Tinta Media: Rumah Sakit
Tampilkan postingan dengan label Rumah Sakit. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rumah Sakit. Tampilkan semua postingan

Minggu, 31 Maret 2024

Pembangunan Rumah Sakit di Sistem Kapitalis untuk Siapa?

Tinta Media - Bupati Bandung Dadang Supriatna bersyukur pihaknya berhasil membangun empat Rumah  Sakit Umum Daerah (RSUD) Bedas selama masa kepemimpinannya di Kabupaten Bandung.   

Pembangunan rumah sakit itu adalah janji politik Dadang dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020.

"Alhamdulillah kami telah melaksanakan groundbreaking RSUD Bedas Pacira," ujarnya dalam siaran pers, Jumat (8/3/2024).   

Groundbreaking RSUD Bedas Pacira tersebut merupakan RS kelima yang dibangun Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung setelah empat RSUD Bedas lainnya, yakni RSUD Bedas Cimaung, Kertasari, Tegalluar, Bojong Soang, dan Arjasari. 
Keempat RSUD itu sudah diresmikan Dadang beberapa waktu lalu. (Kompas.Com)

Pembangunan RSUD ini memang merupakan janji politik Dadang Supriatna sewaktu kampanye dulu dan ia membuktikan janjinya itu pada masa kepemimpinannya menjadi Bupati Bandung.

Memang benar, janji adalah utang yang harus dibayar. Dengan pembangunan RSUD ini, berarti janji politiknya kepada masyarakat sudah tertunaikan. 

Akan tetapi, pertanyaan pun muncul, sudah efektifkah pembangunan rumah sakit ini untuk kebutuhan masyarakat, terutama masyarakat menengah ke bawah? Apakah masyarakat sudah merasakan manfaat dari banyaknya pembangunan rumah sakit di Kabupaten Bandung ini? 

Jika kita lihat fakta hari ini, biaya  pelayanan kesehatan tidak murah, sehingga masih banyak masyarakat yang tidak mampu untuk berobat dengan berbagai keluhan penyakit yang diderita. Pada akhirnya, masyarakat kecil tetap saja memilih berobat ke puskesmas dibandingkan harus ke rumah sakit besar, yang dirasa memerlukan biaya yang banyak.

Jika hari ini pemerintah telah mempermudah dengan adanya BPJS kesehatan, tetap saja memerlukan biaya, yang tidak semua orang dapat membayar iuran BPJS tersebut. Belum lagi pelayanan kepada pasien BPJS yang sering dikeluhkan, bak dibeda- bedakan, tidak seperti pelayanan kepada pasien yang daftar secara umum (mampu membayar langsung). 

Seharusnya, pemerintah tidak hanya terus melakukan pembangunan rumah sakit. Akan tetapi, lebih dari itu, pelayanan kesehatan ini harus diperbaiki. Seharusnya pemerintah memberikan pelayanan kesehatan secara gratis sehingga masyarakat yang tidak mampu tetap memperoleh pelayanan sama seperti orang yang mampu. 

Hal itu jauh lebih dibutuhkan masyarakat sekarang. Kalau hanya membuat rumah sakit mewah, tetapi manfaatnya tidak dapat dirasakan kebanyakan masyarakat, untuk apa? Tetap saja warga miskin terpaksa berobat seadanya ke puskesmas, karena terhalang biaya jika harus berobat ke rumah sakit. 

Harus kita pahami bahwa faktor dari permasalahan masyarakat saat ini, seperti masalah kesehatan, pendidikan, dan sebagainya, tidak luput dari minimnya kesejahteraan. Kita tahu, kesejahteraan erat kaitannya dengan kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya. Ini merupakan kewajiban negara yang harus dirasakan oleh seluruh warganya.  

Jika berbicara tentang  permasalahan saat ini, baik  masalah kesehatan, pendidikan, ekonomi, politik, sosial, dan lain sebagainya, semua terjadi akibat sistem yang diterapkan saat ini. Justru sistem kapitalis inilah yang menjadi penyebab hadirnya berbagai permasalahan. Seperti halnya masalah kesejahteraan, itu mustahil dapat terselesaikan jika negeri ini masih menerapkan sistem ekonomi kapitalis yang membolehkan swasta lokal serta asing dan aseng mengeruk sumber daya alam (SDA) milik rakyat. Seharusnya, kekayaan tersebut dikelola oleh negara dan dikembalikan kembali kepada rakyat. Ini berarti bahwa sistem kapitalisme telah gagal mengurusi urusan rakyat, termasuk masalah kesehatan ini. 

Seharusnya, dengan melimpah ruahnya sumber daya alam yang dimiliki, negeri ini mampu menyejahterakan rakyat. Masalah pendidikan, kesehatan, dan permasalahan lainya seharusnya tidak menerpa negeri ini. Seharusnya pemerintah tidak menyerahkan pengelolaan SDA kepada asing aseng sehingga menguntungkan mereka,  sedangkan rakyat hanya kebagian kesengsaraan saja. 

Harus kita pahami pula bahwa kebahagiaan, kesejahteraan, perlindungan jiwa, harta, nyawa, kehormatan, dan lain sebagainya, serta permasalahan manusia seluruhnya hanya akan tertuntaskan tatkala aturan Islam diterapkan. 

Ketika hari ini aturan Islam  (Al-Qur'an) dicampakkan, maka kerusakan dan permasalahan-permasalahan akan terus ada dan berkelanjutan. 

Rasulullah saw. bersabda,

"Aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian dua perkara, kalian tidak akan pernah tersesat selama-lamanya jika berpegang teguh pada keduanya, yakni Kitabullah dan Sunnah nabi-Nya." (HR. Malik)

Namun demikian, mengamalkan dan menerapkan Al-Qur'an tidak bisa dan tak cukup diterapkan oleh pribadi-pribadi saja, tetapi butuh peran masyarakat, terutama negara. Pasalnya, Al-Qur'an merupakan sistem kehidupan. Hukum-hukum yang berkaitan dengan pemerintahan dan kekuasaan, ekonomi, politik, sosial, pendidikan, termasuk yang mengatur sanksi terhadap pelaku pelanggaran hukum syariah, seperti hudud, tidak boleh dikerjakan oleh pribadi-pribadi. Hal tersebut hanya sah ketika dilakukan oleh seorang khalifah, atau yang diberi wewenang oleh khalifah.

Alhasil, sudah saatnya kita kembali kepada aturan yang berasal dari Allah Swt. dan memperjuangkan penerapannya. 
Wallahua'lam.


Oleh: Ummu Aiza
Sahabat Tinta Media

Jumat, 04 Agustus 2023

Penambahan Rumah Sakit Pakai BPJS, Bukan Melayani Malah Membebani


Tinta Media - Belum lama ini Bupati Bandung Dadang Supriatna memberikan sambutannya pada acara Seremonial Penandatanganan Kesepakatan Bersama antara Pemkab Bandung dengan Rumah Sakit Oetomo Hospital di Jl. Raya Bojongsoang Desa Lengkong Kecamatan Bojongsoang Kabupaten Bandung. Dalam sambutannya itu Bupati Bandung menyampaikan bahwa saat ini kabupaten Bandung memliki 15 rumah sakit yang hanya bisa menampung sekitar 2000 tempat rawat inap.

Sementara jumlah penduduk mencapai 3, 72 juta jiwa, dalam arti pemerintah Bandung masih kekurangan sekitar 1.700 tempat rawat inap.

Maka, dengan hadirnya rumah sakit Oetomo ini, pemerintah berharap bisa menjadi solusi dalam bidang kesehatan, serta dapat meningkatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat. 

Dadang Supriatna berharap masyarakat yang ingin mendapatkan pelayanan kesehatan bisa dilayani di Rumah Sakit Oetomo Hospital dengan menggunakan BPJS kesehatan secara gratis terutama bagi warga kurang mampu.

Sebagai masyarakat, tentunya kita mengapresiasi hadirnya rumah sakit untuk menambah kapasitas ruang rawat inap dengan baik. Kesehatan merupakan hajat hidup orang banyak dan merupakan kebutuhan seluruh warga negara. baik warga kurang mampu atau pun warga mampu harus senantiasa diprioritaskan. Dan yang paling penting, pelayanan kesehatan harus tanpa asuransi dan BPJS. Sebab, jika masih harus menggunakan BPJS itu berarti bukan melayani tapi malah membebani masyarakat. 

Sebagaimana kita ketahui, kebijakan BPJS ini mewajibkan masyarakat untuk membayar iuran secara rutin setiap bulan. Adapun besaran iuran tergantung pada kategori kelas atas, menengah dan bawah. Jika masyarakat tak membayar maka akan dikenakan sanksi berupa pajak dan denda. Artinya, pelayanan kesehatan dengan menggunakan BPJS itu tidak gratis, namun kita membayar terlebih dahulu dan baru bisa digunakan saat kita sakit, itu pun harus melalui prosedur yang sulit. 

Dan jikapun kita tidak pernah menggunakan pelayanan BPJS ini, maka iuran yang kita bayar tidak akan kembali. Itu berarti, kesehatan tak ubahmya sebuah bisnis unruk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Membisniskan penyakit yang menimpa masyarakat.

Mestinya Rumah Sakit menjadi bagian dari pemerintah dalam melayani kebutuhan kesehatan rakyat. 

Penandatangan kesepakatan ini cermin bahwa pada dasarnya kesehatan ditanggung oleh rakyat. Pemda hanya berharap saja rumah sakit bisa melayani rakyat. Paradigma seperti ini lahir dari cara pandang kapitalis. Terlebih setelah disahkannya RUU Kesehatan yang menghilangkan mandatory steping yang berarti kesehatan ditanggung oleh rakyat melalui asuransi wajib (BPJS). Semua ini membuktikan bahwa sistem kapitalisme yang diterapkan, lepas tanggung jawab dalam melayani kesehatan rakyat. 

Sementara, dalam sistem Islam, berbagai rumah sakit telah dipersiapkan berikut segala keperluan dan kebutuhannya dijamin oleh negara. Sebagai contoh, sebuah rumah sakit yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus. Pada tahun 1160 yaitu rumah sakit Bimaristan yang bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit, tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. 

Inilah bukti keberhasilan peradaban Islam diatas paradigma shohih tentang kesehatan. Islam memandang bahwa kesehatan adalah kebutuhan dasar rakyat yang menjadi tanggung jawab negara.

Dalam Islam, kebijakan maupun peraturan teknis administrasi sistem kesehatan bersandar pada aturan syariah islam, begitu pun dengan sarana dan prasarananya juga sumber daya manusia sebagai pelaksana sistem kesehatan seperti dokter, perawat dan tenaga medis lainnya disediakan dan dipenuhi oleh negara, sehingga kebutuhan rakyat terhadap layanan kesehatan terpenuhi secara gratis dan berkualitas. 

Bukan hanya gratis, negara pun memberikan pelayanan kepada para pasien dengan memberikan pakaian dan uang saku yang cukup selama dalam perawatan. Dana yang dikeluarkan diambil dari Baitulmal Mal yang berasal dari harta zakat (fakir miskin/orang tak mampu berhak mendapatkan zakat), kemudian juga dari fai’, ghanimah, jizyah, ‘usyur, kharaj, khumus rikaz, harta ghulul pejabat dan aparat, dsb. 

Atau juga diambil dari harta milik umum seperti hutan, kekayaan alam dan barang tambang, dsb. Jika semua itu belum cukup, barulah negara boleh memungut pajak (dharibah) hanya dari laki-laki muslim dewasa yang kaya.

Maka, hanya dengan sistem Islam, umat dapat merasakan pelayanan kesehatan gratis dan dengan pelayanan yang maksimal tanpa harus membayar iuran sebagaimana BPJS ataupun asuransi kesehatan lainnya. Sudah saatnya kita kembali kepada aturan Islam dengan menerapkan syariah Islam pada seluruh aspek kehidupan agar keberkahan dapat dirasakan oleh seluruh umat di penjuru dunia.

Wallahu'alam bisshawab.

Oleh: Tiktik Maysaroh 
Sahabat Tinta Media 

Kamis, 24 November 2022

Maraknya Rumah Sakit Swasta, Wujud Peradaban yang Maju?

Tinta Media - Pasca pandemi Covid-19, pertumbuhan jumlah rumah sakit baru semakin meningkat. Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI), Ichsan Hanafi, pertumbuhan jumlah rumah sakit pada tahun 2021 berada di kisaran 3%-5% dari jumlah total rumah sakit di seluruh Indonesia, yaitu mencapai kisaran 3.000 unit. Sebanyak 65% di antaranya merupakan rumah sakit swasta. ( Kontan.co.id ,9/9/2022)

Pembangunan rumah sakit swasta di Indonesia cukup massif. Kondisi demografi penduduk Indonesia yang tinggi, bagi pemilik dan pengelola rumah sakit, merupakan peluang untuk ekspansi bisnis. Ditinjau dari keberadaannya, RSU di Indonesia pada 2021 berjumlah 2.514 unit. Angka tersebut naik sekitar 3,75 % dari jumlah RSU di Indonesia pada 2020, yaitu 2.423 unit. (GoodStats,11/03/22)

Hal ini tampak juga dari pernyataan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil saat peletakan batu pertama di RS. Edelwieis, bahwa penduduk Jawa Barat yang berkisar 50 juta, masih butuh tambahan 30 rumah sakit baru. Ini Tidak mungkin dana sepenuhnya dari pemerintah, perlu adanya dukungan dari pihak swasta. (Sindonews.com,28/10/2022)

Bupati Bandung Dadang Supriatna saat meresmikan Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung Selatan pun menuturkan, bahwa menciptakan kesehatan masyarakat pada dasarnya adalah tugas pemerintah. Namun, tentunya memerlukan kerjasama, sinergitas, sekaligus dukungan demi menjaga keperluan masyarakat dalam soal pembangunan kesehatan. (Dara.co.id, 3/11/2022)

Rumah Sakit merupakan  institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Rumah sakit menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. 

Merujuk pada ketentuan UU No. 4 Tahun 2009, rumah sakit di Indonesia berdasarkan pengelolaannya dibedakan menjadi dua, yaitu rumah sakit privat dan rumah sakit publik.

Rumah sakit privat merupakan  rumah sakit swasta yang secara legal (badan hukum) merupakan Perseroan Terbatas dan ditujukan untuk mencari laba. 

Sementara itu, rumah sakit publik merupakan rumah sakit milik pemerintah atau pihak swasta yang secara legal (badan hukum) bersifat tidak mencari laba (non profit).

Perbedaan paling mencolok secara umum  adalah masalah biaya dan pelayanan. Rumah sakit swasta biaya berobatnya memang lebih mahal, tetapi sesuai dengan kualitas pelayanan dari dokter, perawat, dan fasilitasnya. Sedangkan di rumah sakit pemerintah, biayanya lebih murah, bahkan bisa gratis dengan adanya BPJS. Sayang, kualitasnya standar atau bahkan minim, sesuai syarat dan ketentuan berlaku.

Faktanya, sekarang pemerintah membuka kran kemudahan pendirian rumah sakit swasta di dalam perundang-undangan Omnibus Law. Rencana tersebut tercantum pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Sektor Kesehatan Bidang Perumahsakitan.

Kemudahan ini menjadikan kesehatan sebagai komoditas komersial atau bisnis, sejalan dengan dilegalkannya industrialisasi sistem kesehatan yang berujung pada tergadainya idealisme insan kesehatan. 

Harga pelayanan kesehatan juga terus melejit. Di samping itu, seiring meluasnya cakupan pelayanan BPJS Kesehatan, kualitas pelayanan makin mengelite dan makin samar dari harapan. Diskriminasi pelayanan kesehatan pun kian kronis dan meluas, hingga rakyat kecil makin tercekik akibat kebijakan negara ini. Seakan-akan' rakyat miskin dilarang sakit' menjadi ujaran miris yang sering terdengar di tengah masyarakat dalam mengekspresikan sulitnya mereka dalam mendapatkan kualitas pelayanan kesehatan yang layak dan mudah. 

Contoh, meninggalnya pasien miskin RSUD Bulukumba di kantor Dukcapil saat mengurusi KTP-el sebagai prasyarat pelayanan BPJS Kesehatan. (DetikSulsel, 16/03/22). Ada bantahan bahwa penanganannya sudah sesuai ketentuan medis. Akan tetapi, potensi terjadi hal yang sebaliknya sangat besar. Ini merupakan karakter dari sistem kesehatan kapitalisme berupa pelayanan BPJS Kesehatan.

Misalnya, sistem rujukan kapitalistik juga konsep pembayaran casemix (InaCBGs) yang  dirancang untuk kepentingan bisnis BPJS Kesehatan, bukan untuk keselamatan dan kesembuhan pasien.

Dari sisi keberadaan dokter dan insan kesehatan lainnya, serta kelalaian negara melalui pelegalan industrialisasi sistem kesehatan, tidak kalah serius bahayanya. Idealisme dan dedikasi insan kesehatan sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan kesehatan dibajak oleh berbagai bisnis korporasi, mulai dari bisnis institusi pendidikan, tenaga kesehatan, industri farmasi, lembaga keuangan kapitalis BPJS Kesehatan sebagai pembiaya, sampai pada rumah sakit.

Dunia sepakat, bahwa saat ini tidak ada tempat yang aman dari jeratan kapitalisme, termasuk negeri ini, meskipun berkali-kali para pemegang kebijakan membantahnya. Kenyataannya, kapitalisme berhasil memengaruhi segala kebijakan di semua lini, termasuk sistem kesehatan. 

Melalui organisasi kesehatan dunia yang ada di PBB yaitu WHO, semua negara di dunia yang notabene menjadi anggota PBB harus mengadopsi semua  kebijakan kesehatan yang ditetapkan, sebagai konsekuensi keanggotaan mereka. Walhasil, meskipun tujuan organisasi ini ingin menyelamatkan nyawa manusia di dunia, tetap tidak akan mampu berkutik ketika berhadapan dengan para kapitalis penguasa dunia.

Negeri ini seyogyanya bersikap independen dalam menghadapi setiap masalah, termasuk soal kesehatan. Selain itu, harus disadari bahwa layanan kesehatan itu bukan hanya hak orang-orang kaya, tetapi seluruh masyarakat, baik kaya ataupun miskin. Tugas negara adalah memenuhinya, bukan memilah-milah.

Apakah dalam suatu negara dikatakan berperadaban maju jika banyak berdiri rumah sakit, tetapi tidak memberikan pelayanan kesehatan kepada seluruh rakyatnya sebagai bentuk perlindungan nyawa bagi seluruh rakyatnya? Pemilahan pelayanan kesehatan berdasarkan kelas ekonomi ini niscaya dalam negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Inilah yang akhirnya melahirkan pelayanan masalah kesehatan di Indonesia masih rendah, yang berakibat kepada rendahnya kualitas SDM, yang menjadi salah satu indikator rendahnya kualitas suatu negara.

Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna dalam mengatur kehidupan manusia, telah memiliki sistem kesehatan yang lengkap, dimulai dari pandangan bahwa kesehatan adalah kebutuhan dasar bagi setiap rakyat dan kewajiban pemimpin adalah memenuhinya. Maka, negara di dalam Islam akan memastikan bahwa pelayanan kesehatan ini didapatkan oleh seluruh rakyat, tanpa memandang kaya atau miskin. 

Negara menyediakan sarana-prasarana kesehatan berupa rumah sakit dengan para tenaga medisnya, penyediaan obat-obatan yang berkualitas beserta laboratorium penelitian dan para ilmuwan untuk melakukan penelitian dalam menemukan obat-obatan. Negara juga mendirikan sekolah dan perguruan tinggi yang akan melahirkan para tenaga medis. Hal tersebut dilakukan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.

Semua kebijakan pelaksanaan kesehatan ini bukan sekadar diserahkan pada ahlinya, melainkan juga dalam rangka menerapkan syariat Allah Ta'ala, dalam sebuah institusi negara khilafah. Sejarah khilafah telah menggambarkan, bahwa selama puluhan abad negara berperan sebagai pelayan kesehatan yang adil, berkualitas, dan begitu mudah diakses kapan pun, oleh siapa pun, dan di mana pun saat dibutuhkan, tanpa dibebani secara finansial (terjangkau bahkan gratis) hingga bagi yang berpura-pura sakit sekalipun.

Ruang pelayanan kesehatan benar-benar meraih puncak kemanusiaan. Salah satu buktinya dipaparkan sejarawan berkebangsaan Amerika W. Durant tentang Rumah Sakit Al-Manshuri (683 H/1284 M) Kairo, sebagai berikut, ” … Pengobatan diberikan secara gratis bagi pria dan wanita, kaya dan miskin, budak dan merdeka; dan sejumlah uang diberikan kepada tiap pasien yang sudah bisa pulang agar tidak perlu segera bekerja.” (W. Durant. The Age of Faith; op cit; pp 330-1).

Semua itu karena pelayanan kesehatan berlangsung di atas sejumlah prinsip sahih, di antaranya adalah:

Pertama, kesehatan merupakan  kebutuhan pokok publik sebagaimana disabdakan  Rasulullah saw., “مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ آمِنًا فِي سِرْبِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَ” (HR Ibnu Majah)

Kedua, pemerintah bertanggung jawab secara langsung dalam hal pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat tanpa terkecuali. Layanan itu tetap berkualitas, terbaik bagi siapa pun, kapan pun, dan di mana pun, meski gratis.

Rasulullah saw. bersabda, “Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpin; dan penguasa yang memimpin rakyat banyak, ia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Al- Bukhari)

Ketiga, anggaran bersifat mutlak, maksudnya, ada atau tidak ada kekayaan negara untuk pembiayaan pelayanan kesehatan wajib ditanggung negara. Prinsip ini bisa diterapkan karena Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Khilafah didesain oleh Allah Ta'ala sedemikian rupa, sehingga meniscayakan negara berkemampuan secara finansial yang memadai untuk memikul tanggung jawabnya.

Sistem kesehatan yang sempurna itu didukung dengan sistem pemerintahan Islam, yaitu sistem ekonomi Islam dan sistem lainnya. Salah satunya adalah sistem keuangan baitulmal. 
Keuangan baitulmal berasal dari banyak sumber, di antaranya pengelolaan adalah SDA, jizyah, fai, kharaj, ghanimah, harta tidak bertuan, dll.

Seluruh pemasukan itu akan membuat perekonomian Islam unggul, termasuk dalam mendukung jaminan pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat. Hanya saja, semua aturan ini tidak mungkin dapat  diterapkan selama sistem kapitalisme masih menghantui negeri kaum muslim. 

Kehadiran Islam (Khilafah) dengan karakternya sebagai negara pe-ri’ayah dan penyejahtera, menjadikan akses pelayanan kesehatan secara gratis dan berkualitas terhadap individu dan masyarakat terjamin. Pada saat yang bersamaan, kesejahteraan dokter dan insan kesehatan akan terjamin pula. Harkat dan martabatnya pun akan terpelihara.

Allah Swt. berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, serta ulil amri di antara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa: 59) 

WalLahu a'lam bi ash-shawwab.

Oleh: Nia Kurniasari
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 13 Agustus 2022

NIAT BAIK HARUS DILAKUKAN DENGAN CARA YANG BENAR, KRITIK UNTUK SAUDARA ANIES BASWEDAN TERKAIT NOMENKLATUR RUMAH SEHAT


"Selama ini RS kita berorientasi pada kuratif dan rehabilitatif sehingga datang karena sakit, untuk sembuh itu harus sakit dulu. Nah, dengan penamaan baru ini, bagi penjenamaan ini, kami berharap masyarakat pun akan memandang rumah sehat dengan cara pandang berbeda daripada memandang RS,"

[Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, saat meresmikan penjenamaan itu di RSUD Cengkareng, Kamis, 4/8/22]

Tinta Media - Proses dan substansi, itu sama pentingnya. Bahkan, dalam pembentukan keputusan tata usaha negara (beshicking), Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara harus memperhatikan aspek kewenangan, prosedur dan substansi.

Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) harus benar secara kewenangan, prosedur dan substansi. Tidak boleh dikeluarkan oleh pejabat tidak berwenang, tidak boleh menyalahi prosedur, tidak boleh pula sunstansinya bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Kebijakan penamaan Rumah Sakit menjadi Rumah Sehat, secara substansi bisa saja diperdebatkan. Alasan yang disampaikan oleh Anies Baswedan bisa saja dibenarkan, karena secara spisologi mungkin nama Rumah Sehat lebih nyaman untuk proses pemyembuhan dan pemulihan, ketimbang Rumah Sakit.

Ada kesan horor atau suasana tegang dan menakutkan pada Rumah Sakit. Setelah institusi pelayanan kesehatan masyarakat ini diubah namanya menjadi Rumah Sehat, diharapkan kesan itu hilang. Walau, secara substansi kinerja belum tentu pengubahan nama Rumah Sakit menjadi Rumah Sehat ini meningkatkan kinerja layanan kesehatan bagi masyarakat. Padahal, itulah substansi utama diskursus mengenai rumah sakit.

Problemnya bukan soal nama, tetapi bagaimana menghadirkan layanan kesehatan bagi masyarakat yang terjangkau, dengan kualitas maksimal, prosedur yang sederhana, penanganan yang cepat, layanan prima, efektifitas efisiensi kerja, dan menimbulkan ikatan batin antara masyarakat dengan rumah sakit. 

Adapun secara formil, mengubah nama Rumah Sakit menjadi Rumah Sehat memiliki beberapa masalah, diantaranya :

Pertama, nomenklatur Rumah Sakit adalah domain nasional yang kewenangannya ada pada pemerintah pusat, bukan kewenangan Pemda. Dasar keberadaan Rumah Sakit adalah UU, bukan Perda.

Karena itu, secara kewenangan Anies tidak berwenang untuk mengubah nama Rumah Sakit menjadi Rumah Sehat. Kalau pengubahan nama sejumlah jalan yang ada di wilayah DKI jakarta, masih dibenarkan berdasarkan asas kewenangan. Berbeda dengan nomenklatur rumah sakit yang menjadi domain pemerintah pusat.

Semestinya, Anies membawa ide pengubahan nama ini kepada Presiden agar dapat diadopsi sebagai kebijakan pemerintah pusat. Sehingga, pengubahan nama ini bisa dilegalisasi dengan UU dan menjadi kebijakan nasional.

Kedua, mengubah nama Rumah Sakit dengan Rumah sehat bertentangan dengan UU di bidang kesehatan dan turunannya. Diantaranya :

1. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
2. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
3. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
3. UU No 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.

Dalam UU tersebut, telah didefinisikan secara yuristik bahwa *Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan  pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat  darurat.* Mengubah nama Rumah Sakit menjadi Rumah Sehat berimplikasi pada penegasian eksistensi nomenklatur Rumah Sakit yang telah diatur secara limitatif dalam UU Kesehatan dan UU turunannya (UU RS, UU Praktik Kedokteran, UU Tenaga Kesehatan).

Ketiga, perubahan nama ini juga akan berdampak pada eksistensi subjek hukum yang menanggung hak dan memiliki kewajiban. Tidak bisa dikatakan ini cuma ganti merk saja, tapi hal bisa menimbulkan kekisruhan subjek hukum.

Misalnya dalam layanan BPJS Kesehatan. Kerjasama antara BPJS Kesehatan dengan rumah sakit tidak bisa dialihkan kepada rumah sehat. Implikasinya, akan terjadi Wan Prestasi dan kegagalan klaim karena perubahan Subjek Hukum.

Saya pastikan, klaim tagihan layanan Rumah Sakit tidak akan dilayani oleh BPJS Kesehatan jika diajukan oleh Rumah Sehat. Layanan Rumah sehat kepada pasien juga tidak akan dianggap prestasi, karena kerjasama yang dilakukan BPJS Kesehatan dengan Rumah Sakit bukan dengan rumah sehat.

Kalau kemudian ada yang menyatakan penamaan rumah sehat hanya sekedar perubahan nama, merk saja, administrasi tetap menggunakan nama rumah sakit, maka tidak keliru jika ada yang menggangap perubahan nama ini hanya menjadi alat pencitraan. Karena itulah, dalam hal ini Saudara Anies Baswedan juga harus diingatkan.

Yang lebih penting bagi setiap pejabat penyelenggaran negara dalam membuat kebijakan wajib memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak bisa membuat kebijakan yang hanya bersifat populis, namun mengesampingkan aspek hukum dan peraturan perundang-undangan.[]

Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik



Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab