Miris, Razia Miras Hanya Jelang Ramadan?
Tinta Media - Bukan hal yang baru, saat menjelang bulan suci Ramadan, sejumlah aparat melakukan razia di berbagai tempat. Seperti yang dilakukan Polresta Malang kota, mereka melaksanakan salah satu kegiatan rutin yang ditingkatkan(KRYD), yakni berupa penindakan terhadap penjual minuman beralkohol. Razia ini dilakukan dengan alasan bahwa menjelang Ramadan diperlukan penciptaan situasi keamanan dan ketertiban masyarakat yang kondusif. Operasi tersebut pun berdasarkan pada pengaduan masyarakat yang merasa resah dengan adanya kios-kios yang menjual minuman beralkohol, sehingga menimbulkan ketidaknyamanan serta keresahan bagi para wisatawan dan masyarakat sekitar(Rejog.republika.co.id,(26/2/23)
Sementara itu, Polresta Kendari, Sulawesi Tenggara pun menemukan 95 liter miras tradisional dan 30 botol miras impor(antaranews.com(19/2/23)).
Bukti Negeri Sekuler
Razia miras hanya dilakukan saat menjelang Ramadan saja. Jelas hal ini membuktikan bahwa sekularisme masih menjadi acuan dalam sistem kehidupan saat ini. Padahal, miras atau minuman keras adalah barang haram. Setiap muslim berdosa, baik yang mengonsumsi maupun yang menjualnya dan merupakan induk kejahatan.
Ironisnya, razia hanya dilakukan di warung-warung warga yang dianggap sebagai tempat yang tidak mendapatkan izin untuk menjual miras. Namun, di perusahaan-perusahaan besar, seperti bar dan diskotik, tidak dilakukan razia. Padahal, di tempat seperti itu sudah pasti ada miras. Tak jarang di tempat ini pun kerap terjadi perjudian, narkoba, hingga pelacuran.
Maraknya kejahatan akibat miras pun tak terelakkan dan terus memakan korban. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dan aparat keamanan untuk memberantas miras. Di antaranya dengan menerbitkan Permendag nomor 97 tahun 2020 tentang pengendalian dan pengawasan terhadap pengadaan bahan baku minuman beralkohol hingga peraturan presiden atau Perpres nomor 49 tahun 2021
Meski dengan embel-embel dibatasi dan diawasi, miras tetap diizinkan dalam peredarannya. Hal ini semakin menguatkan dan membuktikan tumbuh suburnya sekularisme, yakni memisahkan agama dari kehidupan. Kios dianggap sebagai tempat yang tidak mendapatkan izin untuk menjual miras dengan sasaran miras ilegal, sementara keberadaan pabrik miras dan penjualannya di tempat-tempat yang sudah memegang izin dibolehkan. Bukankah ini kebijakan yang setengah hati dan hukum tebang pilih?
Dalam sistem sekuler, pembuatan aturan diserahkan kepada manusia melalui mekanisme demokrasi. Sementara, demokrasi adalah sistem politik ideologi kapitalisme dengan tolok ukur keuntungan atau manfaat dalam segala hal, termasuk dalam pembuatan hukum dan pengaturan urusan masyarakat, terutama manfaat ekonomi.
Karena itu, selama sistem kapitalisme sekuler tetap diadopsi dan diterapkan, masyarakat akan terus terancam dengan miras dan segala kemudaratannya. Upaya pemberantasan miras yang dilakukan pemerintah pun tidak akan pernah tuntas, sebab bisnis miras dipandang sangat menguntungkan.
Inilah wajah kapitalisme dalam pemberantasan miras. Segala sesuatu yang mendatangkan manfaat akan terus diproduksi meski haram dan membahayakan kesehatan, serta menimbulkan masalah sosial.
Seharusnya, upaya penolakan yang dilakukan tidak boleh dicukupkan pada pelanggaran kuantitas miras saja, tetapi juga harus menolak secara menyeluruh dan juga harus menentang produksi dan distribusi miras dengan cara apa pun, karena bertentangan dengan syariat. Bahkan lebih dari itu, kaum muslimin harus merobohkan paradigma sekuler kapitalis yang saat ini dijadikan sebagai sistem kehidupan dan asas kebijakan penguasa, kemudian menggantikannya dengan paradigma yang sahih, yaitu Islam sebagai asas bernegara, bermasyarakat, maupun individu dalam naungan sistem Khilafah. Hanya dengan Islamlah hukum syariat akan diterapkan secara menyeluruh, tidak diotak-atik, bahkan diabaikan keberadaannya.
Miras Sebagai Induk Kejahatan
Pengharaman khamar atau miras disebut secara terang-terangan dan rinci. Allah Swt. menyebut khamar dan judi bisa memunculkan permusuhan dan kebencian di antara orang beriman, memalingkan mukmin dari mengingat Allah dan melalaikan salat. Khamar dan judi pun merupakan hal yang kotor dan merupakan perbuatan setan.
Semua ini mengisyaratkan bahwa dampak buruk miras tidak hanya merusak pribadi peminumnya, tetapi berpotensi menciptakan kerusakan bagi orang lain. Mereka yang sudah tertutup akalnya oleh miras berpotensi melakukan beragam kejahatan, bermusuhan dengan saudaranya, mencuri, merampok, membunuh, memperkosa, dan kejahatan lainnya.
Islam melarang total semua hal yang terkait dengan miras atau khamar, mulai dari pabrik dan produsen miras, distributor, penjual, hingga konsumen atau peminumnya. Rasulullah saw. telah melaknat terkait khamr 10 golongan, yakni pemerasnya yang minta diperaskan, peminumnya, pengantarnya yang minta diantarkan khamar, penuangnya penjualnya yang menikmati harganya, pembelinya dan yang minta dibelikan."(HR. At Tirmidzi)
Islam pun menerapkan sanksi yang sangat menjerakan pelaku. Ali ra. berkata,
“Rasulullah saw. mencambuk peminum khamar sebanyak 40 kali. Abu bakar juga 40 kali. Sedangkan Utsman 80 kali. Kesemuanya adalah sunah. Namun, yang ini (80 kali) lebih aku sukai.” (HR Muslim)
Untuk pihak selain yang meminum khamar, maka sangsinya berupa sanksi takzir. Bentuk dan kadar sanksi itu diserahkan kepada khalifah atau kadi sesuai ketentuan syariat dan tentunya sanksi itu harus memberikan efek jera. Produsen dan pengedar khamar akan dijatuhi sanksi yang lebih keras dari peminum khamar, sebab mereka akan menimbulkan bahaya yang lebih besar dan lebih luas bagi masyarakat.
Inilah ketentuan syariat Islam yang akan ditetapkan oleh Khilafah. Khilafah tidak akan mengambil kebijakan menghalalkan sesuatu yang telah jelas-jelas diharamkan Allah, sekalipun itu akan mendatangkan manfaat materiil.
Khilafah akan memberikan sanksi kepada siapa pun yang melanggar. Sistem sanksi yang tegas inilah yang berfungsi sebagai zawajir, yakni mencegah orang lain dari berbuat pelanggaran serupa dan jawabir yakni penebus dosa manusia di kehidupan akhirat kelak. Namun, fungsi ini hanya akan terwujud jika sistem Islam diterapkan secara menyeluruh dalam institusi Khilafah.
Wallahu àlam bisshawwab.
Oleh: Mutiara Aini
Sahabat Tinta Media