Refleksi 2023, Analis: Kebijakan Moderasi Beragama dalam Dunia Pendidikan Paling Membahayakan
Tinta Media - Analis Senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan menilai bahwa sepanjang tahun 2023 kemarin, peristiwa yang paling membahayakan bagi dunia pendidikan kita adalah menguatnya kebijakan moderasi beragama.
“Semakin menguatnya kebijakan untuk moderasi beragama itu menurut saya yang paling membahayakan sebenarnya bagi masa depan anak-anak kita yang sedang menempuh pendidikan,” ujarnya pada Tinta Media, Selasa (2/1/2024).
Hal tersebut, menurut Fajar, karena substansi dari moderasi ini sebenarnya adalah ingin mengaburkan dan menguburkan jati diri generasi muda Islam agar mereka menjadi jauh dari identitas keislamannya. Atau lebih ekstrem lagi dalam tanda petik menciptakan suatu agama baru yang sebenarnya jauh dari substansi agama Islam.
Sepanjang tahun 2023 kemarin, lanjut Fajar, arus atau main streaming moderasi beragama ini sangat kuat sekali yang dilakukan oleh pemerintah. Baik di sekolah-sekolah yang berada di bawah naungan Kementerian Agama maupun sekolah-sekolah yang ada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tapi memang yang paling kuat tarikannya, papar Fajar, adalah di sekolah-sekolah yang ada di bawah naungan Kementerian Agama.
“Karena memang yang menjadi corong utama bagi main streaming moderasi beragama itu kalau saya menilai adalah Kementerian Agama begitu,” ungkapnya.
Indikasi
Indikasinya apa? Menurut Fajar indikasinya sangat banyak. Diantaranya bagaimana anak-anak muda sekarang jadi lebih permisif. Juga mereka tidak lagi lekat dengan nilai-nilai keagamaan yakni mereka semakin tersekulerkan, serta mereka lebih mudah menerima ide-ide barat dan seterusnya.
“Itu saya kira adalah indikasi-indikasi yang semakin menguatnya ide moderasi beragama,” tegasnya.
Ketika ditanya, selain moderasi beragama, apalagi hal yang buruk yang terjadi di dunia pendidikan?
“Menurut saya yang paling buruk berikutnya adalah terkait dengan mental _illness_ dari anak-anak,” paparnya.
Bagaimana anak muda sekarang dengan keimanan yang rapuh, beber Fajar, maka mental mereka juga menjadi rapuh. Tidak bisa setangguh yang diharapkan.
“Ada masalah sedikit mereka langsung drop, sering menghindar. Ada masalah hukum mereka kemudian mengambil jalan pintas dan seterusnya,” tutur Fajar mencontohkan.
Tanda-tandanya apa? Tanda-tandanya banyak sekali. Fajar lantas memaparkan bahwa anak muda hari ini gampang sekali dia menyakiti diri sendiri, bahkan sampai mungkin melakukan bunuh diri dan sebagainya gara-gara masalah yang mungkin sebenarnya tidak terlalu berat tetapi bagi mereka jadi masalah berat.
“Karena tadi, kesehatan mental tidak sekuat yang kita bayangkan,” tegasnya.
Lemahnya Akidah
Fajar menilai, dari peristiwa-peristiwa buruk di atas yang didorong dari sistem pemerintah yang ada, bagaimana kemudian diciptakan suatu kondisi yang memungkinkan berkembangnya paham moderat. Kemudian mental health atau mental illness. Juga masalah lainnya yang tidak kalah buruk seperti perundungan atau bullying yang berkembang di masyarakat, maka akar persoalannya adalah karena lemahnya akidah.
“Kalau kita tarik semuanya sebenarnya ya satu itu adalah lemahnya keimanan mereka, lemahnya akidah mereka, lemahnya tauhid mereka. Sehingga tidak mampu menghadapi dinamika sosial maupun tantangan-tantangan sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat,” jelasnya.
Nah kenapa mereka menjadi semakin lemah? Fajar melihat karena semakin masifnya ditanamkan paham sekuler di tengah-tengah masyarakat sehingga menjauhkan umat dari Islam.
“Andaikan mereka dekat dengan Islam atau memberikan mereka akidah yang kokoh, maka konsep moderasi itu langsung tertolak. Artinya tidak ada tempat di tengah-tengah masyarakat terkait dengan konsep moderasi itu,” tegasnya.
Begitu juga dengan kesehatan mental yang ditopang oleh akidah yang kokoh, lanjut Fajar, jika ada masalah maka dia akan selalu kembalikan itu kepada apa yang diperintahkan Allah dan apa yang dilarang oleh Allah. “Sehingga ini yang membuat mereka tidak mudah terjebak di dalam mental illness itu,” simpulnya.
“Juga ketika seseorang itu punya kekuatan akidah yang baik lalu dia mendapatkan perundungan, kalaupun terdampak maka dampaknya tidak akan sebesar kalau orang itu akidahnya lemah gitu,” imbuhnya.
Upaya Sistematik
Ketika berbicara tentang solusi yang paling cocok, Fajar menilai, yang terbaik seharusnya bagaimana kehidupan umat ini atau masyarakat ini selalu didorong menjadi kehidupan yang betul-betul berdasarkan pada akidah Islam. Karena di dalam Islam itu, jelasnya, ada seluruh pemecahan masalah. Tidak ada satu pun masalah yang tidak bisa dipecahkan dengan pendekatan akidah Islam. Untuk itu perlu adanya upaya sistematik dalam penguatan akidah.
“Perlu ada upaya yang sistematik untuk mendorong penerapan atau penguatan akidah ini di tengah-tengah masyarakat. Tanpa upaya yang serius dan masif maka tidak akan mungkin bisa kemudian akidah ini semakin kuat begitu,” jelasnya.
Oleh karena itu, urai Fajar, maka yang paling efektif adalah tentu pendekatan yang dilakukan oleh negara. Artinya negara yang memang harus mendorong diterapkannya syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Nah itu berarti memang harus ada dorongan khusus atau kebijakan khusus dari negara untuk kemudian mendorong masyarakat tadi menguatkan akidahnya agar bisa selalu menjawab berbagai tantangan problematika yang dihadapi oleh mereka,” jelasnya.
Dan oleh karena itu, beber Fajar, tentu kita membutuhkan negara yang punya konsen yang sama. Artinya negara yang betul-betul mendorong diterapkannya syariat itu.
“Dan itulah negara yang mau mengadopsi menerapkan syariat Islam secara paripurna. Tidak mungkin itu dilakukan oleh negara yang sekuler, yang dia lebih percaya pada penyelesaian ala sekularisme dibandingkan dengan penyelesaian ala Islam,” tutupnya.[] Langgeng Hidayat