Tinta Media: Restorative Justice
Tampilkan postingan dengan label Restorative Justice. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Restorative Justice. Tampilkan semua postingan

Selasa, 04 Oktober 2022

IJM: Restorative Justice Akan Lemahkan KPK dan Menumbuhsuburkan Korupsi

Tinta Media - Pernyataan pimpinan KPK Johanis Tanak yang akan melakukan restorative justice (mediasi antara korban dan terdakwa) terhadap para pelaku koruptor, dinilai Pengamat Kebijakan Publik dari Indonesia Justice Monitor (IJM) Dr. Erwin Permana sebagai bentuk kelemahan dan justru menumbuhsuburkan pelaku koruptor.

“Jelas bukan saja bentuk kelemahan menghadapi koruptor, justru akan menumbuhsuburkan para koruptor itu,” nilai Dr. Erwin kepada Tinta Media, Ahad (2/10/2022).

Menurutnya, dengan adanya restorative justice itu justru kemudian membuat orang semakin terpancing, terangsang, yang tadinya tidak korupsi, menjadi tidak khawatir lagi untuk melakukan aktivitas korupsi. “Yang tadinya korupsi, makin mereka profesional dalam menghadapi hukum yang sudah diberlakukan sedemikian rupa itu,” tuturnya.
 
“Jadi, justru ini akan semakin membuat ekosistem korupsi itu semakin liar, semakin enggak bisa terkendali,” tegasnya.

Erwin yakin, dengan kebijakan ini nanti justru ke depannya pemberantasan korupsi di Indonesia, semakin tidak jelas. “Malah korupsi semakin memberingas,” jelasnya.

Negara Kalah

Erwin menyampaikan dua faktor yang membuat negara lemah bahkan kalah dari koruptor. “Ada dua faktor di situ," ucapnya 

Pertama adalah faktor orangnya. “Faktor orang dengan gaya hidup Gen Z, dengan gaya hidup yang hedonis seperti sekarang ini,” ujarnya.
 
Ia memaparkan bahwa ketika mereka masuk ke dalam komunitas Gen Z, komunitas mereka akan saling berlomba untuk memperlihatkan kemewahan. “Ketika mereka mewah, maka tentu akan berpacu satu sama yang lain,” paparnya.

“Ketika satu orang itu sudah punya mobil mewah, yang lain ingin juga. Ketika seseorang sudah punya rumah mewah, yang lain ingin juga. Itu mereka selalu berpacu di situ,” lanjutnya mencontohkan.

Kemudian ia mempertanyakan, seberapa besar gaji seorang petugas negara? “Kan sudah terukur gajinya mereka, sudah jelas catatan ukuran gaji mereka, tapi kalau kita perhatikan gaya hidup mereka itu, justru enggak masuk di akal,” ungkapnya.

“Tidak memiliki kapasitas, tidak memiliki mentalitas yang baik dalam hal penanganan korupsi,” ujarnya. 

“Sedangkan pada saat yang sama, mereka itu hidup di tengah ekosistem yang hedonis, di tengah ekosistem yang menomersatukan materi,” lanjutnya.

Kedua, adanya sistem yang menumbuhsuburkan korupsi itu. “Ya, sistem demokrasi kapitalis yang dasarnya itu adalah sekuler, di mana nggak ada satupun yang ditakutkan oleh manusia,” jelasnya.

Menurutnya, kalau ketakutan pada manusia yang lain, itu menjadi mudah orang untuk saling akal-akalin. “Jadi kalau takut sama orang lain, dijadikan akal-akalan saja,” tegasnya.

“Apa yang perlu dikhawatirkan? Jadi, enggak ada kekhawatiran atau ketakutan pada apapun, itu sistem sekuler, seperti itu,” tambahnya.

Ia melihat tidak adanya penanaman mentalitas, kemudian dalam ruang hukum juga memberikan ruang yang besar terjadinya korupsi. “Karena, bagaimanapun sistem demokrasi sekuler itu sistem yang berbiaya tinggi,” ucapnya.

Dipaparkannya mulai dari proses penunjukan pimpinan, kepala negaranya, gubernur, bupati, itu berbiaya tinggi semuanya. 

“Bagaimana supaya kemudian biaya tinggi ini bisa balik? Ya, tentu mereka harus mendistribusikan kepada semuanya, kepada pejabat-pejabat di bawahnya, sehingga kemudian terjadi jual beli jabatan. Kenapa? Karena hanya dengan membeli jabatanlah kemudian dia bisa mendapatkan jabatan tertentu,” paparnya.  

“Jadi, ada sistem yang rusak dan juga orang yang tidak kapabel,” tegasnya.
 
Solusi 

Erwin menjelaskan bagaimana agar koruptor itu bisa diberantas. "Kita harus singkirkan kedua hal itu,” jelasnya.

Pertama, tempatkan orang yang kapabel, orang yang memiliki kemampuan kapabilitas, orang yang mampu, orang yang cakep, orang yang memiliki integritas, orang juga bertaqwa kepada Allah SWT. “Tapi, itu saja enggak cukup, yang lebih penting lagi adalah bahwa sistemnya juga harus mendukung,” tuturnya.

Jadi, ia menambahkan bahwa kesatuan sistem dan orang inilah yang bisa menggantikan kerusakan yang ada. “Bukan hanya sebatas orangnya yang cakep, tapi sistemnya juga harus cakep. Kalau tidak, nanti sama aja hasilnya,” tambahnya. 

“Kita berkeringat sampai kapanpun, yang namanya korupsi itu, tidak bisa diberantas. Akhirnya capek sendiri, gak ditemukan yang namanya keadilan, yang akhirnya justru kezaliman di sana-sini, ketimpangan ekonomi, dan segala macam,” tutupnya. [] Raras
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab