Tinta Media: Ribawi
Tampilkan postingan dengan label Ribawi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ribawi. Tampilkan semua postingan

Senin, 26 Februari 2024

Beternak Utang Ribawi



Tinta Media - Sungguh mengkhawatirkan ketika membaca di media bahwa di penghujung Januari 2024 Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang mewakili Pemerintah Pusat melakukan program penyerapan dana masyarakat melalui penerbitan dan penawaran Surat Berharga Negara (SBN) yang bernilai Rp666,4 triliun. 

SBN ini hakikatnya adalah utang pemerintah yang mengandung riba. Defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) bisa ditutup dengan adanya dana dari SBN ini. Terutama Surat Utang Negara (SUN) jelas bertentangan dengan Syariat Islam yaitu mengandung riba. 

Syariat Islam telah melarang praktik ribawi baik yang dilakukan oleh individu maupun oleh negara, dalam Surat Al Baqarah ayat 275  Allah SWT melarang keras praktek riba seperti firman-Nya yang artinya: Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan dan seterusnya. Juga Rasulullah SAW mengancam keras pelaku riba sebagaimana bunyi hadistnya : Allah melaknat pemakan riba (kreditur), orang meminjam (debitur), penulisnya dan orang yang menyaksikannya. 

Mengutip dari portal resmi Kemenkeu dan Otoritas Jasa Keuangan selanjutnya disebut OJK dijelaskan pengertian dan jenis SBN. SBN yang diterbitkan Pemerintah Pusat terdiri dari SUN yang diatur dalam Undang Undang no. 24 tahun 2002 dan Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN diatur dalam UU No. 19 tahun 2008. 

SUN merupakan utang negara yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh negara. SUN dari jenisnya ada dua yaitu untuk jangka pendek maksimal 1 tahun adalah Surat Perbendaharaan Negara (SPN) dan yang jangka panjang lebih dari 1 tahun adalah Obligasi negara yang sama terdapat bunga. 

Jika dijual retail ke masyarakat disebut ORI. Sementara SBN  syariah adalah  SBSN atau Sukuk Negara yang berakad atau dengan skema ijarah, Mudarabah, Musyarakah dan Istishna. Dalam SBSN ini ada yang namanya Aset SBSN yang dijadikan objek pembiayaan. 

Bagi masyarakat yang mempunyai kelebihan dana SBN terutama SUN ini adalah instrumen investasi/piutang yang aman dan pasive income yang menjanjikan karena dijamin oleh pemerintah dengan kupon (bunga) yang cukup tinggi dibanding deposito bank selain juga bisa dijual ketika jatuh temponya belum berlaku berarti cukup liquid.

Keuntungannya ada capital gain atau keuntungan atas penjualannya jika ada potensi kenaikan harga. Minim resiko karena pembayaran bunga/kupon dan pokoknya dijamin UU SUN. SUN seperti obligasi negara juga dapat dijadikan sebagai agunan dan dapat dijual setiap saat apabila pemilik membutuhkan dana. 

SBN ini ditawarkan mulai 29 Januari sampai dengan 22 Februari 2024, dengan nilai Rp. 664,4 triliun sementara SBN yang diluncurkan di tahun 2023 sebesar 298,6 triliun, mengalami peningkatan signifikan lebih dari 100 persen. 

Bagi pemerintah ini adalah rencana tambahan utang untuk menutup defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2024 selanjutnya disebut APBN yang diperkirakan meningkat menjadi 2,29 persen (maksimal 3 % sesuai UU Keuangan Negara) dari nilai Produk Domestik Bruto dengan nilai defisit Rp. 598,2 triliun sementara untuk tahun 2023 defisit sebesar 2,27 persen dengan nilai Rp. 522 triliun. 

Defisit APBN ini juga di dalamnya adalah juga untuk kebutuhan pembayaran Utang yang sudah jatuh tempo baik pokok dan bunga, angka utang negara per bulan November 2023 sudah mencapai Rp. 8.041 triliun dengan komposisi Rp. 7.125 triliun adalah Utang dalam negeri berupa SBN dan sisanya Rp. 886,07 triliun atau 11 % berupa Utang Luar Negeri (sumber Liputan 6.com).

Sejak diluncurkan tahun 2006 Utang Dalam Negeri berupa SBN terus meningkat dan puncaknya tahun 2025 nanti pemerintahan yang baru akan membayar SBN yang jatuh tempo sebesar 704 triliun. Jika mengacu Undang Undang Keuangan Negara batas maksimal rasio utang terhadap PDB adalah 60 persen sementara Indonesia rasio utangnya berkisar 38 persen, 90 persen utang negara adalah Utang Jangka Panjang, hal ini yang sempat dinyatakan oleh salah satu Capres dalam debat Capres bahwa itu masih aman dan terkendali. 

Harusnya isu Utang Dalam Negeri ini adalah isu seksi sama seperti Bansos dan Pinjol yang memang benar-benar terasa kehadirannya di tengah masyarakat yang didukung maraknya berita tentang hal tersebut. Tidak seperti isu Utang Dalam Negeri hanya terkait dengan golongan masyarakat tertentu saja, yaitu masyarakat golongan menengah ke atas, yang mempunyai kekayaan untuk membeli SBN khususnya SUN, dan negara sebagai penjual SUN (pengutang). 

Jika dalam sosialisasi pemerintah menyatakan bahwa partisipasi masyarakat untuk membeli SUN adalah sebagai Investasi, padahal jelas produk keuangan ini dalam akad atau transaksinya adalah utang piutang uang seperti definisi dan fakta di atas. Dalam sistem ekonomi kapitalisme ribawi yang diterapkan Indonesia tentunya penawaran dan penerbitan SUN ini adalah hal yang wajar saja dalam membuat kebijakan fiskal yang dilegalkan dalam perundang-undangan. Kedudukannya penting sebagai sumber pendapatan selain pendapatan utama dari pajak. 

Sebaliknya dalam Sistem Ekonomi Islam untuk muamalah SUN ini mengandung riba terutama riba nasiah, karena akadnya batil mengandung tambahan baik nilai pokok utang ketika dijual dengan harga jual lebih tinggi dari harga beli maupun tambahan berupa bunga pinjaman. Lantas bagaimana syariat Islam dalam hal ini sistem ekonomi islam yang dijalankan oleh khalifah sebagai kepala negara Khilafah mendapatkan sumber pendapatan untuk pembiayaan APBN yang menghindari utang apalagi yang mengandung riba? 

Seperti yang dicantumkan Kitab Sistem Keuangan Negara Khilafah karangan Syeikh Abdul Qadim Zallum Dalam sistem keuangan daulah khilafah ada beberapa sumber pendapatan APBN seperti sumber daya alam yang melimpah  dan strategis yang  merupakan milik umat, yang tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta (individu) apalagi asing seperti sekarang atau kepada negara, negara hanya sebagai pengelola untuk dikembalikan kepada umat. 

Khusus Indonesia harusnya kandungan sumber daya alam yang dimiliki lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan rakyatnya.  Selain itu ada juga pendapatan berupa ghonimah, fai, khumus, kharaj, jizyah, dan dharibah, yang dikelola dan dialokasikan untuk kemaslahatan umat.

Tentunya kita sebagai muslim menginginkan Islam terwujud secara kaffah termasuk dalam sistem ekonomi Islam yang menggantikan sistem ekonomi kapitalistik ribawi yang telah terbukti membebani APBN dan Allah SWT murka terhadap praktik ribawi. Dengan Sistem ekonomi Islam insya Allah akan terwujud keberkahan dan kesejahteraan bagi rakyat. Wallohu ‘alam bisshowab.


Oleh: Zulpadli
Sahabat Tinta Media 

Rabu, 17 Januari 2024

Peneliti: Negara Tidak Boleh Mengadopsi Pembiayaan APBN dengan Utang Ribawi



Tinta Media – Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak mengatakan, negara tidak boleh mengadopsi pembiayaan APBN dengan utang ribawi. 

“Ini yang diajarkan Islam. Negara tidak boleh mengadopsi kebijakan pembiayaan APBN dengan melakukan utang ribawi karena jelas-jelas diharamkan dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, dengan larangan yang qath’i (pasti),” ungkapnya di Kabar Petang: Era Jokowi Utang Ugal-Ugalan, Setiap Warga Tanggung Rp28 Juta? Di kanal  Youtube Khilafah News, Sabtu (13/1/2024). 

Oleh karena itu, lanjutnya,  rezim harus bertaubat dan meninggalkan kebijakan utang ribawi, karena selain berdosa juga memberikan dampak negatif terhadap publik. 

“Negara  harus memprioritaskan belanja-belanja yang diperlukan sesuai dengan pendapatan, tidak ada istilah anggaran defisit yang menjadi beban negara, sehingga harus berutang,” tambahnya. 

Dalam perspektif Islam, ucapnya,  bahaya utang bukan hanya riba tapi ketika negara meminjam ke negara lain, maka negara lain itu berpotensi memberikan syarat-syarat yang merugikan termasuk bisa membahayakan kedaulatan negara. “Semisal, mereka memaksakan proyek-proyek yang bahan baku dan tenaga kerjanya dari negara mereka sehingga kita menjadi terjajah secara ekonomi,” ucapnya mencontohkan. 

Selain itu lanjutnya, dalam Islam akan diprioritaskan belanja-belanja yang memang dibutuhkan saja. APBN dalam Islam, terangnya, menetapkan belanja-belanja yang wajib misalnya gaji pegawai , gaji tentara, fasilitas umum, jihad fii sabilillah, belanja untuk bencana dan sebagainya. 

“Pembangunannya juga diprioritaskan kepada pembangunan infrastruktur yang memang betul-betul dibutuhkan, bukan infrastruktur tersier atau sekunder yang tidak terlalu penting bagi negara,” imbuhnya. 

Ia melanjutkan, dalam negara Islam pemberantasan korupsi dilakukan secara masif, juga mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan negara. 

“Artinya kalau memang belanjanya itu besar untuk kepentingan pembangunan industri militer khususnya untuk kepentingan jihad fii sabilillah, pembangunan infrastruktur yang anggarannya besar harus diimbangi dengan peningkatan pendapatan negara,” terangnya. 

Peningkatan pendapatan ini, lanjutnya, telah diatur di dalam Islam misalnya dari kharaj, jizyah, fai, juga pendapatan dari zakat. 

“Pendapatan yang cukup besar juga akan diperoleh dari sumber daya alam, atau barang-barang yang menjadi kepemilikan umum. Kalau ini dikuasai negara akan menjadi pemasukan yang besar dan cukup untuk memenuhi belanja atau membangun negara tanpa utang,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Selasa, 16 Januari 2024

Peneliti: Utang Ribawi dalam Sistem Kapitalis Itu Legal



Tinta Media - Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak mengatakan, utang  ribawi dalam sistem  kapitalis merupakan sesuatu yang legal. 

“Utang ribawi dalam sistem kapitalis memang merupakan sesuatu yang legal. Kalau kita lihat dalam Undang-Undang  APBN, utang itu dipersilakan untuk dilakukan selama tidak melampaui 60% dari GDP sehingga pemerintah terus menggenjot utang  tanpa merasa bersalah,” ungkapnya di Kabar Petang: Era Jokowi Utang Ugal-Ugalan, Setiap Warga Tanggung Rp28 Juta? Di kanal  Youtube Khilafah News, Sabtu (13/1/2024).

Oleh karena itu, tidak heran, lanjutnya, kebijakan rezim Jokowi selama 10 tahun terakhir utang negara naik sangat drastis. 

“Lonjakan utang negara naik sangat drastis. Saya mencoba menghitung dalam 10 tahun terakhir rezim Jokowi, utang negara meningkat 200 %,” ungkapnya. 

Ia memaparkan, utang negara sampai November 2023 mencapai Rp8.000 triliun. “Bulan Desember itu ada tambahan lagi sehingga mungkin lebih dari Rp8.100 trilun. Tahun ini juga akan  ada tambahan utang lagi sekitar Rp600 triliun. Jadi angka utang Indonesia di akhir pemerintahan Jokowi ini  bisa mencapai angka Rp9.000 triliun. Angka yang sangat besar,” ujarnya. 

Menurutnya, meski nilai utang sangat besar namun tidak berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. 

“Ini aneh, utang kita semakin tinggi tapi ekonomi kita biasa-biasa saja, tidak ada perbaikan bahkan semakin buruk. Ini membuat kita berkesimpulan bahwa selama rezim Jokowi, pengelolaan utang negara, pengelolaan anggaran negara semakin buruk. Dan ini akan sangat berbahaya bagi masa depan ekonomi Indonesia dan juga bagi rakyat Indonesia,” ulasnya. 

Ia menyebut setidaknya ada dua bahaya. Pertama, harus membayar bunga yang lebih banyak. Apalagi menurutnya, sebagian besar utang pemerintah saat ini dalam bentuk obligasi atau SBN yang tingkat suku bunganya mengacu kepada pasar.

“Semakin beresiko suatu negara maka tingkat suku bunga obligasi semakin mahal. Tahun 2023 rata-rata suku bunga obligasi pemerintah Indonesia  dikisaran 6-7%. Ini jauh lebih tinggi dibandingkan Malaysia, Thailand, apalagi Singapura yang di bawah 5%. Artinya makin tinggi suku bunga maka beban anggaran untuk pembayaran bunga utang  makin besar,” terangnya.

Ini, lanjutnya, terbukti selama dua tahun terakhir biaya pembayaran bunga utang pemerintah sudah mengalahkan seluruh belanja pemerintah pusat. 

“Konsekuensinya ketika pemerintah tidak mampu menarik pendapatan yang lebih besar, maka anggaran untuk belanja-belanja produktif seperti membangun infrastruktur dasar, membangun jalan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan daerah, membangun irigasi, membangun bendungan membangun jalur kereta api, dan lain-lain itu menjadi semakin terbatas karena sebagian besar anggaran dipakai untuk membayar utang,” bebernya. 

Bahaya kedua ucapnya, jika rupiah melemah otomatis suku bunga pembayaran utang semakin tinggi. 

“Sebagian dari utang negara bunganya dalam bentuk floating rate (suku bunganya berubah mengikuti suku bunga di pasaran). Kalau ada gejolak di pasar keuangan dunia, pembayaran bunga kita semakin mahal,” terangnya.

Terakhir ia menyampaikan, jika utang tidak diremtidak menutup kemungkinan Indonesia  menjadi negara bangkrut.

“Ini  sebagaimana yang terjadi di negara-negara Amerika Latin, karena utang yang jatuh tempo tidak bisa dibayarkan. Juga di Yunani,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Jumat, 18 November 2022

Mahasiswa Dicekik Utang Ribawi, Iwan Januar: Berpikirlah Waras dan Syar’i!

Tinta Media - Direktur Siyasah Institute Iwan Januar mengajak anak-anak muda agar berpikir waras dan syar’i.

“Anak-anak muda saatnya berpikir waras dan syar’i soal bisnis,” tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (17/11/2022).

“Kalau tidak, siap-siaplah nyungsep dalam jerat utang,” tambahnya.
 
Ia menyontohkan seperti yang dialami ratusan mahasiswa IPB yang terjerat utang pinjaman online sampai didatangi para debt collector. Terbuai iming-iming keuntungan bisnis online, para pelaku ini nekat mengambil pinjaman online yang disodorkan pada mereka. “Tapi cicilan utang plus bunga yang harus dibayarkan ternyata lebih besar ketimbang keuntungan bisnis, jatuhlah mereka dalam debt trap,” jelasnya.

Iwan sepakat dengan pernyataan pengamat keuangan, Piter Abdullah, dalam Republika online kalau kejadian ini perpaduan sifat tamak dan kurang literasi. Soal yang pertama, anak-anak muda belakangan dibombamdir bisnis menjual mimpi. Tagline muda, sukses, kaya raya bersliweran di media sosial, buku-buku dan ragam pelatihan bisnis. Iming-iming coaching bisnis lebih banyak menjual mimpi ketimbang memberikan literasi bisnis yang benar. “Tidak jarang para coach itu tidak punya bisnis riil, kecuali ya dengan bisnis coaching bisnis,” paparnya. 

Diungkapkan pula bahwa rakyat juga makin tergiur ingin buru-buru sukses dan kaya karena dihajar budaya flexing alias pamer kekayaan maksimal. Selebritis, pengusaha muda, pengacara, atau siapapun yang kaya. Kalau dulu orang Indonesia dibuai kekayaan lewat sinetron-sinetron domestik yang menyajikan rumah mewah, mobil mewah, dsb. Sekarang warga disodori kemewahan lewat media sosial. “Lewat medsos, anak-anak muda bisa mengintip jam tangan artis atau pengusaha muda, makan siang di mana, merk dan jenis mobilnya, bajunya, berenang dan liburan dimana,” ungkapnya.

Bagi warga biasa, menurutnya juga anak-anak muda, konten-konten seperti itu selain hiburan juga menginspirasi atau tepatnya jadi mimpi. Sementara buat para selebritis, akun mereka juga sumber cuan. Makin banyak follower, like dan subscriber, makin banyak cuan yang masuk rekening mereka. “Di antara konten yang disukai warga adalah flexing, pamer kekayaan,” tuturnya.

Iwan menilai anak-anak muda ini miskin literasi bahwa bisnis itu ada ilmunya dan perlu pengalaman. Bahwa untuk membuat segelas kopi enak saja perlu belajar serius jadi barista. Untuk membuat mie instan ala abang-abang warmindo ada teknik yang kudu dipelajari. “Belum lagi siap mental untuk jatuh bangun sebagai pengusaha,” ujarnya.

Tapi, dasar manusia, apalagi anak-anak muda, lebih mudah terbujuk dengan bisnis yang mudah, tinggal rebahan, pemasukan datang. “Kalimat ‘pasive income’ itu beneran membuat banyak orang tersihir untuk cari bisnis yang gampang, cukup rebahan, tapi ada pemasukan,” paparnya.

Utang Ribawi

Utang ribawi menurut Iwan belum cukup. “Karena persoalan yang paling dasar soal ratusan mahasiswa terjerat pinjol, adalah berjalannya sistem kapitalisme yang menghalalkan pinjaman ribawi,” jelasnya.
 
Ia menjelaskan bahwa dalam kapitalisme, utang atau pinjaman adalah bisnis. Bukan aktivitas sosial. Tak ada makan siang gratis. Lembaga keuangan memberi pinjaman benar-benar mencari keuntungan. Revolusi teknologi digital menjadikan bisnis pinjaman jadi lebih mudah, cepat, dan bisa diakses siapa saja. “Termasuk anak-anak muda seperti para mahasiswa ini,” jelasnya.

“Mungkin dengan niatan ingin punya penghasilan, meringankan beban orang tua, atau juga termakan iming-iming sukses finansial di usia muda, ramai-ramailah ajukan pinjaman lewat aplikasi online. Ujung-ujungnya seperti tikus masuk jepitan perangkap,” lanjutnya.

Iwan memaparkan soal mahasiswa terjerat utang jauh lebih sadis di Amerika Serikat. Ribuan mahasiswa negeri kapitalis itu jatuh dalam apa yang disebut ‘student trap’, perangkap utang mahasiswa untuk biaya kuliah. “Penyebab semua itu adalah mahalnya biaya perkuliahan di sana,” paparnya.

Diterangkannya bahwa sejak tahun 1978, biaya kuliah di AS naik hingga 1.120 persen. Banyak keluarga dan anak muda AS yang tidak sanggup bayar uang kuliah dari kocek sendiri. Solusinya mereka mengajukan pinjaman pada sejumlah bank atau lembaga keuangan yang disebut program student loan. Rata-rata mahasiswa AS punya total pinjaman pada kisaran US$ 26,950 – US$ 31,450. Kalau dirupiahkan kisarannya Rp 421 juta hingga Rp 491 juta. “Pusing, tidak?” tanyanya.

Total utang mahasiswa di AS tembus US$1,6 triliun, menempati urutan kedua daftar utang terbesar setelah perumahan. Banyak di antara mahasiswa tersebut yang gagal bayar dan harus drop out dari kampus dengan tetap masih menanggung utang. Pada tahun 2015-2016 diperkirakan ada 3,9 juta mahasiswa harus cabut dari kampus karena kehabisan uang. Hal ini mendorong Presiden Joe Biden membuat kebijakan pemutihan alias penghapusan utang mahasiswa di AS. “Tapi rencana ini ditentang sejumlah ekonom karena dicemaskan justru akan mendorong inflasi di AS,” terang Iwan.

Solusi Islam

Iwan menjelaskan persoalan utang piutang sebenarnya sudah tuntas dalam Islam. “Sedari awal Islam sudah menetapkan bahwa utang atau pinjaman adalah amal salih sebagai nilai sosial. Memberi bantuan pinjaman pada sesama itu berpahala,” jelasnya dengan menyampaikan sabda Nabi Saw 

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً

Tidaklah seorang muslim memberikan pinjaman kepada seorang muslim suatu pinjaman sebanyak dua kali, maka ia seperti telah bersedekah sekali.” (HR. Ibnu Majah).

Ditambahkannya bahkan agama ini mendorong orang yang memberikan pinjaman untuk senantiasa memudahkan pembayaran, meski tentu saja juga mendorong orang yang berutang untuk segera membayar pinjamannya. Nabi Saw bersabda:

مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ صَدَقَةٌ قَبْلَ أَنْ يَحِلَّ الدَّيْنُ , فَإِذَا حَلَّ الدَّيْنُ فَأَنْظَرَهُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ صَدَقَةٌ

Barangsiapa memberi tenggang waktu pada orang yang berada dalam kesulitan, maka setiap hari sebelum batas waktu pelunasan,  dia akan dinilai telah bersedekah. Jika utangnya belum bisa dilunasi lagi, lalu dia masih memberikan tenggang waktu setelah jatuh tempo, maka setiap harinya dia akan dinilai telah bersedekah dua kali lipat nilai piutangnya.” (HR. Ahmad)

Ia menegaskan soal riba, tak ada toleransi terhadapnya. Islam memerangi praktik riba dalam muamalah, termasuk dalam utang piutang, baik nilainya kecil maupun besar. Allah Swt. Berfirman, yang artinya:

Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.“ (TQS. al-Baqarah [2]: 275).

Utang piutang adalah amal yang dihalalkan dalam agama. Seorang muslim dianjurkan saling tolong menolong, baik dengan bersedekah atau dengan memberi pinjaman. “Yang terlarang adalah praktik utang ribawi, karena itu diharamkan dan mencekik leher orang yang membutuhkan,” jelas Iwan.

Sedangkan untuk keperluan bisnis, Ia memaparkan Islam juga sudah membuka jalan melalui hukum-hukum syirkah. “Sistem usaha yang diajarkan Islam adalah riil, mengedepankan usaha dan kerja keras, dan bukan iming-iming atau jualan mimpi,” paparnya.

Apalagi soal biaya pendidikan, ia menegaskan Islam mewajibkan negara untuk menanggung biaya pendidikan rakyatnya; mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, termasuk doktoral sekalipun. Mencari ilmu adalah perkara fardhu, maka menjadi kewajiban bagi kaum muslimin selain berkorban biaya, juga kewajiban Negara Islam untuk menanggung seluruh biaya tersebut. “Negara tidak boleh membisniskan pendidikan pada rakyatnya, sebagaimana juga tidak boleh membisniskan kesehatan,” tegasnya. 
Nabi Saw. bersabda:

الإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

”Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).” (HR. Imam Al Bukhari).

Yang tidak kalah penting, menurut Iwan adalah Islam juga mendidik umat, termasuk anak-anak muda, untuk menjadi pribadi-pribadi yang qonaah, merasa cukup, dan menjauhkan diri dari jiwa serakah dan panjang angan-angan (tulul amal). Siapapun yang membaca biografi Utsman bin Affan atau Abdurrahman bin Auf, atau ulama yang kaya seperti Abdullah bin Mubarak, maka yang diceritakan adalah tentang kesalihan dan kedermawanan mereka. “Bukan kiat sukses apalagi flexingnya,” tuturnya.

Ia mempertanyakan entah bagaimana ceritanya, selalu ada ustadz atau coach bisnis Islam yang malah mengiming-imingi jamaah agar menjadi orang kaya, sehingga malah melenceng dari karakter para sahabat dan ulama-ulama tadi.

“Maka persoalan utang ribawi apakah via pinjol atau lembaga keuangan macam perbankan tidak akan pernah tuntas selama warga Indonesia masih hidup di alam kapitalisme. Praktik ribawi masih jalan, sedangkan rakyatnya dibuai dengan mimpi-mimpi kenikmatan jadi orang kaya. Hancur sudah,” ujarnya.

Ia mempertanyakan kenapa di kampus yang mahasiswanya mayoritas muslim malah terjerat utang ribawi? Bisa jadi ini efek kebijakan kontra radikalisme di kampus-kampus, sehingga dakwah di lingkungan mahasiswa makin dibonsai, dibatasi ruang geraknya, sampai-sampai tak bisa menyampaikan seruan kalau utang ribawi itu haram. “Nah, makin jelas siapa yang bertanggung jawab,” tandasnya. [] Raras

Kamis, 17 November 2022

Mahasiswa Dicekik Utang Ribawi, Kapitalisme Akar Masalahnya

Tinta Media - Anak-anak muda saatnya berpikir waras dan syar’iy soal bisnis. Kalau tidak, siap-siaplah nyungsep dalam jerat utang. Seperti yang dialami ratusan mahasiswa IPB yang terjerat utang pinjaman online sampai didatangi para debt collector. Terbuai iming-iming keuntungan bisnis online, para pelaku ini nekat mengambil pinjaman online yang disodorkan pada mereka. Tapi cicilan utang plus bunga yang harus dibayarkan ternyata lebih besar ketimbang keuntungan bisnis, jatuhlah mereka dalam debt trap.

Saya sepakat dengan pernyataan pengamat keuangan, Piter Abdullah, dalam Republika online kalau kejadian ini perpaduan sifat tamak dan kurang literasi. Soal yang pertama, anak-anak muda belakangan dibombamdir bisnis menjual mimpi. Tagline muda, sukses, kaya raya bersliweran di media sosial, buku-buku dan ragam pelatihan bisnis. Iming-iming coaching bisnis lebih banyak menjual mimpi ketimbang memberikan literasi bisnis yang benar. Tidak jarang para coach itu tidak punya bisnis riil, kecuali ya dengan bisnis coaching bisnis.

Rakyat juga makin tergiur ingin buru-buru sukses dan kaya karena dihajar budaya flexing alias pamer kekayaan maksimal. Selebritis, pengusaha muda, pengacara, atau siapapun yang kaya . Kalau dulu orang Indonesia dibuai kekayaan lewat sinetron-sinetron domestik yang menyajikan rumah mewah, mobil mewah, dsb., sekarang warga disodori kemewahan lewat media sosial. Lewat medsos, anak-anak muda bisa mengintip jam tangan artis atau pengusaha muda anu, makan siang dimana, merk dan jenis mobilnya, bajunya, berenang dan liburan dimana.

Bagi warga biasa, juga anak-anak muda, konten-konten seperti itu selain hiburan juga menginspirasi atau tepatnya jadi mimpi. Sementara buat para selebritis, akun mereka juga sumber cuan. Makin banyak follower, like dan subscriber, makin banyak cuan yang masuk rekening mereka. Di antara konten yang disukai warga adalah flexing, pamer kekayaan.

Anak-anak muda ini miskin literasi bahwa bisnis itu ada ilmunya dan perlu pengalaman. Bahwa untuk membuat segelas kopi enak saja perlu belajar serius jadi barista. Untuk membuat mie instan ala abang-abang warmindo ada teknik yang kudu dipelajari. Belum lagi siap mental untuk jatuh bangun sebagai pengusaha.

Tapi, dasar manusia, apalagi anak-anak muda, lebih mudah terbujuk dengan bisnis yang mudah, tinggal rebahan, pemasukan datang. Kalimat ‘pasive income’ itu beneran membuat banyak orang tersihir untuk cari bisnis yang gampang, cukup rebahan, tapi ada pemasukan.

 

Kapitalisme & Utang Ribawi

Cukup? Belum. Karena persoalan yang paling dasar soal ratusan mahasiswa terjerat pinjol, adalah berjalannya sistem kapitalisme yang menghalalkan pinjaman ribawi. Dalam kapitalisme, utang atau pinjaman adalah bisnis. Bukan aktivitas sosial. Tak ada makan siang gratis. Lembaga keuangan memberi pinjaman benar-benar mencari keuntungan. Revolusi teknologi digital menjadikan bisnis pinjaman jadi lebih mudah, cepat, dan bisa diakses siapa saja. Termasuk anak-anak muda seperti para mahasiswa ini.

Mungkin dengan niatan ingin punya penghasilan, meringankan beban orang tua, atau juga termakan iming-iming sukses finansial di usia muda, ramai-ramailah ajukan pinjaman lewat aplikasi online. Ujung-ujungnya seperti tikus masuk jepitan perangkap.

Soal mahasiswa terjerat utang jauh lebih sadis di Amerika Serikat. Ribuan mahasiswa negeri kapitalis itu jatuh dalam apa yang disebut ‘student trap’, perangkap utang mahasiswa untuk biaya kuliah. Penyebab semua itu adalah mahalnya biaya perkuliahan di sana. Sejak tahun 1978, biaya kuliah di AS naik hingga 1.120 persen. Banyak keluarga dan anak muda AS yang tidak sanggup bayar uang kuliah dari kocek sendiri. Solusinya mereka mengajukan pinjaman pada sejumlah bank atau lembaga keuangan yang disebut program student loan. Rata-rata mahasiswa AS punya total pinjaman pada kisaran US$ 26,950 – US$ 31,450. Kalau dirupiahkan kisarannya Rp 421 juta hingga Rp 491 juta. Pusing, tidak?

Hasilnya? Total utang mahasiswa di AS tembus US$1,6 triliun, menempati urutan kedua daftar utang terbesar setelah perumahan. Banyak di antara mahasiswa tersebut yang gagal bayar dan harus drop out dari kampus dengan tetap masih menanggung utang. Pada tahun 2015-2016 diperkirakan ada 3,9 juta mahasiswa harus cabut dari kampus karena kehabisan uang.

Hal ini mendorong Presiden Joe Biden membuat kebijakan pemutihan alias penghapusan utang mahasiswa di AS. Tapi rencana ini ditentang sejumlah ekonom karena dicemaskan justru akan mendorong inflasi di AS.

 

Islam, Utang & Biaya Pendidikan

Persoalan utang piutang sebenarnya sudah tuntas dalam Islam. Sedari awal Islam sudah menetapkan bahwa utang atau pinjaman adalah amal salih sebagai nilai sosial. Memberi bantuan pinjaman pada sesama itu berpahala. Nabi Saw bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً

Tidaklah seorang muslim memberikan pinjaman kepada seorang muslim suatu pinjaman sebanyak dua kali, maka ia seperti telah bersedekah sekali. (HR. Ibnu Majah).

Bahkan agama ini mendorong orang yang memberikan pinjaman untuk senantiasa memudahkan pembayaran, meski tentu saja juga mendorong orang yang berutang untuk segera membayar pinjamannya. Nabi Saw bersabda:

مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ صَدَقَةٌ قَبْلَ أَنْ يَحِلَّ الدَّيْنُ , فَإِذَا حَلَّ الدَّيْنُ فَأَنْظَرَهُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ صَدَقَةٌ

Barangsiapa memberi tenggang waktu pada orang yang berada dalam kesulitan, maka setiap hari sebelum batas waktu pelunasan, dia akan dinilai telah bersedekah. Jika utangnya belum bisa dilunasi lagi, lalu dia masih memberikan tenggang waktu setelah jatuh tempo, maka setiap harinya dia akan dinilai telah bersedekah dua kali lipat nilai piutangnya.” (HR. Ahmad).

Soal riba maka tak ada toleransi terhadapnya. Islam memerangi praktik riba dalam muamalah, termasuk dalam utang piutang, baik nilainya kecil maupun besar. Allah Swt. berfirman:

Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (TQS. al-Baqarah [2]: 275).

Utang piutang adalah amal yang dihalalkan dalam agama. Seorang muslim dianjurkan saling tolong menolong, baik dengan bersedekah atau dengan memberi pinjaman. Yang terlarang adalah praktik utang ribawi, karena itu diharamkan dan mencekik leher orang yang membutuhkan.

Untuk keperluan bisnis, Islam juga sudah membuka jalan melalui hukum-hukum syirkah. Sistem usaha yang diajarkan Islam adalah riil, mengedepankan usaha dan kerja keras, dan bukan iming-iming atau jualan mimpi.

Apalagi soal biaya pendidikan, maka Islam mewajibkan negara untuk menanggung biaya pendidikan rakyatnya; mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, termasuk doktoral sekalipun. Mencari ilmu adalah perkara fardhu, maka menjadi kewajiban bagi kaum muslimin selain berkorban biaya, juga kewajiban Negara Islam untuk menanggung seluruh biaya tersebut. Negara tidak boleh membisniskan pendidikan pada rakyatnya, sebagaimana juga tidak boleh membisniskan kesehatan. Nabi Saw. bersabda:

الإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya)” (HR. Imam Al Bukhari).

Yang tidak kalah penting, Islam juga mendidik umat ini, termasuk anak-anak muda, untuk menjadi pribadi-pribadi yang qonaah, merasa cukup, dan menjauhkan diri dari jiwa serakah dan panjang angan-angan (tulul amal). Siapapun yang membaca biografi Utsman bin Affan atau Abdurrahman bin Auf, atau ulama yang kaya seperti Abdullah bin Mubarak, maka yang diceritakan adalah tentang kesalihan dan kedermawanan mereka, bukan kiat sukses apalagi flexingnya.

Entah bagaimana ceritanya, selalu ada ustadz atau coach bisnis Islam yang malah mengiming-imingi jamaah agar menjadi orang kaya, sehingga malah melenceng dari karakter para sahabat dan ulama-ulama tadi.

Maka persoalan utang ribawi apakah via pinjol atau lembaga keuangan macam perbankan tidak akan pernah tuntas selama warga Indonesia masih hidup di alam kapitalisme. Praktik ribawi masih jalan, sedangkan rakyatnya dibuai dengan mimpi-mimpi kenikmatan jadi orang kaya. Hancur sudah.

Lalu kenapa di kampus yang mahasiswanya mayoritas muslim malah terjerat utang ribawi? Bisa jadi ini efek kebijakan kontra radikalisme di kampus-kampus, sehingga dakwah di lingkungan mahasiswa makin dibonsai, dibatasi ruang geraknya, sampai-sampai tak bisa menyampaikan seruan kalau utang ribawi itu haram. Nah, makin jelas siapa yang bertanggung jawab.

Ustaz Iwan Januar 
Direktur Siyasah Institute 

Referensi: https://www.iwanjanuar.com/mahasiswa-dicekik-utang-ribawi-kapitalisme-akar-masalahnya/

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab