Kiai Hafidz: Hari Santri Ditetapkan untuk Mengabadikan Resolusi Jihad
Tinta Media - Penetapan Hari Santri tanggal 22 Oktober bertujuan untuk mengabadikan Resolusi Jihad yang dikobarkan oleh Hadhratus Syaikh KH Hasyim Asy'ari, pimpinan PP Tebuireng, Jombang.
“Hari Santri ditetapkan sebagai Hari Santri untuk mengabadikan Resolusi Jihad yang dikobarkan oleh Hadhratus Syaikh KH Hasyim Asy'ari, pimpinan PP Tebuireng, Jombang, kala itu saat Indonesia menghadapi Agresi Militer Belanda,” tutur Mudir Ma’had Syaraful Haramain, KH Hafidz Abdurrahman, M.A. melalui channel telegram pribadinya, Ahad (23/10/2022).
Terbukti, Resolusi Jihad itu berhasil mengobarkan perlawanan umat Islam khususnya kalangan santri terhadap penjajahan kaum Kafir Penjajah. “Inilah sejarah umat Islam. Bukan hanya sejarah di Indonesia, tetapi sejarah umat Islam di seluruh dunia. Karena sesungguhnya umat Nabi Muhammad ini tidak pernah mati, hanya sakit,” tegasnya.
Kiai Hafidz lalu mengisahkan apa yang pernah dialami oleh umat ini, ketika agresi militer Tartar yang begitu brutal dan biadab terhadap Baghdad. “Kaum Muslim ketika itu dilarang shalat Jumat selama 40 hari,” ungkapnya.
Tentara Tartar itu, sambungnya, telah mengubah warna sungai Dajlah menjadi merah karena darah kaum Muslim yang mereka bantai dengan tanpa perikemanusiaan . “Air pun warnanya berubah menghitam, karena tinta kitab-kitab para ulama yang dibuang ke laut atau sungai,” kisahnya pilu.
Pertanyaannya, apakah Islam mati? Apakah umat Islam punah? Jawabannya tidak. “Baghdad, ibukota Khilafah Abbasiyah memang jatuh, tapi Islam, umat Islam dan para ulamanya bangkit,” contohnya lagi.
Di Mesir, kisah Kiai Hafidz, seorang pemuda, Saifuddin Qutuz, bersama Sulthan Ulama, Izzudin bin Abdussalam, dalam waktu tidak sampai satu tahun berhasil menyusun kekuatan untuk melawan Tartar. Mereka berhasil dihabisi dalam Perang Ain Jalut, dan setelah itu tidak pernah lagi bisa membalas
“Tartar punah, Jengis Khan dan Hulagu Khan mati, tetapi Islam dan umatnya tetap ada. Bahkan saat itu, ibukota Khilafah berhasil dipindahkan dari Baghdad ke Mesir. Islam dan umatnya kembali bangkit,” paparnya.
Umat ini telah melalui berbagai ujian, dan fase demi fase penderitaan dan sakit berkepanjangan, tetapi dengan jasa ulama, santri dan madrasah (pesantren)-nya mereka akhirnya bisa bangkit kembali.
“Umat ini tidak mati, hanya sakit. Obatnya Islam. Jika obatnya ini diminum oleh umat ini, maka umat ini akan sehat dan bangkit kembali,” yakinnya memungkasi penuturan.[] Irianti Aminatun