Rumah Subsidi untuk Milenial, Bagaimana Rakyat Miskin?
Tinta Media - Memiliki sebuah rumah yang layak adalah impian setiap keluarga. Bukan rahasia jika harga rumah di Indonesia sangat jauh dari jangkauan masyarakat menengah ke bawah. Mengandalkan gaji bulanan saja bisa dikatakan mustahil bagi seseorang untuk bisa membeli rumah.
Seperti biasa, kesulitan yang dialami rakyat semacam ini langsung dilihat sebagai lahan bisnis bagi kaum kapitalis. Tawaran KPR (Kredit Pemilikan Rumah) bermunculan dan menjamur dengan segala kemudahannya. Bahkan, pemerintah pun melihat ini sebagai peluang. KPR bersubsidi dengan jangka waktu kredit yang panjang banyak ditawarkan oleh pemerintah, khususnya kepada kaum milenial.
Pemerintahan berpendapat, masih banyak kaum milenial yang belum memiliki hunian, sehingga pembangunan perumahan yang ditujukan untuk kaum muda ini terus digalakkan. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyampaikan, sebanyak 81 juta penduduk Indonesia kelompok milenial belum memiliki rumah. Catatan ini berdasarkan data milik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) (liputan6.com, 13/04/2023).
Program pemerintah yang kelihatannya dikemas dengan baik ini sebenarnya mengandung berbagai ironi. Pertama, kebutuhan hunian yang layak merupakan kebutuhan semua kalangan, bahkan ada kalangan yang lebih urgent untuk mendapat tempat tinggal, yaitu keluarga-keluarga miskin. Alih-alih mengutamakan mereka, pemerintah justru lebih memperhatikan kaum milenial lajang yang belum berkeluarga. Berusaha memiliki rumah sejak usia muda memang sesuatu yang baik, tetapi jika melihat realita kondisi rakyat saat ini, maka hal ini jelas tidak adil.
Berdasarkan data dari Housing and Real Estate Information System (2022) setidaknya ada 12.715.297 orang yang belum memiliki rumah atau backlog kepemilikan rumah (kumparan.com, 12/08/2022). Fakta asli di lapangan bisa jadi jauh lebih besar dari angka ini. Tunawisma, anak-anak terlantar yang hidup di jalanan, yang luput dari data kependudukan, mereka juga manusia dan rakyat Indonesia yang berhak memiliki tempat tinggal. Bahkan, sebenarnya mereka jauh lebih membutuhkan ketimbang kaum milenial "berduit".
Kedua, KPR bersubsidi dengan sistem berbunga dan jangka waktu kredit panjang, hingga 20 tahun, mengandung resiko yang sangat besar. Resiko ini pasti tidak akan ada yang menanggungnya selain pelaku kredit itu sendiri. Tidak jarang kita jumpai seseorang kehilangan uang sekaligus unit rumah yang telah ia angsur sekian lama disebabkan tidak mampu lagi melanjutkan angsuran.
Tidak pernah ada jaminan pasti bahwa seseorang tidak akan berkendala dalam kredit. Meskipun seseorang telah memiliki penghasilan bulanan yang pasti sebagai karyawan, tidak menutup kemungkinan akan menjadi korban PHK. Atau walaupun di tahun ini usahanya lancar, bisa jadi di tahun depan usahanya gulung tikar.
Pada dasarnya, kredit jangka panjang dengan sistem ribawi bukan solusi atau bentuk kebaikan hati, tetapi lebih sebagai jebakan yang akan merugikan di kemudian hari. Pemberian kredit perumahan yang katanya ringan ini, sesungguhnya bentuk lepas tangan pemerintah pada kewajiban pemenuhan kebutuhan rakyat berupa tempat tinggal.
Terpenting, sistem kredit ribawi yang marak dalam masyarakat Indonesia saat ini merupakan sebuah keburukan dan kemaksiatan yang besar di sisi Allah. Para pelakunya dilaknat dan ditantang oleh Allah dan Rasulullah secara langsung dalam Al-Qur'an. Sebuah rumah apabila dibangun dengan cara riba, maka telah hilang keberkahan di dalamnya, tidak akan mendatangkan kebahagiaan.
Indonesia dengan sistem kapitalismenya tidak akan mempertimbangkan yang disebut dengan "keberkahan". Semua tindakan, transaksi ekonomi maupun transaksi lainnya, hanya didasarkan pada ada tidaknya keuntungan materi. Inilah yang menyebabkan Indonesia penuh dengan masalah yang tidak bisa dituntaskan.
Kondisi seperti ini tidak akan terjadi apabila sebuah negara menerapkan sistem Islam secara menyeluruh. Sistem Islam dijalankan berlandaskan aturan Allah Swt. yang tertuang dalam Al-Qur'an dan sunnah. Tidak ada kepentingan atau keuntungan pribadi di dalamnya. Semua kebijakan ditetapkan oleh pemerintahan Islam atas dasar ketakwaan dan rasa takutnya kepada Allah. Dengan demikian, kemaslahatan dan kesejahteraan umat adalah prioritas utama.
Pemerintahan Islam, tidak akan membedakan-bedakan generasi muda atau tua. Rumah atau tempat tinggal adalah hak setiap orang. Negara akan memfasilitasi rakyat yang kesulitan memiliki rumah sendiri. Bisa dengan cara memberikan kredit ringan tanpa riba ataupun diberi rumah secara gratis, tergantung situasi yang sedang dihadapi.
Islam memandang bahwa rumah adalah kebutuhan pokok yang menjadi tanggung jawab negara. Pemerintahan Islam tidak akan berlepas tangan, atau malah mengambil keuntungan dari rakyat seperti yang terjadi dalam sistem kapitalisme saat ini.
Di samping itu, dengan menerapkan sistem Islam, seluruh umat manusia akan mampu meraih keberkahan dan kebahagiaan hidup. Sebab, hanya sistem Islam inilah yang diridai oleh Allah Swt. Keberkahan tersebut cukup untuk menuntaskan semua persoalan hidup dan mewujudkan kesejahteraan hidup yang hakiki. Wallahu a'lam bisshawab.
Oleh: Dinda Kusuma W T
Sahabat Tinta Media