Tinta Media: Represif
Tampilkan postingan dengan label Represif. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Represif. Tampilkan semua postingan

Jumat, 04 Oktober 2024

Tindakan Represif Aparat, Bukti Demokrasi Kebal Kritik



Tinta Media - Masyarakat berbondong-bondong melakukan unjuk rasa beberapa waktu yang lalu karena diduga adanya pelanggaran yang dilakukan negara. Aksi ini dilakukan sebagai cara untuk mengingatkan. Mirisnya, aparat malah bertindak represif. Hal ini menunjukan bahwa sejatinya demokrasi kebal dan tidak memberikan ruang untuk dikoreksi oleh rakyat.

Ada tindakan represif, intimidasi, hingga kekerasan terhadap massa aksi, seperti diungkapkan oleh ketua YLBHI, Muhammad Isnur. Hingga malam hari pada 22 Agustus 2024, YLBHI telah menerima laporan dari sebelas massa aksi yang terkonfirmasi diamankan oleh kepolisian. 

Dua puluh enam laporan juga telah masuk dalam Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) hingga pukul 21.30 pada hari yang sama. (Tempo.co 23/08/2024)

Bahkan, seorang mahasiswa Universitas Bale Bandung yang bernama Andi Andriana harus menjalani perawatan intensif di RS Mata Cicendo Bandung, karena mengalami luka berat pada mata kirinya setelah terkena lemparan batu saat melakukan unjuk rasa menolakRUU pilkada di depan kantor DPRD Jawa Barat pada hari Kamis 22 Agustus yang lalu (Kompas.id 24/08/2024)

Unjuk rasa yang terjadi di berbagai kota berakhir dengan kericuhan, karena tidak ada satu pun anggota DPR/DPRD yang menemui peserta aksi, sehingga menimbulkan kemarahan yang semakin memuncak. Padahal, rakyat hanya ingin menyampaikan muhasabah kepada pemerintah. Mirisnya, aparat yang seharusnya mengayomi dan melindungi rakyat justru malah menembakan gas air mata, menyemprotkan water canon, melakukan pemukulan dan tindakan represif lainnya.

Hal ini menunjukkan bahwa sejatinya demokrasi kebal terhadap kritik dan tidak mau menerima pendapat rakyat. Selama ini demokrasi mengklaim sebagai sistem yang menjunjung tinggi suara rakyat dan memberikan jaminan atas hak menyampaikan pendapat. Namun sayang, kenyataannya ketika rakyat menyampaikan pendapat atau muhasabah pada pemerintah, justru dibalas dengan kekerasan dari aparat.
Seharusnya negara memberi ruang untuk  berdialog, menemui utusan, dan tidak mengabaikan. Jadi, apakah masih layak demokrasi dipertahankan?

Muhasabah lil Hukam sebagai Solusi

Dalam Islam, salah satu cara agar pemerintah tetap berada di jalan Allah adalah adanya muhasabah lil hukam, yaitu upaya untuk mengontrol dan mengoreksi para pejabat pemerintah/penguasa. Kontrol atau koreksi dari rakyat terhadap penguasa disampaikan melalui Majelis Ummat. Selain itu, rakyat juga mempunyai hak untuk mengadakan syura yaitu hak rakyat terhadap penguasa untuk menyampaikan pendapatnya. Jadi, Majelis Umat inilah yang melakukan muhasabah dan syura. 

Majelis Umat sebagai wadah wakil rakyat memiliki hak berbicara dan menyampaikan pendapat serta mengoreksi khalifah/penguasa dan para pejabat negara lainnya tanpa pembatasan atau pun ancaman pencekalan ataupun keberatan. Khalifah atau penguasa dan pejabat pemerintahan wajib memberikan jawaban kepada Majelis Umat.

Selain Majelis Ummat, dalam sistem pemerintahan Islam ada Qadi Mazalim, yaitu suatu badan yang berfungsi untuk menyeselesaikan persengketaan antara rakyat dan negara. Para Qadi atau hakim ini akan memutuskan perkara berdasarkan syariat, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Jadi, jelas sekali perpedaan Majelis Ummat dengan DPR atau parlemen pada sistem demokrasi. Dalam demokrasi, parlemen bertugas untuk membuat undang-undang dan peraturan atau menentukan kebijakan berdasarkan aturan yang dibuat oleh manusia, sedangkan Majlis Ummat hanya melakukan muhasabah dan syura berdasarkan syariat,  bukan menentukan UU atau kebijakan.

Amar makruf nahi munkar adalah merupakan kewajiban setiap individu dalam Islam. Sehingga, penguasa akan memahami tujuan dari muhasabah, yaitu untuk mencari rida Allah Swt. dan agar aturan Allah tetap tegak di muka bumi ini sehingga terwujud negara "baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur", sebagaimana sabda Rasulullah saw.

“Imam adalah perisai, di belakangnya umat berperang dan kepadanya umat melindungi diri. Jika dia menyuruh untuk bertakwa kepada Allah dan dia berbuat adil, dengan itu dia berhak mendapatkan pahala. Sebaliknya, jika dia menyuruh selain itu, dia menanggung dosanya.” (HR Muslim).

Hadis ini mengandung pengertian bahwa imam/pemimpin merupakan manusia biasa yang bisa saja berbuat salah. Jadi, ketika pemimpin melakukan kemungkaran atau kesalahan, rakyat wajib mengingatkan dan memberi pendapat. Inilah bukti bahwa khilafah/Islam bukanlah sistem yang kebal dan antikritik, tetapi memberikan ruang bagi rakyat untuk memuhasabahi penguasa.

Tindakan represif terhadap rakyat yang melakukan muhasabah/kritik tidak akan dilakukan dalam khilafah, karena dalam khilafah semua pihak baik rakyat maupun penguasa telah paham akan pentingnya muhasabah, yaitu sebagai bagian dari amar makruf nahi mungkar. Penguasa menyadari bahwa tujuan muhasabah adalah menjaga agar mereka tetap berjalan sesuai tuntunan syariat. Dengan demikian, akan terwujud negara yang baik dan dilimpahi ampunan Allah Swt. (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).





Oleh: Rini Rahayu 
(Ibu Rumah Tangga, Pegiat Dakwah, Pemerhati Masalah Sosial Ekonomi)

Kamis, 12 September 2024

Aparat Represif di Negeri Antikritik



Tinta Media - Media Umat (edisi 365) mengabarkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.70/PUU-XXII/2024 tentang syarat usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur adalah 30 tahun pada saat penetapan pasangan calon. Putusan ini mengejutkan banyak pihak, tak terkecuali Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dapat dipastikan bahwa putusan ini juga akan menghambat majunya calon yang diusung penguasa, yaitu putranya sendiri.

Esok harinya, partai-partai di DPR membentuk Panitia Kerja (Panja) di Badan Legislatif DPR untuk menolak dan merevisi UU Pilkada hasil keputusan MK tersebut. Panja lebih memilih putusan Mahkamah Agung yang membuka peluang putra penguasa, karena usia 30 tahun dihitung saat pelantikan. Semua partai di DPR menyetujui rencana revisi itu, kecuali PDIP.

Namun, sikap DPR itu memicu kemarahan rakyat, sehingga muncul gelombang penolakan revisi UU Pilkada dengan tema "Peringatan Darurat" di media sosial yang digambarkan dengan lambang Garuda berlatar biru. Pada tanggal 22 Agustus 2024, aksi unjuk rasa mahasiswa dan masyarakat terjadi di berbagai kota, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Makasar. 

Penolakan RUU Pilkada yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat tidaklah berjalan dengan aman dan damai karena kelompok demonstran harus berhadapan dengan aparat yang merupakan gabungan TNI-POLRI. Bahkan, terjadi tindakan refresif (kekerasan) dari aparat terhadap massa aksi.

Tempo.co (25/8/24) melaporkan bahwa Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) sehari setelah terjadi aksi demonstrasi, menerima 26 laporan pengaduan berupa tindak kekerasan, penangkapan, dan pelecehan oleh aparat. 

Tindakan represif aparat di Jakarta terlihat dengan banyaknya pengunjuk rasa yang ditangkap. Mereka bukan hanya dari kalangan mahasiswa, tetapi juga ada staf LBH dan jurnalis. Di antara mereka, banyak yang menderita luka-luka. 

Di Bandung, beredar video polisi mengejar, memukul pengunjuk rasa dengan tongkat dan menginjaknya. Di Semarang, tidak kurang dari 15 mahasiswa dirawat di RS Roemani akibat tembakan gas air mata oleh polisi. Mereka mengalami gejala sesak napas, mual, mata perih, bahkan beberapa sampai pingsan.

Sebrutal itukah aparat menangani pengunjuk rasa? Bukankah aparat, khususnya polisi itu pelindung dan pengayom rakyat? Para pengunjuk rasa itu bagian dari rakyat yang sedang protes dan mengingatkan tindakan wakil-wakilnya yang keliru dan melanggar hukum. 

Sebagian rakyat melihat bahwa para wakilnya sudah bertindak tidak adil dengan berpihak pada calon tertentu. Mereka berpihak pada pemerintah dan mengabaikan pendapat rakyat. Apakah seperti ini yang namanya demokrasi? Bukankah menurut demokrasi, kekuasaan ada di tangan rakyat? Aparat bertindak brutal demi siapa?

Yang terjadi, aparat justru menyemprotkan gas air mata dan melakukan tindakan represif lainnya untuk membubarkan unjuk rasa. Hal ini menunjukkan bahwa sejatinya demokrasi tidak memberi ruang akan adanya kritik dan koreksi dari rakyat. 

Seharusnya negara memberi ruang untuk dialog, menerima utusan, dan tidak mengabaikannya. Begitulah aturan buatan manusia, bisa berubah sesuai kepentingan. Kekuasaan digunakan secara sewenang-wenang dan tidak menerima kritikan apa pun.

Sungguh berlainan dengan sistem Islam. Aturan yang berlaku di negara dengan sistem Islam adalah aturan dari Allah Swt. Pemerintah atau penguasa adalah pelaksana aturan itu. 

Pemerintah bertindak sebagai pengurus (raa'in) dan pelindung (junnah) rakyat. Mereka menjalankan amanah dengan sungguh-sungguh karena ada pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt. tentang kepengurusan itu. Kesadaran tentang pertanggungjawaban inilah yang menjadikan pemerintah takut untuk melakukan kecurangan. Mereka memahami bahwa Allah Maha Teliti. Kesalahan sekecil apa pun akan terungkap.

Salah satu mekanisme untuk menjaga agar pemerintah tetap berada di jalan Allah adalah adanya muhasabah lil hukam, yaitu kewajiban rakyat untuk mengontrol dan mengoreksi pejabat pemerintah. 

Islam menjadikan muhasabah lil hukam sebagai kegiatan amar makruf nahi munkar. Ini merupakan kewajiban setiap individu dan masyarakat. Penguasa juga memahami tujuan adanya muhasabah, yaitu agar tetap tegak aturan Allah di muka bumi. Karena itu, unjuk rasa atau kritik dari rakyat tidak akan dibalas dengan tindakan represif dari aparat. Penguasa akan memperhatikan suara rakyat karena sudah menjadi kewajibannya untuk mengurus rakyat, bukan mengurus para investor. Wallahu alam bisshawab.



Oleh: Wiwin 
Sahabat Tinta Media

Senin, 19 Desember 2022

MMC: Pengesahan Pasal Makar RKUHP, Memperlihatkan Negara Makin Represif

Tinta Media - Pengesahan  pasal 191 RKUHP yang menyatakan bahwa makar adalah niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut, dinilai narator Muslimah Media Center (MMC) semakin Memperlihatkan bahwa negara makin represif dan gencar melakukan deradikalisasi.

“Ini memperlihatkan bahwa negara makin represif dan makin gencar melakukan deradikalisasi,” nilainya pada rubrik serba-serbi MMC: Kasus B*m Bvnvh Diri Jadi Pematik Peningkatan D3radikalisasi, Solusikah? Rabu (14/12/2022) di kanal YouTube Muslimah Media Center (MMC).

Menurutnya, negara makin taat pada komitmen global yang sejatinya merupakan bentuk serangan terhadap Islam. ”Sebagaimana kita pahami bersama perang melawan terorisme maupun radikalisme merupakan propaganda Barat untuk menyerang Islam,” imbuhnya.

Saat ini, kata narator, istilah ‘perang melawan melawan radikalisme’ banyak digunakan oleh pimpinan Amerika Serikat ketimbang perang melawan terorisme. ”Mungkin karena proyek perang melawan radikalisme itu mempunyai objek sasaran yang lebih luas,” sebutnya. 

“Istilah radikalisme oleh Barat telah dijadikan sebagai alat untuk menyerang dan menghambat kebangkitan Islam,” jelasnya lebih lanjut.

Diungkapkannya, Barat melakukan monsterisasi bahwa Islam adalah paham radikal yang membahayakan. “Monsterisasi inilah yang kemudian melahirkan islamofobia di Barat dan seluruh dunia,” ungkapnya 

“Oleh karena itu, kemunculan islamofobia tidak bisa dilepaskan dengan perang peradaban Islam dengan kapitalisme,” imbuhnya.

Ideologi kapitalisme menurut narator sejatinya kini sedang berada di tepi jurang keruntuhannya. sejalan dengan itu, Amerika Serikat sebagai pusat kapitalisme dunia juga sedang dilanda berbagai keterpurukan. “Berbagai gejolak politik, ekonomi, sosial, serta kondisi buruk akibat pandemi diprediksi akan mempercepat rangkaian fase kejatuhan ideologi kapitalisme tersebut,” terangnya.

“Pada konteks perang peradaban, kondisi ini sangat menguntungkan bagi umat Islam yang sedang berjuang mengembalikan ideologi Islam ke pentas kehidupan melalui berdirinya kembai negara khilafah,” lanjutnya.

Apalagi secara internal, dinilai narator, kesadaran umat Islam untuk membangun kembali institusi khilafah kini makin menguat. hal tersebut tentu terkait dengan makin meningkatnya pemahaman umat terhadap ide khilafah sebagai ajaran Islam. “Diperkuat pula oleh kenyataan bahwa kondisi keterjajahan dan keterpurukan umat Islam saat ini memang membutuhkan institusi khilafah sebagai kekuatan global untuk meyelesaikannya,” nilainya.

Dijelaskannya ideologi Islam adalah halangan terbesar atas eksistensi ideologi kapitalisme sekularisme. “Orang-orang kafir Barat akan senantiasa mencari jalan agar obat ini tetap terlelap dengan ide-ide mereka,” jelasnya.

Menghalau stigma radikal kepada Islam, menurutnya, memang harus dilakukan, tetapi bukan berarti menjadi pengusung moderasi. Umat Islam harusnya punya agenda sendiri menuju kebangkitan Islam yang hakiki yakni berdakwah memberi kesadaran, pemahaman yang benar kepada umat, menjelaskan kerusakan ide-ide yang bertentangan dengan Islam, mengkaji Islam secara kaffah, agar tidak terjebak pada pemikiran yang salah. Serta menguatkan ikatan akidah dan ukhuwah agar tidak mudah dipecah belah oleh musuh Islam. 

“Pemahaman inilah yang harus ditanamkan pada umat Islam hingga hukum-hukum Islam dalam naungan khilafah, dan membawa kerahmatan bagi seluruh alam,” pungkasnya.[] Azzaky Ali

Kamis, 15 Desember 2022

RKUHP: NEOKOLONIALISME, ALAT REPRESIF NEGARA BERDALIH KARYA ANAK BANGSA

Tinta Media - Lebai atau bahasa sederhananya agak berlebihan, jika RKUHP yang dibahas di DPR saat ini diklaim sebagai konfirmasi hilangnya dominasi penjajahan Belanda, setelah lebih dari 150 tahun bercokol di negeri ini. Karya anak bangsa yang mengakhiri dominasi dan warisan hukum penjajahan Belanda.

Faktanya, substansi norma yang ada dalam RKUHP ini hanya menampilkan penjajahan dengan wajah baru. Atau dengan kata lain, RKUHP hanyalah neokolonialisme.

Ciri khas penjahahan adalah otoriteriamisme, represifme dan tirani. Ruh otoriter, represif dan tiran ini ada dalam RKUHP yang dibangga-banggakan DPR dan Pemerintah yang disahkan hari Selasa (6/12).

Misalnya saja Ketentuan pidana dalam pasal 218 RKUHP yang mengatur tentang penghinaan terhadap Presiden.

Bagian penjelasan pasal itu menyebut menyerang kehormatan adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri. Perbuatan menista atau memfitnah masuk dalam kategori itu.

"Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV," bunyi pasal 218 ayat (1) RKUHP.

Pasal ini sebenarnya adopsi konsep penguasa tidak boleh dikritik, 'The King Do Not Wrong', satu konsep tirani dan otoriterianisme warisan penjajah, yang masih dilestarikan dalam RKUHP baru dengan tampilan wajah lain. Normanya diperhalus, penjajahnya penguasa bukan lagi Belanda.

Berikutnya tentang pasal penghinaan lembaga Negara. Draf RKUHP juga masih mengatur ancaman pidana bagi penghina lembaga negara seperti DPR hingga Polri. 

Ketentuan itu tercantum dalam Pasal 349. Pasal tersebut merupakan delik aduan.

Pada ayat 1 disebutkan, 

"Setiap orang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara, dapat dipidana hingga 1,5 tahun penjara. Ancaman pidananya bisa diperberat jika penghinaan menyebabkan kerusuhan."

Substansi pasal ini adalah pasal tirani, anti kritik, dan ingin meletakan kedudukan organ kekuasaan lebih tinggi (bahkan suci) ketimbang rakyat. Sehingga, diadopsi pasal tirani agar ada pembeda kedudukan rakyat jelata dengan penguasa. Benar-benat ruh penjajahan terhadap rakyat hidup dalam pasal ini.

Belum lagi, adopsi pasal pembungkaman terhadap aksi penyampaian pendapat dimuka umum. Klausul pidana demo tanpa pemberitahuan Draf RKUHP turut memuat ancaman Pidana atau denda bagi penyelenggara demonstrasi tanpa pemberitahuan. 

Hal itu tertuang dalam Pasal 256.

"Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II,"

Luar biasa, rakyat dalam pasal ini ditempatkan sebagai rakyat di negeri jajahan, persis seperti era penjajahan Belanda. Tidak boleh ada kritik dan penyampaian pendapat dari rakyat, semua dan segenap rakyat harus mengabdi, tunduk dan patuh pada penguasa.

Masih banyak lagi kritik terhadap RKUHP ini. Jadi, aneh jika RKUHP bermasalah ini malah dibanggakan oleh DPR sebagai karya agung yang mengakhiri hukum warisan penjajah belanda.

Diluar RKUHP sejatinya produk legislasi DPR secara substansi lebih mewakili kepentingan penjajah (oligarki) ketimbang kepentingan rakyat. UU Omnibus Law Cipta Kerja, UU Minerba, UU KPK, dll, secara substansi normanya sarat dengan penjajahan hak dan kedaulatan rakyat oleh kepentingan penguasa di bawah kendali kaum oligarki. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Ketua Umum LBH LESPASS (Lex Sharia Pacta Sunt Servanda)

https://heylink.me/AK_Channel/

Jumat, 07 Oktober 2022

Tragedi Kanjuruhan, Menyibak Fanatisme dan Represif Aparat Berujung Maut

Tinta Media - Kabar duka menyelimuti Indonesia. Pertandingan sepak bola yang bertempat di Kanjuruhan Malang, Jawa Timur, Sabtu lalu 01/10/2022 menyisakan pilu. Tidak ada lagi gegap gempita, riuh tawa supporter dan pemain, melainkan isakan tangis dan teriakan yang berakhir dengan hilangnya ratusan nyawa.

Dari data yang dilansir dari CNN Indonesia 06/01/2022, peristiwa berdarah tersebut telah menelan korban di antaranya 131 orang meninggal, dan 59 luka-luka yang membuat kabar Indonesia mendunia. Banyak ungkapan bela sungkawa serta dukungan dari tokoh, maupun media-media luar negeri lainnya. 

Menanggapi hal ini, bapak Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga telah memerintahkan jajarannya melalui Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) tragedi Kanjuruhan untuk usut tuntas kasus Kanjuruhan dalam waktu kurang dari sebulan.

Melanggar Aturan

Jika diputar waktu ke belakang, pada Mei 1964 pernah terjadi kerusuhan mematikan antar pendukung tim Peru dan Argentina dalam liga sepak bola. Sebanyak 318 orang tewas, dan lebih dari 500 orang luka-luka. Tak heran, tragedi di Kanjuruhan disebut-sebut sebagai insiden terburuk kedua sepanjang sejarah pertandingan sepak bola dunia. Hingga kini, seluruh rakyat Indonesia masih berduka. Nasib pilu keluarga korban, menunggu kepastian tragedi Kanjuruhan diusut tuntas oleh pihak berwajib.

Pihak polri sampai hari ini masih terus melakukan investigasi terkait update tragedi yang memakan ratusan korban itu. Data menyebutkan bahwa Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo berserta pihaknya telah memeriksa 35 orang saksi dari pihak internal Polri dan masyarakat terkait kasus Kanjuruhan. Adapun jumlah anggota Polri yang diperiksa terkait tragedi Kanjuruhan hingga kini yang diperiksa berjumlah 31 orang. Detikcom (06/10/2022)

Terkait tragedi Kanjuruhan, Menko Polhukam Mahfud MD menyampaikan bahwa ada banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 131 orang akhir pekan lalu.

Pertama, Kondisi Stadion Kanjuruhan yang tidak kondusif. Bayangkan saja, total tiket yang terjual adalah 42.000, sementara daya tampung maksimal stadion tersebut hanyalah 38.000.  Data ini diperkuat dengan banyaknya kanal berita yang juga melaporkan bahwa jumlah penonton pertandingan itu di stadion melebihi kapasitas. 

Kedua, penggunaan gas air mata. Aturan FIFA Stadium Safety and Security, pasal 19 huruf B menyebutkan larangan penggunaan gas air mata untuk menertibkan kondisi di stadion. Penggunaan gas air mata dapat mengiritasi mata dan merangsang reseptor rasa sakit, sehingga dapat menyebabkan kepanikan. 

Ketiga, penyalahgunaan kekuatan kepolisian. Dalam peraturan Kapolri No. 1/2001 berisi enam tahapan penggunaan kekuatan kepolisian. Dari sekian kesaksian, supporter menyatakan bahwa tindakan aparat keamanan brutal dan kasar dalam mengamankan kericuhan di stadion. 

Keempat, jadwal pertandingan yang diadakan malam hari. Tidak sedikit pihak mengusulkan ke PT LIB agar pertandingan digeser sore hari pada pukul 15.00 WIB dengan alasan rawannya keamanan jika tetap digelar malam hari. Namun, tetap saja usulan tersebut ditolak.

Terkukung Fanatisme

Perlombaan atau pertandingan olahraga menciptakan sifat saling mengunggulkan antar club. Salah satunya adalah pertandingan sepak bola ini. Sifat saling mengunggulkan inilah yang akan menciptakan permusuhan antar club. Padahal, dalam kompetisi pertandingan apa pun, yang namanya menang ataupun kalah merupakan hal yang wajar terjadi, tetapi tidak dalam sepak bola. Mereka mengedepankan sikap amarah, ricuh, gengsi, dan ambisi membara manakala kekalahan terjadi.

Di dalam sistem kapitalisme, tidak ada yang tidak mengeluarkan modal, termasuk pertandingan olahraga sepak bola yang menjadi liga olahraga bergengsi ini. Jumlah modal yang dikeluarkan tidak sedikit. Menang dan kalah seolah harga mati bagi pemilik klub. Ini karena hasil pertandingan akan memengaruhi keuntungan dan kerugian bagi pemilik, pelatih, pemain, dan ofisial klub.

Hal itulah yang menjadikan pertandingan sepak bolah begitu berharga. Tak dimungkiri bahwa sikap fanatik supporter mencitptakan pembelaan buta terhadap club favorit mereka. Penampakan emosi yang tercurahkan, baik ambisi, kekesalan, kekecewaan, bahagia menjadi ukuran dan bukti bahwa sepak bola tak lepas dari fanatisme golongan. Dari sinilah, patut diakui bahwa fanatik buta terhadap club kebanggaan turut memunculkan kerusuhan yang terjadi di lapangan. Apalagi supporter club sepak bola Indonesia, memang dikenal memiliki rasa antusiasme yang tinggi.

Perlakuan Refresif

Dalam tragedi Kanjuruhan, aparat kepolisian menggunakan cara yang menunjukkan sikap refresif saat hendak menangani kericuhan massa, yakni penggunaan gas air mata. Polisi tetap menggunakan gas air mata meski dilarang, alasannya sudah sesuai dengan protap. Padahal, aksi disemprotkannya gas air mata memicu meregangnya ratusan nyawa. Akibatnya, Supporter merasakan panik dan berduyun-duyun ingin menyelamatkan diri keluar stadion. Namun, terjadi juga penumpukan massa di satu pintu, dan akhirnya banyak yang sesak napas, dan terinjak.

Apabila pemicu meregangnya ratusan nyawa di Stadion Kanjuruhan adalah karena gas air mata, justru harusnya aparatlah yang bertanggung jawab lebih awal. Tugas aparat tidak hanya melakukan pengamanan, akan tetapi juga harus stabil menahan dan mengendalikan emosi dalam mengnangani kericuhan massa.

Dari sini, jelas harus segera diusut siapa tersangka yang akan mempertanggungjawabkan ini semua. Peran negara sangat diperhitungkan dalam mengusut  peristiwa ini setuntas-tuntasnya. Akankah bisa, mengingat pihak yang mudah disalahkan adalah supporter?

Islam Solusinya

Islam adalah agama yang khas, memiliki seperangkat aturan yang lengkap dalam mengatur kehidupan. Salah satunya, Islam menghukumi olahraga yang dapat memelihara kesehatan dan kebugaran masuk dalam kategoru mubah, yakni boleh. Namun, apabila olahraga yang dilakukan menciptakan kesia-siaan, tentu ini tidak dibolehkan sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,
“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS Ali Imran: 185)

Lahwun munazhamun ialah permainan atau hiburan yang diatur sedemikian rupa dengan berbagai jenis program dan waktu penyelenggaraannya. Ditunjuklah sejumlah pegawai, staf manager, dan penanggung jawab sehingga menjadi suatu misi yang penting di mata para perencana dan pengaturnya. Dalam hal ini, contoh Lahwun Munazhamun ialah sepak bola. Untuk itulah jangan sampai kita terjebak dalam  Lahwun Munazhamun hingga terlena dan terperdaya sehingga berbuat kesia-siaan. 

Karena kesia-siaan dilarang dalam Islam, maka Islam telah mengarahkan kaum muslimin untuk meyibukkan diri pada aktivitas yang produktif dan diridai oleh Allah Subhanahu wata’ala, seperti berdakwah, memperdalam tsaqofah Islam dan ilmu pengetahuan, dan bahkan menganjurkan olahraga yang memberi keterampilan sebagai bekal jihad di jalan Allah.

Demikian pula, Islam melarang fanatik antar golongan. Bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang mengajak kepada ashabiyah, bukan termasuk golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah dan bukan termasuk golongan kami orang yang mati karena ashabiyah.” (HR Abu Dawud No. 4456)

Di dalam Islam semuanya sama, tak membedakan suku, ras, kelompok, madzhab, bahasa, dan bangsa. Bahkan, Islam menghargai perbedaan, tak ada saling cela-mencela, memusuhi, apalagi menghina satu dengan yang lain. Sehingga tidak ada pertumpahan darah di atas perbedaan. Terlaksananya kegiatan olahraga dalam Islam pun negara memastikan betul akan kenyamanan dan keamanannya, sehingga aparat keamanan berfungsi dengan baik dari segi mengayomi dan memberi perlindungan kepada rakyat, bukan memberi rasa takut dan bertindak kasar lagi keras. Tidakkah kita rindu dengan penerapan Islam yang begitu Menyejahterakan ini?
Wallahu a’laam bi ash-shawaab.

Oleh: Inas Fauziah Idris 
Aktivis Penulis Ideologis

Selasa, 24 Mei 2022

REZIM REPRESIF SINGAPURA, REZIM JOKOWI ATAU KEDUANYA ADA DIBALIK PEMBLOKIRAN SIARAN YOUTUBE TERKAIT USTADZ ABDUL SHOMAD?


Tinta Media - Seorang YouTuber yang sedang menyiarkan siaran langsung demo Kedubes Singapura terkait kasus penolakan UAS, mengabarkan bahwa siarannya diblokir. Setelah dicek, beberapa akun YouTube lainnya juga mengalami nasib sama : siarannya diblokir.

Jadi, wajar demo di depan Kedubes Singapura hari ini (Jum'at, 20/5) siarannya tidak dapat disaksikan di YouTube. Sudah ada tindakan represif rupanya. Tindakan yang radikal dan intoleran, memblokir siaran YouTube secara sepihak.

Menurut kabar yang saya terima, seluruh server internet cyber di Indonesia berpusat di Singapura. Baru nyambung ke seluruh dunia. Infonnya arus informasi internet : Indonesia - Singapura - Amerika, baru ke seluruh dunia.

Kalau hal ini benar, berarti benar-benar tidak ada kedaulatan informasi di Indonesia. Secara teknologi informasi, Indonesia benar-benar berada dibawah kendali Singapura.

Awalnya, saya mengira blokir hanya berlaku pada siaran yang terkait ustadz Abdul Shomad. Ternyata, begitu saya siaran tentang formula E juga bernasib sama : diblokir.

Sebelumnya, video di akun saya sudah pernah diblokir dengan keterangan atas permintaan pemerintah. Patut diduga, ini kerjaan pemerintahan Jokowi, karena pemerintah yang dimaksud adalah pemerintah Indonesia sebagai otoritas yang berkuasa di wilayah setempat.

Memang, infonya Singapura memiliki akses untuk memblokir tayangan secara otoritatif karena server di Indonesia berpusat di Singapura. Namun, masih ada dugaan ini juga kerjaan rezim Jokowi.

Sejumlah akun oposisi sudah pernah mendapatkan perlakuan represif oleh pemerintah dibawah Jokowi. Akun Khilafah Channel, misalnya. Akun ini tidak dapat diakses melalui server di Indonesia. Akun Hersubeno Arif hilang dari mesin pencari google maupun di YouTube.

Tapi siapapun pelakunya, baik rezim Singapura maupun rezim Jokowi, semuanya memang sudah disadari oleh para pejuang Islam bahwa rezim yang dihadapi ini sangat represif. Bukan hanya ruang sosial media, di alam nyata sejumlah aktivis dan ulama juga sudah menjadi korban kriminalisasi rezim.

Saya belum mencoba siaran lagi setelah dua konten YouTube saya diblokir. Jika Anda berkunjung ke YouTube saya, maka video soal 'Madura menolak ustadz Abdul Shomad?' dan 'Formula E, ajang konser kesirikan dalam balapan' sudah tidak dapat ditonton (hilang).

Kemungkinan, kalau hal ini permanen saya harus siap membuat akun YouTube dari 0 (nol) lagi dan merelakan akun dengan 68,8 ribu subscribers yang selama ini saya gunakan sebagai sarana untuk menyampaikan dakwah, pemikiran dan pandangan hukum terkait isu politik yang berkembang.

Apapun yang terjadi, dakwah harus terus bergerak. Sarana hanyalah alat, bukan tujuan. Sarana dakwah masih bisa dibuat dan digunakan lagi untuk menyampaikan dakwah amar makruf nahi mungkar. [].

Follow Us :

https://heylink.me/AK_Channel/

Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik 



Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab