Tinta Media: Resesi
Tampilkan postingan dengan label Resesi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Resesi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 10 Juli 2022

Pakar: Ekonomi Indonesia Makin Buruk


Tinta Media - Pakar Ekonomi Dr. Arim Nasim, S.E., M.Si., Ak., CA., menyatakan bahwa ekonomi Indonesia makin buruk.
“Menurut saya, ekonomi kita (Indonesia)  makin buruk,” tuturnya dalam Program Kabar Petang: Antara Sri Lanka dan Optimisme Sri Mulyani, Selasa (28/6/2022) di kanal Youtube Khilafah News.

Ia mengatakan ini kontradiktif dengan pernyataan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa Indonesia akan aman dan baik-baik saja. “Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa Indonesia tidak akan mengalami krisis utang dan bernasib sama seperti Sri Lanka,” ucapnya.

Ia mengungkapkan untuk mengetahui Indonesia aman atau tidak dapat dilihat dari kebijakan fiskal yang terkait dengan pendapatan dan kebijakan belanja negara. "Apakah fiskal kita sedang sehat atau tidak? Kalau bicara fiskal itu terkait dengan pertama, pendapatan. Sumbernya dari mana? Kedua, kebijakan belanja negara. Belanja dialokasikan ke mana?” ungkapnya.

Faktanya, dari sisi fiskal antara Indonesia dengan Sri Lanka tidak jauh berbeda.
“Terbelit utang, kemudian mengandalkan pajak (PPN-nya), APBN yang sangat besar. Itu kan menunjukkan bahwa fiskal Indonesia tidak sehat-sehat saja,” tuturnya.

Ditambah pernyataan terbaru dari Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan bahwa pemerintah tidak mungkin menambah subsidi. “Tidak mungkin lagi pemerintah katanya menambah subsidi lagi karena pemerintah sudah menggelontorkan subsidi sampai 502 triliun,” imbuhnya.

Jika diperhatikan dari sisi utang pada bulan Mei 2022 sudah menyentuh di atas 7002 triliun.“Angka yang sangat fantastis,” ucapnya.

Ia mempertanyakan bagaimana pemerintah mengambil kesimpulan aman-aman saja. 
“APBN defisit, bunga sangat mencekik. Jika bunganya saja bebani APBN tahun 2022 ini menyentuh angka 407 triliun. Sementara defisit APBN diperkirakan 840 triliun, bagaimana bisa mengambil kesimpulan aman-aman saja?” tanyanya.

Ia membeberkan kondisi di Sri Lanka tidak bisa dipisahkan dengan krisis global secara umum. Selain fiskalnya buruk karena ketergantungan kepada utang dan impor, diperparah dengan kondisi ekonomi global saat ini, yaitu:

Pertama, yang sering menjadi kambing hitam itu perang Ukraina-Rusia. “Perang Ukraina-Rusia menyebabkan kenaikan harga energi dan pangan,” katanya.

Kedua, krisis ditambah dengan Covid-19 yang belum selesai secara tuntas. “Beberapa negara juga muncul terkait dengan dampak Covid-19 ini termasuk Sri Lanka. Devisa mereka menurun drastis karena kunjungan wisata yang sangat rendah,” ucapnya.

Ketiga, kebijakan dari ekonomi Cina. Cina dilanda dampak Covid-19 dan menargetkan angka Covid-19 zero sehingga berdampak pada ekonomi global.

Kebijakan Amerika Serikat dalam menaikkan suku bunga Fed (Bank Sentral) menurutnya berdampak bagi negara-negara berkembang disebut outflow dengan kata lain dana yang kembali ke kandangnya.

“Banyak dana dari Eropa dan Amerika dengan kebijakan menaikkan suku bunga Fed ini maka mengalir kembali karena investasi yang diberikan Amerika Serikat itu lebih besar dengan naiknya suku bunga,” ujarnya.

Akibatnya banyak investor terutama di pasar modal menarik dananya dari negara-negara berkembang. “Tujuannya Amerika Serikat menaikkan suku bunga Bank Sentralnya itu untuk menarik dolar ke mereka, istilahnya dolar pulang kampung,” ungkapnya.

Dampak Krisis Global 

Ia menjelaskan dampaknya bagi Indonesia sangat nyata sebagai negara berkembang meliputi beberapa poin berdasarkan data ekonomi Indonesia.

Pertama, dampak resesi global termasuk juga kebijakan Amerika Serikat menaikkan suku bunga Fed itu telah terjadi arus modal asing yang keluar (outflow). “Data yang saya dapatkan itu bulan Mei sudah ada 96,49 triliun dana yang dari Indonesia itu keluar, outflow,” jelasnya.

Kedua, faktanya rupiah semakin melemah karena hukum permintaan-penawaran ketika dolar banyak keluar, otomatis rupiah melemah dan dolar semakin menguat. “Kita melihat satu dolar terakhir, nilai rupiah terhadap dolar itu sangat naik di awal bulan Juni. Dolar berada di angka Rp 14.450, di 20 Juni kemarin sudah bertengger di angka 14.850, ada kenaikan Rp 400 per dolar,” tuturnya.

Maka dampaknya terhadap ekonomi lokal, ia mengungkapkan bahwa bahan baku yang diimpor naik karena adanya pasokan yang berkurang akibat krisis perang Ukraina-Rusia, ditambah nilai rupiah yang melemah.
“Akhirnya harga bahan baku impor dipastikan naik sehingga produk juga semakin mahal,” ungkapnya.

Ketiga, perdagangan ekspor turun. Berdasarkan data pusat statistik di bulan Mei 2022 menunjukkan ekspor Indonesia turun sebesar 21,29 persen. “Persentase ini sangat besar,” imbuhnya.

Ia menegaskan, ketiga faktor yang mempengaruhi ekonomi Indonesia meliputi:
Pertama, modal keluar. Kedua, dolar menguat dan rupiah yang melemah berdampak pada bahan baku yang mahal. "Ketiga, ekspor kita turun, pendapatan masyarakat menurun, devisa juga turun dan yang terakhir harga minyak itu semakin tinggi," ungkapnya. 

“Hampir 50 persen minyak kita sangat tergantung pada impor, maka ketika harga minyak makin tinggi maka beban APBN semakin tinggi sehingga sulit bagi kita menghindari untuk menaikkan bahan bakar minyak (BBM). Makanya dilematis antara menaikkan atau tidak,” tegasnya.

Baginya, pernyataan pemerintah bahwa Indonesia aman hanya sekedar psikologis yang ingin ditunjukkan penguasa saja.
“Melihat indikator-indikator makro tadi saya ragu bahwa ekonomi Indonesia aman-aman saja,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Minggu, 03 Juli 2022

KRISIS PANGAN DAN ENERGI, RESESI EKONOMI MENGANCAM AMERIKA DAN DUNIA, APA SOLUSI CAPRES DAN PENDUKUNGNYA?

Tinta Media - "Resesi di AS makin dibahas dan terjadinya makin nyata dilihat berbagai pandangan dan consumer confident menurun tajam dan hantu resesi di AS mulai disebut oleh berbagai ekonom dan policy maker menyebabkan ekonomi di AS jadi faktor yang mempengaruhi outlook ekonomi dunia,"_

[Menkeu Sri Mulyani, 23/6]

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN Kita, Kamis (23/6/2022) menyatakan Resesi di Amerika Serikat (AS) bukan lagi wacana. Hal ini sudah berada di depan mata, melihat situasi inflasi dan respons bank sentral AS Federal Reserve (the Fed) dalam beberapa waktu terakhir.

Sri menyatakan resesi dimungkinkan tidak hanya akan terjadi pada tahun ini, namun juga pada 2023 mendatang. Menurut Sri Mulyani, dampaknya akan dirasakan oleh hampir seluruh negara di dunia, dengan dampak yang beragam.

Resesi sendiri adalah salah satu konsekuensi logis dari penerapan sistem ekonomi kapitalis. Sama seperti inflasi, Resesi Ekonomi adalah cacat bawaan sistem Ekonomi Kapitalis.

Resesi Ekonomi atau kemerosotan Ekonomi adalah kondisi ketika produk domestik bruto (GDP) menurun atau ketika pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal atau lebih dalam satu tahun. Resesi dapat juga diartikan sebagai penurunan aktivitas ekonomi yang signifikan, berlangsung selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun.

Dampak dari resesi Ekonomi diantaranya adalah menurunnya produksi, konsumsi, meningkatnya pengangguran, kemiskinan, dan dapat pula memicu meningkatnya kejahatan, disharmoni, dekadensi moral, chaos, bahkan krisis politik. Krisis politik ini dapat pula berdampak pada perubahan politik, bahkan perubahan yang ditempuh dengan cara-cara yang diluar pakem seperti terjadinya people power atau kudeta militer.

Problemnya, dunia yang sudah terintegrasi dalam sebuah sistem ekonomi global, resesi dan dampak resesi ekonomi ini tidak dapat lagi dilokalisir. Krisis Ekonomi Yunani telah berdampak pada ekonomi Uni Eropa secara keseluruhan, bahkan untuk menghindari dampak krisis Yunani, Inggris mengambil langkah keluar dari Uni Eropa.

Apalagi, resesi ekonomi ini menimpa Amerika. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang tidak memiliki hubungan ekonomi dengan Amerika baik langsung maupun tidak langsung. Apalagi, pasca Amerika memaksakan Dolar sebagai alat pembayaran transaksi internasional.

Bagi Indonesia, dampak resesi Amerika akan sangat berat. Sejumlah sektor ekonomi khususnya industri yang berorientasi eksport - Import pasti akan sangat terpukul. 

Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed) telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 150 basis poin (bps) sepanjang semester pertama 2022. The Fed mulai menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps ke kisaran 0,25-0,5% pada Maret 2022 untuk meredam inflasi pangan dan energi di negerinya.

Pada Mei 2022 suku bunganya dinaikkan lagi sebesar 50 bps ke kisaran 0,75-1%, seiring meningkatnya tekanan inflasi di AS. Kemudian pada Juni 2022 The Fed lanjut menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bps ke kisaran 1,5-1,75%. Kenaikan ini merupakan yang paling agresif sejak 1994.

Kebijakan menaikan suku bunga  Amerika ini jelas berimbas pada dunia, tidak terkecuali Indonesia. Bank Indonesia (BI) melihat dengan realisasi  saat ini maka kemungkinan besar angka inflasi sepanjang tahun 2022 bakal di atas 4 persen. Artinya kenaikan inflasi akan melebihi target yang ditetapkan pemerintah yakni sekitar 2 persen sampai 4 persen.

"Tahun 2022 ini inflasi kita diperkirakan melewati batas atas kami yakni 4 persen," kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Destry Damayanti dalam rapat Badan Anggaran DPR RI di Kompleks DPR, Jakarta, Senin (27/6/2022).

Krisis pangan dan energi adalah isu global yang saat ini menghantui dunia. Resesi Ekonomi yang dapat berdampak pada krisis ekonomi, krisis politik hingga krisis sosial tidak pernah mendapatkan perhatian serius dari elit politik di negeri ini.

Sejumlah isu terkait kontestasi politik Pilpres 2024 tidak masuk pada perdebatan substansial. Misalnya, pendukung Ganjar Pranowo hanya sibuka bicara Ganjar memiliki empat sifat Nabi Muhammad Saw, meskupun penggemar video porno.

Pendukung Anies juga hanya sibuk bicara sambil membagikan foto Saudara Anies Baswedan kunjungan di sejumlah tempat, didalam dan luar Negeri. Atau hanya menyampaikan pesan citra politik via hadirnya tukang bakso di Balai Kota.

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto juga hanya sibuk mempertanyakan kenapa tukang Bakso baru hadir di Balai Kota hari ini, padahal Anies sudah menjabat Gubernur sejak lima tahun lalu. Hasto hanya sibuk menyerang Anies dengan kasus tukang bakso, setelah sebelumnya Ketua Umum PDIP Megawati mempersoalkan calon mantu seperti tukang bakso.

Cak Imin juga hanya sibuk ngotot dirinya ingin menjadi Capres. Tapi tak jelas, programnya apa. Sama seperti Prabowo, piikiran apa untuk mengantisipasi krisis pangan dan energi ini? tidak ada.

Erick Thohir, Khofifah, Zulkifli Hasan, Airlangga Hartarto hingga Giring PSI tak ada yang bicara solusi atas potensi krisis pangan dan energi ini. Semua bungkam, karena memang dangkal dan tak punya pikiran dan narasi dalam memberikan solusi atas problem yang menimpa negeri.

Adapun rezim Jokowi, belum lama ini melalui Pertamina hanya berusaha memindahkan beban APBN sebagai dampak dari krisis energi kepada rakyat, melalui program penjualan pertalite yang dibikin ribet. Targetnya, konsumsi subsidi pertalite dan solar ditekan, rakyat dipaksa beralih ke pertamax dan akhirnya beban subsidi energi yang menjadi tugas dan tanggungjawab Negara, beban APBN, dipindahkan menjadi beban di pundak rakyat.  

Mendag yang tak becus urus minyak goreng, hanya sibuk bicara tidak ada mafia migor sambil terus terkaget-kaget dengan harga-harga kebutuhan rakyat yang terus meroket. Lalu siapa yang akan membela rakyat ?

Kalau Pilpres 2024 itu solusi, capres yang muncul hari ini -atau paling tidak pendukungnya- semestinya sudah punya tawaran solusi atas adanya potensi krisis pangan dan energi ini. Bukan hanya sibuk bermain citra, kampanye berbusa namun tak memberikan solusi terhadap akar masalah.

Tidak ada yang bicara tentang program swasembada pangan, agar pangan kita tidak tergantung pada import. Tidak ada yang bicara kemandirian energi hingga nasionalisasi sektor pertambangan dan energi, agar negara berdaulat dan terbebas dari cengkeraman oligarki. 

Tidak ada yang bicara soal proteksionisme agar market negeri ini dimanfaatkan oleh pengusaha sendiri. Tidak ada yang berfikir untuk meninggalkan fiat money, melepas ketergantungan terhadap dolar dan beralih pada sistem moneter berbasis dinar dirham (emas dan perak) agar krisis dan resesi ekonomi Amerika dan dunia tidak di eksport ke Indonesia. Tidak ada yang bicara melakukan restrukturisasi kebijakan fiskal dengan meninggalkan sumber pendapatan ABNK kuno yang berbasis pada pajak dan utang. 

Tidak ada program untuk menggenjot sektor riel yang tahan banting akan krisis dan segera menghapus ekonomi non riel (bursa saham dan komoditi berjangka), dan seterusnya. Tidak ada pikiran untuk mengoptimalisasi SDM negeri inj, yakni putera putera terbaik bangsa Indonesia untuk mengola kekayaan alam negeri ini agar memberikan kesejahteraan bagi segenap rakyat.

Yang ada kekayaan di negeri ini hanya untuk menyejahterakan perusahaan Amerika, perusahaan China, TKA China, Luhut Binsar Panjaitan, Erick Thohir, dan sejumlah pemilik korporasi swasta lainnya. Dimana suara Capres dan pendukungnya dalam masalah krisis pangan dan energi ini ? []

Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik 



Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab