Tinta Media: Refleksi
Tampilkan postingan dengan label Refleksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Refleksi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 21 Januari 2024

Refleksi 7 Tahun ke Belakang Konflik Agraria Merajalela Efek Politik Oligarki




Tinta Media - Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika mengatakan sejak tahun 2015 hingga 2022 ribuan kasus persoalan agraria itu mencuat dan berdampak pada 5,8 juta hektar tanah. Realitas ini berdampak pada korban mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia. 
Dilansir dari cnn.indonesia, (24/9/2023). 

Konflik agraria adalah salah satu persoalan besar yang menjadi tanggung jawab pemerintah belum berhasil dituntaskan dan  telah mengakar selama puluhan tahun, KPA mengungkapkan bahwa telah terjadi 2710 konflik agraria selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo. 

Merampas Ruang Hidup Publik

Polemik ini telah merampas ruang hidup jutaan masyarakat, konflik agraria terus berkembang di berbagai sektor mulai dari perkebunan yang didominasi oleh sawit, infrastruktur, proyek strategis nasional, kawasan ekonomi khusus,  sektor pertambangan, konflik di sektor properti kota Mandiri, dan area komersial di perkotaan. 

Perampasan hidup akibat problematika  yang berkepanjangan ini telah menimbulkan konflik sosial yang diikuti dengan intimidasi kekerasan dan kriminalisasi. Hal ini tentu menimbulkan penderitaan dan kekhawatiran di tengah masyarakat karena tidak ada jaminan keamanan bagi masyarakat yang wilayahnya di gunakan proyek pembangunan oleh sebagian besar pemilik modal atas legalisasi penguasa, tidak hanya itu konflik lahan juga berakibat pada relokasi besar-besaran, penggusuran rumah dan tempat hidup masyarakat. 

Sehingga rakyat kehilangan rumah dan pekerjaan bahkan berdampak ruang hidup hewan liar pun ikut dirampas karena alokasi fungsi hutan untuk proyek strategis nasional serta mengancam kelangsungan pendidikan. Penderitaan rakyat masih berlanjut dengan bencana alam yang menimpa masyarakat seperti banjir, tanah longsor,  polusi udara, limbah B3, dan kekeringan tak terhindarkan akibat terganggunya keseimbangan ekosistem. 

Pembukaan lahan dengan metode pembakaran hutan untuk mengelola hutan juga menyebabkan masyarakat terkena infeksi saluran pernafasan akut atau ISPA dan gangguan paru lainnya termasuk Pneumonia. Banyak masyarakat menjadi korban karena mengalami luka-luka terserang penyakit hingga kehilangan nyawa setiap tahunnya. 

Konflik ini juga berimbas pada banyaknya kepala keluarga harus kehilangan mata pencaharian hingga berganti mata pencaharian karena telah menghilangkan sumber penghidupan masyarakat berupa hutan, laut, sungai, cadangan air bersih, udara bersih, dan lingkungan hidup yang sehat. 

Perampasan yang Diundang-Undangkan

Kelompok bisnis dan negara para korporasi berusaha merampas tanah, air, hutan, atau sumber daya publik lainnya untuk diprivatisasi dan dijadikan kepemilikan korporasi baik dibeli maupun disewa atas nama investasi. Pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional menyerahkan pengelolaan lahan kepada korporasi dipermudah oleh pemerintah melalui berbagai regulasi kemudahan ini tertuang dalam visi Indonesia emas RPJMN 2020 hingga 2024. 

Kebijakan ini ibarat karpet merah memudahkan jalannya pemerintah untuk mendorong investasi seluas-luasnya untuk mendukung pembangunan membuka lapangan pekerjaan, memangkas perizinan pungutan liar, dan hambatan investasi lainnya. 

Inilah konsekuensi penerapan sistem kapitalisme yang memberi kebebasan kepemilikan kepada apa saja kebebasan pemanfaatan lahan pengambilalihan lahan dan sumber daya oleh korporasi yang didukung oleh aturan dan undang-undang yang diberlakukan pemerintah. 

Sejatinya polemik ini menunjukkan berjalannya politik oligarki yakni kekuasaan negara digunakan untuk kepentingan akumulasi kekayaan pemilik modal. Politik oligarki adalah buah penerapan sistem demokrasi kapitalisme yang telah berjalan selama puluhan tahun di negeri ini lewat undang-undang Minerba maupun undang-undang Cipta kerja.  Perampasan lahan oleh korporasi semakin mendapat lampu hijau. 

Sungguh berjalannya politik oligarki di negeri ini telah merampas ruang hidup masyarakat termasuk perempuan dan generasi, sejatinya konflik agraria ini akan tuntas di bawah penerapan sistem Islam Kafah di bawah institusi Khilafah. 

Solusi Konflik Agraria dalam Institusi Khilafah

Sistem pemerintahan Islam atau khilafah dibangun atas asas akidah Islam yang menjadikan hukum Islam berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya landasan dalam mengatur negara. Landasan inilah yang mewajibkan seorang pemimpin negara atau khalifah menjadi pengurus dan pelindung bagi rakyatnya. 

Rasulullah saw. bersabda Imam adalah pengurus rakyat dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap urusan rakyatnya. Khalifa akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang memiliki asas-asas sistem ekonomi yang meliputi kepemilikan yaitu pengelolaan kepemilikan dan distribusi kekayaan. 

Dalam hal kepemilikan Islam mengakui jenis kepemilikan yakni kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Tanah atau lahan dikategorikan berdasarkan kandungan di dalamnya, jika tanah mengandung kekayaan alam seperti hutan, tambang, dan, sumber daya melimpah lainnya maka tanah tersebut termasuk milik umum yang haram diserahkan kepada individu maupun swasta. Tanah tersebut wajib diperuntukkan untuk kemaslahatan publik. 

Adapun tanah yang tidak terkandung kekayaan alam di dalamnya maka bisa dimiliki individu maupun negara, tanah yang termasuk milik rakyat atau individu wajib dilindungi oleh negara dan tidak boleh dirampas oleh siapa pun meski itu untuk kepentingan umum kecuali atas izin pemiliknya. 

Semua hukum kepemilikan tanah harus dijaga oleh negara bahkan haram jika negara melanggarnya apalagi dengan cara-cara yang zalim atau mafia tanah dengan intimidasi menipu dan menggunakan kekerasan pada warga. Sungguh hanya melalui penerapan aturan Islam Kafah rakyat bisa hidup sejahtera termasuk perempuan dan generasi. 

Wallahu'alam Bisowab.


Oleh: Novita Ratnasari, S.Ak.
Pegiat Literasi

Senin, 25 Desember 2023

Refleksi Hari Ibu, Benarkah Perempuan Berdaya, Indonesia Maju?



Tinta Media - Setiap tanggal 22 Desember negara kita akan mengadakan peringatan hari ibu, berbagai acara dan kegiatan dilaksanakan dalam rangka merayakannya, mengenang jasa para ibu hebat yang sangat berjasa bagi keberlangsungan kehidupan manusia. 

Seperti yang dilakukan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, dalam rangka memperingati hari ibu yang ke 95 di tahun 2023, PPPA menyerahkan 250 paket bantuan pemenuhan hak anak kepada anak-anak Kampung Pemulung Cinere, Kecamatan Limo, Depok. 

Dalam laman Kemenpppa.go.id (14/12/2023). PPPA juga melaksanakan pengecekan kesehatan gratis di Kecamatan Limo, Depok. Paket bantuan yang diberikan berisi beras, sikat gigi, susu, dan biskuit, sementara di tempat lain PPPA juga memberikan 100 paket bantuan kepada Sekolah kembar dan 95 paket bantuan ke Yayasan Dhuafa binaan Warmadewa. 

Menteri PPPA mengatakan penyerahan bantuan ini dalam rangka tanggung jawab pemenuhan hak dasar anak, Menteri PPPA juga memberi motivasi kepada anak-anak Kampung Cinere untuk terus bersemangat dalam meraih impian mereka. 

Dampak Sistem Sekuler Kapitalis 

Tahun ini Slogan peringatan hari ibu adalah "Perempuan Berdaya, Indonesia Maju", maknanya adalah perempuan yang bekerja akan bisa memajukan ekonomi negara. Jelas sekali di sini bahwa perempuan dianggap sebagai komoditi, penghasil pundi-pundi rupiah. 

Banyak slogan-slogan yang menyesatkan perempuan seperti kesejahteraan gender, kebebasan perempuan, pendidikan setinggi mungkin meningkatkan value dan harga diri perempuan, aktualisasi diri dan sebagainya yang akhirnya membuat perempuan berpikiran bahwa perempuan tak boleh hanya diam di rumah, menjadi ibu rumah tangga itu kuno dan tidak keren, juga pendapat nyeleneh lainnya. 

Pemerintah juga hanya memikirkan bagaimana perempuan mampu bekerja dan menghasilkan uang, bersaing dengan kinerja laki-laki dan tidak peduli apakah pekerjaan itu mengeksploitasi perempuan atau tidak, haram atau halal, seperti fakta di Indonesia masih banyak sisi gelap pekerja perempuan yang memilih cara mudah dan instan dalam mendapatkan uang, yakni dengan menjajakan dirinya dan kecantikannya tanpa memikirkan dosa dan penyakit berbahaya yang mengintai. 

Islam Memuliakan Perempuan 

Dalam Islam kemajuan suatu bangsa bukan dinilai dari majunya perekonomian melainkan dilihat dari kemuliaan peradaban yang bersumber dari ideologi yang benar. Islam sangat memuliakan perempuan, mengatur auratnya, pergaulannya, bahkan meminta untuk tetap berada di rumah, termasuk mengurus keluarganya jika telah menikah. 

Menjadi ibu adalah pekerjaan mulia dan sangat berpahala, dari rahim perempuan mulia akan lahir generasi-generasi tangguh bermental baja dan calon ulama, perempuanlah yang mengasuh, mendidik, serta mengawasi tumbuh kembang fisik maupun pemikiran anak-anaknya. Islam tidak melarang perempuan bekerja, selama bisa menjaga izzah dan iffahnya, pekerjaannya halal dan tidak mengganggu kewajiban, maka diperbolehkan. 

Tapi bukan kewajiban perempuan untuk bekerja, karena fitrahnya mereka adalah dinafkahi. Dan dalam negara Islam, laki-laki diberikan lapangan pekerjaan dan upah yang memadai, sehingga bisa mencukupi segala kebutuhan keluarganya tanpa perlu perempuan ikut andil dalam bekerja, sehingga ia hanya fokus dalam mendidik dan mengasuh anak-anaknya. 

Khatimah 

Beginilah Islam memperlakukan perempuan, bahkan dalam masa pemerintahan Khalifah Harun Ar Rasyid (Al Mu'tasim Billah) pernah ada budak perempuan yang diganggu pemuda romawi sehingga tersingkap gamisnya dan terlihatlah betisnya, beliau lalu berteriak meminta pertolongan Khalifah, dan kabar itu dengan cepat sampai kepada Khalifah, yang langsung bertindak menjawab panggilan sang perempuan hingga berujung pada penaklukkan kota Amuriah turki dari penjajahan kaum romawi. 

Sudah jelas bahwa hanya dengan Islam lah perempuan akan mendapatkan kembali kemuliaannya, hanya dengan Islam perempuan akan dihargai dan dihormati, dan dengan adanya negara Islam yang menerapkan syariat secara menyeluruh maka akan terjaga dan terjamin kehormatan perempuan di seluruh dunia.

Oleh: Audina Putri
Aktivis Muslimah 

Sabtu, 31 Desember 2022

REFLEKSI AKHIR TAHUN: KILAS BALIK 2022 UNTUK MEWUJUDKAN KEDAULATAN NEGERI

Tinta Media - Ahad, 25 Desember 2022, penulis diundang ke Surabaya oleh Pusat Kajian & Analisis Data (PKAD), untuk menjadi salah satu nara sumber diskusi refleksi akhir tahun. Kali ini, PKAD mengambil tema "Kilas Balik 2022 untuk mewujudkan kedaulatan negeri".

Selain penulis yang diminta menyoroti bidang hukum, juga akan hadir Ust. M. Ismail Yusanto (Politik), Ust. Azizi Fathoni (Agama), Prof. Suteki (Ideologi), Assoc. Prof Fahmy Lukman (Sosbud), Dr. Rizal Taufikurrahman (Ekonomi) dan Agung Wisnuwardhana (Kebijakan Publik). Sebagaimana biasa, bertindak sebagai Keynote Speaker Fajar Kurniawan (Analis Senior PKAD).

Belum diketahui, siapa saja narasumber yang hadir secara langsung (offline). Kabarnya, diskusi ini akan diselenggarakan secara hibrid (offline-online).

Kembali ke tema diskusi, PKAD mengambil tema "Kilas Balik 2022 untuk mewujudkan kedaulatan negeri", tentulah berdasarkan kajian dan rujukan data yang dapat disimpulkan Indonesia belum berdaulat atas negeri. Kekayaan yang Allah SWT karuniakan untuk negeri ini belum mampu memberikan dampak kesejahteraan bagi rakyat.

Kemandirian dan independensi hukum yang terbebas dari imperialisme, nampak belum wujud. Hadirnya UU Omnibus Law yang disahkan dan ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada tanggal 2 November 2020 dan resmi menjadi UU No 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, justru memperdalam cengkeraman penjajahan ekonomi rakyat berdalih investasi.

Kabar pelelangan 100 pulau di kawasan Kepulauan Widi, Maluku Utara pada awal Desember 2022 lalu, juga tak lepas dari eksistensi UU Cipta Kerja. Mendagri Tito Karnavian berdalih pengembang Kepulauan Widi, PT Leadership Islands Indonesia (LII) diberikan waktu 7 tahun untuk mengembangkan kawasan tersebut untuk mencari investor karena kekurangan modal.

Lagi-lagi, berdalih investasi, untuk menarik investor, kedaulatan negeri dijual kepada asing. Negara tidak lagi meletakan kedaulatan dan kemandirian sebagai asas kebijakan mengelola negeri. Investasi telah dijadikan dalih paling klasik, untuk mengerat-erat dan memecahbelah negeri, menyerahkan kedaulatan bangsa kepada asing dan aseng.

UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba, juga turut memberikan andil hilangnya kedaulatan mineral dan batu bara. 

Menurut UU Minerba lama maupun PP No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba, kontrak karya yang ada berlaku sampai jangka waktunya berakhir. *Setelah berakhir, maka selesailah hubungan kerja sama antara pemerintah dengan kontraktor dan wilayah kerja pertambangan tersebut sepenuhnya kembali menjadi milik pemerintah.*

Namun, bukannya pemerintah menyiapkan sarana prasarana, kemampuan dan sumber daya untuk mengambil alih sejumlah tambang minerba yang sudah habis kontrak kerjanya, pemerintah malah mengubah UU Minerba yang membuat pemegang konsesi kontrak karya (KK) bisa langsung mendapatkan Izin Usaha Penambangan Khusus (IUPK).

Akibatnya, sejumlah oligarki tambang khususnya Batubara seperti PT Bumi Resources Tbk (BUMI), PT Indika Energy Tbk (INDY), dan PT Adaro Energy Tbk (ADRO) yang Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) akan habis malah difasilitasi dengan perubahan status menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi (IUPK-OP).

Padahal, tiga perusahaan ini saja kalau tambangnya kembali kepada pemerintah (negara), tentulah akan menambah kesejahteraan rakyat. Kekayaan alam yang melimpah di negeri ini, akan memberikan nilai positif bagi pembangunan nasional.

Faktanya, Negara kehilangan potensi pendapatan dari pertambangan batubara yang dikuasai empat perusahaan ini. Belum lagi, masih banyak perusahaan tambang batubara lainnya yang dikuasai individu, korporasi, swasta, asing dan aseng.

PT Bumi Resources Tbk (BUMI) telah membukukan pendapatan (belum termasuk konsolidasi KPC) senilai US$ 1,39 miliar hingga kuartal III-2022. Jumlahnya melesat 109,3% dari periode yang sama tahun lalu US$ 666,18 juta.

PT Indika Energy Tbk (INDY) mencetak pendapatan sebesar US$ 3,13 miliar hingga akhir kuartal III-2022. Melesat sekitar 57% dari US$ 1,99 miliar pada Januari-September 2021.

PT Adaro Energy Indonesia Tbk (IDX: ADRO) meraup laba inti sebesar USD2,331 miliar pada sembilan bulan tahun 2022, atau naik 262 persen dibanding periode sama tahun 2021 yang tercatat senilai USD644 juta.

Belum lagi perusahaan Batu bara lainnya seperti PT Bayan Resources Tbk. (BYAN) Emiten milik konglomerat Dato' Low Tuck Kwong yang memproduksi sebanyak 37,6 juta ton batu bara pada 2021. Pada 2022, BYAN berencana memproduksi sejumlah 37 juta-39 juta ton batu bara.

PT Dian Swastatika Sentosa Tbk. (DSSA), PT Golden Energy Mines Tbk. (GEMS), PT Indo Tambangraya Megah Tbk. (ITMG), PT ABM Investama Tbk. (ABMM), dan masih banyak lagi yang lainnya.

Eksistensi tambang yang dikuasai korporasi swasta, asing dan aseng tersebut, baik tambang batubara dan tambang lainnya, adalah konfirmasi tiada daulat atas negeri. *Kekayaan alam yang melimpah di negeri ini hanya membuat kaya raya segelintir orang saja.*

Lalu, apakah masih relevan norma pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan:

_"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."_

Dalam bidang hukum, masalah pengesahan RKUHP menjadi KUHP juga hanya konfirmasi mempertahankan ruh norma hukum penjajah belanda dalam bentuk yang lain. Negeri ini, tetap saja dicengkeram oleh sekulerisme dan mengabaikan hukum Allah SWT.

Sejumlah pasal represif dan anti Islam justru dihidupkan dan dipertahankan dalam KUHP baru. Pasal soal penghinaan Presiden, DPR, pasal kriminalisasi demo, kontra pancasila, perlindungan terhadap zina, dan banyak lagi masalah dalam UU yang oleh DPR dibanggakan sebagai 'Karya Agung Anak Bangsa' yang mengakhiri dominasi penjajahan yang bercokol lebih dari 150 tahun.

Belum lagi, kebijakan penegakan hukum ditahun 2022 masih copas (Copy Paste) dari kebijakan hukum tahun-tahun sebelumnya, dimana hukum dijadikan instrumen untuk membungkam kritik, menekan gerakan Islam dan melindungi jubah kekuasaan yang zalim.

Penangkapan Ustadz Farid Ahmad Okbah, Ustadz Ahmad Zain an Najah, Ustadz Anung al Hamat hingga divonis 3 tahun penjara dengan tuduhan teroris menjadi buktinya. Aktivitas dakwah dituduh terorisme, Ulama dituduh teroris.

Belum lagi penangkapan Gus Nur dan Bambang Tri. Kasus ini adalah konfirmasi rezim anti kritik, hukum dijadikan sarana untuk membungkam nalar kritis rakyat.

Tidak ada resolusi lain, selain penulis ingin menyampaikan firman Allah SWT:

_“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”._ [QS Ar Rum: 41].

Semua kerusakan yang menimpa negeri ini, adalah karena maksiat, manusia tidak mau taat, tidak mau menerapkan hukum Allah SWT. Maka, manusia mengalami kesulitan hidup, negeri ini selalu ditimpa bencana dan masalah.

Dalam akhir tulisan ini, penulis mengajak kepada segenap umat Islam untuk memperbaiki negeri ini dengan Islam. Menjadikan penduduk negeri ini beriman dan taqwa kepada Allah SWT, agar negeri ini berkah, menjadi negeri yang baldatun, thayyibatun, warobbun ghaffur.

Hanya dengan syariat Islam, negeri ini akan berdaulat. Hanya dengan syariat Islam, kekayaan alam yang Allah SWT karuniakan di negeri ini akan menyejahterakan. Hanya dengan syariat Islam, kedaulatan hukum akan terwujud, dan hukum Allah SWT dapat diberlakukan.

Maha benar Allah SWT yang berfirman:

_"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan."_

[QS Al A'rof 96].

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Ketua Umum LBH LESPASS (Lex Sharia Pacta Sunt Servanda)

[Catatan Hukum Akhir Tahun, sebagai Refleksi untuk menghadirkan Resolusi Untuk Negeri]

Selasa, 27 Desember 2022

REFLEKSI HUKUM 2022: PERISTIWA HUKUM YANG BERIMPLIKASI TERHADAP ISLAM & UMAT ISLAM

Tinta Media - Tulisan berikut ini adalah catatan peristiwa hukum tahun 2022 yang memiliki impilasi terhadap Islam dan Umat Islam. Simak pemaparan berikut ini:

I. KRIMINALISASI KEBEBASAN BERPENDAPAT 

Polemik tak berkesudahan terus mewarnai implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Peraturan yang lebih dikenal dengan nama UU ITE tersebut pada awalnya ditujukan untuk mengatasi berbagai masalah di dunia digital, seperti hoaks, cybercrime, dan sebagainya. Namun, dalam implementasinya, UU ITE justru beberapa kali digunakan sebagai instrumen kriminalisasi bagi kelompok tertentu.  Hingga kini, jumlah korban kriminalisasi UU ITE tak terhitung banyaknya. Korban dari kriminalisasi UU ITE pun bermacam-macam. Bukan hanya pasal ITE, begitu juga  pasal 14 UU No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Pidana yaitu menyebarkan kebohongan yang sering menjadi kendala atas kebebasan menyampaikan pendapat. 


II. PERNIKAHAN BEDA AGAMA

Pernikahan beda agama tahun 2022 terjadi dibeberapa daerah dan pengadilan mengabulkan permohonan tersebut diantaranya di Surabaya, Yogyakarta dll. Bahkan amos Petege pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam melakukan Judicial Review terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan (norma perkawinan beda agama)

perkawinan tidak hanya menyoal hukum keperdataan, tetapi juga hukum agama. Perkawinan beda agama sebagaimana keinginan dari Pemohon tersebut membuat bangsa Indonesia kembali pada masa kolonial. Sebab perkawinan hanya bersifat umum dengan pengesahan yang mengesampingkan hukum agama. Selain itu, sehubungan dengan isu hak asasi manusia (HAM) dalam hukum perkawinan yang dipersoalkan Pemohon, Indonesia bukan penganut HAM yang bebas sebebas-bebasnya karena kultur di Indonesia tidak sama dengan kultur pada negara-negara lain di dunia yang merupakan penganut HAM bebas.

jika merujuk UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pada Pasal 2 Ayat (1) berbunyi perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Dari pasal ini sudah sangat jelas terdapat frasa ".... menurut hukum masing-masing agama....". Sehingga ketika agama Islam misalnya melarang menikah dengan orang yang beda agama, maka ketika dipaksakan menjadi tidak sah. etentuan pasal diatas diperkuat dengan fatwa MUI yang menyatakan pernikahan beda agama haram dan tidak sah. Hal itu dimuat dalam Fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama. 


III. KAMPANYE RADIKAL, EXTREMISME & TOLERANSI TERUS TERJADI

Pemerintah telah berhasil membangun narasi ‘bahaya radikalisme’, ‘radikal dan ekstrimisme adalah awal terorisme”. Pemerintah melakukan berbagai kebijakan untuk mendukung narasi yang diciptakan dengan berbagai tindakan diantanya menerbitkan Peraturan terkait ASN dan pegawai BUMN yang dituduh terlibat kelompok radikal, kemudian mengeluarkan dari pekerjaannya. 

Selain itu oknum aparatur Pemerintah ada yang berupaya mengawasi atau mengintel di rumah dan ditempat pekerjaan terhadap orang yang dituduh radikal. Semestinya Pemerintah tidak melakukan indelingsbelust yaitu mendefinisikan, pengkotak-kotakan yang semuanya dilakukan oleh dan menurut persepsi pemegang kekuasaan.  

Pemerintah wajib menghentikan. Apabila hal ini dilakukan maka dikhawatirkan akan terjadi persekusi di akar rumput rakyat. "Apabila itu terjadi persekusi di akar rumput rakyat, maka negara dikhawatirkan dapat dinilai mensponsori kebencian terhadap sesama anak bangsa. 

Mengutip data yang dipublikasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yaitu Global Counter - Terrorism Strategy (A/RES/60/288 and 2030), menyatan diperlukannya penekanan untuk mencegah penyebaran kelompok atau individu yang dituduh ekstremisme dan radikal. Adakah kaitannya dengan rencana global memerangi kelompok yang dituduh radikal-ekstremisme dan teroris?

Kampanye toleransi terus di galakan seolah-olah muslim di negeri ini tidak toleran.


IV. PENINDAKAN TERDUGA TERORIS TAMPAK MENYASAR UMAT ISLAM

Kamis malam, 10 Maret 2022 viral diberbagai kantor berita, memberitakan "Dokter Sunardi ditembak mati oleh Detasemen Khusus atau Densus 88 di Sukoharjo, Jawa Tengah. Dokter Sunardi tewas ditembak lantaran diduga melakukan perlawanan saat hendak ditangkap oleh Densus 88. Ia disebut mencoba melarikan diri saat hendak diringkus oleh Densus 88 lantaran dugaan terlibat terorisme.". Perkara ini telah menjadi perhatian publik, agar diperoleh keadilan publik maka perlu KOMNAS HAM RI segera membentuk tim independen pencari fakta dan harus transparan mengungkap kejadian tersebut, terutama menyingkap penyebab terjadinya penembakan. Jika aparat yang dilapangan dan/atau memberikan perintah yang terlibat dalam insiden itu melanggar protokol tentang penggunaan kekuatan dan senjata api, mereka harus diungkap secara terbuka dan diadili sesuai dengan hukum.

Terdapat catatan atas penindakan terhadap terduga teroris, yaitu sekalipun polisi diberi kewenangan untuk menembak dari peraturan Kapolri, namun bukan berarti bebas menembak sampai mati. Terduga itu tidak untuk dimatikan, tapi dilumpuhkan. Negara ini merupakan negara hukum, dan tugas polisi adalah menegakkan hukum. Dan hukum itu pun ada asas praduga tak bersalah. Apabila terdapat pelanggaran hukum yang dilakukan terduga tersebut, seharusnya dapat diproses sebagaimana ketentuan pidana yang belaku. Proses hukum tersebut merupakan cerminan dari asas praduga tak bersalah dan memberikan kesempatan bagi pihak yang dituduh untuk melakukan pembelaan secara adil dan berimbang (due process of law) dan bahwa aparat dibolehkan untuk menggunakan kekuatan atau kekerasan, terutama dengan senjata api, sebagai upaya terakhir.

Kemudian dalam proses penyitaan barang bukti, sebaiknya menghindarkan dari hal-hal yang beririsan dengan simbol-simbol agama atau yang dipersonifikasikan dengan agama yaitu penyitaan sejumlah buku yang bertema jihad, iqra, alquran, bendera tahuhid, terlebih lagi kemudian dipublikasikan ke media dan publik. Hal ini dikhawatirkan berpotensi terjadi kriminalisasi terhadap istilah dan ajaran Islam yaitu jihad. Istilah jihad banyak dijelaskan didalam Al-Qur'an dan hadits. mendorong agar proses penegakan hukum dipisahkan dari politik. Kami berpendapat bahwa menyita buku-buku bertema jihad dan menampilkan kehadapan media dan publik adalah tampak seperti tindakan politik. Apa hubungannya antara tindakan pidana dengan buku tersebut. Kami patut menduga sedang ada upaya membangun narasi "buku-buku jihad inspirator teroris", sehingga berujung pada stigmatisasi-alienasi istilah jihad. adanya kriminalisasi dan 'monsterisasi' Jihad, membuat orang takut terhadap sesuatu yang seharusnya tidak ditakutkan. Dikhawatirkan terjadi kecenderungan tidak akan berani menjelaskan terkait Jihad Sebab ketika membahas seolah-olah seorang penjahat atau teroris dan dituduh orang yang cenderung akan berpikiran ISIS.


V. PENISTAAN AGAMA

Tahun 2022, tercatat cukup banyak yang melakukan penistaan agama, kasus penistaan agama kian menjadi-jadi. Mulai dari kasus yang melecehkan Al-Qur’an, menghina Rasulullah SAW, dan simbol-simbol serta ajarannya. Bak jamur di musim hujan. Para penista agama terus lantang bersuara atas nama kebebasan. 


VI. KUHP BARU

Didalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) disahkan menjadi Undang-undang. Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna DPR RI yang beragendakan pengambilan keputusan atas RUU KUHP, Selasa (06/12/2022). terdapat norma yang memiliki potensi implikasi terhadap Islam dan umat Islam yaitu Pasal 188 ayat (1) KUHP Baru, yang berbunyi:  
 
(1)"Setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun." 
 
KUHP baru memuat ketentuan yang dapat digunakan secara semena-mena untuk membatasi hak kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi. Pasal 188 KUHP yang mengkriminalisasi “penyebaran dan perkembangan” ideologi atau paham yang bertentangan dengan “Pancasila”. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam pidana penjara sampai 7 tahun. 
 
Pasal 188 bertentangan dengan doktrin sistem hukum pidana “principle of legality” yaitu Pertama, konsep lex scripta. Setiap orang hanya dapat dituntut pidana apabila tercantum/tertulis didalam undang-undang, yang mengharuskan UU dirancang secara jelas, dituliskan secara terang paham yang dimaksud dan tepat agar memungkinkan digunakan untuk mengatur perilaku setiap orang.  
Kedua, konsep lex stricta. Untuk menentukan adanya tindak pidana tidak boleh didasarkan pada analogi/multitafsir. Sedangkan pasal 188 KUHP Baru, tidak menyebutkan secara jelas, terang dan tanpa ada keraguan (expresive verbis) paham apa yang dimaksud.  
 
Saya khawatir norma “...paham lain yang bertentangan dengan Pancasila...” menjadi criminal extra ordinaria, artinya kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang, sebagaimana yang pernah terjadi pada Romawi Kuno. 
 
Pasal ini sangat bermasalah. Tidak ada penjelasan dengan apa yang dimaksud dengan “paham yang bertentangan dengan pancasila”, siapa yang berwenang menentukan suatu paham bertentangan dengan pancasila. Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi setiap orang terutama pihak oposisi pemerintah karena tidak ada penjelasan terkait “paham yang bertentangan dengan Pancasila”. Pasal ini akan menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di era orde baru. 
 
Pasal karet berpotensi akan ditafsirkan oleh Penguasa, hal ini pernah terjadi pada zaman romawi kuno yaitu hukum memberi kebebasan luas bagi penguasa memaknai apa itu perbuatan jahat (crimina stellionatus) itu. Akibatnya, penguasa dapat menjatuhkan sanksi pidana kepada siapapun yang tidak ia sukai dengan dalih yang bersangkutan telah melakukan perbuatan jahat. Para penguasa/ raja di masa itupun sangat berpeluang menggunakan kekuasaannya untuk bertindak sewenang-wenang. Oleh sebab itu, sangat diperlukan pemikiran bahwa perbuatan-perbuatan jahat yang dapat dipidana selayaknya harus sudah ter-cover dalam ketentuan perundang-undangan yang ada 
 
Kemudian tampak ada pertentangan antara Pasal 188 KUHP Baru dengan UUD 1945 yaitu  pasal 28, yang menetapkan bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya, syarat-syarat akan diatur dalam undang-undang. Sedangkan Pasal 28E ayat (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. 

Demikian
IG @chandrapurnairawan

Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.
Ketua LBH PELITA UMAT 

Minggu, 25 Desember 2022

REFLEKSI HUKUM 2022, NORMA KUHP BARU BERTENTANGAN DENGAN KONSTITUSI & ANCAMAN TERHADAP KEBEBASAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT

Tinta Media - Tulisan-tulisan saya terkait refleksi hukum 2022 akan difokuskan pada produk politik yang baru yaitu Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) disahkan menjadi Undang-undang. Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna DPR RI yang beragendakan pengambilan keputusan atas RUU KUHP, Selasa (06/12/2022).  
 
Tulisan ke-1 refleksi hukum 2022, akan membahas Pasal 188 ayat (1) KUHP Baru, yang berbunyi:  
 
(1)"Setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun." 
 
KUHP baru memuat ketentuan yang dapat digunakan secara semena-mena untuk membatasi hak kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi. Pasal 188 KUHP yang mengkriminalisasi “penyebaran dan perkembangan” ideologi atau paham yang bertentangan dengan “Pancasila”. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam pidana penjara sampai 7 tahun. 
 
Pasal 188 bertentangan dengan doktrin sistem hukum pidana “principle of legality” yaitu Pertama, konsep lex scripta. Setiap orang hanya dapat dituntut pidana apabila tercantum/tertulis didalam undang-undang, yang mengharuskan UU dirancang secara jelas, dituliskan secara terang paham yang dimaksud dan tepat agar memungkinkan digunakan untuk mengatur perilaku setiap orang.  
Kedua, konsep lex stricta. Untuk menentukan adanya tindak pidana tidak boleh didasarkan pada analogi/multitafsir. Sedangkan pasal 188 KUHP Baru, tidak menyebutkan secara jelas, terang dan tanpa ada keraguan (expresive verbis) paham apa yang dimaksud.  
 
Saya khawatir norma “...paham lain yang bertentangan dengan Pancasila...” menjadi criminal extra ordinaria, artinya kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang, sebagaimana yang pernah terjadi pada Romawi Kuno. 
 
Pasal ini sangat bermasalah. Tidak ada penjelasan dengan apa yang dimaksud dengan “paham yang bertentangan dengan pancasila”, siapa yang berwenang menentukan suatu paham bertentangan dengan pancasila. Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi setiap orang terutama pihak oposisi pemerintah karena tidak ada penjelasan terkait “paham yang bertentangan dengan Pancasila”. Pasal ini akan menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di era orde baru. 
 
Pasal karet berpotensi akan ditafsirkan oleh Penguasa, hal ini pernah terjadi pada zaman romawi kuno yaitu hukum memberi kebebasan luas bagi penguasa memaknai apa itu perbuatan jahat (crimina stellionatus) itu. Akibatnya, penguasa dapat menjatuhkan sanksi pidana kepada siapapun yang tidak ia sukai dengan dalih yang bersangkutan telah melakukan perbuatan jahat. Para penguasa/ raja di masa itupun sangat berpeluang menggunakan kekuasaannya untuk bertindak sewenang-wenang. Oleh sebab itu, sangat diperlukan pemikiran bahwa perbuatan-perbuatan jahat yang dapat dipidana selayaknya harus sudah ter-cover dalam ketentuan perundang-undangan yang ada 
 
Kemudian tampak ada pertentangan antara Pasal 188 KUHP Baru dengan UUD 1945 yaitu pasal 28, yang menetapkan bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya, syarat-syarat akan diatur dalam undang-undang. Sedangkan Pasal 28E ayat (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. 
 
Menutup tulisan ini, saya mengajak kepada seluruh masyarakat “saatnya Anda Peduli dan bersuara”. 
 
Demikian.

Oleh: Chandra Purna Irawan., S.H., M.H. 
Ketua LBH PELITA UMAT

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab