NIAT BAIK HARUS DILAKUKAN DENGAN CARA YANG BENAR, KRITIK UNTUK SAUDARA ANIES BASWEDAN TERKAIT NOMENKLATUR RUMAH SEHAT
"Selama ini RS kita berorientasi pada kuratif dan rehabilitatif sehingga datang karena sakit, untuk sembuh itu harus sakit dulu. Nah, dengan penamaan baru ini, bagi penjenamaan ini, kami berharap masyarakat pun akan memandang rumah sehat dengan cara pandang berbeda daripada memandang RS,"
[Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, saat meresmikan penjenamaan itu di RSUD Cengkareng, Kamis, 4/8/22]
Tinta Media - Proses dan substansi, itu sama pentingnya. Bahkan, dalam pembentukan keputusan tata usaha negara (beshicking), Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara harus memperhatikan aspek kewenangan, prosedur dan substansi.
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) harus benar secara kewenangan, prosedur dan substansi. Tidak boleh dikeluarkan oleh pejabat tidak berwenang, tidak boleh menyalahi prosedur, tidak boleh pula sunstansinya bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Kebijakan penamaan Rumah Sakit menjadi Rumah Sehat, secara substansi bisa saja diperdebatkan. Alasan yang disampaikan oleh Anies Baswedan bisa saja dibenarkan, karena secara spisologi mungkin nama Rumah Sehat lebih nyaman untuk proses pemyembuhan dan pemulihan, ketimbang Rumah Sakit.
Ada kesan horor atau suasana tegang dan menakutkan pada Rumah Sakit. Setelah institusi pelayanan kesehatan masyarakat ini diubah namanya menjadi Rumah Sehat, diharapkan kesan itu hilang. Walau, secara substansi kinerja belum tentu pengubahan nama Rumah Sakit menjadi Rumah Sehat ini meningkatkan kinerja layanan kesehatan bagi masyarakat. Padahal, itulah substansi utama diskursus mengenai rumah sakit.
Problemnya bukan soal nama, tetapi bagaimana menghadirkan layanan kesehatan bagi masyarakat yang terjangkau, dengan kualitas maksimal, prosedur yang sederhana, penanganan yang cepat, layanan prima, efektifitas efisiensi kerja, dan menimbulkan ikatan batin antara masyarakat dengan rumah sakit.
Adapun secara formil, mengubah nama Rumah Sakit menjadi Rumah Sehat memiliki beberapa masalah, diantaranya :
Pertama, nomenklatur Rumah Sakit adalah domain nasional yang kewenangannya ada pada pemerintah pusat, bukan kewenangan Pemda. Dasar keberadaan Rumah Sakit adalah UU, bukan Perda.
Karena itu, secara kewenangan Anies tidak berwenang untuk mengubah nama Rumah Sakit menjadi Rumah Sehat. Kalau pengubahan nama sejumlah jalan yang ada di wilayah DKI jakarta, masih dibenarkan berdasarkan asas kewenangan. Berbeda dengan nomenklatur rumah sakit yang menjadi domain pemerintah pusat.
Semestinya, Anies membawa ide pengubahan nama ini kepada Presiden agar dapat diadopsi sebagai kebijakan pemerintah pusat. Sehingga, pengubahan nama ini bisa dilegalisasi dengan UU dan menjadi kebijakan nasional.
Kedua, mengubah nama Rumah Sakit dengan Rumah sehat bertentangan dengan UU di bidang kesehatan dan turunannya. Diantaranya :
1. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
2. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
3. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
3. UU No 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
Dalam UU tersebut, telah didefinisikan secara yuristik bahwa *Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.* Mengubah nama Rumah Sakit menjadi Rumah Sehat berimplikasi pada penegasian eksistensi nomenklatur Rumah Sakit yang telah diatur secara limitatif dalam UU Kesehatan dan UU turunannya (UU RS, UU Praktik Kedokteran, UU Tenaga Kesehatan).
Ketiga, perubahan nama ini juga akan berdampak pada eksistensi subjek hukum yang menanggung hak dan memiliki kewajiban. Tidak bisa dikatakan ini cuma ganti merk saja, tapi hal bisa menimbulkan kekisruhan subjek hukum.
Misalnya dalam layanan BPJS Kesehatan. Kerjasama antara BPJS Kesehatan dengan rumah sakit tidak bisa dialihkan kepada rumah sehat. Implikasinya, akan terjadi Wan Prestasi dan kegagalan klaim karena perubahan Subjek Hukum.
Saya pastikan, klaim tagihan layanan Rumah Sakit tidak akan dilayani oleh BPJS Kesehatan jika diajukan oleh Rumah Sehat. Layanan Rumah sehat kepada pasien juga tidak akan dianggap prestasi, karena kerjasama yang dilakukan BPJS Kesehatan dengan Rumah Sakit bukan dengan rumah sehat.
Kalau kemudian ada yang menyatakan penamaan rumah sehat hanya sekedar perubahan nama, merk saja, administrasi tetap menggunakan nama rumah sakit, maka tidak keliru jika ada yang menggangap perubahan nama ini hanya menjadi alat pencitraan. Karena itulah, dalam hal ini Saudara Anies Baswedan juga harus diingatkan.
Yang lebih penting bagi setiap pejabat penyelenggaran negara dalam membuat kebijakan wajib memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak bisa membuat kebijakan yang hanya bersifat populis, namun mengesampingkan aspek hukum dan peraturan perundang-undangan.[]
Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik