Dampak Negatif Remisi dalam Penindakan Kejahatan
Tinta Media - Remisi atau pemotongan hukuman penjara pada pelaku kejahatan kini telah menjadi program rutin dalam rangka memperingati hari besar nasional dan keagamaan di Indonesia. Bagi negara, adanya remisi dianggap mampu mengatasi over kapasitas serta mengurangi pengeluaran anggaran. Sayangnya, negara terkesan kurang mempertimbangkan dampaknya. Selain tidak memberikan efek jera, hal ini secara tidak langsung mendorong terjadinya kejahatan yang lebih besar, beragam, sadis, dan mengerikan.
Sejarah remisi sendiri bermula pada masa Hindia Belanda. Pada saat itu, tahanan tertentu diberikan remisi secara subjektif untuk merayakan hari ulang tahun Ratu Belanda pada 10 Agustus 1935. Berdasarkan Keppres No. 174/1999, terdapat tiga jenis remisi yang tersedia, yaitu Remisi Umum, Remisi Khusus, dan Remisi Tambahan. Selain diberikan saat hari raya dan Hari Kemerdekaan, remisi juga diberikan kepada tahanan yang dianggap berjasa bagi negara atau membantu dalam kegiatan penjara.
Pada hari ulang tahun ke-79 Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Yasonna H. Laoly, mengumumkan bahwa sebanyak 176.984 narapidana dan Anak Binaan di Indonesia menerima Remisi Umum (RU) dan Pengurangan Masa Pidana Umum (PMPU) dengan besaran remisi dan pengurangan masa pidana antara 1 hingga 6 bulan. Penerima remisi dan pengurangan masa pidana terbanyak berada di Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Program remisi dan pengurangan masa pidana ini dianggap dapat menghemat dana negara sebesar Rp 274,36 miliar dalam pemberian makan kepada narapidana dan Anak Binaan serta telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Tempo.com 18/8/2024)
Penyebaran kasus kejahatan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir memang semakin beragam dan kejam. Misalnya saja berbagai kasus kejahatan seperti mutilasi, kejahatan seksual, dan korupsi semakin meningkat. Dampaknya, penjara di Indonesia mengalami over kapasitas. Dan jika mengutip data Ditjen PAS Kemenkumham, terdapat 526 penjara dan rutan di seluruh Indonesia, 399 di antaranya mengalami over kapasitas. Dan sejak 2020 terjadi peningkatan narapidana hampir lima kali lipat dibandingkan pada 2000.
Kejahatan yang semakin meningkat saat ini dipengaruhi oleh sistem kehidupan yang ada, yaitu sekuler kapitalisme. Hal ini disebabkan karena sistem tersebut menjauhkan agama dari kehidupan, dan menjadikan manusia yang bersifat materialistis serta hanya memenuhi hasrat diri sendiri, tanpa memikirkan akibatnya pada orang lain.
Sistem pendidikan yang hanya terfokus pada keterampilan kerja, namun mengabaikan nilai-nilai agama, juga menghasilkan individu pintar yang hanya mencari kepuasan diri dan keuntungan pribadi. tanpa memperhatikan kemaslahatan umat manusia. Karena itu, masyarakat yang hidup dalam sistem sekuler kapitalistik cenderung menghalalkan segala cara demi memenuhi kebutuhan dan keinginannya, dan mengabaikan kerugian yang ditimbulkan pada orang lain, sehingga menyebabkan maraknya kejahatan.
Sementara Negara saat ini hanya berfungsi sebagai penjaga sistem tersebut, dengan menyingkirkan agama dan syariatnya dari tata kelola pemerintahan. Sehingga Kebijakan yang di keluarkan pun tak lepas dari untung rugi perhitungan materi tanpa berpikir dampak baik dan buruk bagi masyarakat yang di pimpinnya.
Masalah lainnya ada pada sistem pidana yang digunakan saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berasal dari warisan hukum Belanda. Meskipun KUHP telah diubah pada tahun 2023, namun hakikatnya masih buatan manusia sehingga mudah berubah dan disalahgunakan.
Hal ini menyebabkan para pelaku kejahatan yang memiliki kekuatan uang, dengan mudahnya membeli hukum, bahkan membeli kebebasan. Jika pun tidak , mereka bisa membeli kemewahan di dalam lapas, sembari menunggu adanya remisi yang membuat hukuman berkurang berkali-kali dalam setahun. Sehingga hukuman yang di jalani menjadi lebih pendek dan ringan. Misalnya, narapidana kasus korupsi mendapatkan cuti bebas tiga bulan dari tahanannya dan setelah itu menjadi tahanan kota. Kondisi seperti ini tentunya membuat sulit dalam mengatasi kejahatan, apalagi mewujudkan keadilan serta keamanan seperti yang diharapkan.
Berbeda dengan sistem Islam, negara diwajibkan berperan aktif dalam mencegah kejahatan dan mewujudkan kebaikan. Serta bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya dengan semua aturan yang ditetapkan Allah. Sebab terlaksananya hukum dan peraturan secara baik dan efektif dalam suatu tatanan masyarakat, tidak bisa dilepaskan dari peranan negara.
Dan Islam memiliki mekanisme untuk mencegah dan memberantas tindak kejahatan sehingga tingkat kejahatan sangat rendah. Yaitu dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam melindungi masyarakat dan setidaknya ada tiga pilar penegakan hukum terwujud dengan sempurna, yaitu ketakwaan individu, penerapan amar makruf nahi mungkar oleh masyarakat, serta pemberlakuan sistem sanksi yang adil dan tegas oleh negara.
Di dalam sistem Islam, negara menjamin kesejahteraan rakyat secara individu, baik dengan jaminan langsung maupun tidak langsung. Jaminan tersebut menjamin kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Negara juga mengurus fakir miskin dengan memberikan santunan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sementara Sistem pendidikan Islam juga membentuk individu yang beriman dan bertakwa yang menjauhkan mereka dari perbuatan tercela yang merugikan diri sendiri maupun manusia lainnya.
Namun sistem sanksi dalam Islam juga tegas dan menjerakan dengan berbagai jenis hukuman, termasuk hudud, jinayah, takzir, dan mukhalafat. Sehingga setiap pelaku kejahatan akan dikenai sanksi yang sesuai, tanpa memandang siapa pun mereka, dan ketetapan hukum Allah tidak pernah berubah, sehingga tidak akan ada pengurangan hukuman.
Jadi kesimpulannya adanya masalah tahanan over kapasitas saat ini adalah wujud kegagalan negara dalam mengatasi masalah kejahatan, serta lemahnya sistem hukum yang diterapkan saat ini, karena memiliki banyak celah yang bersahabat dengan para pelaku kejahatan. Oleh karena itu, solusi mengatasi masalah ini bukanlah memberikan remisi, melainkan perlu dilakukan perombakan total terhadap regulasi bahkan sistem yang ada saat ini, sebagai akar penyebab munculnya banyak masalah.
Maka sudah sepatutnya kita menyadari betapa pentingnya memiliki sistem yang lebih baik, mampu adil dan tegas agar pelaku kejahatan menjadi jera sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah SWT. Dan hanya dengan menerapkan sistem Islam, niscaya manusia akan hidup dengan penuh kesejahteraan dan kedamaian karena tingkat kejahatan sangat rendah.
Wallahu 'alam.
Oleh: Indri Wulan Pertiwi, Aktivis Muslimah Semarang