Tinta Media: Represi
Tampilkan postingan dengan label Represi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Represi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 16 Desember 2022

LBH Pelita Umat: KUHP Ini Cenderung Represi

Tinta Media - Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita Umat Chandra Purna Irawan menilai KUHP yang disahkan DPR pada Selasa (6/12) cenderung represi.

"Kalau dari bunyinya saja, pasal ini sudah menimbulkan persoalan yang cenderung represi, selanjutnya bagaimana proses implementasi dari pasal," ungkapnya dalam program Kabar Petang: KUHP Baru Menjadi Alat Represi? Melalui kanal Youtube Khilafah News, Kamis (8/12/2022). 

Chandra mengatakan, RKUHP yang telah disahkan DPR menjadi KUHP masih mengandung spirit kolonialisme. "Yang menjadi spiritnya adalah bukan sekedar mengganti undang-undang kolonial dengan undang-undang buatan sendiri, tetapi bagaimana undang-undang yang kemudian disusun dan disahkan itu adalah undang-undang yang kemudian tidak menjerat kebebasan sipil," tuturnya.

Menurutnya, di dalam KUHP yang baru, potensi terhadap jeratan sipil begitu besar. "Misalnya terkait hak demonstrasi yang tidak mendapatkan izin maka akan dipidana, pertanyaannya adalah KUHP baru ini memindahkan ranah pemberitahuan menjadi ranah izin, ranah hak menjadi izin. Padahal izin adalah untuk sesuatu yang sudah dilarang, sedangkan demonstrasi itu adalah hak, pastinya tidak perlu izin cukup dengan pemberitahuan," jelasnya.

Chandra mengungkapkan bahwa izin adalah untuk sesuatu yang dilarang, dengan ada izin maka menjadi boleh. Misalnya, seorang laki-laki dan wanita tentu dilarang untuk melakukan hubungan, tapi dengan ada izin berupa menikah maka dia menjadi boleh.

"Sejumlah pihak khawatir dengan polisi yang akan salah tafsir dalam penerapan pasal-pasal baru di RKUHP, kekhawatirannya itu didasari terhadap kinerja POLRI yang dinilainya sering menyimpang dan merekayasa kasus," ungkapnya. 

"Memang penafsir pertama dalam proses penerapan pasal itu adalah polisi, dan biasanya untuk meminta perbandingan, polisi akan memanggil keterangan ahli, potensi represi itu terjadi dalam KUHP karena memindahkan sesuatu yang menjadi hak menjadi ranah perizinan mestinya cukup dengan pemberitahuan, sejumlah aturan baru RKUHP apalagi yang dianggap publik sebagai pasal karet akan menimbulkan multi interpretasi dalam penegakan hukum di kepolisian," tambahnya.

Chandra menjelaskan, beberapa pasal ada yang multi tafsir, misalkan menyebarkan paham yang bertentangan dengan pancasila. "Siapa yang berhak menafsirkan itu? kalau pemerintah, yang menafsirkannya adalah kepolisian. Saya kira salah, karena kalau dalam teori hukum pidana, sesuatu yang tidak ditulis bentuk pelanggarannya, dia tidak dapat dipidana, karena pidana merupakan pasal-pasal dalam KUHP itu. Jadi, kalau tidak disebutkan di situ tidak dapat dipidana," ujarnya.

Solusi terakhir, ujar Chandra, ada di MK, tapi publik menaruh curiga dengan MK. "Khawatir MK tidak berani melakukan pembatalan karena hakim MK sendiri dapat di recall oleh DPR atau pemerintah," pungkasnya. [] Evi

Selasa, 06 Desember 2022

LBH Pelita Umat Khawatir RKUHP Jadi Alat Represi

Tinta Media - LBH Pelita Umat melontarkan kekhawatiran ketika mendengar rencana DPR RI dan Pemerintah yang akan mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKHUP) pada Selasa (6/12).

“RKUHP ini dikhawatirkan akan menjadi alat represi,” ungkap Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan melalui Pernyataan Hukum yang dikeluarkan LBH Pelita Umat No. 01.XII/DPP/LBH PU/PH/2022, Selasa (6/12/2022).

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, DPP LBH PELITA UMAT memberikan Pernyataan Hukum sebagai berikut: 

Pertama, LBH Pelita Umat mendesak kepada Pemerintah agar  di dalam RKHUP tidak memuat norma-norma yang berpotensi mengancam hak sipil dan menjadi alat represi terhadap rakyat. 

“Norma yang dimaksud adalah norma tentang penyebaran paham yang dianggap bertentangan dengan Pancasila, penghinaan terhadap Presiden, penghinaan terhadap Pemerintah, penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, penghasutan melawan penguasa umum, dan kriminalisasi demonstrasi. Norma-norma ini berpotensi mengancam hak sipil dan menjadi alat represi terhadap rakyat,” bebernya.
 
Kedua, dalam konteks kebebasan sipil, jika di dalam RKUHP terdapat norma-norma yang disebutkan di atas akan berdampak semakin banyak masyarakat yang akan dipenjara.

“Terlebih lagi penetapan sejumlah norma tersebut dengan menggunakan delik formal, maka akan berdampak semakin banyak dipenjarakannya masyarakat yang kritis terhadap kebijakan dan tindakan Pemerintah. Hal ini dikhawatirkan dapat membuat pemerintah cenderung otoriter dan tidak peduli dengan rakyat,” ujarnya khawatir.
 
Ketiga, pasal penyebaran paham yang dianggap bertentangan dengan Pancasila merupakan pasal karet dan riskan disalahgunakan. 

“Pasal ini terindikasi menjadi pasal subversif mirip seperti pada era Orde Baru. Pancasila jangan dijadikan alat gebuk terhadap rakyat dengan tuduhan bertentangan dengan Pancasila, hal tersebut menunjukkan gejala otoritarianisme,” pungkasnya.[] Erlina

Minggu, 03 Juli 2022

PERNYATAAN HUKUM LBH PELITA UMAT No. 01.7/DPP/LBH PU/PH/2022 Tentang RKUHP DIKHAWATIRKAN MENJADI ALAT REPRESI

Tinta Media - Setelah hampir tiga tahun mandek, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan kembali membahas revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). 
 
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, DPP LBH PELITA UMAT memberikan Pernyataan Hukum sebagai berikut: 
 
Pertama, bahwa kami mendesak kepada Pemerintah agar didalam RKUHP hendaknya tidak memuat sejumlah norma tentang penghinaan terhadap Presiden, penghinaan terhadap Pemerintah,penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, Penghasutan melawan penguasa umum dan kriminalisasi demonstrasi. Norma-norma tersebut berpotensi mengancam hak sipil dan menjadi alat represi terhadap rakyat; 
 
Kedua, Bahwa dalam konteks kebebasan sipil, jika didalam RKUHP terdapat norma-norma yang kami sebutkan diatas terlebih lagi penetapan sejumlah norma dengan menggunakan delik formal, maka akan berdampak semakin banyak dipenjarakannya masyarakat yang kritis terhadap kebijakan dan tindakan Pemerintah. Hal ini dikhawatirkan dapat membuat pemerintah cenderung otoriter dan tidak peduli dengan rakyat; 
 
Ketiga, Bahwa kami mendesak kepada Pemerintah untuk mempublikasikan draft RKUHP yang terbaru setelah draft September 2019. Kami menilai sikap Pemerintah yang tampak "menyembunyikan" draf terbaru RKUHP menunjukkan "gejala otoritarianisme" dan intensi untuk meredam kritik publik terkait norma-norma yang kontroversial. Kalaupun Pemerintah mempublikasikan draft terbaru tersebut, masyarakat harus diberi waktu yang cukup untuk memberikan masukan dan diterima masukannya. 
 
Demikian. 
 
Jakarta, 1 Juli 2022 

Ketua 
Chandra Purna Irawan.,S.H.,M.H 
 
Sekretaris Jenderal 
Panca Putra Kurniawan.,S.H.,M.Si.
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab