Ahmad Sastra: Ada Relasi Kontraproduktif antara Penguasa dan Rakyat dalam KUHP
Tinta Media - Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa Dr. Ahmad Sastra menganggap ada relasi yang kontraproduktif antara penguasa dan rakyat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah disahkan.
“Melalui KUHP ini seolah relasi penguasa dan rakyat kontraproduktif,” ujarnya kepada Tinta Media, Senin (19/12/2022).
Ia menegaskan relasi penguasa dan rakyat bersifattidak (mampu) menghasilkan hal baik atau tidak saling menguntungkan.
“Padahal pemimpin adalah pelayan rakyat, bukan bos dan rakyat pembantunya,” tegasnya.
Hal ini berkaitan dengan kontroversi pengesahan RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) pada Selasa, 6/12/2022 dalam rapat paripurna oleh DPR dan pemerintah di kompleks parlemen.
“Setelah banyak protes dari masyarakat karena menyelisihi demokrasi, pengesahan RKUHP ini terkesan dikebut, masih terdapat banyak substansi yang kontroversial, khususnya dilema relasi antara penguasa dan rakyatnya yang diurus,” bebernya.
Menurutnya, minimnya partisipasi publik dengan dikebutnya pengesahan RKUHP seolah menunjukkan DPR dan pemerintah seolah tidak mengindahkan kritik dan masukan publik.
“Padahal sejumlah kalangan publik dari mulai jurnalis, praktisi hukum, hingga aktivis HAM dan mahasiswa melihat materi dalam draf RKUHP masih kacau dan memuat pasal-pasal bermasalah,” tuturnya.
Ia menunjukkan draf RKUHP dalam pasal-pasal bermasalah, antara lain Pasal 218 ayat (1) dan ayat (2). Pasal 218 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara maksimal tiga tahun atau denda paling banyak Rp 200 juta. Dan ayat (2) menyatakan bahwa hal tersebut tidak berlaku jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
“Maksud dari penjelasan Pasal 218 ayat (2) tentang dilakukan untuk kepentingan umum adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan salah satunya lewat aksi unjuk rasa atau demonstrasi, kritik, atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan presiden dan/atau wakil presiden. Maka aksi atau kebebasan berekspresi itu pun diberi embel-embel bersifat konstruktif,” kritiknya.
Ia menilai dalam RKUHP penguasa memosisikan dirinya sebagai pihak yang selalu benar dan menolak masukan, protes, nasihat, dan sejenisnya dari rakyat.
“Padahal kata penghinaan adalah pasal karet yang bisa multitafsir, dikhawatirkan nasihat dan protes rakyat nanti dianggap sebagai bentuk penghinaan,” nilainya.
Pasal 192 menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan makar dengan maksud supaya sebagian atau seluruh wilayah NKRI jatuh kepada kekuasaan asing untuk memisahkan diri dari NKRI dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara maksimal 20 tahun.
“Pasal ini juga kontroversial dan agak aneh sebenarnya, jika mau berpikir secara mendalam, justru dengan menerapkan ideologi kapitalisme sekuler liberal, negeri ini bisa tergadaikan kepada oligarki asing dan aseng,” ujarnya.
Ia berpendapat makar yang sesungguhnya adalah penerapan kapitalisme sekuler liberal. Oligarki asing dan aseng makin kaya di negeri ini, sementara rakyat makin sengsara.
“Hingga hari ini hampir tak tersisa lagi sumber daya alam milik rakyat kecuali dikuasai oleh asing dan aseng,” ucapnya.
Pasal 193 ayat (1) mengatur setiap orang yang melakukan makar dengan maksud menggulingkan pemerintah, dipidana penjara paling lama 12 tahun. Sementara Pasal 193 ayat (2) menyatakan pemimpin atau pengatur makar dipidana dengan pidana penjara maksimal 15 tahun.
“Pasal ini juga bisa jadi pasal karet multiinterpretasi bagi rakyat yang menginginkan negeri ini menjadi lebih baik. Padahal ideologi transnasional demokrasi kapitalisme sekuler liberal yang diterapkan di negeri ini terbukti telah menyengsarakan rakyat,” tuturnya.
Pada Pasal 188 paragraf 1 disebutkan tentang penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme, Leninisme, atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan dan mengembangkan melalui media apa pun, dipidana penjara paling lama 4 tahun.
“Memahami pasal ini, maka salah satu paham yang bertentangan dengan Pancasila justru sedang diterapkan di negeri ini, seperti sekularisme, kapitalisme, liberalisme, pluralisme, feminisme, dan banyak isme lainnya,” katanya.
“Berbeda dengan Islam, dalam hampir semua kajian akademik tidak ada yang berpendapat bahwa Islam itu bertentangan dengan Pancasila bahkan secara historis ada yang berpendapat Pancasila sebagai hadiah terbesar umat Islam untuk negeri ini,” imbuhnya.
Ia mengungkapkan secara politik yang terjadi sebaliknya, penyebaran ajaran Islam sering kali dianggap bertentangan dengan Pancasila, seperti syariah dan khilafah. Pasal 188 ini sangat rawan ditafsirkan secara serampangan sehingga dakwah-dakwah Islam bisa dijadikan sasaran tuduhan anti Pancasila.
“Padahal keduanya bukan isme, melainkan bagian dari ajaran Islam. Logikanya jika Islam tidak bertentangan dengan Pancasila berarti seluruh ajarannya juga tidak bertentangan, menyebutkan ajaran khilafah sebagai isme adalah kebodohan,” ungkapnya.
Menurutnya Pasal 188 ini akan menyuburkan kapitalisme, liberalisme, sekularisme, dan pluralisme yang jelas bertentangan dengan Pancasila akan terus tumbuh. Sementara tuduhan keji seperti radikalisme, terorisme, fundamentalisme justru sering disasarkan kepada umat Islam.
Dr. Ahmad mengatakan dalam draf RKUHP Pasal 349 tercantum delik aduan, yakni mengatur ancaman pidana bagi penghina lembaga negara seperti DPR, DPRD, Kejaksaan, hingga Polri. Lembaga negara ini harus dihormati oleh rakyat karena mereka adalah pelayan rakyat.
“Pada ayat 1 disebutkan bahwa setiap orang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara, dapat dipidana hingga 1,5 tahun penjara, ancaman pidananya bisa diperberat jika penghinaan menyebabkan kerusuhan,” katanya.
Sedangkan pada Pasal 350, pidana bisa diperberat hingga dua tahun jika penghinaan dilakukan di media sosial.
“Dengan pasal seperti ini tentu saja rakyat akan takut bersuara, khawatir suaranya ditafsirkan berbeda oleh penguasa sebagai penafsir tunggal atas hak bersuara yang dimiliki oleh rakyat. Seyogianya jika pelayan rakyat bersalah dan tidak melayani rakyat, maka rakyat jelas berhak mengingatkan,” bebernya.
Ia menilai istilah menghina kekuasaan sangat multiinterpretasi. Penafsirannya sangat bergantung kepada penguasa, pasal ini seolah menempatkan penguasa sebagai penafsir tunggal atas hak bersuara yang dimiliki oleh rakyat.
“Menempatkan diri sebagai penafsir tunggal, sama saja dengan menempatkan diri sebagai yang benar dan tidak pernah salah. Khawatir dengan pasal ini bisa menafsirkan sebagai delik aduan ketika rakyat melakukan kritik atas kesalahan penguasa, bisa saja kan?” nilainya.
Draf RKUHP turut memuat ancaman pidana atau denda bagi penyelenggara demonstrasi tanpa pemberitahuan dan tertuang dalam Pasal 256. “Pasal ini menuai banyak kritik dengan alasan mudah dalam mengriminalisasi dan membungkam kebebasan berpendapat. Koalisi masyarakat sipil mengatakan pada praktiknya polisi kerap mempersulit izin demo,” ucapnya.
Menurutnya, konsistensi demokrasi di dalam pasal ini dipertanyakan sebab seolah penguasa melakukan pembungkaman atas hak bersuara rakyat.
“Sekali lagi hal ini menunjukkan bahwa ada paradigma yang salah dalam RKUHP terkait konstruksi relasi antara penguasa dan rakyatnya,” tuturnya.
Pada Pasal 263 ayat (1) dijelaskan bahwa seseorang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dapat dipenjara paling lama 6 tahun atau denda Rp 500 juta.
“Kemudian pada ayat berikutnya dikatakan setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal patut diduga berita bohong dan dapat memicu kerusuhan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda Rp 200 juta,” ujarnya.
Lebih lanjut, dalam Pasal 264 menyatakan bahwa seseorang yang membuat dan menyebarkan berita tersebut (penyiaran berita yang dianggap tidak pasti dan berlebihan), dapat dipenjara 2 tahun atau denda paling banyak Rp 10 juta.
“Jelas pasal ini menunjukkan relasi yang salah antara penguasa dan rakyat terutama soal tafsir dan penafsiran. Sebab di saat rakyat atau pers melakukan siaran terancam oleh bayang-bayang penjara,” lanjutnya.
Pasal ini telah menimbulkan suasana tidak kondusif bagi dikursus sosial politik di negeri ini, dan berpotensi merusak relasi antara penguasa dan rakyat. Ia berpandangan relasi penguasa dan rakyat dalam KUHP ini bertentangan 180° dengan relasi dalam Islam. Mengutip perkataan Kaab al-Akhbat ra. dari Ibnu Qutaibah (w. 276H) bahwa perumpamaan antara Islam, kekuasaan dan rakyat adalah laksana tenda besar, tiang , dan tali pengikat serta pasaknya.
“Tenda besarnya adalah Islam, tiangnya adalah kekuasaan, tali pengikat dan pasaknya adalah rakyat, satu bagian tidak akan baik tanpa bagian yang lainnya. Dalam relasi Islam antara penguasa dan rakyat saling menguatkan,” pungkasnya. [] Ageng Kartika