Selasa, 28 November 2023
Jumat, 24 November 2023
Pamong Institute: Persoalan Rempang Muncul Akibat Kebijakan Pusat
Selasa, 10 Oktober 2023
MMC: Meski Batal Direlokasi, Warga Rempang Tetap Cemas
Tinta Media - Menyoroti batalnya rencana relokasi sebagian warga pulau Rempang yang dijadwalkan pada Kamis 28 September 2023 lalu, narator Muslimah Media Center (MMC) mengatakan warga tetap cemas.
“Masyarakat di kampung-kampung tua seperti di Kampung Pasar Panjang Sembulang dan Kampung Pasir Merah Sembulang mengaku masih cemas dan waspada sebab sampai saat ini. Pemerintah maupun Badan Pengusahaan (BP) Batam memperpanjang tenggat waktu pendaftaran dan belum membatalkan rencana pemindahan,” paparnya dalam Serba-Serbi MMC: Rakyat Rempang Menolak Relokasi, Ironi Kedaulatan Rakyat, di kanal Youtube Muslimah Media Center, Sabtu (7/10/2023).
Narator mengatakan, ini merupakan ujian atas konsep kedaulatan rakyat yang diadopsi negeri ini. Sebab siapa sejatinya yang berdaulat ketika rakyat justru banyak dirugikan dalam berbagai kasus sengketa lahan atau kasus agraria.
“Sistem pemerintahan yang diterapkan di negeri ini adalah sistem demokrasi yang meletakkan kedaulatan dan kekuasaan di tangan rakyat. Sistem ini memastikan aturan dibuat oleh manusia (rakyat), dengan harapan aturan yang diberlakukan mampu mengakomodasi kepentingan rakyat,” bebernya.
Namun ia menyayangkan, prinsip ini justru dilanggar sendiri oleh demokrasi, kedaulatan bukan di tangan rakyat tetapi di tangan segelintir orang yakni para kapitalis atau konglomerat.
“Inilah bukti bahwa demokrasi sejatinya telah membuka jalan bagi segelintir orang atau pemilik modal untuk mempengaruhi aturan-aturan negara dan hal ini mutlak terjadi dalam sistem demokrasi,” tegasnya menambahkan.
Hutang Budi
Pemimpin yang terpilih dalam sistem demokrasi, ucapnya, dipilih untuk membuat hukum. Alhasil penguasa terpilih dipastikan akan condong kepada pihak yang memberikan modal untuk berkuasa, pasalnya untuk menjadi pemimpin membutuhkan dana yang tidak sedikit.
“Di sinilah muncul hutang budi politik yang meniscayakan para penguasa terpilih untuk membuat aturan yang pro terhadap para kapitalis,” kritiknya.
Jadi ketika terjadi perebutan kepentingan antara rakyat dan pemilik modal, sambungnya, maka penguasa akan memenangkan pihak pemilik modal apapun dan bagaimanapun caranya.
Sistem Islam
Narator lalu membandingkan dengan sistem Islam yang diterapkan di bawah institusi Khilafah Islam. “Islam menetapkan bahwa kedaulatan di tangan syara’ (Allah Swt) bukan di tangan umat, sedangkan kekuasaan berada di tangan umat. Rakyat tidak memiliki wewenang sama sekali membuat hukum meskipun dia adalah pemimpin,” urainya.
Ia menerangkan, siapapun pemimpin yang terpilih dalam Khilafah wajib menerapkan syariat Islam bukan yang lain. Sebab sejatinya pemimpin dalam Islam dibaiat oleh umat untuk mengurusi urusan umat dengan syariat Islam saja.
“Islam menjadikan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab atas urusan rakyat termasuk menjaga hak-hak rakyat. Rasulullah saw bersabda, “Imam atau Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya,” jelasnya mengutip hadis riwayat Muslim dan Ahmad.
Kepemilikan
Mengenai pandangannya terhadap ekonomi Islam termasuk tentang kepemilikan, dikatakan oleh narator bahwa hal tersebut akan dikembalikan pada hukum syariat. Terdapat tiga jenis kepemilikan dalam Islam, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum atau rakyat dan kepemilikan negara.
“Negara tidak boleh menyerahkan kepemilikan umum kepada individu bahkan negara hanya berperan menerapkan ketentuan-ketentuan syariat yang menjamin ketiga jenis kepemilikan tersebut terwujud sesuai syariat Islam,” terangnya.
Setiap rakyat, terangnya, berhak memiliki kepemilikan individu termasuk tanah selama tanah tersebut tidak masuk dalam kepemilikan umum. “Khilafah tidak memiliki kewenangan untuk mengubah status kepemilikan tersebut,” jelasnya.
Ia mencontohkan sengketa lahan kepemilikan individu yang pernah terjadi di masa Khalifah Umar Bin Khattab.
“Satu waktu ketika menjabat sebagai Khalifah, Umar didatangi seorang Yahudi yang terkena penggusuran oleh seorang wali Mesir Amr Bin Ash yang bermaksud memperluas bangunan sebuah masjid. Meski mendapatkan ganti rugi yang pantas sang Yahudi menolak penggusuran tersebut. Ia datang ke Madinah untuk mengadukan permasalahannya tersebut pada Khalifah Umar. Singkat cerita Umar memberi peringatan keras kepada Amr Bin Ash dan memerintahkannya untuk mengembalikan rumah orang Yahudi yang digusurnya,” tuturnya mengisahkan.
Oleh karena itu, lanjutnya, sekelas Khalifah sekalipun pun tidak boleh memaksa rakyat menjual tanahnya kepada negara meski itu untuk kepentingan umum, sebab tanah yang sudah menjadi milik rakyat tidak termasuk kepemilikan umum dan negara tidak boleh mengambil kepemilikan individu tanpa keridaan dari rakyat yang bersangkutan.
“Demikianlah syariat Islam yang sempurna hadir di tengah umat manusia dengan membawa rahmat kebaikan dan keadilan. Hanya saja rahmat tersebut tidak akan pernah terwujud tanpa institusi Khilafah yang menerapkannya,” tutupnya. [] Langgeng Hidayat
Sabtu, 07 Oktober 2023
Petisi 100: Batalkan Proyek Rempang Eco City!
Jumat, 06 Oktober 2023
Tokoh Peduli Rempang: Tindakan Pemerintah Usir Penduduk Rempang, Zalim Luar Biasa
Jumat, 29 September 2023
Kasus Rempang, Aktivis: Jangan Gara-Gara Investasi, Orang Diusir
Negara Lebih Mementingkan Oligarki daripada Rakyatnya Sendiri, Bandingkan dengan Islam!
Kamis, 28 September 2023
Demi Investasi, Warga Rempang Harus Angkat Kaki
Rabu, 27 September 2023
Berpartisipasi dalam Kesultanan, Sejarawan: Penduduk Rempang-Galang Layak Dimuliakan
Kasus Rempang, Buruknya Tata Kelola ala Sistem yang Timpang
Kiai Labib: Apa yang Terjadi di Rempang adalah Perampasan Tanah oleh Negara
Selasa, 26 September 2023
Tindakan Represif Aparat dan Ultimatum Pengosongan Pulau Rempang, BKLDK: Zalim!
Tinta Media - Sekretaris Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus (BKLDK) wilayah Riau Teddy Panggabean mengungkapkan, tindakan represif aparat dan ultimatum pengosongan Pulau Rempang oleh pemerintah adalah perbuatan zalim dan berbahaya.
"Menurut syariat Islam, dan Peraturan Perundang-undangan
di Republik Indonesia dan prinsip Free Prior and Informant Consent (
FPIC), tindakan represif aparat dan ultimatum pengosongan Pulau
Rempang khususnya di wilayah 16 kampung tua oleh pemerintah adalah perbuatan
zalim dan berbahaya," ujarnya saat menyampaikan salah satu poin pernyataan
sikap dalam Aksi Damai Bela Rempang, Sabtu (23/9/2023) di kanal Youtube Dakwah
Riau.
Dalam pernyataannya, ia mengungkapkan, berdasarkan
bukti-bukti historis dan empiris di lapangan, penduduk Melayu Rempang bukanlah
pendatang, akan tetapi mereka adalah penduduk asli yang telah
menempati wilayah tersebut sejak tahun 1719.
"Mereka juga memberikan kontribusi terhadap
Negara Republik Indonesia ini dengan ikut berjuang dalam perang Riau satu dan
juga perang Riau dua," terangnya.
Seandainya penduduk Rempang hari ini, sambungnya, belum
mempunyai sertifikat atas lahan tanah dan pekarangan maka itu adalah kelalaian
daripada negara atas ketidakpedulian pemerintah terhadap urusan rakyatnya.
“Seandainya mereka berada dalam kawasan hutan, maka bukankah
jutaan hektar kelapa sawit ilegal dan kawasan hutan akan diputihkan oleh
pemerintah dengan alasan keterlanjuran," tegasnya.
Terakhir Teddy menegaskan, menolak mega
proyek Rempang Eco City karena berpotensi mengorbankan kepentingan rakyat
khususnya masyarakat Pulau Rempang dan Galang.
“Menyerukan kepada seluruh masyarakat Melayu dan seluruh
rakyat Indonesia untuk merapatkan barisan bersatu menentang segala bentuk
neoimperialisme dan tidak membiarkan negara takluk pada oligarki,"
tutupnya.[] Muhammad Nur