut.

Dalam kitabnya berjudul "Nizhamul Isqtishadiy", lanjut narator, Al Allamah Syekh Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan bahwa tatkala Nabi SAW mengetahui bahwa tambang tersebut laksana air yang mengalir yang mana air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis seperti mata air dan air bor, maka beliau mencabut kembali pemberian beliau.

"Ini karena sunnah Rasulullah dalam masalah padang, api, dan air menyatakan bahwa semua manusia bersekutu dalam masalah tersebut sehingga beliau melarang siapapun untuk memilikinya," tegasnya.

Dalam Islam, lanjutnya, semua barang tambang seperti emas, batu bara, perak, minyak, dan gas yang jumlah depositnya besar dikategorikan sebagai harta kepemilikan umum. "Harta ini tidak boleh dimiliki oleh individu, termasuk swasta dan asing. Konsekuensinya, harta tersebut dikelola oleh negara," pungkasnya. (HAN)


Minggu, 29 Januari 2023

Sumber Daya Alam Milik Rakyat, Bukan Milik Konglomerat

Tinta Media - Sumber daya alam yang disediakan Allah Swt. adalah milik rakyat bersama, bukan milik segelintir konglomerat, atau perusahaan baik asing maupun lokal di tempat tersebut.

Gunung Sadeng di Desa Kasiyan Timur Kecamatan Puger mempunyai kandungan kapur sangat melimpah. Namun, masyarakat setempat sulit mendapatkan akses untuk mengelola kekayaan tersebut. Padahal, dari dulu mata pencaharian mereka dari kapur yang ada di sekitarnya. Merasa dirugikan dengan adanya perusahaan yang bisa mengelola, sedang aspirasi mereka tak pernah dipenuhi, maka ratusan masyarakat yang didominasi para perempuan berunjuk rasa dengan membakar ban bekas, menumpuk batu gamping, dan meletakkan truk untuk memblokade jalan.

Warga yang tergabung dalam Persatuan Tumangan Gunung Sadeng (PTGS) melakukan aksi blokade jalan, di Desa Kasiyan Timur, Kecamatan Puger, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Selasa (17/1/2023).

Bambang Saputro selaku Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Jember meminta agar masyarakat menghentikan aksi blokade. Aksi tersebut membuat tim Penataan Gunung Sadeng turun tangan dan berjanji akan memprioritaskan pemberdayaan usaha mikro kecil menengah, termasuk PTGS. (Beritajatim.com)

Kekayaan yang melimpah membuat siapa saja ingin menguasai. Namun, regulasi dalam sistem kapitalis selalu memudahkan para pemilik modal untuk mendapatkan. Sementara, rakyat selalu diabaikan haknya, apalagi adanya UU Cipta Kerja semakin menjauhkan harapan masyarakat untuk bisa menikmati kekayaan alam yang ada.

UU Cipta Kerja yang isinya memudahkan siapa saja berinvestasi, yaitu menetapkan bidang usaha penanaman modal yang didorong untuk investasi. Kriteria investasi yang dimaksud mencakup teknologi tinggi, investasi besar, berbasis digital, dan padat karya. Selanjutnya,  kegiatan usaha UMKM bisa bermitra dengan modal asing.  status Penanaman Modal Asing (PMA) hanya dikaitkan dengan batasan kepemilikan asing. Persyaratan terakhir, ketentuan persyaratan investasi dalam UU sektor dihapus karena akan diatur dalam Perpres Bidang Usaha Penanaman Modal (BUPM).

Dengan UU Cipta Kerja yang disahkan oleh pemerintah, diharapkan akan mendorong masuknya investasi yang berkualitas sehingga berdampak pada penyerapan tenaga kerja serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. (Bkpm.go.id)

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa investasi bukan buat rakyat. UMKM juga sebagai pelengkap yang sewaktu-waktu mudah kolap karena kalah bersaing dengan produk luar yang membanjiri negeri ini. Ditambah, tenaga kerja lokal mulai tergeser dengan tenaga asing. Alhasil, berbagai kebijakan jelas menguntungkan para kapital. Rakyat tetap hidup melarat karena tak pernah dilayani dengan sepenuh hati.

Berbeda dengan sistem lslam dalam menangani sumber daya alam. Gunung Sadeng dengan kekayaan yang melimpah, termasuk barang tambang adalah milik umum atau rakyat. Pribadi atau swasta dilarang mengelola, apalagi menguasainya. Negaralah yang berhak mengelola sebagai wakil dari masyarakat, dan hasilnya di kembalikan untuk kemaslahatan rakyat. Ini sebagaimana hadis Rasulullah saw. yang artinya:

“Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu air, api, padang rumput.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad). 

Penguasa bisa mengembalikan hasil produksi tambang setelah dipotong biaya operasional dengan bentuk uang atau berbagai sarana publik, seperti jalan, jembatan, sekolahan, SPBU, rumah sakit, alun-alun, pasar, dan lain-lain dengan mudah, harga murah, hingga gratis dengan kualitas yang baik. Hal ini karena penguasa dalam lslam adalah ra’in/pelayan yang akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang ia pimpin. (HR. Bukhari).

Penguasa juga wajib melayani kebutuhan dasar, yaitu pangan, sandang, papan, keamanan, pendidikan, dan kesehatan secara individu per individu, merata untuk semua rakyat, baik muslim maupun nonmuslim, kaya atau miskin, di kota ataupun desa, karena semua itu adalah amanah.

Jabatan bukan untuk memperkaya diri, keluarga, kolega, atau kelompok. Seperti dalam sistem saat ini, beberapa kali ganti pemimpin, tetapi yang sejahtera adalah para pejabat dan orang di sekitarnya. Rakyat tetap sebagai objek menderita atas setiap kebijakan yang tak bijaksana.

Karena itu, sengketa Gunung Sadeng tidak akan terjadi jika diatur dengan sistem lslam. Karena tambang  adalah milik masyarakat secara umum, maka kekayaan alam yang dimiliki bisa menjadi berkah buat rakyat.
Allahu a’lam.

Oleh: Umi Hanifah 
Sahabat Tinta Media

Selasa, 25 Oktober 2022

SDA Dikelola Asing, Negara Untung Apa Buntung?

Tinta Media - Jika kita memiliki sebuah sumber daya, kemudian ditanya, mana yang lebih menguntungkan, dikelola sendiri atau dikelola orang lain? Jelas jawabannya adalah dikelola sendiri. Maka, aneh jika Indonesia, negara yang memiliki banyak orang terampil dan jenius, menyerahkan sebagian besar pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA)-nya kepada swasta, lebih-lebih swasta asing.

Namun, inilah fakta yang terjadi di Indonesia. Hampir seluruh SDA yang ada, semuanya dikelola oleh asing. Yang paling mahsyur adalah tambang emas terbesar di dunia, dikelola oleh Amerika atas nama PT Freeport Indonesia (PT FI). 

PT Freeport Indonesia terletak di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Namun, lihatlah bagaimana kehidupan masyarakat asli Papua, jauh dari kata layak. Bahkan, kehidupan mereka bisa dikatakan masih primitif. Padahal, tambang emas terbesar di dunia berada tepat diybawah tanah yang mereka pijak. Andai dikelola sendiri oleh negara, emas itu tidak hanya memakmurkan rakyat Papua, tapi seluruh rakyat Indonesia.

Baru-baru ini, pemerintah mengumumkan bahwa PT FI sedang mengajukan perpanjangan Kontrak Karya (KK) dua kali 10 tahun hingga 2041. Menteri Investasi Bahlil Lahadalia memberi sinyal kuat bahwa pemerintah akan memperpanjang kontrak PT Freeport Indonesia atau PTFI. Kontrak PTFI dengan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) akan berakhir pada 2041. 

"Tidak menutup kemungkinan untuk kami, pemerintah, mengkaji keberlangsungan Freeport pasca-kontraknya (berakhir). Karena itu, kasih kami waktu untuk mengkaji yang baik,” ujar Bahlil seusai Orasi Ilmiah di Universitas Hasanuddin, Makassar, Jumat, 7 Oktober 2022 (tempo.com, 08/10/2022).

Sejarah panjang PT FI dimulai sejak lebih dari 50 tahun lalu. Pada 1967, pemerintah Indonesia menerbitkan Kontrak Karya I untuk PT FI. Kontrak tersebut menjadi dasar penyusunan Undang-undang Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967. Dalam perjanjian itu, PT FI berhak mengeksplorasi dan mengeksploitasi 10 ribu hektare lahan konsesi di Kabupaten Mimika selama 30 tahun. Kontrak tersebut kemudian terus diperpanjang hingga saat ini.

Banyak dalih pemerintah untuk menyetujui usulan perpanjangan kontrak dengan PT FI. Di antaranya, jika kontrak tidak diperpanjang pemerintah Indonesia justru akan merugi. Aneh tapi nyata. Alasannya, akan terjadi ketidakpastian operasi, membahayakan kelangsungan tambang, serta ongkos sosial ekonomi, khususnya ke Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua yang amat besar. Sebab, 90 persen kegiatan ekonomi dari 300.000 penduduk Mimika bergantung pada operasional PT FI.

Alasan lainnya, jika Indonesia mengakhiri perjanjian, berdasarkan ketentuan KK, pemerintah pun tidak akan memperoleh tambang emas tersebut secara gratis. Merujuk pada KK pasal 22-2 (Termination Value), pada akhir masa kontrak, semua aset PT FI akan ditawarkan ke pemerintah minimal sama dengan harga pasar atau harga buku. Bila pemerintah tidak berminat, maka aset tersebut bisa ditawarkan ke pasar. Pada tahun 2017, nilai buku aset PT FI berada di kisaran 6 miliar dollar AS atau setara dengan Rp87 triliun.

Alasan-alasan tersebut sebenarnya sangat lemah dan mudah dipatahkan. Semua itu hanyalah konsekuensi kecil jika dibandingkan keuntungan yang diperoleh pemerintah jika mampu mengelola tambang itu sendiri. Bayangkan saja, berdasarkan data 2018, Freeport memproduksi 6.065 ton konsentrat per hari. Konsentrat ini adalah pasir olahan dari batuan tambang (ore), yang mengandung tembaga, emas, dan perak. 

Cadangan ini akan terus ada hingga kontrak Freeport berakhir di 2041. Bahkan masih ada cadangan tembaga dan emas di bawahnya lagi sekitar 2 miliar ton, yang bisa terus digali hingga 2052 bila kontrak Freeport diperpanjang pemerintah Indonesia. 

Nominal yang mereka dapat per-tahun antara 40 hingga 100 Triliun, atau lebih. Jika kontrak berlangsung selama 20 tahun, pemerintah bisa mendapatkan sekitar 2000 T. Maka, modal 80 T untuk membeli aset PT FI sebenarnya bukan apa-apa.

Lalu, apakah sekian banyak orang di pemerintahan tidak memahami kondisi ini? Jelas, siapa pun pasti mengetahui bahwa mengelola SDA sendiri sangat menguntungkan dilihat dari segi apa pun, baik segi ekonomi, sosial budaya, dan stabilitas keamanan negara. Namun, para penguasa dan kapitalis sedang mencari keuntungan pribadi yang instan, tidak memikirkan bagaimana dampak keputusan mereka bagi bangsa dan negara Indonesia di masa depan. Inilah akibat rendahnya moralitas dan empati penguasa dalam sistem demokrasi kapitalisme.

Cara Islam Mengelola SDA

Membangun dan mengelola negara dengan sistem demokrasi ditambah absennya nilai-nilai akidah Islam menyebabkan penguasa tidak mengutamakan kepentingan rakyat. Apabila para penguasa negeri ini memegang teguh akidah, maka mereka tidak akan membuat kebijakan atas dasar keuntungan pribadi. Menegakkan sebuah negara maju dan kokoh adalah mustahil tanpa menerapkan akidah Islam sebagai pondasinya.

Islam hadir tidak semata sebagai agama ritual dan moral belaka. Islam juga merupakan sistem kehidupan yang mampu memecahkan seluruh problem kehidupan, termasuk dalam pengelolaan kekayaan alam. Menurut aturan Islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umat. Kepemilikan umat atau kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan merata untuk kesejahteraan seluruh rakyat. Haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta, apalagi asing.

Demikianlah, untuk mengakhiri pengelolaan sumber daya alam yang salah kaprah seperti yang terjadi saat ini, langkah paling tepat adalah kembali pada ketentuan syariah Islam. Selama pengelolaan sumber daya alam didasarkan pada aturan-aturan sekuler kapitalis, tidak diatur dengan syariah Islam, semua itu tak akan banyak manfaatnya bagi rakyat dan pastinya kita akan kehilangan berkahnya.

Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat Al A'raf ayat 96:

"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan."

Oleh: Dinda Kusuma Wardani T
Sahabat Tinta Media

Minggu, 23 Oktober 2022

Divestasi Sumber Daya Alam Menjadi Sumber Petaka Kelam

Tinta Media - Media sedang menyorot aktivitas Menteri Investasi Bahlil Lahadalia terkait perkembangan investasi tahun 2022, bahwa pemerintah akan memperpanjang kontrak PT Freeport Indonesia atau PTFI. Kontrak PTFI dengan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) akan berakhir pada tahun 2041 mendatang. (Tempo, 8/10/22) 

Pernyataan tersebut diperkuat oleh Presiden Joko Widodo yang menyebut bahwa 70 persen pendapatan PT Freeport Indonesia kini menjadi milik Indonesia. Hal ini terjadi pasca 51 saham perusahaan diakuisisi pemerintah melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). (CNN, 11/10/22) 

Merujuk kembali pada divestasi saham yang dilakukan oleh pemerintah, PT Inalum telah  melakukan divestasi saham sejumlah 51,2 persen. Melalui Inalum, 2018 silam pemerintah membayar $3.85 miliar USD atau setara 55,7 triliun rupiah untuk meningkatkan sahamnya di PT Freeport Indonesia (PTFI). Dari 9,36 persen menjadi 51,2 persen. 

Agaknya berlebihan jika menyampaikan bahwa tambang emas ini telah menjadi milik Indonesia, karena faktanya Indonesia melalui PT Inalum membeli hak partisipasi pada PT Rio Tirto yang dikonversi menjadi saham PT Freeport, dan menggenapinya dengan membeli dari Freeport McMoran.

Serangkaian usaha untuk menunjukkan bahwa pemerintah sudah menguasai saham mayoritas ini sumber pendanaannya dari surat utang atau Global Bond sebesar US$ 4 miliar atau sekitar Rp58,4 triliun yang dicatatkan di Amerika Serikat (AS). Obligasi global tersebut dalam empat seri yang baru berakhir setelah 2028 dan tentu berbunga besar. Imbasnya negara harus membayar utang Rp55 triliun plus bunganya yang dipakai untuk membeli saham PT Freeport.

Tak bisa dipahami, di mana keuntungan yang didapat negara jika diketahui 58,9% kepemilikan saham PT Inalum dimiliki oleh Nippon Asahan Aluminium (NNA) milik Pemerintah Jepang? Keuntungan yang digambarkan masuk dalam keuangan negara Indonesia justru sebagian besar masuk kantong Jepang.
Apalagi jika mengingat bagaimana PT Freeport selalu mangkir saat membayar pajak dan royalti. 

Selain itu, kondisi lingkungan yang rusak pun tidak dipertanggungjawabkan oleh perusahaan, yang justru melakukan disinformasi dan pembohongan publik terkait proses tailing yang tidak sesuai antara pernyataan PT Freeport dengan kondisi faktual di lapangan. 

Pemerintah menyuarakan narasi tentang  PT Freeport yang memberikan keuntungan pada Indonesia. Padahal,  jika ada untungnya, semua itu tidak akan pernah sebanding jika dikomparasikan dengan dampak besar pada Indonesia yang kekayaannya dikeruk semenjak 1976. Kerugian besar dan bertubi-tubi seakan tidak cukup untuk menjajah negeri ini. Penderitaan yang seharusnya berakhir pada 2021, malah akan berlanjut hingga 2041. 

Ilusi ini hanyalah sebuah propaganda rezim kapitalis untuk membanggakan capaiannya yang telah menyelamatkan kekayaan Indonesia. Padahal, jika ingin mengambil alih kepemilikan sumber daya alam, seharusnya bukan membeli saham, melainkan merebut kembali tanah yang berada di teritori Indonesia sendiri. 

Faktanya, tambang emas yang dikelola PTFI merupakan 10 tambang terbesar di dunia. Nilai cadangannya mencapai US$ 42 miliar, ditambah dengan cadangan tembaga senilai US$ 116 miliar dan perak senilai US$ 2,5 miliar. Total cadangan terbukti mencapai US$ 160 miliar atau setara Rp2.290 triliun. 

Sumber daya emas yang menjadi kepemilikan swasta ini memberikan kerugian dan kerusakan besar. Sebaliknya jika sumber daya alam ini dikelola oleh negara, maka secara pengolahan pasti akan lebih memperhatikan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan sekitar. 

Terlebih jika negara menerapkan syariat Islam, maka pengelolaan sumber daya alam tidak akan dilakukan dengan eksploitasi massif. 

Dalam pandangan Islam, tambang Freeport merupakan milik umum yang wajib dikelola oleh negara. Haram diserahkan kepada swasta, apalagi asing. Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya menyatakan setiap syarat atau perjanjian yang bertentangan dengan firman Allah  adalah batil walaupun ada 100 syarat. Karena itu, dalam pandangan Islam, tambang Freeport harus segera diambil alih oleh negara saat ini juga, tanpa menunggu 2021 atau tanpa melalui proses disvestasi.

Rasulullah saw. telah menjelaskan mengenai kewajiban mengelola sumber daya alam untuk kepentingan umum. 

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ
Kaum muslimin bersekutu (dalam kepemilikan) atas tiga hal: yaitu air, padang rumput dan api (HR al-Bukhari).

Air, padang rumput, dan api merupakan sebagian harta yang pertama kali dibolehkan Rasulullah saw. untuk seluruh manusia. Harta ini tidak terbatas yang disebutkan pada hadis di atas, tetapi meliputi setiap benda yang terkandung di dalamnya. 

Dalam pandangan Islam, tambang di Papua yang dikelola oleh PT Freeport merupakan milik umum yang wajib dikelola oleh negara, haram dikuasai oleh pihak asing. Sementara itu, yang melegalkan asing untuk mengeruk tambang adalah regulasi pemerintah yang bercorak kapitalisme sehingga liberalisasi menjadi spirit dalam pengelolaan SDA. Oleh karena itu, pemerintah harus melepaskan sistem ekonomi kapitalisme dan beralih pada ekonomi Islam. Islam adalah satu-satunya jalan kesejahteraan dan keberkahan bagi seluruh umat manusia.

Oleh: Bilqis Inas Nur H., S.K.G
Sahabat Tinta Media

Jumat, 29 Juli 2022

MMC: Eksplorasi dan Eksploitasi SDA oleh Swasta atau Asing, Mutlak dalam Sistem Kapitalis

Tinta Media - Menanggapi pemberian paket insentif dan kemudahan investasi dari Badan Pengelolaan Minyak Aceh (BPMA) kepada perusahaan asing, Muslimah Media Center (MMC) menilai eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam (SDA) oleh swasta atau asing adalah mutlak dalam sistem kapitalis. 

"Eksploitasi dan eksplorasi SDA yang dilakukan oleh swasta atau asing dalam negara yang menganut sistem kapitalis adalah hal yang mutlak," tuturnya dalam Serba Serbi MMC: Eksplorasi Digenjot untuk Asing, Rakyat Hidup Luntang Lantung, di kanal YouTube MMC, Selasa (26/7/2022). 

Ia menjelaskan, kapitalisasi SDA berawal dari liberalisasi sektor ekonomi di segala lini. "Siapapun dianggap memiliki hak memenangkan tender meskipun kekayaan alam tersebut terkategori milik umum," terangnya. 

Dari sinilah, menurutnya, muncul kongkalikong antara penguasa dengan pengusaha atas nama kerja sama ataupun kontrak kerja. Ia melanjutkan, negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator dengan membuat RUU dan kebijakan yang lebih memihak kepentingan kapitalis. "Jangankan SDA, negara pun bisa tergadai dalam sistem yang bobrok ini," tegasnya.

Sementara itu, menurutnya, rakyat harus hidup luntang lantung tanpa pelindung dan penjamin kebutuhan. "Rakyat harus merogoh kocek untuk membeli kebutuhan vital hidup mereka seperti listrik, BBM, air dan lainnya dengan harga yang mahal kepada pihak swasta," ungkapnya. 

Padahal, menurutnya, SDA hakekatnya milik umum baik berupa gunung, sungai, sumber minyak, baru bara dan lainnya. "Umatlah pemilik sesungguhnya dari SDA jenis apapun di negeri ini. Sementara negara hanya sebagai pengelola saja. Karena merupakan kepemilikan umum, maka diharamkan bagi swasta untuk menguasainya," jelasnya.

Hal ini, menurutnya, karena bisa menghalangi umat untuk mendapatkan haknya. Orator MMC kemudian membacakan sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah. "Rasulullah Saw bersabda, 'Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, air dan padang gembalaan," lanjutnya.

Ia pun kembali menjelaskan, pada prinsipnya, masyarakat umum bisa secara langsung memanfaatkan sekaligus mengelola harta milik umum, apabila dalam pengelolaannya mudah tanpa mengeluarkan dana yang besar. 

"Namun, jika pemanfaatannya membutuhkan eksplorasi yang sulit, negara akan mengelolanya dengan memberikan hasil pengelolaan kepada rakyat. Atau mengembalikan keuntungan seluruhnya kepada rakyat," bebernya. 

Sementara negara, katanya, hanya menarik biaya dari masyarakat terkait biaya jasa produksi, transportasi serta biaya penelitian dan pengembangan. 

"Negara boleh saja mengambil keuntungan dari harga produk dengan catatan tidak memberatkan dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat," pungkasnya.[] Ikhty
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab