Tinta Media: Riset
Tampilkan postingan dengan label Riset. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Riset. Tampilkan semua postingan

Jumat, 21 Oktober 2022

2,45 Juta ODGJ, Pakar Parenting: Remaja Indonesia Sedang Tidak Baik-Baik Saja

Tinta Media - Hasil Riset yang menyebut 2,45 Juta Remaja termasuk ODGJ, menunjukkan remaja Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

“Hasil riset ini membuka mata kita bagaimana kondisi mental remaja di negeri ini. Remaja di negeri ini sedang tidak baik-baik saja,” ujar Pakar Parenting sekaligus Penulis Buku The Model for Smart Parents Nopriadi Hermani, Ph.D. dalam wawancara eksklusif dengan Tinta Media, Rabu (19/10/2022).

Mestinya menjadi prihatin dan risau, karena 2,45 juta remaja di Indonesia memiliki masalah dalam kesehatan mental. Di antara remaja kita yang usianya 10-17 tahun banyak yang memiliki gangguan gangguan kecemasan(sekitar 3,7%), gangguan depresi mayor (1,0%), gangguan perilaku (0,9%), serta gangguan stres pascatrauma dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) yang masing-masing diderita oleh 0,5% oleh populasi. “Ini bukan angka yang kecil. Bukan masalah sepele,” nilai Nopriadi. 

“Masih sangat muda sudah mengalami masalah kesehatan mental,” tambahnya.

Akar masalah

Secara penelitian, menurut Nopriadi akar masalah gangguan mental pada remaja bisa bermacam-macam. “Di usia tersebut hormon reproduksi terus aktif, perkembangan otak terus berlangsung dan biasanya masih ada proses pembentukan identitas diri,” paparnya.

Semua itu biasanya disertai dengan ketidakstabilan emosi atau pengambilan keputusan yang sering kali impulsif. “Penelitian lain menunjukkan banyaknya remaja Indonesia, di periode transisi ini, mengalami tantangan adaptasi terhadap kehidupan yang mulai berubah, kesulitan mereka mengatur waktu dan keuangan pribadi,” jelasnya. 

Ia menambahkan juga ada yang mengalami rasa kesepian saat belajar dan merantau di kota yang jauh dari tempat tinggal. “Namun, semua ini bukanlah faktor utama,” ujarnya.
 
Faktor utamanya menurut Nopriadi adalah fenomena matang semu. “Apa itu? Secara biologis mereka tumbuh dewasa, tapi secara psikologis mereka masih mentah, tidak tumbuh normal,” jelasnya.

Seharusnya ketika baligh mereka sudah memiliki kematangan kepribadian yang cukup dalam menghadapi perubahan dan tantangan kehidupan. “Kematangan kepribadian ini bisa dilihat dari mentalitas (mentality) dan tingkah laku (behaviour) mereka yang terbentuk dengan standar yang jelas,” ungkapnya.

Bagi remaja muslim, kata Nopriadi standarnya adalah Islam. “Matangnya pribadi mereka adalah buah dari penanaman keimanan yang baik, pembiasaan prilaku yang sesuai dengan syariat Islam dan pembangunan budaya pribadi yang amanah akan segala tanggungjawab,” terangnya.

Tanggung Jawab Siapa?

Menurut Nopriadi, banyak yang bertanggung jawab dalam kerusakan mentalitas generasi muda ini, dari keluarga sampai negara. “Pertama yang kita lihat adalah orangtua,” tuturnya.

“Orang tua, terutama ayah, memiliki tanggung jawab utama dalam menjaga keluarganya,” jelasnya lebih lanjut.
 
Dalam Al-Qur’an surah At-Tahrim ayat 66 Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”

Dari ayat tersebut dijelaskannya bahwa Allah mewajibkan para ayah menjaga anak-anak mereka agar selamat dan memiliki kehidupan yang baik di akhirat. Tidak hanya akhirat, tapi Ayah bertanggungjawab untuk kebaikan anak-anak mereka di dunia. “Tidak hanya mencari nafkah, tapi juga mendidik mereka agar memiliki kepribadian yang matang sesuai dengan perkembangan usia mereka,” jelasnya.

“Disamping ayah, tentu saja ada bunda yang mendampingi,” tambahnya.
 
Cuma Nopriadi menilai bahwa hari ini banyak orang tua yang tak siap menjalani peran sebagai ayah-bunda. “Coba bayangkan, untuk menjalankan profesi sebagai dokter saja seseorang memerlukan sekolah paling tidak 3,5 tahun untuk mendapatkan sarjana kedokteran, lalu 2 tahun koas (co-assistant) dan 1 tahun magang di rumah sakit atau puskesmas,” bebernya.
 
Semua harus dilewati sehingga dia sudah dikatakan cukup ilmu, keterampilan dan pengalaman untuk praktik sendiri. Butuh minimal 6,5 tahun bagi seorang calon dokter untuk bisa menangani manusia (pasien). Bila tidak memenuhi standar ini maka dokter tersebut melakukan malpraktik.

“Nah, kebanyakan kita menjalankan peran sebagai orang tua bukan karena sudah lulus sekolah dengan kesiapan ilmu, keterampilan dan pengalaman sebagaimana para dokter. Kita menjadi orangtua hanya gara-gara punya anak. Gara-gara punya anak kita langsung praktik. Gara-gara punya anak kita harus menangani manusia sejak bayi, anak-anak, remaja hingga dewasa,” terangnya.

Tanpa ilmu, keterampilan dan pengalaman yang cukup, kata Nopriadi orangtua akan melakukan malpraktik dalam mendidik anak. “Jadi, kalau kita lihat rumah-rumah di sekitar kita kebanyakan terjadi malpraktik yang dilakukan orang tua pada anak-anak mereka,” ucapnya.

Tanggung jawab berikutnya menurut Nopriadi adalah sekolah, masyarakat dan terutama negara. Perlu dicatat massifnya gangguan kesehatan mental pada anak remaja menunjukkan bahwa problem ini bukan problem pribadi satu dua orang. Bukan problem satu dua keluarga, tapi ini problem yang bersifat sistemik. “Seolah-olah ada mesin yang memproduksi sakit mentalnya para remaja,” nilainya.

Sikap Masyarakat

“Tugas kita adalah menyehatkan mentalitas keluarga kita dan juga masyarakat kita,” ujar Nopriadi.

Menyebarluaskan dan menanamkan konsep-konsep keimanan pada keluarga dan masyarakat. Mendakwahkan Islam sebagai cara hidup. Membiasakan orang-orang yang menjadi tanggung jawab agar hidup sesuai dengan syariat Islam. “InsyaAllah dengan menyuntikkan Islam dalam pribadi mereka (anak-anak) maka mereka akan memiliki kepribadian matang yang sesuai dengan Islam,” tukasnya.

“Mereka akan hidup dengan konsep Islam yang membuat mereka mampu menyikapi segala persoalan hidup dengan tepat,” tegasnya.
 
Menurutnya, dengan Islam mereka akan memiliki cara hidup yang tertata sesuai dengan panduan-Nya. “Tertata pikirannya, tertata perasaannya, tertata kata-katanya, tertata sikap prilakunya, dan tertata kehidupannya,” tuturnya.
 
Dijelaskannya bahwa mereka yang hidup dengan Islam ini akan memiliki kehidupan yang baik. “Kehidupan baik ini Insya Allah akan jauh dari segala masalah penyakit mental,” jelasnya.
 
Dia menyampaikan firman Allah SWT dalam Q.S An-Nahl: 97, “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.”

Peran Negara

Susah, Nopriadi membayangkan apa yang harus dilakukan negara, menurut Islam, ketika masalah sistemik ini dihasilkan oleh kehidupan yang jauh berpaling dari Islam. “Tadi saya sampaikan masalah penyakit mental remaja kita adalah masalah sistemik,” ujarnya.

“Masalah ini terus diproduksi secara sistemik selama sistemnya tidak berubah. Sistem bermasalah hanya menghasilkan kehidupan yang bermasalah. Sistem bermasalah terjadi ketika Islam tidak dijadikan sebagai panduan dalam menata sistem kehidupan,” paparnya.
 
“Kalau seandainya nih kita membayangkan Islam sebagai panduan dalam membangun sistem kehidupan, maka kita akan menyaksikan pribadi-pribadi bertakwa yang sehat mentalitasnya dan baik cara hidupnya,” paparnya selanjutnya.
 
Menurutnya, pribadi-pribadi yang jauh dari masalah mental, baik muslim maupun non-muslim. “Kita juga akan menyaksikan keluarga sakinah mawaddah warahmah dimana suami istri dan anak-anak hidup dalam suasana terbaik yang saling membahagiakan,” ungkapnya. 

“Anggota keluarga yang menunaikan tanggungjawabnya sehingga mereka hidup bahagia dan penuh ketenteraman,” imbuhnya. 

Dengan Islam pula kata Nopriadi akan menyaksikan masyarakat amar ma’ruf nahi munkar yang saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketaatan. Masyarakat yang sangat kondusif untuk hadirnya para remaja muslim yang sehat mentalnya, bahagia jiwanya, dan produktif hidupnya. “Dengan Islam pula kita akan menyaksikan negara yang adil yang memenuhi segala kebutuhan warga negaranya. Negara dimana para pemimpin sangat takut pada Allah SWT bila tidak menunaikan amanah kepemimpinannya,” paparnya. 

“Dengan Islam kita membayangkan sebuah sistem kehidupan yang mampu menjaga agama (al-din), jiwa (al-nafs), keturunan (an-nasl), harta (al-mal) dan aqal (al-aql),” pungkasnya.[] Raras
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab