Tinta Media: Rohingya
Tampilkan postingan dengan label Rohingya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rohingya. Tampilkan semua postingan

Senin, 11 November 2024

Kepada Siapa Muslim Rohingya Meminta Pertolongan?



Tinta Media - Sungguh perih hati ini melihat nasib muslim Rohingya. Di negara asalnya, mereka hendak dihabisi. Demi menyelamatkan nyawa, mereka pun naik kapal untuk mencari negara yang mau menerima. Dengan kondisi kapal yang penuh sesak karena kelebihan muatan, juga bekal yang hanya seadanya, mereka terapung-apung di tengah laut untuk mencari negara yang mau menerima.

United Nations High Commissioner for Refugess (UNHCR) mencatat sebanyak 152 migran Rohingya yang terdiri dari 20 anak-anak, 62 perempuan dan 70 laki-laki yang terdampar di perairan Desa Pantai Labu Pekan, Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. Mereka pun akhirnya bisa berlabuh di Deli Serdang selama 17 hari dari kamp pengungsian Bamladesh. Saat ini pun mereka ditempatkan sementara di aula kantor Camat Pantai Labu, Kamis (24/10/2024).

Sejatinya, permasalahan pengungsi Rohingya yang terjadi beberapa tahun silam hingga saat ini merupakan domain negara, bukan hanya karena permasalahan individu atau masyarakat. Bahkan, muslim Rohingya telah dijajah oleh pemerintah Myanmar selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Mereka mengalami genosida, baik oleh Junta Militer maupun pemerintahan yang pro pada demokrasi.

Saat muslim Rohingya mengalami ancaman dan genosida di Myanmar, mereka lari ke Bangladesh. Namun, rezim Hasina mengabaikan mereka dan tempat pengungsian yang disediakan pun amat buruk dan tidak layak didiami. Semua ini karena nasionalisme telah membelenggu Bangladesh, sehingga muslim lain enggan menolong saudara muslim Rohingya secara layak.

Padahal, muslim Rohingya membutuhkan tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, energi, pangan, dan lain sebagainya  Bahkan, muslim Rohingya pun butuh kewarganegaraan. 

Yang bisa mencukupi semua itu adalah negara. Namun, nasionalisme yang telah membelenggu di penjuru dunia menjadikan negara enggan untuk membantu.

Sejatinya, orang Rohingya adalah muslim. Jeritan permintaan tolong mereka wajib dijawab oleh muslim lain di mana pun berada dan merupakan kewajiban bagi seluruh muslim sedunia untuk menolong muslim Rohingya.

Mirisnya, dunia yang telah menyaksikan penderitaan muslim Rohingya justru hanya diam seribu bahasa, tak terkecuali pemimpin negeri-negeri muslim. Di negeri ini, kondisi muslim Rohingya tenggelam oleh pemberitaan Gaza dan hiruk-pikuk pemerintahan baru. 

Penolakan yang terus terjadi kepada muslim Rohingya disebabkan oleh sekat nasionalisme sehingga menjadikan negeri-negeri muslim tidak mau menolong saudaranya sendiri.

Sejak institusi pemersatu kaum muslimin yaitu khilafah Islamiyah runtuh pada tahun 1924, tidak ada lagi perisai/pelindung kaum muslimin di dunia. Sejak saat itu, melalui perjanjian Sykes Picot, para penjajah Barat terutama Inggris membagi wilayah khilafah Islam, menguasai dan mengaturnya dengan sistem aturan Barat kapitalisme demokrasi.

Penerapan sistem kapitalisme yang mengabaikan peran agama dalam mengatur kehidupan justru membawa petaka bagi kehidupan umat Islam. Penjajahan fisik maupun nonfisik tak terhindarkan. 

Negara-negara Barat mengusung HAM, terkhusus Amerika Serikat memosisikan diri sebagai polisi dunia. Namun, hukum-hukum internasional yang lahir dari sistem kapitalisme sama sekali tidak memberi harapan akan kebaikan umat Islam. Bahkan, meski sudah ada konvensi tentang penanganan pengungsi, persoalan pengungsi Rohingya tidak juga terselesaikan.

Padahal, dahulu saat kaum muslimin masih hidup di bawah naungan khilafah, tidak ada seorang muslim pun yang dibiarkan oleh khilafah terancam keselamatannya. Bahkan, khilafah siap mengerahkan pasukan jihad untuk melindungi satu jiwa warganya atau melindungi kehormatan seorang wanita. 

Oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan saudara muslim kita di Rohingya, hingga di negeri-negeri lainnya seperti Palestina, Suriah, Uighur, Lebanon, Kazakhstan, kecuali umat Islam memiliki institusi yang menyatukan dan memberikan perlindungan. 

Rasulullah saw. bersabda:

“Sungguh imam (khilafah) adalah perisai, orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepada dirinya.” (HR Muslim)

Kembalinya negara Islam yakni khilafah akan menyatukan umat Islam di bawah penerapan aturan Islam kaffah. Pada saat itu, khalifah sebagai pemimpin umat Islam akan menjalankan perannya sebagai perisai. Khilafah akan membela dan melindungi hak-hak kaum muslimin Rohingya dan muslim lainnya yang tertindas. Khilafah pun akan memberikan sanksi tegas kepada rezim Myanmar yang sudah menganiaya kaum muslimin Rohingya

Islam memandang umat Islam adalah bersaudara dan bagaikan satu tubuh yang tidak terpisahkan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.

“Perumpamaan kaum mukmin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi, dan bahu-membahu, seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam.” (HR Bukhari no. 6011, Muslim no. 2586, dan Ahmad IV/270).

Solusi hakiki bagi muslim Rohingya hanya ada pada khilafah. Khilafah akan mencukupi sandang, pangan, dan papan mereka, serta memberikan pekerjaan bagi para lelaki sehingga bisa menafkahi diri dan keluarganya. Negara juga akan menjamin pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan keamanan sehingga mereka hidup layak.

Saatnya membangun kesadaran umat bahwa Islam dan umatnya akan mulia dalam naungan khilafah. Penyadaran ini membutuhkan perjuangan dakwah yang mengikuti manhaj Rasulullah saw. Jika sebelum tegaknya negara Islam pertama di Madinah Rasulullah melakukan perjuangan dengan membentuk kelompok dakwah Islam ideologi, maka demikian pula hari ini. Umat Islam harus berjuang bersama kelompok dakwah Islam ideologis dengan kesabaran dan keteguhan, dengan aktivitas dakwah yang terus-menerus. Dakwah inilah yang akan membangun kesadaran bahwa umat Islam harus dipersatukan di bawah satu institusi yang mengemban ideologi Islam, yakni khilafah Islamiyah.

Sesungguhnya, tanpa khilafah, persatuan umat tidak akan terwujud. Umat pun terpecah belah, lemah, dan tak berdaya. Tanpa khilafah, penegakan syariah Islam tidak sempurna dan umat akan diurus dengan hukum-hukum yang bersumber dari hewan nafsu manusia yang menyebabkan berbagai penderitaan umat. Lebih dari itu, tanpa khilafah, dakwah Islam yang harus dilakukan negara ke seluruh penjuru dunia menjadi terhenti. Wallahualam bissawab.




Oleh: Hamsia 
(Pegiat Literasi)

Jumat, 08 November 2024

Tanpa Sistem Islam, Muslim Rohingnya Selalu Terpinggirkan



Tinta Media - Sebanyak 146 pengungsi  Rohingya terdampar di Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara, Kamis (24/10/2024) setelah 17 hari berlayar dari kampung pengungsian di Bangladesh. 
M. Sufaid (24), salah seorang pengungsi mengatakan bahwa mereka mengungsi karena terjadi konflik di Myanmar, tempat asal mereka. (KOMPAS.com)

Mereka begitu berharap Indonesia bersedia memberi perlindungan, sampai nekat berlayar mengganggu kapal kayu. Akan tetapi, ternyata masyarakat menolak. Hal itu diungkapkan oleh Sufaid di Aula Camat Pantai Labu. Ia bertahan di laut bersama keponakannya selama 17 hari dengan bekal makanan dan minuman sangat sedikit. Meski ada penolakan, Sufaid berharap besar agar bisa diterima dan ditampung di Indonesia yang mayoritas muslim.

Nasib Kaum Minoritas

Setiap manusia berhak mendapatkan kehidupan yang layak dan sejahtera. Itu adalah harapan semua manusia di dunia. Namun, tidak untuk pengungsi Rohingya. Mereka hidup terombang-ambing dalam ketidakpastian. Mirisnya, peristiwa ini sudah berlangsung cukup lama. Bukan hanya Rohingya, tetapi umat Islam minoritas di belahan dunia seperti Suriah, India juga mengalami penderitaan yang sama. Selalu berada dalam ketakutan dan kecemasan tanpa ada yang bisa melindungi. 

Negeri muslim  lainnya tidak bisa berbuat banyak karena terhalang sekat nasionalisme, buah penerapan sistem demokrasi buatan manusia yang berlandaskan akal. Akibatnya, berbagai permasalahan yang menimpa kaum muslimin dianggap masalah masing-masing negara. Sehingga, negeri lain tidak boleh ikut campur dalam masalah kaum muslimin yang tertindas dan terzalimi di luar sana, kecuali hanya sebatas memberi bantuan seperti makanan, pakaian, dan obat-obatan. 

Sayang, meski sudah ada konvensi terkait penanganan pengungsi, sistem demokrasi kapitalisme yang diterapkan saat ini mustahil akan memberi harapan. Sistem kapitalisme dengan perhitungan untung rugi akan sulit dilakukan. Jika masyarakat mempunyai keinginan untuk membantu, tetap saja tidak akan bisa maksimal tanpa dukungan pemerintah. 

Padahal, menurut pandangan Islam, kaum muslimin itu bersaudara karena ikatan akidah Islam. Ada jalinan kasih sayang di antara kaum mukmin walaupun berada di bagian bumi mana pun. Sesama kaum muslimin ibarat satu tubuh. Jika ada seorang muslim yang sedang kesusahan, kita juga akan ikut merasakannya. Oleh sebab itu, sudah seharusnya ada kesadaran untuk membela dan membantu di saat saudara sesama muslim sedang membutuhkan pertolongan. 

Begitulah seharusnya sikap kaum muslimin terhadap saudara seiman, termasuk pengungsi Rohingya. Kaum muslimin harus berupaya untuk membantu dan peduli pada nasib mereka. 

Namun, jika masih berada dalam kondisi sistem kapitalis sekuler, mustahil bisa memberi solusi tuntas atas persolan pengungsi Rohingya.  Persoalan yang sistematis memang harus diselesaikan dengan cara yang sistemik pula. 

Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah institusi negara yang kuat dan mandiri, bukan negara pengekor seperti saat ini.  Harus ada negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah, yaitu khilafah. Itulah satu-satunya solusi yang bisa membebaskan pengungsi Rohingya dari ketertindasan akibat konflik berkepanjangan. Daulah Islam akan menyatukan kaum muslimin sedunia hingga mereka  hidup sejahtera tanpa terjajah dan terusir dari negaranya dan akan selalu terjaga martabatnya.
Wallahu a'lam bishawab.



Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media




Kamis, 18 Januari 2024

Palestina Yes, Rohingya No?



Tinta Media - Kemeriahan pesta Tahun Baru 2024 baru saja berlalu. Masyarakat telah berbondong-bondong menyaksikan aksi kembang api yang diledakkan di udara. Diberitakan bahwa saat itu terjadi kemacetan di beberapa titik perkumpulan masyarakat di berbagai wilayah Indonesia yang menunjukkan antusiasme masyarakat dalam merayakan tahun baru.

Namun, di saat yang sama justru terjadi kepiluan pada kaum muslimin yang lain, seperti di Palestina dan Rohingya. Mereka melewati pergantian tahun baru dengan penuh penderitaan dan ancaman kematian. Bagaimana tidak, di Palestina pergantian tahun pun harus menghadapi dentuman bom dari penjajahan Zionis. Banyak yang mengalami syahid menjelang pergantian tahun.

Seperti yang dilaporkan oleh Reuters, otoritas Hamas mengatakan bahwa para Zionis membombardir dan menewaskan 165 orang di Gaza selama 24 jam terakhir, Ahad (31/12/2023). Selain itu, 250 orang mengalami luka parah. Sementara, jumlah korban meninggal sejak 7 Oktober telah mencapai 21.672, dan lebih dari 56.000 warga yang mengalami luka. Ribuan lainnya kemungkinan sudah meninggal di bawah reruntuhan, tetapi tidak bisa terdeteksi karena keterbatasan sumber daya.

Begitu pun yang dirasakan oleh muslim Rohingya. Beberapa waktu lalu, mereka tiba di Aceh setelah sebelumnya terlunta-lunta di lautan. Namun, banyak berita miring yang menggambarkan karakter kaum muslimin Rohingya telah menjadi provokasi di tengah masyarakat. Akhirnya, hal itu pula yang menggerakkan massa dari kalangan mahasiswa untuk memindahkan secara paksa pengungsi Rohingya dari Gedung Balee Meuseraya Aceh (BMA) ke kantor Kementerian Hukum dan HAM Aceh.

Trauma yang dirasakan oleh para pengungsi Rohingya saat kejadian tersebut, hingga kalimat yang mengiris hati terucap dari salah satu pengungsi Rohingya.

"Kalau dikembalikan ke sana [Bangladesh], bunuh saja kami di sini.”
 
Padahal, apa yang terjadi dengan Rohingya juga hampir sama seperti yang terjadi di Palestina, yakni genosida. Bahkan, diakui dunia bahwa Rohingya adalah kaum yang paling tertindas. Sebab, pemerintah Myanmar tidak mengakui mereka sebagai warga negara. 

Hingga kini, Rohingya telah mengalami stateless. Mereka bahkan tidak memiliki kehidupan sebagaimana manusia layaknya. Mereka tidak memiliki akses pendidikan, kesehatan, bekerja untuk menafkahi keluarga bagi laki-laki, dan sebagainya. Semua itu justru terhalang, bahkan terlarang bagi mereka.

Paradoks Kaum Muslimin Bersikap

Kemeriahan pesta kembang api yang berlangsung menunjukkan paradoks kaum muslimin dalam bersikap. Sebab, semua itu berlangsung di tengah berkecamuknya serangan penjajahan Zionis Yahudi di Gaza. Jumlah korban perang pun meningkat tajam. Belum lagi mulai melonggarnya aksi pemboikotan dan kendurnya suara pembelaan terhadap Palestina. 

Pada satu sisi, terjadi pembungkaman yang dilakukan oleh Meta terhadap akun yang membela Palestina. Hal ini semakin menambah 'sepi'nya suara pembelaan tersebut. 

Paradoks kaum muslimin juga terlihat dari sikap mereka menghadapi pengungsi Rohingya. Jika terhadap Palestina mereka mendukung begitu besar, tetapi berbeda dengan Rohingya. Banyak di antara umat Islam (khususnya Indonesia) yang menentang keberadaan mereka di Indonesia. Sehingga hal ini pun menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat.

Mirisnya, banyak kalangan masyarakat yang termakan provokasi tanpa melakukan validasi terhadap pemberitaan yang disampaikan. Akhirnya, banyak masyarakat yang menolak begitu saja kehadiran Rohingya di Indonesia akibat menerima berita bohong yang tersebar di media sosial. Padahal, penderitaan yang dialami oleh Rohingya menggambarkan salah satu bentuk abainya kaum muslimin terhadap urusan umat. 

Apa yang terjadi di Gaza dan Rohingya adalah urusan kaum muslimin. Semua itu berkaitan dengan keimanan kita sebagai seorang muslim. Sebab, kaum muslimin adalah bersaudara. Tidak ada yang menghalangi mereka sekalipun berbeda bangsa, warna kulit dan bahasa. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

 

“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan bahu-membahu, ibarat satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit, dengan tidak bisa tidur dan demam." HR. Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad.

Rasulullah saw. yang lainnya: 

“Janganlah kalian saling mendengki, janganlah saling menyakiti dalam jual beli, janganlah saling benci, janganlah saling berpaling (mendiamkan), dan janganlah menjual di atas jualan saudaranya. Jadilah hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara untuk muslim lainnya. Karenanya, ia tidak boleh berbuat zalim, menelantarkan, berdusta, dan menghina yang lain. Takwa itu di sini [beliau memberi isyarat ke dadanya sebanyak tiga kali]. Cukuplah seseorang berdosa jika ia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya itu haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya." (HR. Muslim)

Begitu jelas hadis tersebut menyatakan bahwa muslim dengan muslim lainnya adalah bersaudara. Bahkan, berdosa jika ia menghina saudara muslimnya yang lain. Namun, apa yang terjadi di tengah masyarakat kini justru berbeda. Banyak hujatan, cacian, dan fitnah yang diarahkan kepada muslim Rohingya. Hingga ada pernyataan yang diucapkan "Palestina Yes, Rohingya No." Sungguh miris, apa yang terlontar dari lisan ataupun ketikan jarinya tersebut.

Nasionalisme Memupus Ukhuwah

Sikap kaum muslimin yang terjadi hari ini terlahir dari adanya semangat nasionalisme. Nasionalisme adalah produk pemikiran yang berasal dari Barat dan ditancapkan di negeri-negeri kaum muslimin. Akibatnya, kaum muslimin mencukupkan diri hanya mencintai negeri dan masyarakatnya sendiri, merasa terancam ketika ada serangan, tetapi merasa aman ketika tidak ada gangguan.

Sikap itulah yang muncul saat membela Palestina. Pembelaan kaum muslimin lahir dari rasa "kasihan" sehingga hanya bersifat temporer. Ketika pemberitaan tentang Palestina menyurut, maka pembelaan pun terhenti.

Harusnya, pembelaan terhadap saudara sesama muslim dilakukan karena ikatan akidah Islam, sehingga tidak hanya muncul ketika ada perkara yang membangkitkan rasa marah dan iba semata. Namun, perasaan itu akan tetap ada karena lahir dari ikatan ukhuwah islamiah. Itulah yang hilang akibat ikatan nasionalisme ini.

Umat Islam Satu Tubuh

Seorang muslim dengan muslim lainnya ibarat satu tubuh. Itulah yang digambarkan oleh Rasulullah saw. Tidak sewajarnya kaum muslimin saling membenci, saling menghina, dan bersikap tidak peduli. Sebab, wajib bagi seluruh muslim mewujudkan persaudaraan karena keimanan. Jika ada seorang muslim yang mengalami "sakit", maka yang lain pun akan merasakan sakitnya.

Islam datang untuk menjaga darah, harta, dan kehormatan manusia. Maka, tidak dibolehkan bagi kaum muslimin untuk menjatuhkan kehormatan saudara muslim yang lain atau menelantarkannya. Maka, wajib bagi kita menolong saudara yang terzalimi, baik di Palestina ataupun Rohingya.

Kita diperintahkan untuk menolong saudara kita yang tertindas dan dizalimi. Pertolongan ini bisa dilakukan secara perorangan dengan berbagai upaya untuk menghentikan kezaliman tersebut, seperti memberi bantuan makanan, minuman, obat-obatan, dan lainnya. Namun, pertolongan secara individu tidak mampu menghentikan tindak kezaliman tersebut secara tuntas. Sebab, yang terjadi bukanlah bencana kemanusiaan, melainkan penjajahan. Maka diperlukan peran negara untuk menghentikannya.

Maka, perlu adanya upaya yang serius dan sungguh-sungguh untuk mewujudkan sebuah negara yang siap melawan penjajahan tersebut. Negara itu adalah negara dengan institusi Islam, yakni khilafah. 

Negara yang dipimpin oleh seorang khalifah akan mampu menghadapi penjajahan Zionis Yahudi dan rezim Myanmar untuk mengembalikan tanah kaum muslimin yang dirampas dan memenuhi hak-hak mereka. Khilafah akan mengirimkan tentara untuk memerangi musuh-musuh Islam tersebut. 

Selain itu, wajib bagi kaum muslim untuk berjihad melawan mereka.

Rasulullah saw. bersabda,

“Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung), dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika dia (imam) memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan selain itu, maka dia juga akan mendapatkan dosa/azab karenanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari hadis tersebut, Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa: “Untuk seorang imam [kepala negara], boleh disebut dengan menggunakan istilah: Khalîfah, Imâm  dan Amîru al-Mu’minîn." 

Makna imam/khalifah itu laksana perisai dijelaskan oleh beliau bahwa: 

“Maksudnya, ibarat tameng. Karena dia mencegah musuh menyerang [menyakiti] kaum muslimin, mencegah masyarakat satu dengan yang lainnya dari serangan, melindungi keutuhan Islam. Dia disegani masyarakat, dan mereka pun takut terhadap kekuatannya.”

Untuk itulah khalifah satu-satunya yang akan bertanggung jawab sebagai perisai umat Islam khususnya, dan rakyat pada umumnya. Hal ini meniscayakan seorang imam harus kuat, berani, dan terdepan, bukan sebagai orang yang pengecut dan lemah. 

Kekuatan ini bukan hanya pada pribadinya saja, tetapi juga pada institusi negaranya. Kekuatan ini dibangun karena pondasi yang sahih, yaitu akidah Islam.

Oleh sebab itu, sudah seharusnya umat Islam untuk bersatu dan menegakkan kembali hukum Islam dalam naungan khilafah. Sebab, hanya khilafah yang akan membebaskan penderitaan kaum muslimin di Palestina, Rohingya, dan muslim lainnya di seluruh dunia. Sehingga, hal ini mengharuskan adanya pembelaan yang satu terhadap saudara muslim lainnya.[]


Oleh: Harne Tsabbita
(Aktivis Muslimah)

Jumat, 05 Januari 2024

TANGKAP PELAKU ANARKIS DAN PENEBAR KEBENCIAN TERHADAP PENGUNGSI ROHINGNYA


Tinta Media - Beredar di media sosial terdapat sekelompok pemuda yang menerobos masuk ke area basement Balai Meuseuraya Aceh (BMA) dan membawa paksa pengungsi Rohingya ke kantor Kanwil Kemenkumham Aceh. 

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut: 

Pertama, bahwa aksi usir paksa pengungsi Rohingya itu merupakan tindakan anarkis dan sangat memalukan. 

Apabila terdapat tindakan fisik berupa pemukulan dan atau tindakan fisik lainnya dapat ditindak. Pelaku demonstrasi yang melakukan tindakan anarkis dapat ditindak Pasal 23 huruf e Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. 

Kemudian menyatakan bahwa kegiatan penyampaian pendapat di muka umum dinyatakan sebagai bentuk pelanggaran apabila berlangsung anarkis, yang disertai dengan tindak pidana atau kejahatan terhadap ketertiban umum, kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang, dan dengan sengaja atau terang-terangan oleh seseorang atau sekelompok orang yang bertentangan dengan norma hukum yang mengakibatkan kekacauan, membahayakan keamanan umum, mengancam keselamatan barang dan/atau jiwa, kerusakan fasilitas umum, atau hak milik orang lain; 

Kedua, bahwa sepatutnya Aparat Penegak Hukum melakukan penertiban dan penindakan terhadap aktor intelektual dan para influencer media sosial yang menyebarkan disinformasi atau hoax yang berakibat pada menyulutnya emosi, memperburuk gelombang permusuhan, kebencian dan tindakan anarkis terhadap pengungsi. 

Demikian.  
IG @chandrapurnairawan

Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.  
(Ketua LBH Pelita Umat, Mahasiswa Doktoral) 

Senin, 01 Januari 2024

PENGUNGSI ROHINGYA DALAM PUSARAN PILPRES 2024



Tinta Media - Apakah terdapat politisi yang mengangkat isu imigran/pengungsi Rohingya untuk kepentingan meraup suara di Pilpres 2024? mengingat bahwa isu Rohingya sangat “seksi” untuk diangkat dan dimainkan dengan diberikan bumbu “nasionalisme” dan “kedaulatan”.  

Isu imigran/pengungsi sering diangkat dan dimainkan dalam berbagai Pilpres, di antaranya Pilpres Turki, Pilpres Amerika Serikat dll. 

Misalnya Pilpres di Turki pada waktu Pemilihan Presiden di Turki, kandidat Presiden yang bernama Kemal Kilicdaroglu Pemimpin oposisi sekaligus penantang Presiden petahana Recep Tayyip Erdogan.  

Kemal Kilicdaroglu telah bekerja sama dengan partai nasionalis sayap kanan dan berjanji untuk memulangkan semua migran Suriah. 

Pernyataan Kemal Kilicdaroglu memperburuk gelombang permusuhan, kebencian dan tindakan anarkis yang meningkat. 

Bagaimana dengan Pilpres Di Amerika Serikat? Mantan presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, berjanji akan memperluas tindakan tegas dalam masalah keimigrasian pada masa jabatan pertamanya jika menang pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Tindakan tegas tersebut di antaranya adalah dengan menangkap secara massal imigran dan akan menahan mereka di kamp-kamp penampungan sambil menunggu deportasi. Demikian dilaporkan koran The New York Times pada Sabtu (12/11). 

Lantas bagaimana dengan Pilpres di Indonesia apakah terdapat politisi yang memainkan dan mengangkat untuk kepentingan suara? Kenapa isu pengungsi Rohingya muncul pada masa kampnye Pilpres 2024? untuk menjawab pertanyaan tersebut sangat mudah yaitu silakan amati jawaban-jawaban para politisi dan kandidat Pilpres apakah menyulut emosi, memperburuk gelombang permusuhan, kebencian dan tindakan anarkis terhadap pengungsi. 

Terakhir, saya ingin mengingatkan bahwa Pancasila dan UUD 1945 yang sering diagung-agungkan bahkan dianggap “di atas ayat suci” telah mengajarkan kepada kita untuk peduli terhadap “kemanusiaan” bahkan ditegaskan dengan frasa “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Ketika ada manusia, anak-anak dan wanita yang terancam nyawa di negaranya, lalu melarikan diri hingga terkatung-katung di tengah lautan ditambah sedikitnya makanan dan minuman. Lalu anak-anak dan wanita Rohingya tersebut meminta sedikit pertolongan, lantas kita mengusirnya, di mana letak “kemanusiaan yang adil dan beradab” itu, di mana nilai Pancasilanya?

Demikian. 
IG @chandrapurnairawan

Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. 
(Ketua LBH Pelita Umat  dan Mahasiswa Doktoral)

Minggu, 31 Desember 2023

UIY: Muslim Rohingya Terpaksa Pergi karena Tertindas



Tinta Media - Cendekiawan Muslim Ustadz Ismail Yusanto mengatakan bahwa muslim Rohingya terpaksa pergi dari tempat asalnya karena tertindas.

"Kita harus memahami bahwa mereka itu pergi terpaksa, dengan terpaksa dan juga dalam suasana ketertindasan yang luar biasa," tuturnya dalam video bertajuk Penderitaan Umat Islam Rohingya Sebagai Masalah Asing, Ahad (24/12/2023) di kanal YouTube Justice Monitor.

Menurutnya, orang-orang Rohingya, dari lepas kontroversi, mereka ini adalah orang-orang yang tertindas. "Dia terpaksa pergi dari tempat asalnya, dari tempat kediamannya oleh karena tak lagi mampu menanggung kezaliman yang luar biasa yang dilakukan oleh rezim Aung San Suu Kyi," ungkapnya. 

"Rumah mereka dibakar, kemudian mereka ada yang dipaksa melepaskan kerudung, dipaksa puasa harus buka. Jadi mereka harus pergi," imbuhnya.

Menurutnya, hal itu sesuai dengan tuntunan agama bahwa kalau dizalimi, harus mempertahankan kehormatan, jiwa, harta dan utamanya adalah agama. 

Maka kemudian, lanjutnya, Syaikh Ibnu Hajar al-Asqalani menyebut hijrah sebagai menyelamatkan agama dari fitnah. "Jadi bolehlah ini disebut semacam hijrah," pungkasnya.[] Ajira

Selasa, 26 Desember 2023

Pamong Institute: Negara Barat Gagal Menyelesaikan Masalah Pengungsi Rohingya dan Palestina



Tinta Media - Meskipun sering mengatakan sebagai pembela HAM, negara-negara Barat dinilai Direktur Pamong Institute Wahyudi Al Maroky telah gagal menyelesaikan persoalan Pengungsi Rohingya dan masalah Palestina.

"Negara-negara Barat tidak punya rasa kemanusiaan dan walaupun mereka suka mengatakan sebagai pembela HAM tapi faktanya tidak terjadi. Tidak mampu menyelesaikan persoalan di Palestina dan tidak mampu menyelesaikan persoalan pengungsi Rohingya," tuturnya dalam video "Menolong Pengungsi Rohingya Dan Palestina Kewajiban Konstitusi VS Kitab Suci", Rabu (20/12/2023) di kanal Youtube Bincang Bersama Sahabat Wahyu.

Menurutnya, ini sekaligus juga menunjukkan kegagalan PBB dalam mengurusi persoalan pengungsian sekian lama tidak selesai-selesai.

 "Sampai hari ini tidak mampu untuk menyelesaikan persoalan pengungsian, ini bukti kegagalan keberadaan PBB maupun negara-negara bangsa yang ada di dunia ini," tegasnya.

Ia melihat persoalan pengungsi Rohingya ini serius dan sebagian besarnya yang mengungsi dan di pengungsian juga dalam kesulitan. Menurutnya, ini sebenarnya menunjukkan kegagalan konsep nasionalisme.

"Ini menunjukkan kegagalan konsep nasionalisme itu sendiri," pungkasnya.[] Muhammad Nur

Stop Xenofobia!


Tinta Media - Berseliweran provokasi di media sosial terkait pengungsi Rohingya. Hal ini sebenarnya membuat hati geram dan bergejolak marah. Mengapa mereka begitu tendensius terhadap muslim Rohingya? Sungguh tidak pantas dan di luar nalar sikap mereka tersebut. 

Ketakutan dan kebencian yang berlebihan (xenofobia) terhadap muslim Rohingya harus dihentikan. Hal ini jangan membutakan hati dan pemikiran kita tentang bagaimana akar masalah dan asal-usul mereka sebenarnya. 

Diusir dari negerinya, muslim Rohingya perlu perhatian dari kaum muslimin di seluruh dunia. Bukankah kaum muslimin itu bersaudara? 

Sebagaimana Rasulullah saw. yang artinya: 

"Perumpamaan kaum muslimin dalam hal saling mencintai dan menyantuni di antara mereka, laksana satu tubuh. Jika satu bagian dari tubuh itu menderita sakit, maka seluruh badan turut merasakan sakitnya dengan tak bisa tidur dan demam." (HR Muslim) 

Upaya mendiskreditkan muslim Rohingya malah menambah runyam persoalan mereka. Bahkan, membuat mereka lemah mental dan lebih "nakal" lagi. 

Persoalan Rohingya perlu adanya beberapa solusi: 

Pertama, perlu merecovery kesehatan mental mereka akibat terusir dari tanah air, yaitu tanah tempat mereka secara turun-temurun dilahirkan dan dibesarkan. 

Rohingya yang merupakan penduduk asli negeri Arakan (Rakhine) tidak dianggap melalui undang-undang yang dibuat Pemerintah Myanmar. Kebiadaban Zionis Myanmar luar biasa. Muslim Rohingya tidak menerima pendidikan yang layak, tidak bisa menjalankan agamanya, dan lain sebagainya. 

Ini perlu kerja sama negara muslim di seluruh dunia, terutama di sekitar wilayah Myanmar. Tentu, apa yang terjadi saat ini sangat kuat dampaknya terhadap perempuan dan anak-anak. Mereka lebih labil dan paling riskan dengan guncangan ini, terutama pada masalah akidah. Jadi, perlu sekali recovery mental tersebut. 

Kedua, menyerahkan persoalan Rohingya kepada UNHCR yang merupakan organisasi di bawah PBB sama saja seperti lepas dari mulut singa, masuk ke mulut buaya. Banyak pengungsi dari berbagai negeri muslim yang sedang terjadi konflik saat ini terlunta-lunta. Persoalan di negeri mereka tak kunjung usai. Mereka juga tak diperhatikan. 

Peran ini harus diambil oleh umat Islam, terutama para penguasa. Sebagaimana hadis Nabi saw. beliau bersabda: 

"Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Dia tidak menzalimi dan tidak membiarkan saudaranya untuk disakiti. Siapa saja yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan membantu kebutuhannya. Siapa saja yang menghilangkan satu kesusahan seorang muslim, Allah akan menghilangkan satu kesusahan bagi dirinya dari kesusahan-kesusahan di Hari Kiamat. Siapa saja yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada Hari Kiamat." (HR al-Bukhari) 

Ketiga, menyebut mereka sebagai penyelundup merupakan bentuk stigma negatif. Ucapan tersebut tidak boleh keluar dari Pemerintah Indonesia. Mereka bukanlah penyelundup dan orang yang dijual. Pengungsi Rohingya hanya ingin menyelamatkan jiwa dan kehidupan mereka. 

Sebagaimana hadis Nabi saw. yang disebutkan sebelumnya, maka persoalan ini merupakan kewajiban setiap muslim. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. 

Keempat, ini merupakan dampak ketika kaum muslimin menjadi minoritas. Mereka dipersekusi, dianiaya, diperkosa, dan dibunuh. Iklim kapitalisme membuat kaum muslimin di negerinya selalu menjadi santapan orang-orang kafir. Hak asasi manusia yang digemborkan hanya menjadi slogan. Rohingya tidak dapat menjadi warga negara Myanmar. Hak dan kewajibannya dirampas. Tiada lagi yang melindungi mereka. Di sinilah urgensi tegaknya negara khilafah rasyidah ala minhajin nubuwah. 

Kelima, dakwah yang harus terus dilaksanakan. Amar makruf dan nahi mungkar harus tetap ada. Muhasabah kepada para pemimpin kaum muslimin tidak boleh berhenti. Mencari nushrah harus terus dilakukan agar tegaknya institusi khilafah tersebut terwujud. 

Wallahu 'alam.

Oleh: Muhammad Nur
Intelektual Muslim 

Sabtu, 23 Desember 2023

Semua Negara Tak Peduli terhadap Akar Masalah Pengungsi Rohingya

Tinta Media - Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi menyatakan, akar masalah pengungsi Rohingya adalah kekerasan yang terus terjadi di Myanmar akibat pertentangan antara junta militer dan warga sipil. Kondisi ini membuat etnis Rohingya terpaksa meninggalkan negaranya. Banyak di antara mereka akhirnya masuk Indonesia.

Bagaimana menyelesaikan akar masalah ini? Jurnalis Tinta Media  Irianti Aminatun mewawancarai Analis dari Geopolitical Institute Dr. Hasbi Aswar. Berikut petikannya.

1. Apa penyebab Muslim Rohingya dijuluki stateless dan terus keluar dari negaranya?

Masyarakat Muslim Rohingnya akhirnya memilih untuk pergi dari tanah kelahiran mereka karena dibantai oleh rezim junta militer Myanmar bekerja  sama dengan para ekstremis Budha di negara itu. Padahal mereka sudah hidup ratusan tahun di Myanmar secara turun temurun dengan kehidupan yang layak.

Sampai akhirnya tahun 1980-an pemerintah Myanmar tidak mengakui status kewarganegaraan mereka dan menganggap sebagai pendatang asing. Kondisi ini membuat Muslim Rohingya tidak mendapatkan posisi selayaknya sebagai manusia seperti pekerjaan, layanan Kesehatan dan pendidikan yang layak.

2. Bagaimana peran PBB dalam menyelesaikan masalah Muslim Rohingya ini?

PBB sebenarnya telah banyak menaruh perhatian pada persoalan Rohingya ini, tapi mereka hanya peduli pada isu kemanusiaan saja yakni isu pengungsi melalui UNHCR. Sementara akar masalah persekusi dan pelanggaran hak-hak Muslim Rohingya tidak dipedulikan sama sekali.

3. Bukankah PBB seharusnya menjadi badan yang menjaga perdamaian dunia?

Jika merujuk pada piagam PBB, fungsi utama badan ini adalah menjaga perdamaian dan mencegah berbagai bentuk upaya yang merusak perdamaian dunia. Jika terdapat upaya untuk melanggar perdamaian dan prinsip-prinsip kemanusiaan global PBB dapat mengambil sikap menjadi penengah atau bahkan memberikan sanksi bagi para pelanggar melalui persetujuan dewan keamanan PBB.
 
Namun, piagam ini hanya di atas kertas, faktanya PBB dan semua negara anggota PBB tidak peduli terhadap akar masalah dan menyelesaikannya.

4. Sebagian warga Aceh menolak kehadiran pengungsi Rohingya  karena perangai mereka yang kurang baik. Pendapat Anda?

Menyikapi penolakan warga Aceh terhadap pengungsi Rohingya saya kira adalah hal yang wajar saat sebagian warga pengungsi Rohingya berulah di pengungsian. Ditambah lagi semakin melonjaknya pengungsi yang ke Indonesia utamanya yang diselundupkan. Mereka ke Indonesia karena mereka berharap dapat tempat lebih baik dibanding pengungsian di Bangladesh.

5. Bagaimana seharusnya pemerintah Indonesia menyikapi masalah pengungsi Rohingya ini?

Secara teknis pemerintah Indonesia dapat bekerja sama dengan negara-negara di Asia Tenggara untuk mencegah penyelundupan ini. Termasuk juga mencarikan tempat yang baik dan layak untuk mengungsi di Indonesia yang aman dari potensi penolakan dari masyarakat setempat.

6. Mengapa solusi ini tidak dilakukan?

Tapi, saya kira solusi teknis ini lama-lama akan memberatkan juga apalagi mereka tidak diperbolehkan bekerja dan hidup normal sebagaimana warga Indonesia pada umumnya. Kalau pemerintah mau, bisa tinggal dan bekerja di Indonesia serta diberikan fasilitas pendidikan, kesehatan, yang sama dengan warga Indonesia.

7. Memangnya pemerintah mau?

Walaupun ini memang sulit bagi pemerintah melihat kondisi negara kita juga yang serba kesulitan. Pada akhirnya para pengungsi ini hanya diperlakukan sebagai pengungsi tanpa hak untuk menjadi manusia “normal”. Sehingga wajar ketika banyak penyakit-penyakit sosial dan frustrasi yang muncul di kalangan mereka.

8. Idealnya, bagaimana?

Idealnya, yang namanya pengungsi mereka itu kan hanya tinggal untuk sementara saja sampai masalah mereka terselesaikan. Harusnya pemerintah Indonesia bersama-sama dengan masyarakat internasional fokus pada penyelesaian akar masalah di Myanmar dengan melakukan tekanan atau bahkan intervensi militer dan perubahan hukum di sana agar dapat menciptakan keadilan di tengah -tengah masyarakat.

Jika ini dilakukan para pengungsi Muslim Rohingya ini tidak perlu menunggu bertahun-tahun tak jelas nasibnya dan akhirnya bukannya merasa terlindungi, mereka mendapatkan penderitaan yang lain, terlunta-lunta, menderita, dan frustrasi dengan fitrah kemanusiaan mereka yang tidak mereka dapatkan. []

 


Rabu, 20 Desember 2023

Terusir dari Tanah Airnya, Muslim Rohingya Berhak Tinggal di Negeri Muslim Mana pun


Tinta Media - Ribuan Muslim Rohingya telah melarikan diri ke negara-negara sekitar terutama Bangladesh dan Malaysia akibat dibantai dan diusir oleh rezim Budha di Myanmar. Indonesia sendiri telah menampung ribuan pengungsi Rohingya, dengan setidaknya 1.500 di antaranya berada di Aceh.

Banyak pro dan kontra terkait permasalahan pengungsi Rohingya. Apa yang menjadi akar masalahnya dan Bagaimana cara mengatasinya? 

Simak wawancara wartawan Tinta Media R Raraswati bersama Jurnalis Senior Joko Prasetyo. Berikut petikannya. 

1. Mengapa Muslim Rohingya semakin banyak yang mengungsi ke Indonesia?

Karena mereka dibantai dan diusir dari tanah airnya sendiri di Arakan oleh rezim Budha Burma/Myanmar dari masa ke masa itu adalah fakta yang tidak terbantahkan. Bukan hanya ke Indonesia, bahkan ke Malaysia dan Bangladesh jauh lebih banyak lagi.

Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar sedunia wajib menolong Rohingya, baik secara kemanusiaan, apalagi sebagai sesama Muslim. Sesama Muslim itu saudara!

2. Tapi, kemusliman Rohingya diragukan karena baca Al-Fatihah saja tidak bisa, belum lagi ada yang memerkosa, tidak sopan dan lainnya. Karena itulah muncul seruan penolakan terhadap pengungsi Rohingya. Tanggapan Anda?

Keji sekali orang yang menyeru penolakan pengungsi Rohingya dengan memfitnah sedemikian rupa. Saya yakin hanya oknum Rohingya saja yang seperti itu.

Tapi memang kalau Muslim Rohingya tidak bisa baca Al-Fatihah dan terkesan ngelunjak, tidak sopan dan lainnya, yang intinya terkesan jauh dari ajaran dan pemahaman Islam yang baik dan benar itu merupakan akumulasi dari keterjajahan sejak Kesultanan Benggala (yang meliputi Negara Bangladesh saat ini, India bagian timur saat ini, dan Arakan yang jadi bagian Myanmar saat ini) diruntuhkan oleh Inggris lalu memecah-belahnya menjadi negara bangsa Bangladesh, sebagiannya dimasukan oleh Inggris ke negara bangsa Hindu India, dan sebagiannya ke negara bangsa Budha Myanmar.

Jadi, Inggris memang tidak mau melihat kaum Muslim di bekas reruntuhan Kesultanan Benggala itu bersatu, meski hanya bersatu dalam negara bangsa Muslim Bangladesh. Negara Kristen Inggris memang benar-benar tidak pernah ridha kalau orang Islam tidak mengikuti milah mereka, dan milah mereka itu ingin menghancurkan kaum Muslim sehancur-hancurnya.

Keawaman tentang Islam itu sejatinya melanda mayoritas Muslim sedunia termasuk Indonesia, jadi bukan hanya Rohingya. Sehingga Muslim Indonesia, Malaysia, dan Bangladesh pun enggan mengurus dan mendidik Muslim Rohingya ketika mendapati Muslim Rohingya ternyata awam Islam dan awam akhlak Islam.

Inilah PR kita bersama untuk menyadarkan mereka semua.

3. Ada kekhawatiran masyarakat, jika mereka semakin banyak yang datang, akhirnya minta tinggal seterusnya di Indonesia. Mereka minta menjadi warga negara bahkan minta negara sendiri. Bahkan muncul berita UNHCR dengan Pak Wapres mau ngasih pulau untuk mereka. Bagaimana menurut Anda?

Kalau Indonesia paham Islam, Rohingya paham Islam, ya tidak ada masalah apa-apa kalau Rohingya menetap di Indonesia, karena Muslim mana pun berhak tinggal di negeri Muslim mana pun dan diperlakukan sebagai Muslim, terlepas berasal dari mana pun. Karena, yang ada adalah ikatan akidah Islam yang meniscayakan semua Muslim bersaudara. Lain cerita kalau yang dijadikan ikatan itu adalah kebangsaan, ya sudah barang tentu Rohingya itu dianggap sebagai orang lain yang mau menjajah aja. Di sisi lain juga ya enggak peduli dengan nasib Muslim Rohingya yang dijajah dan diusir dari Arakan, tanah mereka sendiri, oleh kafir Budha Myanmar.

4. Lebih vulgarnya lagi ada yang menyatakan nanti mereka di Indonesia akan seperti Yahudi yang mendirikan negara Israel dengan merampas tanah Palestina. Tanggapan Anda?

Begini, memang benar Yahudi merampas tanah Palestina lalu mendirikan negara entitas Zionis tersebut dengan mengusir dan membantai rakyat Palestina dengan bantuan Inggris. Kemudian sampai sekarang Zionis Yahudi disokong penuh Amerika Serikat untuk terus menduduki Palestina dan membantai penduduknya terutama di Gaza.

Tapi, terlalu overthinking, terlalu su’udzan, bila menganggap Rohingya akan seperti itu juga di Indonesia bila Rohingya diperbolahkan menetap di Indonesia, karena secara faktual, Rohingya adalah sesama saudara Muslim yang wajib kita tolong.

Justru yang sudah pasti adalah entitas Zionis Yahudi telah mendukung militer Myanmar dalam genosida terhadap Muslim Rohingya dan Perang Saudara pada 1952. Setidaknya itu tertuang dalam dokumen Kementerian Luar Negeri Israel setebal 25 ribu halaman yang dirilis media Haaretz.

Jadi, mereka yang memfitnah Muslim Rohingya sedemikian rupa dan memprovokasi Indonesia untuk menolak pengungsi Rohingya itu benar-benar jahat, keji. Sudahlah Muslim Rohingya itu menderita di negerinya sendiri, di negeri sesama Muslim malah ditolak karena fitnah keji.

5. Memangnya seperti apa nasib Muslim Rohingya di negerinya sendiri?

Sebagian dari Muslim Rohingya syahid dibantai rezim Myanmar, militer Myanmar, para biksu Budha dan lainnya. Rumah dan hartanya banyak yang hangus dibakar. Perempuannya banyak yang diperkosa dan dibunuh.

Saking besarnya siksaan yang mereka rasakan, beberapa Muslimah Rohingnya bertukar cerita bagaimana mereka diperkosa, mereka menyebut berapa banyak tentara Myanmar yang memerkosanya, hingga salah seorang di antara mereka berkata, "Alhamdulillah, saya hanya sekali saja diperkosanya."

Mereka yang masih hidup dengan sebagian harta mereka yang tersisa juga sebagiannya habis agar bisa hijrah ke Indonesia, Malaysia ataupun Bangladesh, tetapi sebagian besar dari mereka juga tidak sampai tujuan karena ditipu oleh pihak yang katanya dapat menyewakan kapal.

Jadi, yang bisa sampai ke Indonesia, Malaysia, dan Bangladesh itu memang mereka yang benar-benar telah lolos melalui berbagai cobaan yang saya yakin kita sendiri juga tidak akan sanggup menghadapinya. Tetapi begitu sampai di negeri sesama Muslim Indonesia, mereka yang penuh harap dapat diterima, eh, malah ditolak!

6. Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah Indonesia dan Aceh (khususnya)? Menolong mereka sementara, kemudian mengembalikan ke negara asal, atau bagaimana?

Mereka itu saudara seakidah yang membutuhkan pertolongan secara mendesak. Mayoritas dari mereka meninggal dibantai di Arakan, sebagiannya lagi mati mengenaskan di tengah laut. Hanya sebagian kecil yang sampai ke Indonesia. Sebagian lainnya ke Bangladesh dan Malaysia.

Tidak hanya Muslim Aceh saja yang mesti sadar, pemerintah juga harus lebih jauh lebih menyadarinya. Harus dengan segera menangani Muslim Rohingya sebaik mungkin sebagaimana menangani warga negara sendiri.

Masalahnya rakyat sendiri juga diterlantarkan, apalagi harus urus Muslim Rohingya.

Maka, tidak aneh bila pemerintah lebih memilih untuk mendeportasi Muslim Rohingya ke Myanmar. Padahal di Myanmar juga Muslim Rohingya itu tidak diakui sebagai warga negara Myanmar. Mereka adalah manusia perahu yang tidak berkewarganegaraan. Jadi, kalau mau dideportasi itu mau dideportasi ke mana? Ke tengah laut?

Beginilah kondisi kaum Muslim saat ini, baik yang terjajah secara militer maupun nonmiliter sama-sama mengenaskan. Kita yang secara pemikiran lebih waras, lebih ideologis memiliki PR yang sangat-sangat agung (tadinya mau bilang sangat-sangat berat he...he...) yang wajib kita tunaikan secara berjamaah, karena mustahil bisa dikerjakan sendiri dan sporadis, tapi harus secara terstruktur dan sistematis dengan jamaah yang memang konsern berjuang mengembalikan kehidupan Islam di bawah naungan khilafah.

7. Menurut Anda, bantuan apa yang perlu diprioritaskan saat ini?

Idealnya diberi sandang, pangan, papan, keamanan, dan pendidikan secara fokus dan serius berbasis Islam. Serta diberi keterampilan agar bisa mencari nafkah sendiri.

8. Di sisi lain, rezim sangat antusias menyambut orang Cina dengan dalih TKA, difasilitasi bagai raja. Apa tanggapan Anda mengenai fakta ini?

Iya, karena rezim ini juga notabene mayoritasnya adalah Muslim juga yang menjadi korban penjajahan secara nonmiliter. Bukan hanya rezim Indonesia, tetapi seluruh rezim dunia Islam hakikatnya adalah penguasa yang terjajah.

9. Apa pesan Anda untuk pemerintah Indonesia dan warga secara umum terkait berbagai pemberitaan Muslim Rohingya?

Mengapa bukan hal-hal yang lebih komprehensif yang dibahas ketimbang menyalah-nyalahkan Muslim Rohingya serta mengharap mereka datang ke Indonesia itu dengan sangat islami dan menguntungkan Indonesia? Lalu ketika kedapatan mereka mencuri, songong, tidak hafal Al-Fatihah kemudian kita muak dan mengusirnya? 

Lantas apa bedanya kita dengan mereka? Kita lebih parah lagi berarti, kita tidak dijajah secara fisik tetapi keawaman kita terhadap Islam lebih parah dari mereka.

Ingat! Memangnya di Arakan itu mereka belajar Islam leluasa? Mereka disiksa, bisa bertahan hidup saja sudah luar biasa, boro-boro belajar Islam.

Jadi, sekali lagi saya tegaskan kaum Muslim Indonesia, Malaysia, dan Bangladesh wajib menolong pengungsi Rohingya. Karena, mereka itu sesama manusia yang sangat membutuhkan pertolongan, lebih dari itu mereka adalah sesama Muslim yang sangat butuh pertolongan.

Kita, orang Indonesia, Malaysia, dan Bangladesh, kan sama-sama manusia, lebih dari itu sama-sama Muslim. Jadi, lebih wajib lagi menolong Muslim Rohingya. 

Negara dan warga harus bahu membahu menolongnya dengan memberikan sandang, pangan, papan, keamanan, dan pendidikan secara fokus dan serius berbasis Islam. Serta diberi keterampilan agar Muslim Rohingya bisa mencari nafkah sendiri, dan berkiprah sebagaimana manusia dan Muslim lainnya.[]

 

 

Sabtu, 16 Desember 2023

UIY: Orang-Orang Rohingya Terpaksa Pergi karena Menanggung Kezaliman Luar Biasa


 
Tinta Media - Cendekiawan Muslim Ustadz Ismail Yusanto (UIY)  menilai, orang-orang Rohingya adalah orang-orang tertindas yang terpaksa pergi dari tempat asalnya karena menanggung kezaliman yang luar biasa demi menyelamatkan agama (Islam) dari fitnah.
 
“Mereka orang-orang Rohingya terpaksa pergi dari kediamannya karena menanggung kezaliman yang luar biasa dari rezim Aung San Suu Kyi demi menjaga agama (Islam) dari fitnah,” ucapnya dalam Focus To The Point: Stop Narasi Kebencian Terhadap Muslim Rohingya! Di kanal Youtube UIY Official, Kamis (14/12/2023).
 
UIY membeberkan, bentuk kezaliman yang diterima sangat banyak seperti dibakar rumahnya, muslimahnya dipaksa melepas kerudung, saat berpuasa dipaksa berbuka, dan banyak lagi sehingga harus pergi dari wilayah asalnya.
 
“Ini sesuai tuntunan agama bahwa kalau kita dizalimi maka harus mempertahankan jiwa, harta, dan utamanya adalah agama. Jadi bisa dikatakan mereka semacam hijrah dalam suasana ketertindasan yang luar biasa,” tuturnya prihatin.
 
Orang-orang Rohingya menurut UIY, sebenarnya berusaha untuk kembali ke tempat asal moyangnya dulu di Bangladesh namun ditolak, kemudian ke Thailand juga ditolak, dan akhirnya diterima di Aceh.
 
“Ketika mereka sampai di Aceh pun sebenarnya sempat ditolak tapi kemudian pada waktu itu tahun 2014-an, wakil presiden Yusuf Kalla mengatakan untuk menerima mereka meskipun untuk sementara,” ungkapnya.
 
Saat timbul banyak permasalahan ketika mengungsi di Aceh, UIY menandaskan penting untuk mendudukkan kembali persoalan ini adalah bagaimana kita menolong saudara yang sedang tertindas.
 
“Ini harus menjadi bagian dari ciri seorang muslim yang bersaudara dengan muslim yang lain di antaranya, bahwa kita harus menolong mereka yang terzalimi dan mencukupi kebutuhannya,” paparnya.
 
UIY menambahkan, perlu treatment atau perlakuan tambahan kepada mereka yaitu mereka harus dibina dan dididik agar tumbuh rasa syukur dan berterima kasih ketika mendapatkan pertolongan setelah mengalami penderitaan yang luar biasa.
 
“Pembinaan ini penting untuk memunculkan sikap, adab, dan akhlak yang baik di tengah kesulitan. Selain itu juga untuk menumbuhkan rasa qonaah bahwa bantuan yang diberikan ya sesuai dengan kemampuan yang membantu,” ulasnya.
 
UIY menegaskan bahwa kezaliman terhadap kaum muslimin di Burma menunjukkan kelemahan atau ketidakberdayaan umat Islam menolong saudara sesama muslim karena tidak memiliki junnah atau pelindung.
 
“Inilah yang terjadi ketika umat Islam tidak memiliki pelindung. Jadi mestinya ini semua membawa kita kepada kesadaran pentingnya kembali hadir al-junnah yang tak lain adalah imam, amirul mukminin, atau khalifah,” pungkasnya.[] Erlina

Jumat, 15 Desember 2023

Kacamata Nasionalisme, IJM: Keberadaan Pengungsi Rohingya Dianggap Masalah



Tinta Media - Peneliti Indonesia Justice Monitor (IJM) Luthfi Affandi menilai, sudut pandang nasionalisme menyebabkan keberadaan pengungsi Rohingya sebagai masalah.

“Keberadaan pengungsi ini apakah akan menimbulkan masalah baru atau tidak, sebenarnya tergantung bagaimana cara kita memandang. Jika kita melihat dengan kacamata nasionalisme, yakni bahwa orang Rohingya bukan warga negara Indonesia, tentu dianggap menimbulkan masalah,” ungkapnya dalam rubrik Kabar Petang: Pemerintah Harus Simak! Ini Cara Atasi Gelombang Pengungsi Rohingya di kanal Youtube Khilafah News pada Senin (11/12/2023).

Menurut Luthfi, bila dilihat dari sudut pandang nasionalisme maka keberadaan pengungsi Rohingya akan dianggap sebagai orang asing dan menimbulkan masalah karena mereka tidak punya tempat tinggal di Indonesia.

“Siapa yang menjamin pemenuhan dasar mereka? Karena mereka tidak memiliki pekerjaan. Kemudian bagaimana kebutuhan-kebutuhan dasarnya? Dari mana anggaran untuk itu semuanya? Pasti tidak akan ada pos anggaran. Belum lagi potensi konflik dengan penduduk setempat,” jelasnya.

Akibatnya, ungkap Luthfi, banyak yang nyinyir dengan para pengungsi Rohingya. Misalnya, mereka ingin dilayani atau ingin dikasih makan dan seterusnya. Bahkan kini, belum sampai mereka di pantai sudah ditolak dan diminta agar mereka segera kembali ke negaranya. Mengapa? Karena belum terbayang bagaimana menyelesaikan masalah mereka. Pemerintah dan masyarakat secara umum masih memandang persoalan Rohingya bukan permasalahan orang Indonesia.

“Komitmen pemerintah Indonesia atau masyarakat secara keseluruhan terhalang oleh sekat dan doktrin nasionalisme. Jadi sekat dan doktrin nasionalisme di dunia Islam sangat betul-betul nyata membuat Indonesia dan negeri muslim lain tidak memberikan tempat. Sekat-sekat negara bangsa ini yang telah betul-betul menjadi tembok besar yang menghalangi Indonesia, negeri-negeri muslim dan masyarakat kaum muslimin untuk menolong mereka,” paparnya. 

Oleh karenanya, rezim nasionalis akan memandang manusia jika mereka terdaftar secara administratif sebagai warga negara dan sebaliknya.
 
“Jika bukan warga negara dalam konteks nasionalisme, mereka tidak akan pernah mendapatkan hak sebagaimana halnya manusia. Misalnya hak hidup, hak tempat tinggal,” pungkasnya.[] Yung Eko Utomo

Kamis, 14 Desember 2023

Muslim Rohingya Ingin Menetap di Indonesia, Jurnalis: Kalau Paham Islam Tidak Ada Masalah



Tinta Media - Mengomentari adanya keinginan muslim Rohingya yang ingin menetap di Indonesia, Jurnalis Senior Joko Prasetyo (Om Joy) mengungkapkan jika Indonesia dan Rohingya paham Islam tidak ada masalah. 

"Kalau Indonesia paham Islam, Rohingya paham Islam, ya tidak ada masalah apa-apa kalau Rohingya menetap di Indonesia," tuturnya kepada Tinta Media, Ahad (10/12/2023). 

Karena, lanjutnya, muslim mana pun berhak tinggal di negeri Muslim mana pun dan diperlakukan sebagai Muslim, terlepas berasal dari mana pun. 

"Karena, yang ada adalah ikatan akidah Islam yang meniscayakan semua Muslim bersaudara. Lain cerita kalau yang dijadikan ikatan itu adalah kebangsaan, ya sudah barang tentu Rohingya itu dianggap sebagai orang lain yang mau menjajah aja," lanjutnya. 

Mendesak

Om Joy sapaan menegaskan bahwa muslim Rohingya membutuhkan pertolongan secara mendesak. 

"Mayoritas dari mereka meninggal dibantai di Arakan, sebagiannya lagi mati mengenaskan di tengah laut. Hanya sebagian kecil yang sampai ke Indonesia. Sebagian lainnya ke Bangladesh dan Malaysia," tegasnya. 

Bahkan harta mereka yang tersisa kata Om Joy, sebagian habis agar bisa hijrah ke Indonesia, Malaysia ataupun Banglades. "tetapi sebagian besar dari mereka juga tidak sampai tujuan karena ditipu oleh pemilik kapal," tuturnya. 

Om Joy juga menuturkan bahwa saking besarnya siksaan yang mereka rasakan beberapa Muslimah Rohingya bertukar cerita bagaimana mereka diperkosa. 

"Mereka menyebut berapa banyak tentara Myanmar yang memerkosanya, hingga salah seorang di antara mereka berkata, Alhamdulillah, saya hanya sekali saja diperkosanya," keluhnya. 

Harusnya, ujarnya, tidak hanya muslim Aceh yang mesti sadar, pemerintah juga harus lebih jauh lebih menyadarinya. "Harus dengan segera menangani Muslim Rohingya sebaik mungkin sebagaimana menangani warga negara sendiri," tandasnya. [] Setiyawan Dwi.

Rabu, 13 Desember 2023

Kesultanan Arakan



Tinta Media - Jumlah Muslim di Myanmar paling besar dibandingkan Filipina dan Thailand, jumlahnya sekitar 7 juta hingga 10 juta jiwa. Setengah dari jumlah Muslim Myanmar tersebut berasal dari Arakan, suatu provinsi di barat laut Myanmar. Di sebelah utara, wilayah Arakan mempunyai perbatasan dengan Bangladesh sepanjang 170 km; di sebelah Barat berbatasan dengan pantai yakni Laut Andaman.

Semula Arakan bernama Rohang. Masyarakatnya disebut Rohingya. Pada 1430 Rohingya menjadi kesultanan Islam yang didirikan oleh Sultan Sulaiman Syah dengan bantuan masyarakat Muslim di Bengal (sekarang Bangladesh). Kemudian nama Rohingya diganti menjadi Arakan (bentuk jamak dari kata arab ‘rukun’ yang berarti tiang/pokok) untuk menegaskan identitas keislaman mereka.

Islam mulai datang ke negeri Burma ini di mulai sejak awal hadirnya Islam, yakni abad ke-7. Saat itu daerah Arakan telah banyak disinggahi oleh para pedagang Arab. Arakan merupakan tempat terkenal bagi para pelaut Arab, Moor, Turki, Moghuls, Asia Tengah, dan Bengal yang datang sebagai pedagang, prajurit, dan ulama. Mereka melalui jalur darat dan laut.

Pendatang tersebut banyak yang tinggal di Arakan dan bercampur dengan penduduk setempat. Percampuran suku tersebut terbentuk suku baru, yaitu suku Rohingya. Oleh karena itu, Muslim Rohingya yang menetap di Arakan sudah ada sejak abad ke-7.

Para pedagang yang singgah di pantai pesisir Burma mulai menggunakan pantai pesisir dari Negara Burma (Myanmar) sebagai pusat persinggahan dan juga dapat dijadikan tempat reparasi kapal.

Dapat diketahui bahwa Islam mulai masuk ke Burma di bawa oleh para pedagang Muslim yang singgah di pesisir pantai Burma. Pada masa kekuasaan perdagangan Muslim di Asia Tenggara mencapai puncaknya, hingga sekitar abad ke-17, kota-kota di pesisir Burma, melalui koneksi kaum Muslim, masuk ke dalam jaringan dagang kaum Muslim yang lebih luas.

Mereka tidak hanya aktif di bidang perdagangan, melainkan juga dalam pembuatan dan perawatan kapal. Suatu ketika di abad ke-17 sebagian besar provinsi yang terletak di jalur perdagangan dari Mergui sampai Ayutthaya praktis dipimpin oleh gubernur Muslim dengan para administrator tinggi, yang juga Muslim

Referensi: mediaumat.com 9/8/2012

 

Jurnalis: Keawaman Islam Sejatinya Melanda Mayoritas Muslim Sedunia



Tinta Media - Menanggapi terkait pengungsi Rohingya banyak yang awam terhadap Islam, Jurnalis Senior Joko Prasetyo (Om Joy) membeberkan bahwasanya keawaman Islam sejatinya melanda muslim sedunia bukan hanya Rohingya.

"Keawaman tentang Islam itu sejatinya melanda mayoritas Muslim sedunia termasuk Indonesia, jadi bukan hanya Rohingya," tuturnya pada Tinta Media, Ahad (10/12/2023).

Sehingga lanjutnya, muslim Indonesia, Malaysia, dan Banglades pun enggan mengurus dan mendidik Muslim Rohingya ketika mendapati Muslim Rohingya ternyata awam Islam dan awam akhlak Islam. "Inilah PR kita bersama untuk menyadarkan mereka semua," ujarnya.

Keterjajahan

Om Joy sapaan menuturkan bahwasanya terkait muslim Rohingya yang intinya terkesan jauh dari ajaran dan pemahaman Islam yang baik dan benar merupakan akumulasi dari keterjajahan sejak Kesultanan Benggala diruntuhkan oleh Inggris.

"Inggris lalu memecah-belahnya menjadi negara bangsa Bangladesh, sebagiannya dimasukkan oleh Inggris ke negara bangsa Hindu India, dan sebagiannya ke negara bangsa Budha Myanmar," tuturnya. 

Jadi bebernya, Inggris memang tidak mau melihat kaum muslimin dibekas reruntuhan kesultanan Benggala itu bersatu meski hanya bersatu dalam negara bangsa muslim Banglades.

"Negara Kristen Inggris memang benar-benar tidak pernah ridha kalau orang Islam tidak mengikuti milah mereka, dan milah mereka itu ingin menghancurkan kaum Muslim sehancur-hancurnya," pungkasnya. [] Setiyawan Dwi.

Kronologis Sejarah Penderitaan Muslim Rohingya



Tinta Media - Arakan, wilayah di mana mayoritas Muslim Rohingya tinggal, sudah ada bahkan sebelum Negara Burma lahir setelah diberi kemerdekaan oleh Inggris pada tahun 1948. Kaum Muslimin di sana telah berabad-abad tinggal sebagai kesultanan Islam yang merdeka. Justru yang terjadi adalah penjajahan oleh kerajaan Budha dan Kolonial Inggris di negara itu. 

Para sejarawan menyebutkan bahwa Islam masuk ke negeri itu tahun 877 M pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid. Saat itulah Daulah al-Khilafah menjadi negara terbesar di dunia selama beberapa abad. Islam mulai menyebar di seluruh Burma ketika mereka melihat kebesaran, kebenaran, dan keadilannya. 

Kaum Muslimin memerintah provinsi Arakan lebih dari tiga setengah abad antara tahun 1430 hingga tahun 1784 M. Penderitaan Muslim di sana mulai terjadi saat penjajah kerajaan Budha maupun kolonialis Inggris menjajah negeri itu. Berikut tahun-tahun penting penderitaan Muslim Rohingya. 

1784 M : Kerajaan Budha berkoalisi menyerang provinsi dan menduduki wilayah Arakan. Mereka menghidupkan kerusakan di provinsi tersebut. Mereka membunuh kaum Muslimin, membunuh para ulama kaum Muslimin dan para dai. Mereka juga merampok kekayaan kaum Muslimin, menghancurkan bangunan-bangunan Islam baik berupa masjid maupun sekolah. Hal itu karena kedengkian dan fanatisme mereka terhadap kejahiliyahan budhisme mereka. 

1824 M : Inggris menduduki Burma termasuk wilayah Arakan dan menancapkan penjajahan mereka atas Burma. 

1937 : Kolonial Inggris menduduki provinsi Arakan dengan kekerasan dan menggabungkannya ke Burma (yang saat itu merupakan koloni Inggris yang terpisah dari pemerintah Inggris di India). Untuk menundukkan kaum Muslim agar bisa dikuasai dan dijajah, Inggris mempersenjatai umat Budha. 

1942 : lebih dari 100 ribu Muslim dibantai oleh orang-orang Budha dan ratusan ribu mengungsi ke luar negeri. 

1948 M : Inggris memberi Burma kemerdekaan formalistik. Sebelumnya, pada tahun 1947 M Inggris mengadakan konferensi untuk mempersiapkan kemerdekaan dan mengajak seluruh kelompok dan ras di negeri tersebut kecuali Muslim Rohingya. Pada konferensi itu Inggris menjanjikan janji kemerdekaan kepada setiap kelompok atau suku sepuluh tahun kemudian. Namun pemerintahan Burma tidak mengimplementasikan hal itu. Yang terjadi adalah memilih terhadap kaum Muslimin yang terus berlanjut. 

1962 : terjadi kudeta militer di Burma di bawah pimpinan militer Jenderal Ne Win. Rezim militer melanjutkan 'tugas penting' bermusuhan dengan umat Islam. Lebih dari 300 ribu Muslim diusir ke Bangladesh. 

1978 : rezim militer mengusir lebih dari setengah juta Muslim ke luar Birma. Menurut UNHCR, lebih dari 40 ribu orang Muslim terdiri atas orang-orang tua, wanita dan anak-anak meninggal dunia saat pengusiran akibat kondisi mereka yang memprihatinkan. 

1982 : operasi penghapusan kebangsaan kaum Muslim karena dinilainya sebagai warga negara bukan asli Burma. 

1988 M : lebih dari 150 ribu kaum Muslimin terpaksa mengungsi ke luar negeri. Pemerintah Myanmar menghalangi anak-anak kaum Muslimin mendapatkan pendidikan. Untuk mengurangi populasi, kaum Muslim dilarang menikah sebelum berusia tiga puluh tahun. 

1991 :  lebih dari setengah juta kaum Muslim mengungsi akibat penindasan yang mereka alami. 

2012 : Pada bulan Juni  orang-orang Budha melakukan serangan terhadap sebuah bus yang mengangkut Muslim dan membunuh sembilan orang dari mereka.  Konflik cenderung dibiarkan oleh pemerintah. Pembunuhan, pembakaran rumah, dan pengusiran terjadi. Puluhan ribu kaum Muslimin keluar dari rumah mereka.  Bangladesh menolak untuk membantu kaum Muslim yang tiba di Bangladesh. Negara ini bahkan mengembalikan  dan menutup perbatasan untuk saudara Muslimnya. Tidak ada angka yang pasti jumlah korban Muslim, namun diduga puluhan ribu Muslim terbunuh pasca pecahnya kembali konflik pada awal Juni 2012. 

Keamanan tidak akan kembali menjadi milik kaum Muslimin di negeri tersebut kecuali jika tidak kembali kepada Khilafah.  Mereka telah bernaung di bawah Khilafah sejak masa Khalifah Harun ar-Rasyid lebih dari tiga setengah abad lamanya. Jadi Khilafah sajalah yang memberikan kepada mereka keamanan dan menyebarkan kebaikan di seluruh dunia.  Semoga Khilafah sudah dekat keberadaannya, atas izin Allah.

Oleh: Farid Wadjdi
Pemred Majalah Al-Wai’e

Referensi: Mediaumat.com/ FW dari berbagai sumber
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab