Tinta Media: Relasi
Tampilkan postingan dengan label Relasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Relasi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 20 Desember 2022

Ahmad Sastra: Ada Relasi Kontraproduktif antara Penguasa dan Rakyat dalam KUHP

Tinta Media - Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa Dr. Ahmad Sastra menganggap ada relasi yang kontraproduktif antara penguasa dan rakyat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah disahkan.

“Melalui KUHP ini seolah relasi penguasa dan rakyat kontraproduktif,” ujarnya kepada Tinta Media, Senin (19/12/2022).

Ia menegaskan relasi penguasa dan rakyat bersifattidak (mampu) menghasilkan hal baik atau tidak saling menguntungkan.

“Padahal pemimpin adalah pelayan rakyat, bukan bos dan rakyat pembantunya,” tegasnya.

Hal ini berkaitan dengan kontroversi pengesahan RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) pada Selasa, 6/12/2022 dalam rapat paripurna oleh DPR dan pemerintah di kompleks parlemen.

“Setelah banyak protes dari masyarakat karena menyelisihi demokrasi, pengesahan RKUHP ini terkesan dikebut, masih terdapat banyak substansi yang kontroversial, khususnya dilema relasi antara penguasa dan rakyatnya yang diurus,” bebernya.

Menurutnya, minimnya partisipasi publik dengan dikebutnya pengesahan RKUHP seolah menunjukkan DPR dan pemerintah seolah tidak mengindahkan kritik dan masukan publik.

“Padahal sejumlah kalangan publik dari mulai jurnalis, praktisi hukum, hingga aktivis HAM dan mahasiswa melihat materi dalam draf RKUHP masih kacau dan memuat pasal-pasal bermasalah,” tuturnya.

Ia menunjukkan draf RKUHP dalam pasal-pasal bermasalah, antara lain Pasal 218 ayat (1) dan ayat (2). Pasal 218 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara maksimal tiga tahun atau denda paling banyak Rp 200 juta. Dan ayat (2) menyatakan bahwa hal tersebut tidak berlaku jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

“Maksud dari penjelasan Pasal 218 ayat (2) tentang dilakukan untuk kepentingan umum adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan salah satunya lewat aksi unjuk rasa atau demonstrasi, kritik, atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan presiden dan/atau wakil presiden. Maka aksi atau kebebasan berekspresi itu pun diberi embel-embel bersifat konstruktif,” kritiknya.

Ia menilai dalam RKUHP penguasa memosisikan dirinya sebagai pihak yang selalu benar dan menolak masukan, protes, nasihat, dan sejenisnya dari rakyat. 
“Padahal kata penghinaan adalah pasal karet yang bisa multitafsir, dikhawatirkan nasihat dan protes rakyat nanti dianggap sebagai bentuk penghinaan,” nilainya.

Pasal 192 menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan makar dengan maksud supaya sebagian atau seluruh wilayah NKRI jatuh kepada kekuasaan asing untuk memisahkan diri dari NKRI dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara  maksimal 20 tahun.

“Pasal ini juga kontroversial dan agak aneh sebenarnya, jika mau berpikir secara mendalam, justru dengan menerapkan ideologi kapitalisme sekuler liberal, negeri ini bisa tergadaikan kepada oligarki asing dan aseng,” ujarnya.

Ia berpendapat makar yang sesungguhnya adalah penerapan kapitalisme sekuler liberal. Oligarki asing dan aseng makin kaya di negeri ini, sementara rakyat makin sengsara.
“Hingga hari ini hampir tak tersisa lagi sumber daya alam milik rakyat kecuali dikuasai oleh asing dan aseng,” ucapnya.

Pasal 193 ayat (1) mengatur setiap orang yang melakukan makar dengan maksud menggulingkan pemerintah, dipidana penjara paling lama 12 tahun. Sementara Pasal 193 ayat (2) menyatakan pemimpin atau pengatur makar dipidana dengan pidana penjara maksimal 15 tahun.

“Pasal ini juga bisa jadi pasal karet multiinterpretasi bagi rakyat yang menginginkan negeri ini menjadi lebih baik. Padahal ideologi transnasional demokrasi kapitalisme sekuler liberal yang diterapkan di negeri ini terbukti telah menyengsarakan rakyat,” tuturnya.

Pada Pasal 188 paragraf 1 disebutkan tentang penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme, Leninisme, atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan dan mengembangkan melalui media apa pun, dipidana penjara paling lama 4 tahun.

“Memahami pasal ini, maka salah satu paham yang bertentangan dengan Pancasila justru sedang diterapkan di negeri ini, seperti sekularisme, kapitalisme, liberalisme, pluralisme, feminisme, dan banyak isme lainnya,” katanya. 

“Berbeda dengan Islam, dalam hampir semua kajian akademik tidak ada yang berpendapat bahwa Islam itu bertentangan dengan Pancasila bahkan secara historis ada yang berpendapat Pancasila sebagai hadiah terbesar umat Islam untuk negeri ini,” imbuhnya.

Ia mengungkapkan secara politik yang terjadi sebaliknya, penyebaran ajaran Islam sering kali dianggap bertentangan dengan Pancasila, seperti syariah dan khilafah. Pasal 188 ini sangat rawan ditafsirkan secara serampangan sehingga dakwah-dakwah Islam bisa dijadikan sasaran tuduhan anti Pancasila.

“Padahal keduanya bukan isme, melainkan bagian dari ajaran Islam. Logikanya jika Islam tidak bertentangan dengan Pancasila berarti seluruh ajarannya juga tidak bertentangan, menyebutkan ajaran khilafah sebagai isme adalah kebodohan,” ungkapnya.

Menurutnya Pasal 188 ini akan menyuburkan kapitalisme, liberalisme, sekularisme, dan pluralisme yang jelas bertentangan dengan Pancasila akan terus tumbuh. Sementara tuduhan keji seperti radikalisme, terorisme, fundamentalisme justru sering disasarkan kepada umat Islam.

Dr. Ahmad mengatakan dalam draf RKUHP Pasal 349 tercantum delik aduan, yakni mengatur ancaman pidana bagi penghina lembaga negara seperti DPR, DPRD, Kejaksaan,  hingga Polri. Lembaga negara ini harus dihormati oleh rakyat karena mereka adalah pelayan rakyat.

“Pada ayat 1 disebutkan bahwa setiap orang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara, dapat dipidana hingga 1,5 tahun penjara, ancaman pidananya bisa diperberat jika penghinaan menyebabkan kerusuhan,” katanya.

Sedangkan pada Pasal 350, pidana bisa diperberat hingga dua tahun jika penghinaan dilakukan di media sosial. 

“Dengan pasal seperti ini tentu saja rakyat akan takut bersuara, khawatir suaranya ditafsirkan berbeda oleh penguasa sebagai penafsir tunggal atas hak bersuara yang dimiliki oleh rakyat. Seyogianya jika pelayan rakyat bersalah dan tidak melayani rakyat, maka rakyat jelas berhak mengingatkan,” bebernya. 

Ia menilai istilah menghina kekuasaan sangat multiinterpretasi. Penafsirannya sangat bergantung kepada penguasa, pasal ini seolah menempatkan penguasa sebagai penafsir tunggal atas hak bersuara yang dimiliki oleh rakyat.

“Menempatkan diri sebagai penafsir tunggal, sama saja dengan menempatkan diri sebagai yang benar dan tidak pernah salah. Khawatir dengan pasal ini bisa menafsirkan sebagai delik aduan ketika rakyat melakukan kritik atas kesalahan penguasa, bisa saja kan?” nilainya.
 
Draf RKUHP turut memuat ancaman pidana atau denda bagi penyelenggara demonstrasi tanpa pemberitahuan dan tertuang dalam Pasal 256. “Pasal ini menuai banyak kritik dengan alasan mudah dalam mengriminalisasi dan membungkam kebebasan berpendapat. Koalisi masyarakat sipil mengatakan pada praktiknya polisi kerap mempersulit izin demo,” ucapnya.

Menurutnya, konsistensi demokrasi di dalam pasal ini dipertanyakan sebab seolah penguasa melakukan pembungkaman atas hak bersuara rakyat.

“Sekali lagi hal ini menunjukkan bahwa ada paradigma yang salah dalam RKUHP terkait konstruksi relasi antara penguasa dan rakyatnya,” tuturnya.

Pada Pasal 263 ayat (1) dijelaskan bahwa seseorang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dapat dipenjara paling lama 6 tahun atau denda Rp 500 juta.
“Kemudian pada ayat berikutnya dikatakan setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal patut diduga berita bohong dan dapat memicu kerusuhan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda Rp 200 juta,” ujarnya.

 Lebih lanjut, dalam Pasal 264 menyatakan bahwa seseorang yang membuat dan menyebarkan berita tersebut (penyiaran berita yang dianggap tidak pasti dan berlebihan), dapat dipenjara 2 tahun atau denda paling banyak Rp 10 juta.

 “Jelas pasal ini menunjukkan relasi yang salah antara penguasa dan rakyat terutama soal tafsir dan penafsiran. Sebab di saat rakyat atau pers melakukan siaran terancam oleh bayang-bayang penjara,” lanjutnya.

Pasal ini telah menimbulkan suasana tidak kondusif bagi dikursus sosial politik di negeri ini, dan berpotensi merusak relasi antara penguasa dan rakyat. Ia berpandangan relasi penguasa dan rakyat dalam KUHP ini bertentangan 180° dengan relasi dalam Islam. Mengutip perkataan Kaab al-Akhbat ra. dari Ibnu Qutaibah (w. 276H) bahwa perumpamaan antara Islam, kekuasaan dan rakyat adalah laksana tenda besar, tiang , dan tali pengikat serta pasaknya.

“Tenda besarnya adalah Islam, tiangnya adalah kekuasaan, tali pengikat dan pasaknya adalah rakyat, satu bagian tidak akan baik tanpa bagian yang lainnya. Dalam relasi Islam antara penguasa dan rakyat saling menguatkan,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Selasa, 13 Desember 2022

MENYOAL RELASI PENGUASA DAN RAKYAT DI KUHP

Tinta Media - Setelah banyak protes dari masyarakat terkait kontroversi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) karena menyelisihi demokrasi, namun pada akhirnya disahkan juga oleh DPR RI dan pemerintah pada Selasa, 06/12/22 dalam rapat paripurna yang digelar di kompleks parlemen. Pengesahan RKUHP ini terkesan dikebut, sebab sebelumnya banyak gelombang aksi protes karena terdapat banyak substansi yang kontroversial, khususnya dilema relasi antara penguasa dan rakyatnya yang diurus.

 

Pengesahan RKUHP itu terkesan dikebut karena minimnya partisipasi publik, bahkan seolrah pemerintah dan DPR tidak mengindahkan kritik dan masukan publik. Padahal sejumlah kalangan publik dari mulai jurnalis, praktisi hukum, hingga aktivis HAM dan mahasiswa masih melihat materi dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih kacau dan memuat pasal-pasal bermasalah.

 

Relasi antara penguasa dan rakyat adalah relasi positif yakni penguasa mencintai rakyat dan rakyat mencintai pemimpinnya. Muhasabah dan nasehat rakyat kepada penguasanya adalah tanda kecintaan itu agar pemimpin tetap berjalan di jalan Allah. Demikian pula seorang pemimpin mesti menjadikan dirinya teladan bagi rakyatnya. Relasi penguasa dan rakyat bukan relasi permusuhan. Kepemimpinan adalah amanah Allah dan rakyat.

 

Pemimpin adalah pelayan rakyat, bukan boss dan rakyat pembantunya. Melalui KUHP ini seolah relasi penguasa dan rakyat bersifat tidak (mampu) menghasilkan hal baik atau tidak saling menguntungkan. Dalam filsafat relasi ini bernama kontraproduktif.

 

Saat Soekarno menyatakan bahwa jika negara berdasarkan Islam maka akan banyak daerah yang penduduknya bukan Islam akan memisahkan diri, semangat keislaman rakyat membuat mereka memprotesnya. KH Isa Anshari dari Masyumi melayangkan nota protesnya. Protes resmi juga dilayangkan oleh PBNU, Partai Islam Perti, Gerakan Pemuda Islam dan PB Persis. Rakyat juga memprotes lewat poster-poster berbunyi: “Kami cinta kepada presiden, tetapi lebih cinta kepada negara. Kami cinta kepada negara, tetapi lebih cinta kepada agama.”

 

Protes seperti ini dan semisalnya, asalkan sesuai dengan hukum syariah, hendaknya dilihat sebagai bentuk pertolongan sekaligus penunaian kewajiban rakyat. Bukan dianggap penentangan apalagi makar. Bahkan andaikan rakyat diam, penguasalah yang seharusnya turun lapangan untuk meminta kritik dari rakyat, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar ra.

 

Suatu hari, Khalifah Umar naik ke atas mimbar. Dia lalu berpidato di hadapan khalayak ramai. ”Wahai orang-orang, jangan kalian banyak-banyak dalam memberikan mas kawin kepada istri. Karena mahar Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya sebesar 400 dirham atau di bawah itu. Seandainya memperbanyak mahar bernilai takwa di sisi Allah dan mulia, jangan melampaui mereka. Aku tak pernah melihat ada lelaki yang menyerahkan mahar melebihi 400 dirham.”

 

Rupanya kebijakan ini tidak disetujui oleh sebagian kaum perempuan. Maka, usai menyampaikan keterangan, datanglah seorang perempuan menyampaikan protes. ” Hai, Amirul Mukminin, kau melarang orang-orang memberikan mahar kepada istri-istri mereka lebih dari 400 dirham?” protes wanita itu. ” Ya,” jawab Khalifah Umar. ” Apakah kau tidak pernah dengar Allah menurunkan ayat (melafalkan penggalan ayat 20 Surat An Nisa),” kata wanita itu.

 

Umar tersentak sambil berkata, ” Tiap orang lebih paham ketimbang Umar.” Menyadari kekeliruannya, Umar kembali naik mimbar dan menyampaikan pernyataan yang telah direvisi sesuai kritik yang disampaikan rakyatnya. (dikutip dari Jakarta, Masjiduna)

 

Perhatikanlah ucapan pidato Abu Bakar As Shiddiq saat dilantik menjadi seorang khalifah pertama dalam peradaban Islam : (1) Wahai manusia Aku telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu (ri’ayatu suunul ummah). (2) Padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antaramu (berakhlak : rendah hati dan tahu diri). (3) Maka jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, bantulah (ikutlah) aku (merangkul rakyat, bukan memusuhi).

(4) Tetapi jika aku berlaku salah, maka luruskanlah (tidak anti kritik, mengakui kesalahan, mendengar masukan para ahli dll). . Orang yang kamu anggap kuat, aku pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak dari padanya (ekonomi keseimbangan, bukan kapitalisme : menerapkan sistem ekonomi Islam). sejalan dengan firman Allah 59 : 7 “….agar harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya diantara kamu.

 

Dalam Draf RKUHP pasal 218 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wapres dipidana dengan pidana penjara maksimal tiga tahun atau denda paling banyak Rp. 200 juta. Kemudian pada Pasal 218 ayat (2) menyatakan bahwa hal tersebut tidak berlaku jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.



Pada bagian penjelasan Pasal 218 ayat (2) dinyatakan bahwa hal yang dimaksud dengan 'dilakukan untuk kepentingan umum' adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan salah satunya lewat aksi unjuk rasa atau demonstrasi, kritik atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan presiden dan/atau wakil presiden. Aksi atau kebebasan berekspresi itu pun diberi embel-embel bersifat 'konstruktif'.

Relasi penguasa dan rakyat dalam RKUHP dibandingkan relasi dalam Islam jelas bertentangan 180 derajat. Di RKUHP penguasa memposisikan dirinya sebagai pihak yang selalu benar dan menolak masukan, protes, nasihat dan sejenisnya dari rakyat. Padahal kata penghinaan adalah pasal karet yang bisa multitafsir, dikhawatirkan nasihat dan protes rakyat nanti dianggap sebagai bentuk penghinaan.

 

Padahal mestinya pemimpin itu bersyukur jika rakyatnya peduli dan masih mau memberikan berbagai masukan kepada pemimpinnya. Di RKUHP yang kini menjadi KUHP ini posisi rakyat seolah selalu akan jadi korban dan selalu jadi sasaran untuk disalahkan. Rakyat dianggap tak pernah benar, dilarang bicara, hanya disuruh diam dan menerima apapun yang dilakukan penguasa.

 

Pasal 192 menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan makar dengan maksud supaya sebagian atau seluruh wilayah NKRI jatuh kepada kekuasaan asing atau untuk memisahkan diri dari NKRI dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara maksimal 20 tahun. Pasal 193 ayat (1) mengatur setiap orang yang melakukan makar dengan maksud menggulingkan pemerintah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Sementara itu, Pasal 193 ayat (2) menyatakan pemimpin atau pengatur makar dipidana dengan pidana penjara maksimal 15 tahun.

 

Ini juga pasal yang kontroversial dan agak aneh sebenarnya. Jika mau berpikir sejalan mendalam, justru dengan menerapkan ideologi kapitalisme sekuler liberal, negeri ini bisa tergadaikan kepada oligarki asing dan aseng. Hingga hari ini hampir tak tersisa lagi sumber daya alam milik rakyat, kecuali dikuasai oleh asing dan aseng. Makar yang sesungguhnya adalah justru pada penerapan ideologi kapitalisme sekuler liberal di negeri ini. Oligarki asing dan aseng makin kaya di negeri ini, sementara rakyat makin sengsara.

 

Pasal ini juga bisa jadi pasal karet yang multiinterpretasi bagi rakyat yang menginginkan negeri ini menjadi lebih baik. Padahal ideologi transnasional demokrasi kapitalisme sekuler liberal yang diterapkan di negeri terbukti telah menyengsarakan rakyat. Kapitalisme adalah ideologi imperialisme warisan penjajah.

 

Jika rakyat menginginkan perubahan sistem agar menjadi lebih baik, maka melalui pasal ini, bisa jadi dianggap makar. Sebab secara filosofis, tidak ada yang final di dunia ini, semua terus akan berubah. Apakah jika negeri ini berubah menjadi lebih baik itu tidak boleh. Apakah ada intervensi oligarki dalam pengesahan RKUHP ini? Bukannya pasal 192 itu justru paradoks?

 

Pada pasal 188 paragraf 1 disebutkan tentang penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila. Sanksi pidana Di pasal 188 (1) berbunyi setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan dan mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjaran paling lama 4 (empat) tahun.

 

Pasal ini jika mau dipahami dengan baik, maka salah satu paham yang bertentangan dengan pancasila justru sedang diterapkan di negeri ini seperti sekulerisme, kapitalisme, liberalisme, pluralisme, feminisme, pragmatisme dan banyak isme lain yang justru sangat bertentangan dengan pancasila. Hampir semua kajian akademik tidak ada yang berpendapat bahwa Islam itu bertentangan dengan pancasila, bahkan secara historis, ada yang berpendapat bahwa pancasila adalah hadiah terbesar umat Islam untuk negeri ini. Ini secara akademik.

 

Namun demikian, secara politik yang terjadi justru sebaliknya, seringkali penyebaran ajaran Islam seperti syariah dan khilafah dianggap bertentangan dengan Islam, padahal keduanya tidka termasuk isme, melainkan bagian dari ajaran Islam. Logikanya, jika Islam tidak bertentangan dengan pancasila, berarti seluruh ajarannya juga tidak bertentangan. Menyebutkan ajaran khilafah sebagai isme adalah kebodohan. Karena itu pasal 188 ini sangat rawan ditarsirkan secara serampangan sehingga dakwah-dakwah Islam bisa dijadikan sasaran tuduhan anti pancasila.

 

Selama ini tuduhan keji seperti radikalisme, terorisme, fundamentalisme justru sering disasarkan kepada umat Islam, bukan kepada yang lainnya. Dengan adanya pasal 188, kemungkinan berbagai tuduhan kepada umat Islam akan terus digaungkan. Sementara kapitalisme, liberalisme, sekulerisme, dan pluralisme yang jelas bertentangan dengan pancasila malah akan terus tumbuh subur.

 

Draf RKUHP juga masih mengatur ancaman pidana bagi penghina lembaga negara seperti DPR hingga Polri. Ketentuan itu tercantum dalam Pasal 349. Pasal tersebut merupakan delik aduan. kPada ayat 1 disebutkan, setiap orang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara, dapat dipidana hingga 1,5 tahun penjara. Ancaman pidananya bisa diperberat jika penghinaan menyebabkan kerusuhan.

 

Istilah menghina kekuasaan ini tentu saya sangat multiinterpretasi. Penafsirannya sangat bergantung kepada penguasa. Pasal ini seolah menempatkan penguasa sebagai penafsir tunggal atas hak bersuara yang dimiliki oleh rakyat. Menempatkan diri sebagai penafsir tunggal, sama saja dengan menempatkan diri sebagai yang benar dan tidak pernah salah. Dikhawatirkan dengan pasal ini jika rakyat melakukan kritik atas kesalahan penguasa, maka bisa saja ditafsirkan sebagai delik penghinaan, bisa saja kan ?

 

Pasal 350, pidana bisa diperberat hingga dua tahun jika penghinaan dilakukan lewat media sosial. Sementara, yang dimaksud kekuasaan umum atau lembaga negara dalam RKUHP yaitu DPR, DPRD, Kejaksaan, hingga Polri. Sejumlah lembaga itu harus dihormati. ituTentu saja lembaga negara itu harus dihormati oleh rakyat karena mereka itu pelayan rakyat. Namun jika pelayan rakyat bersalah dan tidak melayani rakyat, maka rakyat jelas berhak mengingatkannya. Dengan pasal seperti ini tentu saja rakyat akan takut bersuara, khawatir suaranya ditafsirkan berbeda oleh penguasa. Ini relasi kontrakproduktif antara penguasa dan rakyat.

 

Draf RKUHP turut memuat ancaman pidana atau denda bagi penyelenggara demonstrasi tanpa pemberitahuan. Hal itu tertuang dalam Pasal 256. Pasal ini menuai banyak kritik dengan alasan bahwa bisa dengan mudah mengkriminalisasi dan membungkam kebebasan berpendapat. Koalisi masyarakat sipil mengatakan, pada praktiknya polisi kerap mempersulit izin demo. Konsistensi demokrasi dipertanyakan lewat pasal ini, sebab seolah penguasa melakukan pembungkaman atas hak bersuara rakyat. Sekali lagi hal ini menunjukkan bahwa ada paradigma yang salah dalam RKHUP terkait konstruksi relasi antara penguasa dan rakyatnya.

 

RKUHP juga mengatur soal penyiaran, penyebarluasan berita atau pemberitahuan yang diduga bohong. Pasal ini, dapat menyasar pers atau pekerja media. Pada Pasal 263 Ayat 1 dijelaskan bahwa seseorang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dapat dipenjara paling lama 6 tahun atau denda Rp500 juta.

Bunyi pasal 263 ayat 1 adalah sebagai berikut : Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.

Kemudian pada ayat berikutnya dikatakan setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan, padahal patut diduga berita bohong dan dapat memicu kerusuhan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 atau denda Rp200 juta. 

 

Lebih lanjut, RKUHP terbaru juga memuat ketentuan penyiaran berita yang dianggap tidak pasti dan berlebihan. Seseorang yang membuat dan menyebarkan berita tersebut dapat dipenjara 2 tahun atau denda paling banyak Rp10 juta. Hal itu tertuang dalam pasal 264. 

 

Jelas pasal ini menunjukkan relasi yang salah antara penguasa dan rakyat terutama soal tafsir dan penafsiran. Sebab disaat rakyat atau pers melakukan siaran terancam oleh bayang-bayang penjara. Tentu saja hal ini tidak sehat, terlepas secara etika memang tidak boleh menyebarkan berita bohong. Namun pasal ini selain menimbulkan suasana tidak kondusif bagi diskursus sosial politik di negeri ini, juga telah berpotensi merusak relasi antara penguasa dan rakyat.

 

Dalam pandangan Islam, penguasa dan rakyat harusnya saling menguatkan. Ibnu Qutaibah (w. 276H) mengutip perkataan Kaab al-Akhbar rahimahumalLah: “Perumpamaan antara Islam, kekuasaan dan rakyat adalah laksana tenda besar, tiang dan tali pengikat serta pasaknya. Tenda besarnya adalah Islam. Tiangnya adalah kekuasaan. Tali pengikat dan pasaknya adalah rakyat. Satu bagian tidak akan baik tanpa bagian yang lainnya.

 

Rasulullah bersabda : Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat. Dia akan diminta pertanggungjawaban tentang rakyatnya. Makna ar-râ’i adalah al-hâfidz al-mu’taman8 (penjaga, pemelihara, wali, pelindung, pengawal, pengurus, pengasuh yang diberi amanah). Penguasa/pemimpin wajib mewujudkan kemaslahatan siapa saja yang berada di bawah kepemimpinannya.

 

Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab ra. pernah melihat orang tua yang mengemis. Ia ternyata beragama Yahudi. Beliau bertanya, “Apa yang memaksa engkau mengemis?” Dia menjawab, “Untuk membayar jizyah (sejenis pajak), kebutuhan hidup dan karena aku sudah tua (tidak sanggup bekerja).” Lalu Khalifah Umar ra. mengutus dia kepada penjaga Baitul Mal dan berkata kepada penjaganya, “Lihatlah orang ini dan yang seperti dia! Demi Allah, kita tidak adil kepada dia jika kita mengambil jizyah pada masa mudanya, kemudian kita menistakannya ketika telah tua.” Setelah itu beliau membebaskan orang tua tersebut dari membayar jizyah. Bahkan beliau memberi dia subsidi dari Baitul Mal.

 

Dalam perumpamaan sebelumnya, fungsi tali dan pasak adalah untuk menjaga tiang agar tidak miring atau roboh. Demikianlah rakyat. Selain wajib taat kepada penguasa dalam perkara yang merupakan wewenang mereka dan bukan kemaksiatan, rakyat juga wajib menjaga agar penguasa tetap tegak di atas hukum syariah.

 

Semisal dari sekitar 627 pasal yang dikutip detik.com, lesbian, biseksual, gay, dan transgender (LGBT) tidak dimasukkan sebagai delik pidana.Padahal sudah lama disuarakan agar disorientasi seksual itu dimasukkan sebagai pelanggaran hukum. Tentu saja telah jelas, bahwa praktek LGBT bertentangan dengan agama sebagai living law negeri ini, termasuk bertentangan dengan Pancasila. Namun apa daya rakyat tak mampu mengatur undang-undang negeri ini, bisanya hanya memberikan masukan dan rasa benci dalam hati sebagai bentuk lemahnya iman karena dibatasi oleh kewenangan.

Jika rakyat tidak memiliki kemampuan mengubah kemungkaran penguasanya. Hal paling minim yang harus mereka lakukan adalah dengan membenci dan menampakkan sikap tidak rela terhadap kemungkaran tersebut. Ketika menjelaskan hadis Ummu Salamah r.a terkait kemungkaran penguasa, Imam an-Nawawi menyatakan : Siapa saja yang mengetahui kemungkaran dan tidak meragukan kemungkarannya, maka itu telah menjadi jalan bagi dia menuju kebebasan dari dosa dan hukuman dengan cara dia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya atau lisannya. Jika dia tidak mampu, hendaklah dia membenci kemungkaran itu dengan hatinya.

Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

(AhmadSastra,KotaHujan,07/12/22 : 14.56 WIB )
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Rabu, 21 September 2022

Rizqi Awal: Negara Ini Bangun Teknologi tapi Tak Bangun Keamanannya

Tinta Media - Pengamat Kebijakan Publik Rizqi Awal mengkritisi terkait serangan hacker bahwa negara ini membangun teknologi tapi tidak membangun keamanannya.

“Mudahnya hacker menyedot data, artinya kita (negeri ini) membangun teknologi tapi tidak membangun keamanannya,” kritiknya dalam Program Fokus Reguler: Hacker, Ancaman Untuk Siapa? Sabtu (18/9/2022) di kanal Youtube UIY Channel.

Menurutnya, kemudahan para hacker mengambil data sedetail mungkin merupakan bentuk kritikan tajam dari para hacker dengan bentuk perlawanan cyber terbaru terkait isu-isu tertentu.

“Dan ini bisa menjadi salah satu bentuk perlawanan terbaru terkait isu-isu tertentu, mereka dengan mudah menyerang, menghentikan akses segala macam suatu wilayah tertentu. Meskipun dilakukan oleh person atau kelompok tertentu, kelompok kecil bukan negara,” tuturnya.

Awal menilai serangan dari hacker Bjorka yang memberikan bocoran-bocoran data umum ke publik menunjukkan belum begitu aman kualitas keamanan data di negara ini.

“Sebenarnya menurut saya menarik, Bjorka memberikan bocoran-bocoran data ini karena ini menunjukkan betapa kualitas keamanan data kita belum begitu aman,” nilainya.
Ia menuturkan bahwa serangan Bjorka menunjukkan betapa keamanan di dunia nyata maupun di dunia maya digital, tidak aman 100 persen.

“Saya tidak tahu motif yang dilakukan Bjorka, data itu disampaikan ke hadapan publik dengan lemparan isu sedemikian rupa, ini tergantung dari motif apa yang dibangun oleh Bjorka sendiri,” tuturnya.

Apabila digambarkan terkait keamanan data, ia mengungkapkan perlu adanya peninjauan ulang kebijakan-kebijakan terkait itu semua dari akar sampai ke daun.

“Ini baru Bjorka, kita belum sampai ke case tertentu yang lebih canggih bahkan bisa jadi mengatur semua aplikasi kita. Terbayang tiba-tiba hacker menghapus semua data. Kita tidak tahu kecanggihan teknologi,” ungkapnya.

Ia mengatakan pentingnya menyiapkan orang-orang ahli teknologi terbaik karena teknologi selalu berubah bahkan bisa berganti.

“Dan apabila kita masih menggunakan teknologi lama sementara yang di luar sudah menggunakan teknologi yang baru maka bisa menimbulkan fenomena-fenomena yang berikutnya,” katanya.

Tentu hal tersebut menunjukkan apabila negara tidak sigap, tidak siaga maka bisa saja ke depannya bukan Bjorka saja tapi banyak hacker lain yang akan melakukan pembobolan.

“Kalau mau melawan negara besar, kita lawan dulu tipikal Asia Tenggara, misalkan Indonesia yang mudah dibobol, kita jadi pintu gerbang dari para hacker,” ujarnya.

Ia mengemukakan kekhawatiran akan kualitas keamanan data jika e-voting dalam pemilu dilaksanakan dan akhirnya terjadi kebocoran data.

“Maka pengambilan data bahkan pengubahan data itu bisa sangat terjadi, apalagi kalau nanti dikaitkan dengan politik. Bagaimana rakyat bisa memberikan rasa aman suara mereka, tidak diotak-atik ketika sampai di level Komisi Pemilihan Umum (KPU) nanti,” ujarnya.

Awal mengatakan data itu penting meskipun hanya sekedar angka-angka saja. Demikian dengan data yang ditampilkan Bjorka walaupun berupa data umum.

“Ketika Bjorka membocorkan data salah satu provider internet maka bagi pelaku pegiat sosial media atau seorang digital marketer, data tersebut dapat mengakses apa saja lalu ia dapat melakukan filling, sebab kemungkinan besar dia akan menjadi sasaran di dalam hal penjualan produk tertentu,” katanya.

Ia mengingatkan pada tahun 2018, pemerintah mengharuskan pendaftaran sim card menggunakan NIK dan no KTP dengan tujuan terhindar dari tindakan penipuan. Tapi faktanya berbanding terbalik.

“Tapi yang terjadi malahan lebih banyak sms penipuan masuk. Hal ini menunjukkan, tidak menjamin data kita aman,” ucapnya.

Pemerintah sedang mencanangkan e-KTP, artinya semua daya kita terekam di e-KTP dengan jalan di tap saja. Menurutnya selama e-KTP difotokopi, juga adanya pengisian data di berbagai tempat pendaftaran berbagai instansi termasuk BPJS, dan samsat yang memiliki gerai di berbagai daerah. Maka e-KTP tidak berfungsi.“Ini menunjukkan data kita belum terpusat, belum rapi,” ujarnya.

Ia mengingatkan pemerintah dan siapa pun yang mempunyai akses ke dunia teknologi, yang menguasai teknologi, artinya dia mempunyai kebijakan penguasaan terkait teknologi (ahli teknologi) berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan-pernyataan yang bisa memancing para hacker.

“Jangan sampai hacker itu terpancing karena ulah pernyataan-pernyataan yang tidak simpatik terkait peristiwa itu (Bjorka), 'hacker jangan melakukan hack ya',” pungkasnya.[] Ageng Kartika

Senin, 19 September 2022

BJORKA Meretas Data: Pemerintah Tanggung Jawab

Tinta Media - Publik Indonesia kembali geger lantaran sebuah akun hacker bernama Bjorka mengaku telah meretas jutaan data pribadi warga Indonesia lalu menjualnya kepihak tidak bertanggungjawab. Tidak tanggung-tanggung Bjorka juga mengaku sukses meretas sejumlah data rahasia milik lembaga negara termasuk berhasil menerobos dokumen presiden dengan Badan Intelijen Negara (BIN). Banyak warga net penasaran siapa sesungguhnya dibalik Bjorka yang masih misterius hingga kini. Bahkan beberapa pejabat tinggi Indonesia dibuat ketar-ketir ulah Bjorka. Konon salah seorang menteri harus mengganti nomor dengan akses nomor Amerika (+1).

Ulah Bjorka yang membuat khawatir warga Indonesia sebab akun data pribadi warga sudah tidak aman. Dampaknya, privasi warga dipreteli secara tidak bertanggungjawab oleh oknum tertentu. Sukses Bjorka meretas data menunjukkan kerapuhan sistem pengamanan big data berbasis internet di Indonesia. Ini sebuah kelalaian. Negara mestinya bertanggungjawab, sebab persoalan kebocoran data pribadi berbasis internet bukan persoalan kewaspadaan individual. Ini persoalan publik yang terkait dengan pengamanan server yang seharusnya negara punya domain otoritas pengendali semua sistem server di negara ini. Sehingga sangat mustahil negara berlepas diri dari tanggungjawab mengontrol perangkat server yang ada. Aneh jika kementerian informasi dan komunikasi sebagai representasi negara, tidak bisa berbuat banyak. Apalagi ahli IT sudah berjibun di Indonesia. Tak masuk akal, tidak berdaya menghadapi hacker semacam Bjorka yang barangkali cuma level kaleng-kaleng.

Isu kebocoran data pribadi oleh ulah Bjorka pada perspektif lain merupakan bukti abainya pemerintah terhadap pelayanan publik di negara ini. Sengkarut kapitalisme sekulerisme yang mengkerat, menjadikan pelayanan publik bertumpu pada asas manfaat dengan mewniscayakan negara berjual beli dengan rakyatnya. Negara sejatinya hanya tersudut kepentingan pasar bebas bukan demi kepentingan pelayanan publik. Akibatnya, sudah bisa ditebak, semua pelayanan termasuk perlindungan segala tumpah darah bangsa Indonesia, tidak akan dianggap jika tidak ada nilai ke-ekonomian. Mungkin perspektif pemerintah, perlindungan data pribadi warga berbasis internet, tidak begitu penting, sebab tidak ada untungnya. 

Sebetulnya bukan persoalan tidak ada untung yang didapat, namun mestinya pemerintah berpikir bahwa perlindungan data pribadi rakyat apalagi menyangkut dokumen rahasia negara adalah super penting. Ini adalah soal pertahanan dan keamanan negara. Pihak luar (asing) yang mencoba meruntuhkan NKRI akan dapat memanfaatkan sejumlah data pribadi rakyat yang diretas guna melakukan infiltrasi. Disinilah bahayanya.

Pada perspektif lain, fenomena Bjorka boleh jadi merupakan salah satu bentuk aksi protes terhadap kebijakan pemerintah Indonesia yang selama ini abai dalam pelayanan publik, seperti masalah pendidikan, kesehatan, maraknya praktik korupsi para penyelenggara negara, yang paling anyar adalah kenaikan harga dasar listrik, gas elpiji, dan BBM. Masyarakat saat ini sedang frustasi dengan kelakuan pemerintah yang tidak peka dengan nasib ekonomi rakyatnya. Bjorka boleh jadi juga merupakan luapan bentuk kekecewaan warga masyarakat terhadap sengkarut ekonomi yang mencekik apalagi dibarengi gelagat pemerintah yang semakin represif yang membungkam kebebasan rakyat menyampaikan pendapat ditambah dengan aparat penegak hukum yang drastis turun kepercayaan masyarakat akibat praktik mafia peradilan, putusan pengadilan yang tidak berpihak keadilan rakyat. Deretan ketidakpercayaan masyarakat itu semakin diperpanjang dengan kasus polisi bunuh polisi.

Kalau mau jujur sebetulnya, hanya sistem kehidupan Islam dalam tatanan politik pemerintahan berbasis syariah Islam, yang mampu memberikan perlindungan lebih baik bagi warganya, sebab baginda Rasulullah telah membebankan kewajiban bagi para pemimpin umat tidak hanya untuk kepentingan pelayanan kesejahteraan rakyat tetapi menjaga marwah warganya. Sebuah kisah masyhur menunjukkan kepedulian Khalifah Al Mu’tashim kepada kehormatan seorang muslimah. Peristiwa itu tercatat dalam kisah Penaklukan Kota Ammuriah di tahun 223 Hijriah. Di tahun 837 Masehi, seorang budak muslimah dilecehkan orang Romawi. Dia adalah keturunan Bani Hasyim, yang saat kejadian sedang berbelanja di pasar. Bagian bawah pakaiannya dikaitkan ke paku, sehingga terlihat sebagian auratnya ketika ia berdiri. Dia lalu berteriak-teriak, “Waa Mu’tashimaah!”, yang artinya “Di mana engkau wahai Mu’tashim (Tolonglah aku)”. Berita ini sampai kepada Khalifah. Dikisahkan saat itu ia sedang memegang gelas, ketika didengarnya kabar tentang seorang wanita yang dilecehkan dan meminta tolong dengan menyebut namanya. Beliau segera menerjunkan pasukannya. Tidak tanggung-tanggung, ia menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu Ammuriah (yang berada di wilayah Turki saat ini). Pertempuran itu berhasil membebaskan kota Ammuriah dari kuasa Romawi. Tiga puluh ribu tentara Romawi terbunuh, sementara tiga puluh ribu lainnya ditawan.

Dr. Muh. Sjaiful, S.H., M.H.
Indonesia Justice Monitor
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab