Tinta Media: Rempang
Tampilkan postingan dengan label Rempang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rempang. Tampilkan semua postingan

Selasa, 28 November 2023

Forum Peduli Umat: Warga Rempang Tidak Menolak Investasi


 
Tinta Media - Dwi Tjahyo S., S.H., M.H. mewakili Forum Peduli Umat untuk Rempang Batam yang terjun langsung menemui warga Rempang dan Kampung Tua menegaskan bahwa warga Rempang tidak menolak investasi.
 
“Warga Rempang  tidak menolak investasi  sepanjang warga diberikan tempat tinggal layak dan masih bisa hidup sebagai nelayan,” ungkapnya di Bincang Perubahan: Negara Wajib Lindungi Pulau Rempang, melalui kanal  Youtube Bincang Perubahan, Selasa (14/11/2023).
 
Namun Ia menyayangkan, pemerintah di dalamrencana merelokasi warga Rempang tidak sesuai dengan harapan warga.
 
“Mereka berharap meski direlokasi tapi tetap bisa melaut sebagai mata pencaharian yang sudah digeluti selama ratusan tahun,” imbuhnya.
 
Apalagi, lanjutnya, Kampung Tua yang terdiri 16 desa sudah diberi SK oleh Walikota Batam SK No. 105/HK/lll/2004 tentang penetapan Kampung Tua sebagai perkampungan yang perlu dilestarikan.
 
“Saya ragu apakah investasi ini untuk kepentingan negara dalam arti untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat atau untuk kepentingan oligarki?” tanyanya.
 
Ia menambahkan, kalau investasi di Rempang untuk kepentingan oligarki maka sampai kapan pun masyarakat tetap miskin bahkan bisa lebih miskin lagi. [] Irianti Aminatun.

Jumat, 24 November 2023

Pamong Institute: Persoalan Rempang Muncul Akibat Kebijakan Pusat


 
Tinta Media -- Direktur Pamong Institute Drs. Wahyudi Al-Maroky menilai persoalan Rempang muncul akibat kebijakan pemerintah pusat.
 
“Persoalan Rempang muncul ketika kebijakan pemerintah pusat yang katanya demi meningkatkan kesejahteraan tapi fakta yang terjadi kesejahteraan belum tentu tercapai, yang pasti sudah dirasakan masyarakat adalah penggusuran, penindasan, intimidasi bahkan perampasan tanah yang mereka miliki, sehingga terjadilah penolakan,” ungkapnya di Bincang Perubahan: Negara Wajib Lindungi Pulau Rempang, melalui kanal  Youtube Bincang Perubahan, Selasa (14/11/2023).
 
Wahyudi lalu menandaskan bahwa persoalan itu muncul karena kebijakan dari negara yang tidak diformulasikan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat sebagaimana amanat konstitusi.
 
“Kalau amanat konstitusi itu kan minimal melindungi dulu. Kalau mereka sudah hidup di situ sekian ratus tahun seharusnya terlindungi keamanannya, terlindungi secara hukum, terlindungi secara legalitas, terlindungi kehidupan mereka sebagai nelayan. Konstitusi mewajibkan itu!” tukasnya.
 
Setelah melindungi, sambungnya, berikutnya mencerdaskan yaitu dengan dibangunkan sarana pendidikan.
“Setelah melindungi dan mencerdaskan selanjutnya menyejahterakan. Jika tiga hal ini yaitu melindungi, mencerdaskan dan menyejahterakan tidak dipenuhi berarti negara melanggar konstitusi atau mengkhianati konstitusi,” tukasnya.
 
Dan untuk menyejahterakan, terangnya, tidak harus dengan investasi. Ia mengungkap fakta  di tempat lain, investasi masuk tapi masyarakat lokal justru tergusur dan tidak bisa menikmati.
 
“Saya kasih contoh di Papua, setelah sekian lama PT Freeport hadir di situ, di pinggiran lereng gunung di sana masih ada orang yang busung lapar, masih ada orang stunting. Ini berarti masyarakat tidak menikmati kesejahteraan,” bebernya.
 
Hal itu dinilai oleh Wahyudi merupakan ciri pembangunan ekonomi kapitalis dengan konsep mendapat keuntungan besar dengan pengorbanan sekecil mungkin.
 
“Investasi yang model begini masyarakatnya sudah digusur, tidak dapat keamanan, tidak dapat kecerdasan, tidak dapat kesejahteraan. Ini yang saya bilang bahwa amanat konstitusi tidak dijalankan dengan baik,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun

Selasa, 10 Oktober 2023

MMC: Meski Batal Direlokasi, Warga Rempang Tetap Cemas

Tinta Media - Menyoroti batalnya rencana relokasi sebagian warga pulau Rempang yang dijadwalkan pada Kamis 28 September 2023 lalu, narator Muslimah Media Center (MMC) mengatakan warga tetap cemas.

“Masyarakat di kampung-kampung tua seperti di Kampung Pasar Panjang Sembulang dan Kampung Pasir Merah Sembulang mengaku masih cemas dan waspada sebab sampai saat ini. Pemerintah maupun Badan Pengusahaan (BP) Batam memperpanjang tenggat waktu pendaftaran dan belum membatalkan rencana pemindahan,” paparnya dalam Serba-Serbi MMC: Rakyat Rempang Menolak Relokasi, Ironi Kedaulatan Rakyat, di kanal Youtube Muslimah Media Center, Sabtu (7/10/2023).

Narator mengatakan, ini merupakan ujian atas konsep kedaulatan rakyat yang diadopsi negeri ini. Sebab siapa sejatinya yang berdaulat ketika rakyat justru banyak dirugikan dalam berbagai kasus sengketa lahan atau kasus agraria.

“Sistem pemerintahan yang diterapkan di negeri ini adalah sistem demokrasi yang meletakkan kedaulatan dan kekuasaan di tangan rakyat. Sistem ini memastikan aturan dibuat oleh manusia (rakyat), dengan harapan aturan yang diberlakukan mampu mengakomodasi kepentingan rakyat,” bebernya.

Namun  ia menyayangkan, prinsip ini justru dilanggar sendiri oleh demokrasi, kedaulatan bukan di tangan rakyat tetapi di tangan segelintir orang yakni para kapitalis atau konglomerat.

“Inilah bukti bahwa demokrasi sejatinya telah membuka jalan bagi segelintir orang atau pemilik modal untuk mempengaruhi aturan-aturan negara dan hal ini mutlak terjadi dalam sistem demokrasi,” tegasnya menambahkan.

Hutang Budi

Pemimpin yang terpilih dalam sistem demokrasi, ucapnya, dipilih untuk membuat hukum. Alhasil penguasa terpilih dipastikan akan condong kepada pihak yang memberikan modal untuk berkuasa, pasalnya untuk menjadi pemimpin membutuhkan dana yang tidak sedikit.

“Di sinilah muncul hutang budi politik yang meniscayakan para penguasa terpilih untuk membuat aturan yang pro terhadap para kapitalis,” kritiknya.

Jadi ketika terjadi perebutan kepentingan antara rakyat dan pemilik modal, sambungnya, maka penguasa akan memenangkan pihak pemilik modal apapun dan bagaimanapun caranya.

Sistem Islam

Narator lalu membandingkan dengan sistem Islam yang diterapkan di bawah institusi Khilafah Islam. “Islam menetapkan bahwa kedaulatan di tangan syara’ (Allah Swt) bukan di tangan umat, sedangkan kekuasaan  berada di tangan umat. Rakyat tidak memiliki wewenang sama sekali membuat hukum meskipun dia adalah pemimpin,” urainya.

Ia menerangkan, siapapun pemimpin yang terpilih dalam Khilafah wajib menerapkan syariat Islam bukan yang lain. Sebab sejatinya pemimpin dalam Islam dibaiat oleh umat untuk mengurusi urusan umat dengan syariat Islam saja.

“Islam menjadikan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab atas urusan rakyat termasuk menjaga hak-hak rakyat. Rasulullah saw bersabda, “Imam atau Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya,” jelasnya mengutip hadis riwayat Muslim dan Ahmad.

Kepemilikan

Mengenai pandangannya terhadap ekonomi Islam termasuk tentang kepemilikan, dikatakan oleh narator bahwa hal tersebut akan dikembalikan pada hukum syariat. Terdapat tiga jenis kepemilikan dalam Islam, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum atau rakyat dan kepemilikan negara.

“Negara tidak boleh menyerahkan kepemilikan umum kepada individu bahkan negara hanya berperan menerapkan ketentuan-ketentuan syariat yang menjamin ketiga jenis kepemilikan tersebut terwujud sesuai syariat Islam,” terangnya.

Setiap rakyat, terangnya, berhak memiliki kepemilikan individu termasuk tanah selama tanah tersebut tidak masuk dalam kepemilikan umum. “Khilafah tidak memiliki kewenangan untuk mengubah status kepemilikan tersebut,” jelasnya.

Ia mencontohkan sengketa lahan kepemilikan individu yang pernah terjadi di masa Khalifah Umar Bin Khattab.

“Satu waktu ketika menjabat sebagai Khalifah, Umar didatangi seorang Yahudi yang terkena penggusuran oleh seorang wali Mesir Amr Bin Ash yang bermaksud memperluas bangunan sebuah masjid. Meski mendapatkan ganti rugi yang pantas sang Yahudi menolak penggusuran tersebut. Ia datang ke Madinah untuk mengadukan permasalahannya tersebut pada Khalifah Umar. Singkat cerita Umar memberi peringatan keras kepada Amr Bin Ash dan memerintahkannya untuk mengembalikan rumah orang Yahudi yang digusurnya,” tuturnya mengisahkan.

Oleh karena itu, lanjutnya, sekelas Khalifah sekalipun pun tidak boleh memaksa rakyat menjual tanahnya kepada negara meski itu untuk kepentingan umum, sebab tanah yang sudah menjadi milik rakyat tidak termasuk kepemilikan umum dan negara tidak boleh mengambil kepemilikan individu tanpa keridaan dari rakyat yang bersangkutan.

“Demikianlah syariat Islam yang sempurna hadir di tengah umat manusia dengan membawa rahmat kebaikan dan keadilan. Hanya saja rahmat tersebut tidak akan pernah terwujud tanpa institusi Khilafah yang menerapkannya,” tutupnya. [] Langgeng Hidayat

Sabtu, 07 Oktober 2023

Petisi 100: Batalkan Proyek Rempang Eco City!

Tinta Media - Tokoh lintas profesi dan lintas daerah yang tergabung dalam Petisi 100 Penegak Daulat Rakyat menuntut penguasa untuk segera membatalkan rencana proyek pembangunan Rempang Eco City.

"Batalkan Rencana Pembangunan Rempang Eco City Segera!" bunyi Siaran Pers yang diterima Tinta Media, Jumat (6/10/2023).

Sesuai amanat konstitusi dan demi tegaknya hukum dan kedaulatan rakyat, Petisi 100 mengajukan tiga tuntutan. "Pertama, Proyek Rempang Eco City segera dibatalkan," serunya.

Kedua, karena telah terjadi berbagai pelanggaran hukum/UU, dan adanya indikasi pengkhianatan terhadap negara, Petisi 100 mendesak Presiden Jokowi sebagai pemimpin negara/pemerintahan untuk segera menjalani proses pemakzulan.

Ketiga, semua pejabat negara, terutama pimpinan Lembaga/Kementerian yang diduga telah terlibat melakukan tindakan melanggar hukum, mengkriminalisasi rakyat dan ditengarai melakukan kebohongan publik, agar segera menjalani proses hukum.[] Abu Muhammad 




Jumat, 06 Oktober 2023

Tokoh Peduli Rempang: Tindakan Pemerintah Usir Penduduk Rempang, Zalim Luar Biasa

Tinta Media - Cendekiawan Muslim Ustadz Ismail Yusanto (UIY) mewakili para tokoh dari berbagai disiplin ilmu membacakan Press Release Tokoh Peduli Rempang.

“Tokoh peduli Rempang menyatakan, pertama, tindakan pemerintah mengusir penduduk pulau Rempang adalah tindakan zalim luar biasa yang sama sekali tidak boleh dilakukan,” tuturnya dalam video: Press Release Tokoh Peduli Rempang, di kanal UIY Official, Rabu (4/10/2023).

Ia melanjutkan, salah satu tujuan penting dari adanya negara adalah guna melindungi harkat martabat jiwa dan harta rakyatnya. Apalagi penduduk di pulau itu telah ada jauh sebelum negeri ini merdeka.

“Karena itu negara ini harus melindungi penduduk di sana, bukan malah digusur dengan alasan bahwa penduduk di situ tidak memiliki legalitas,” tandasnya.

Layak dipertanyakan pula, ucapnya, atas dasar apa korporasi swasta diberi hak penguasaan lahan di pulau itu. Bila hak itu didapat dari pemerintah mengapa pemerintah tidak memberikan hak kepada penduduk di pulau itu yang telah nyata ada secara turun-temurun di sana, bahkan jauh sebelum negeri ini merdeka.

“Kedua mendesak kepada pemerintah untuk membatalkan proyek Rempang Eco City karena proyek ini sarat masalah. Apalagi setelah terungkap sejumlah kebohongan publik. Sebelumnya dinyatakan bahwa Xin Yi grup asal Cina adalah perusahaan kaca terbesar di dunia, nyatanya bukan. sebelumnya juga dikatakan bahwa BP Batam telah mendapatkan hak pengelola lahan, nyatanya menurut menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) bahwa hak pengelolaan lahan Pulau Rempang untuk BP Batam masih dalam proses. Artinya BP Batam belum ada hak,” paparnya.

Menurutnya, untuk pembangunan pabrik kaca itu sesungguhnya hanya diperlukan lahan ratusan hektar saja, tapi mengapa harus diakupasi seluruh pulau Rempang yang luasnya lebih dari 17.000 hektar. “Untuk apa sebenarnya lahan seluas itu?” tanyanya.

Ia menambahkan, terungkap pula spekulasi bahwa di balik proyek ini ada kepentingan bisnis pribadi sejumlah pejabat tinggi negara yang didomplengkan kepada PSN (Proyek Strategis Nasional).

“Ketiga, kasus Pulau Rempang dan ribuan kasus agraria serupa di berbagai tempat di seluruh Indonesia, serta berbagai regulasi dan kebijakan pemerintah yang sangat kapitalistik membuktikan bahwa negeri ini telah jauh terperosok pada apa yang disebut korporatokrasi,” bebernya.

Dalam korporatokrasi, lanjutnya, bukan rakyat yang berdaulat, tapi pemilik modal. Dengan kekuatan modalnya para oligark mempengaruhi arah penyusunan regulasi dan arah kebijakan pemerintah seperti dalam kasus Pulau Rempang dan juga kasus-kasus di tempat lain.

“Bila keterperosokan ini tidak segera dihentikan, rakyat di negara yang mayoritas muslim ini akan makin menderita, sementara segelintir orang justru makin kaya raya,” tandasnya.

Keempat, sebutnya, semua fakta di atas membuktikan bahwa sistem sekuler liberal kapitalistik sangatlah berbahaya bagi masa depan kehidupan bangsa dan negara.
“Tak ada jalan lain bila diinginkan kebaikan bagi masa depan masyarakat dan negara ini haruslah diatur dengan sistem yang baik yang berasal dari Dzat Yang Maha Baik itulah Allah Swt.,” yakinnya.

Dengan penerapan syariah secara kafah di bawah naungan Daulah Khilafah, terangnya, diyakini kegiatan ekonomi termasuk kegiatan investasi, pemanfaatan lahan dan perlakuan terhadap rakyat juga kegiatan di bidang lain akan bisa diatur dengan sebaik-baiknya sebagaimana bisa dibuktikan secara empiris dan historis.

“Tanpa penerapan syariah secara kafah apalagi dibawah korporatokrasi , kezaliman, ketidakadilan dan kesengsaraan, pasti akan terus terjadi. Hal ini tidak boleh dibiarkan terus menerus terjadi,” jelasnya.

Kelima, sambungnya, oleh karena itu diserukan kepada seluruh umat Islam, utamanya para ulama, tokoh masyarakat, para cendekiawan, pelajar, mahasiswa, kaum buruh, petani, aparat dan lainnya untuk berjuang bau-bau bagi tegaknya syariah secara kafah dalam naungan Daulah Khilafah.

“Hanya dengan cara itu saja kerahmatan Islam berupa keadilan, kesejahteraan, kedamaian dan kebaikan lainnya bagi seluruh alam atau rahmatan lil ‘alamin serta terwujudnya negara yang baik yang penuh ampunan (baldah thayyibah warobul ghafur) akan bisa diwujudkan secara nyata,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun

Jumat, 29 September 2023

Kasus Rempang, Aktivis: Jangan Gara-Gara Investasi, Orang Diusir

Tinta Media - Merespons rencana penggusuran masyarakat Rempang atas nama investasi, aktivis dakwah Riau Yadi Isman mengatakan, jangan gara-gara investasi lalu mengusir orang.

“Jangan gara-gara investasi lalu mengusir orang-orang yang lebih dulu tinggal di tempat itu, dan mempunyai hak tinggal di sana, serta mengorbankan kehidupan masyarakat yang ada di sana,” ungkapnya dalam pernyataan sikap: Aksi Damai Bela Rempang melalui kanal Youtube Dakwah Riau Ahad (24/9/2023).

Ustaz Yadi -sapaan akrabnya- mengungkapkan masyarakat Rempang Galang itu adalah masyarakat yang sudah menempati tempat itu lebih kurang 300 tahun sebelum negara ini ada. “Aneh kalau kemudian mereka harus digusur atas nama investasi!” herannya.

Orang-orang yang tinggal di sana dan menempati tempat itu, punya hak tinggal di sana. “Mereka harus dilindungi tidak boleh diusir," tegasnya.

Menurutnya, apa yang terjadi ini akibat penerapan sistem kapitalis sekuler. “Ini harus dihentikan, dan hanya Islam yang bisa menyelesaikan masalah ini,” tutupnya. [] Muhammad Nur

Negara Lebih Mementingkan Oligarki daripada Rakyatnya Sendiri, Bandingkan dengan Islam!

Tinta Media - Jika kita perhatikan dengan seksama, cara-cara pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan lahan yang ada di Rempang yang kemudian berujung kerusuhan, sering kali proses pengambilalihannya tidak manusiawi dan terkesan secara kasat mata hanya mementingkan pihak korporasi. Hal ini sangat beralasan, mengapa? Karena pemerintah lebih menggunakan pendekatan kekuasaan daripada sisi kemanusiaan ketika menghadapi rakyat. Mereka melakukannya secara paksa, seolah yang dihadapi itu bukan rakyat atau bukan manusia, tetapi seperti barang yang mudah dipindah atau direlokasi.

Ini sangat berbeda perlakuannya ketika menghadapi oligarki atau pihak korporasi. Pemerintah seolah begitu tunduk dan patuh memenuhi titahnya untuk mengosongkan pulau Rempang sesuai tenggat waktu yang sudah ditetapkan, yakni hingga 28 September 2023 apa pun caranya.

Jelas sikap pemerintah ini semakin menunjukkan jati diri yang hakiki, yakni sebagai regulator yang hanya berpihak pada kepentingan korporasi, bukan melayani rakyat.

Kenapa bisa demikian? Hal ini dikarenakan penguasa sampai hari ini masih setia menerapkan sistem kapitalisme dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara sehingga dampaknya muncul ketidakadilan.

Akhirnya, dari sistem kapitalisme ini, rakyat jugalah yang menjadi korban proyek oligarki, sebab pembangunan yang dijalankan lebih berpihak kepada oligarki, bukan untuk melayani rakyat.

Keadilan Islam

Sebaliknya, pembangunan dalam Islam mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagai wujud tanggung jawab negara sebagai ra’in atau pengurus rakyat. Hal ini karena Rasulullah saw. pernah bersabda dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari,
“Imam atau khalifah adalah ra’in atau pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.”

Berdasarkan hadis tersebut, negara Islam, yakni Khilafah harus hadir secara benar di tengah masyarakat sesuai dengan aturan Allah Swt.

Negara Khilafah juga harus hadir sebagai penanggung jawab seluruh urusan rakyat melalui penerapan syariat Islam secara kaffah pada seluruh aspek kehidupan. Ini karena fungsi dari pelaksanaan hukum syariat adalah mencegah timbulnya masalah dan konflik di tengah kehidupan manusia. Artinya, negara menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi dengan penyelesaian yang paling adil.

Status Kepemilikan Lahan

Pembangunan dalam Islam hanya ditujukan untuk kemaslahatan rakyat. Status lahan-lahan yang digunakan mengikuti konsep pengaturan tanah dalam Islam.

Islam menegaskan bahwa setiap lahan atau tanah sudah memiliki status kepemilikan yang ditetapkan oleh Allah Swt.
Terdapat tiga jenis kepemilikan lahan atau tanah di dalam Islam.

Pertama, tanah yang boleh dimiliki oleh individu, yaitu tanah pertanian atau ladang perkebunan.

Kedua, tanah yang merupakan kepemilikan umum, yaitu tanah yang di dalamnya terdapat harta milik umum, seperti hutan, tambang, dan infrastruktur umum lainnya.

Dalam Islam, pihak korporasi atau investor dilarang menguasai atau memprivatisasi tanah yang menjadi milik umum, sebab hal itu bisa menghalangi akses bagi orang lain untuk memanfaatkan tanah tersebut yang pada gilirannya memicu terjadinya konflik.

Ketiga, tanah milik negara, yakni tanah yang tidak berpemilik atau tanah yang di atasnya terdapat bangunan milik negara. Tanah ini wajib dikelola oleh negara sepenuhnya.

Pengelolaan Lahan

Islam menetapkan bahwa jika suatu tanah tidak tampak ada tanda-tanda yang memilikinya, maka siapa pun boleh memiliki tanah tersebut dengan catatan dia mau mengelolanya.

Sebaliknya, ketika suatu tanah yang sudah sah dimiliki oleh seseorang, tetapi ditelantarkan dan tidak dikelola atau difungsikan alias terbengkalai hingga tiga tahun lamanya, maka hak kepemilikan atas tanah tersebut otomatis akan hilang dan menjadi milik negara.

Maka, dengan pengaturan seperti ini, meskipun tidak memiliki surat-surat tanah, kepemilikan seseorang atas tanah tersebut akan tetap terjaga. Sebab, kepemilikan itu sudah cukup ditunjukkan dengan adanya pengelolaan atas tanah tersebut.

Jika negara ingin melakukan pembangunan di atas tanah yang sudah menjadi milik warga, maka negara terlebih dahulu harus mendapat izin dari warga yang bersangkutan. Apabila warga menolaknya, negara tidak boleh memaksakan dengan menggusur mereka keluar dari tanah tersebut.

Inilah pengelolaan tanah dan pembangunan dalam Khilafah yang akan membawa kesejahteraan bagi rakyat.

Oleh: Langgeng W Hidayat
(MT Anwarul Iman Surabaya)

Kamis, 28 September 2023

Demi Investasi, Warga Rempang Harus Angkat Kaki

Tinta Media - Malangnya Indonesiaku, konflik perebutan tanah antara rakyat dan penguasa kembali ramai di media sosial. Luka belum sembuh, kini sudah ada luka baru. Teringat peristiwa Wadas pada Selasa (8/2/2022) yang diramaikan oleh tagar #WadasMelawan, #SaveWadas, hingga #WadasTolakTambang. 

Saat ini, warga Rempanglah yang menjadi korban berikutnya. Bentrok antara penduduk di Pulau Rempang dengan aparat keamanan pun tak dapat dihindarkan dan menjadi sorotan banyak pihak. 

Konflik ini dipicu akibat rencana pengembangan kawasan industri baru, proyek Rempang Eco City di Pulau Rempang dan Galang, Batam.

Dilansir dari Kompas.com (8/9/2023), konflik ini dimulai ketika sekelompok warga memblokir jalan ketika tim gabungan hendak melakukan pengukuran lahan untuk memasang patok di sekitar Pulau Rempang. Keributan pecah ketika warga merobohkan pohon dan membakar sejumlah ban di akses jalan masuk, sementara pihak aparat kepolisian mulai menembakkan gas air mata. 

Bentrok antara pihak kepolisian dengan warga pun tak bisa dihindari. Pihak aparat secara membabi buta menembakkan gas air mata kepada warga. Banyak warga yang terluka dan diamankan, bahkan beberapa pelajar harus dilarikan ke rumah sakit. Anak-anak sekolah dasar harus merasakan trauma saat berangkat ke sekolah, dan masih banyak korban lainnya. 

Jika melihat tragedi ini, benarkah rencana pembangunan proyek pabrik kaca terbesar di Indonesia dengan investor Cina tersebut dilakukan untuk kepentingan rakyat? Bukankah ini yang dinamakan demi investasi rudapaksa, rakyat sendiri harus angkat kaki? 

Semua ini terjadi karena sistem negara yang meletakkan kedaulatan di tangan rakyat, pada praktiknya ada di tangan para oligarki. Paradigma kekuasaan negeri ini berlandaskan asas sekularisme kapitalisme neoliberal yang menuhankan kapital dan kebebasan. 

Negara hanya bertindak sebagai regulator (pengatur) kepentingan para korporasi. Jadilah negeri ini negeri korporatokrasi (pemerintahan perusahaan) bentuk pemerintahan yang kewenangannya telah didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar. Penguasa abai dalam mengurus, apalagi melindungi (jiwa) rakyat, termasuk soal kepemilikan lahan dan segala yang menyangkut hajat hidup serta kemaslahatan orang banyak.

Dengan konflik Rempang ini, negara makin rapuh. Kerapuhan ini terjadi karena negara menjadi kaki tangan pengusaha dan investor, serta mengorbankan rakyat. Negara yang menerapkan sistem demokrasi telah menjadikan penguasa membela pemodal sebagai konsekuensi dari menjunjung tinggi kebebasan kepemilikan. 

Konsekuensinya, fungsi negara yang seharusnya mengurusi dan melindungi rakyat makin jauh dari harapan. Tidak ada perlindungan dari negara, malah rakyat merasa dizalimi. Inilah wajah negara sekuler sebenarnya.

Lalu, bagaimana Islam mengatasinya? Dalam Islam, kekuasaan dan kepemimpinan itu merupakan amanah yang wajib ditunaikan oleh penguasa karena akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Sehingga, setiap penguasa akan takut jika kebijakannya membuat rakyat menderita, terutama menyangkut hak kepemilikan lahan. 

Dalam sistem pemerintahan Islam, amanah kepemimpinan sepaket dengan penerapan aturan Islam yang mengatur segala aspek kehidupan. Salah satunya mengenai status kepemilikan lahan. Lahan hunian, pertanian, ladang, kebun, dan lahan-lahan yang telah ditempati merupakan kategori lahan milik individu/pribadi. Hutan, tambang, dan lautan merupakan lahan milik umum. Lahan kosong yang belum dihuni atau dikelola merupakan lahan milik negara.

Berdasarkan pembagian ini, maka negara tidak boleh membuat kebijakan melegalisasi perampasan hak lahan milik individu atau umum. Sedangkan lahan-lahan milik umum, Islam menetapkan pengelolaannya diserahkan pada negara untuk kemaslahatan rakyat. 

Jaminan optimalisasi pemanfaatan lahan semua diatur dalam UU Daulah yang telah disesuaikan dengan hukum syara. Seperti, aturan bagi siapa saja yang telah menelantarkan tanah miliknya selama tiga tahun maka ia akan kehilangan hak kepemilikan. Bagi siapa yang mengelola kembali lahan yang terlantar (tidak tampak pemiliknya selama tiga tahun), maka tanah itu menjadi miliknya.

Sifat para Khalifah yang takut untuk mengambil hak rakyat merupakan bentuk ittiba’ mereka terhadap Rasulullah saw.

“Barang siapa mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka akan dikalungkan kepadanya tujuh lapisan bumi pada hari kiamat nanti.” (HR Muslim)

Seperti pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, beliau kerap melakukan inspeksi untuk memastikan kesejahteraan, keadilan, dan keamanan warganya. Saat itu, beliau pun dengan tegas menegur Gubernur Mesir Amr bin Ash ketika berencana menggusur gubuk reot milik kakek Yahudi untuk proyek perluasan Masjid. Padahal, sebelumnya, Amr bin Ash telah berdiskusi secara baik-baik dengan kakek Yahudi tersebut, bahwa gubuknya akan dibeli dan dibayar dengan harga dua kali lipat.

Nasihat pahit dari Khalifah Umar membuat Amr bin Ash menangis dan menyesali perbuatannya. Kemudian, ia langsung membatalkan rencana penggusuran gubuk milik Yahudi tersebut. Itulah, keadilan hukum Islam yang pernah diterapkan selama berabad-abad.[]

Oleh: Nur Mariana Azzahra, Aktivis Dakwah

Rabu, 27 September 2023

Berpartisipasi dalam Kesultanan, Sejarawan: Penduduk Rempang-Galang Layak Dimuliakan

Tinta Media - Sejarawan, Nicko Pandawa menjelaskan bahwa masyarakat Rempang-Galang layak dimuliakan.

"Masyarakat Rempang-Galang telah berpartisipasi dalam kesultanan, sehingga layak dimuliakan," tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (16/9/2023).

Partisipasinya, ungkapnya, dalam bentuk pengabdian yaitu menjadi pasukan, membuat kapal, membuat senjata, penggalangan kapal, bahkan menjadi utusan, abdi dalem kepada sultan yang ada di Lingga dan Pulau Penyengat.

Bung Nicko, sapaan akrabnya juga menceritakan bahwasanya Batam termasuk Rempang-Galang merupakan bagian dari wilayah kesultanan. 

"Ketika Kesultanan Johor dipecah oleh Inggris dan Belanda lewat Perjanjian London 1824, Johor memiliki wilayah di Semenanjung Kepulauan Riau, pusatnya di Pulau Penyengat. Sedangkan Rempang-Galang ketika masa Kesultanan Riau Lingga tahun 1830, Batam dipimpin oleh anak yang Dipertuanmudakan Raja Ali bin Daeng Kamboja, namanya Raja Isa berdiam di Nongsa. Inilah cikal bakal pemerintahan kesultanan atau wakil kesultanan yang ada di Pulau Batam dan sekitarnya termasuk Rempang-Galang," bebernya panjang lebar.

"Nama Nongsa, imbuhnya, berasal dari nama Raja Isa, yang memiliki nama, timang-timang dari kecil yakni Nong Isa. Sehingga nama tempat di Batam tersebut menjadi Nongsa. Adapun kekuasaan Raja Isa mencakup sampai pulau-pulau Batam dan sekitarnya. Termasuk Rempang-Galang," tambahnya.

Terakhir, ia menegaskan bahwa berdasarkan pengkajian sejarah, Rempang bukanlah tanah kosong. Sudah ada penduduknya sejak dahulu.

"Rempang-Galang ketika dipimpin oleh wakil dari yang Dipertuanmudakan Riau, berarti bukan tanah kosong? Ada penduduknya di situ, yakni suku laut di Riau khususnya Rempang-Galang," pungkasnya.[] Nur Salamah

Kasus Rempang, Buruknya Tata Kelola ala Sistem yang Timpang

Tinta Media - Konflik lahan kembali memantik persoalan. Kini terjadi di Rempang, Batam. Pemantik masalah adalah rebutan lahan yang katanya "milik pemerintah". Rakyat yang tinggal di wilayah tersebut diklaim sebagai "perebut" tanah. Padahal faktanya sudah puluhan tahun tinggal di sana.

Konsep Kapitalisme, Merebut Hak Rakyat

Kasus Rempang tengah memanas. Bentrokan terjadi antara warga Rempang (Batam, Kepulauan Riau) dengan aparat gabungan TNI, Polri dan tim badan pengusaha Batam pada Kamis (7/9) lalu. Warga bersikeras tak mau wilayahnya "dipatok". Warga membela wilayah tinggalnya dengan melempari aparat. Aparat pun membalasnya dengan gas air mata. Puluhan warga dan aparat, terluka. Anak-anak pun banyak yang menjadi korbannya.

Ribuan warga adat Melayu dan berbagai komunitas adat masyarakat mendatangi kantor badan pengusaha Batam. Mereka menyampaikan agar penggusuran segera dihentikan karena menimbulkan masalah. Komunitas adat juga mengecam agar aparat tak melakukan intimidasi dan tekanan kepada warga Rempang.

Konflik lahan menjadi awal mula bentrokan terjadi. Adanya rencana pembangunan Rempang Eco City sejak 2004. Kerja sama antara badan pengusaha Batam dengan pihak swasta, yakni PT Makmur Elok Graha, menghasilkan kebijakan pahit yang harus ditelan masyarakat Rempang. Penggusuran lahan dilakukan aparat sebagai bentuk realisasi proyek pemerintah yang harus sesegera mungkin dimulai.

Pembangunan Rempang City masuk dalam Program Strategis Nasional tahun 2023 sesuai dengan Permenko bidang Perekonomian RI No. 7 tahun 2023. Pembangunan Rempang City ditujukan agar mampu menyedot investasi hingga Rp 381 Trilliun pada tahun 2080 (CNNIndonesia.com, 12/9/2023).

Tak hanya itu, kawasan Rempang pun akan menjadi lokasi pabrik kaca terbesar kedua di dunia, milik China Xinyi Group (CNNIndonesia.com, 12/9/2023). Investasi proyek tersebut diperkirakan mencapai angka Rp 174 Trilliun. Dan diklaim, perusahaan asing ini akan menyerap tenaga kerja hingga 35 ribu tenaga kerja. Sehingga, mampu membuka lapangan pekerjaan bagi rakyat sekitar.
Terkait masalah Rempang, Presiden Jokowi pun angkat bicara. Masalah Rempang perlu ada komunikasi. Terkait biaya ganti rugi lahan, anggaran, dan perizinan harus segera dicarikan solusi yang solutif (CNBCIndonesia.com, 13/9/2023). Demikian ungkap Presiden. Jangan sampai PSN ini membuat rakyat menderita. Lanjutnya.

Konflik lahan begitu sering terjadi di negeri ini, rakyat selalu dalam posisi yang lemah. Tak ada bukti otentik atas kepemilikan lahan menjadi jalan pintas pemerintah, untuk mengklaim hak kepemilikan tanah. Dengan dalih menggenjot perekonomian dalam negeri dan memperbaiki ekonomi masyarakat, pintu investasi dibuka lebar-lebar. Tanpa peduli nasib rakyat.

Di tengah kemiskinan yang makin ekstrim dan langkanya ketersediaan tanah, rakyat harus berhadapan dengan korporasi oligarki bermodal besar. Jelas-jelas, kekuatan rakyat pasti kalah. Rakyat yang tak memiliki kekuatan administrasi tertulis, semakin mudah disingkirkan. Diperparah lagi, usaha pemaksaan dan represif dari pemerintah, membuat rakyat makin tertekan.

Fakta ini membuat kita semua mengelus dada. Prihatin atas segala yang tengah terjadi. Betapa buruknya kebijakan yang ditetapkan negara. Hanya mengutamakan kepentingan para korporasi besar. Tanah dianggap sebagai aset yang dengan mudahnya diobral. Diklaim akan menghasilkan keuntungan. Dan faktanya keuntungan hanya mengalir ke kantong-kantong korporasi oligarki. Sementara, tanah bagi rakyat adalah tempat tinggal yang sudah lama ditinggali. Tempat tinggal bagi rakyat tak hanya sekedar nilai material, namun juga memiliki nilai historis tersendiri.

Betapa kejamnya tata kelola ala kapitalisme. Selalu memenangkan pihak yang bermodal besar. Negara dengan sigapnya membuat regulasi terkait sengketa lahan ini. Sementara rakyat Rempang hanya bisa gigit jari. Hanya bisa sekuat tenaga mempertahankan lahan yang ada. Tanpa ada sedikit pun kekuatan hukum. Kebijakan yang timpang ini, sudah pasti akan menyengsarakan rakyat.

Lantas, untuk apa Proyek Strategis Nasional digalakkan jika hanya mengorbankan kehidupan rakyat? Kebijakan negara makin nyata mengarah pada pihak yang berkekuatan finansial.

Islam Menjaga Kepentingan Rakyat

Sistem Islam mengatur setiap segi kehidupan dengan sempurna. Dan memiliki konsep yang jelas tentang pengelolaan lahan tempat tinggal milik rakyat. Satu lagi, konsep Islam juga senantiasa memprioritaskan kepentingan rakyat.

Sistem Islam, berdiri kokoh di atas akidah Islam. Dengan aturan syara', pemimpin ditetapkan fungsinya sebagai pennggembala rakyatnya. Penggembala yang mampu sekuat tenaga menjaga kepentingan rakyatnya.

Dari Ibnu ‘Umar r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin (ra’in) dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang pasti akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya”. (HR Bukhari).

Rakyat adalah tanggung jawab penuh para pemimpinnya. Pemimpin akan menjaga rakyat seoptimal mungkin, sebagai bentuk ketundukannya kepada syariat Allah SWT. Kebijakan-kebijakan yang ada ditetapkan untuk menjaga kepentingan rakyat.

Dalam sistem ekonomi Islam, lahan memiliki tiga status kepemilikan. Pertama, milik individu, yakni lahan hunian, pertanian, ladang, kebun, dan sejenisnya. Kedua, lahan milik umum, yaitu hutan, tambang, dan sejenisnya. Ketiga, lahan milik negara, yakni lahan yang tak berpemilik dan yang di atasnya terdapat harta negara, seperti bangunan milik negara, perkantoran, dan sejenisnya.

Sehingga jelas hukumnya terlarang dalam koridor hukum syara’, saat lahan hunian milik rakyat diambil oleh negara. Legalisasi macam apapun akan tertolak hukumnya jika melanggar hak-hak rakyat. Karena kepentingan rakyat adalah prioritas yang harus dilayani negara seutuhnya. Hanya dengan konsep Islam-lah, rakyat terjaga dengan sempurna. Konsep Islam yang diterapkan dalam wadah institusi khas, yakni Khil4f4h. Sesuai teladan Rasulullah SAW.
Wallahu a'lam bisshowwab.

Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor

Kiai Labib: Apa yang Terjadi di Rempang adalah Perampasan Tanah oleh Negara

Tinta Media - Ulama Ahlu Sunnah Wal Jama'ah KH Rokhmat S Labib menjelaskan, apa yang terjadi di Rempang adalah perampasan tanah oleh negara yang diberikan kepada oligarki bahkan kepada asing.
 
"Apa yang terjadi di Rempang itu adalah perampasan tanah oleh negara untuk diberikan kepada oligarki bahkan kepada asing," tuturnya dalam tayangan Perampasan Tanah: Haram! Jumat (22/9/2023) di kanal Youtube Bincang Perubahan.
 
 Menurut Kiai Labib, yang terjadi sekarang betul-betul perampasan tanah karena tanah itu secara sah dimiliki oleh penduduk rempang di sana.
 
"Terbukti kita semua tahu bahwa mereka sudah mendiami secara turun-temurun di tanah tersebut sejak ratusan tahun lalu sebelum Indonesia merdeka. Mereka  saat itu sudah berada di bawah kekuasaan  kerajaan di Riau.  Begitu Indonesia merdeka dan Sultan Kasim menyerahkan kekuasaan kepada Indonesia maka mereka  secara wilayah ikut Indonesia," sambungnya.
 
 Lantas ia menekankan,  hal itu tidak membuat tanah yang dimiliki secara turun temurun itu lalu  beralih kepada pemerintah,  karena negara tidak punya hak tanah yang sudah dimiliki oleh warga. Tanah yang sudah jelas menjadi milik warga baik itu hasil membeli atau mendapatkan warisan itu adalah milik rakyat. Negara sama sekali tidak boleh mengambil apa yang sudah menjadi milik rakyat.
 
 “Dalam Islam sudah jelas sekali disebutkan bahwa mengambil tanah secara zalim itu merupakan sebuah kezaliman dan sebuah dosa besar,” tandasnya.
 
Kiai Labib mengutip, sabda  Rasulullah saw. “Siapa yang mengambil  tanah secara zalim walau hanya sejengkal maka Allah akan timpakan kepada dia itu tujuh lapis bumi kepadanya.”
 
 "Begitu dahsyatnya siksa yang Allah berikan kepada orang yang mengambil tanah orang lain secara sepihak secara zalim. Nabi memberikan perumpamaan sejengkal itu artinya mafhum mukhalafah, muwafakahnya  kalau sejengkal saja itu siksanya seperti itu apalagi satu kilometer,  apalagi satu hektar, apalagi satu pulau itu tentu dahsyat sekali," ungkapnya menegaskan.
 
Menurut Kiai Labib, kalimat Jokowi yang mengatakan ‘masak urusan Rempang saja harus Presiden turun tangan,’  menunjukkan bahwa dia sudah memasrahkan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri).

“Kalau Kapolri itu artinya ‘gebuk’, enggak ada kapolri negosiasi atau hukum segala macam enggak ada. Artinya Jokowi sudah tidak mau lagi untuk melakukan negosiasi dan sudah tutup pintu tidak mau melakukan itu.  Pada forum lain dia juga mengancam kalau Kapolri  tidak bisa menyelesaikan akan dicopot,” ulasnya.
 
Bahasa Kekerasan
 
Menurut Kiai Labib, bahasanya itu sudah bahasa kekerasan bukan lagi  bisa dinegosiasi dan segala macam. "Kemudian kalau ini masalahnya cuman komunikasi artinya dia tidak memahami hakikat persoalan. Dikomunikasikan bahwa mereka akan dapat tanah, rumah  tipe 45 dan 500 meter.  Lah sudah jelas kok, penduduk Rempang itu tidak mau pindah dari tempatnya," ujarnya.
 
Menurutnya, ini merupakan satu tindakan yang sangat kejam. Kiai Labib heran,  tidak tampak perlawanan dari pejabat atau wakil-wakil rakyat yang ada di sana di Batam atau di Kepulauan Riau (Kepri) yang menunjukkan bahwa mereka  mewakili warga.
 
“Yang sekarang terjadi itu betul-betul warga menghadapi polisi, sementara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR ) yang mereka dipilih oleh rakyat untuk  mewakili mereka,  tidak kelihatan gagah perkasa untuk membela rakyatnya," sesalnya.
 
Kiai Labib menduga, jika pemerintah berhasil menguasai  dan mengosongkan pulau Rempang,  tidak menutup kemungkinan pulau-pulau lain akan dilakukan hal yang sama tanpa ada perlawanan.
 
"Sebenarnya yang disebut sebagai tanah air harga mati segala macam itu sudah enggak ada karena tanah itu sudah dijual penguasa-penguasa  kepada oligarki Cina," pungkasnya. [] Muhammad Nur

Selasa, 26 September 2023

Tindakan Represif Aparat dan Ultimatum Pengosongan Pulau Rempang, BKLDK: Zalim!

Tinta Media - Sekretaris Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus (BKLDK) wilayah Riau Teddy Panggabean mengungkapkan,  tindakan represif aparat dan ultimatum pengosongan Pulau Rempang  oleh pemerintah adalah perbuatan zalim dan berbahaya.

 

"Menurut syariat Islam,  dan Peraturan Perundang-undangan di Republik Indonesia dan prinsip Free Prior and Informant Consent ( FPIC),  tindakan represif aparat dan ultimatum pengosongan Pulau Rempang khususnya di wilayah 16 kampung tua oleh pemerintah adalah perbuatan zalim dan berbahaya," ujarnya saat menyampaikan salah satu poin pernyataan sikap dalam Aksi Damai Bela Rempang, Sabtu (23/9/2023) di kanal Youtube Dakwah Riau.

 

Dalam pernyataannya, ia mengungkapkan, berdasarkan bukti-bukti historis dan empiris di lapangan, penduduk Melayu Rempang bukanlah pendatang,  akan tetapi mereka adalah penduduk asli yang telah menempati wilayah tersebut sejak tahun 1719.

 

 "Mereka juga memberikan kontribusi terhadap Negara Republik Indonesia ini dengan ikut berjuang dalam perang Riau satu dan juga perang Riau dua," terangnya.

 

Seandainya penduduk Rempang hari ini, sambungnya, belum mempunyai sertifikat atas lahan tanah dan pekarangan maka itu adalah kelalaian daripada negara atas ketidakpedulian pemerintah terhadap urusan rakyatnya.

 

“Seandainya mereka berada dalam kawasan hutan, maka bukankah jutaan hektar kelapa sawit ilegal dan kawasan hutan akan diputihkan oleh pemerintah dengan alasan keterlanjuran," tegasnya.

 

 Terakhir Teddy menegaskan,  menolak mega proyek Rempang Eco City karena berpotensi mengorbankan kepentingan rakyat khususnya masyarakat  Pulau Rempang dan Galang.

 

“Menyerukan kepada seluruh masyarakat Melayu dan seluruh rakyat Indonesia untuk merapatkan barisan bersatu menentang segala bentuk neoimperialisme dan tidak membiarkan negara takluk pada oligarki," tutupnya.[] Muhammad Nur

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab