Tinta Media: Rasisme
Tampilkan postingan dengan label Rasisme. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rasisme. Tampilkan semua postingan

Minggu, 16 Juli 2023

Rasisme dan Hipokritisme Hak Asasi Manusia

Tinta Media - Jika kita menilik sejarah, Perancis memang pernah mengalami kolonialisme yang panjang. Pengaruh kolonialisme ini telah menciptakan ketegangan dan kesenjangan antara kelompok etnis di Perancis. 

Ditambah lagi dengan adanya Partai Ekstrim Kanan yang mempromosikan pandangan anti-imigran dan nasionalis juga memengaruhi retorika dan sikap terhadap kelompok minoritas di masyarakat, sehingga memperdalam ketegangan antarkelompok.

Oleh karena itu, kontroversi rasisme di Perancis bukanlah hal yang baru terjadi. Menurut data dari regulator kepolisian Perancis, sejak tahun 2021 terdapat 37 kematian selama operasi polisi yang tercatat, di antaranya sepuluh orang tewas ditembak.

Yang terbaru adalah tewasnya Nahel M, seorang remaja berusia 17 tahun keturunan Afrika Utara, yang ditembak dari jarak dekat oleh seorang polisi pada Selasa (27/6/2023) di daerah pinggiran Nanterre, Paris. Kematiannya ini memicu demonstrasi besar. Meskipun petugas kepolisian yang menembak remaja tersebut telah ditahan atas tuduhan pembunuhan, hal tersebut tidak mampu meredakan ketegangan antara polisi dan penduduk setempat. (Internasional.republika.co.id/02/7/2023)

Pengertian Rasisme dan Dampaknya bagi Masyarakat

Rasisme terbentuk dari sikap yang tumbuh dari naluri alamiah manusia, yaitu naluri mempertahankan diri. Pada prosesnya, naluri ini juga membuat ikatan dangkal antara orang-orang yang terhubung dengan rasisme, yaitu yang didasarkan pada kesukuan, patriotisme, dan nasionalisme. 

Ikatan berlebihan ini dapat memengaruhi sikap seseorang, terlebih anggapan superior ras tertentu terhadap ras lainnya juga kian diperkuat oleh teori "survival of the fittest" yang diajukan oleh Charles Darwin. Menurut teorinya, jika seseorang yang menjadi rasisme bisa mendapatkan lebih banyak keuntungan berguna untuk bertahan hidup, yaitu dengan memanfaatkan inferioritas ras lain yang dianggap lebih rendah dari mereka.

Samuel Morton, ilmuwan yang dikenal sebagai bapak rasisme ilmiah, juga mengatakan bahwa orang kulit putih adalah kelompok ras paling cerdas, dengan mengukur lingkar tengkorak. Menurutnya, orang kulit putih atau Kaukasia memiliki otak terbesar dari semua ras, sehingga muncul prasangka bahwa ras ini lebih baik daripada ras lainnya.

Sejatinya pandangan bahwa satu ras tertentu lebih berhak berkuasa atau mendominasi ras lain karena superioritas mereka hanyalah buah dari perasaan emosional dan pemikiran dangkal, sehingga kerap memunculkan diskriminasi dan konflik. Ini karena suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dan keberagaman bahasa warna kulit sendiri adalah fitrah alami manusia. Keragaman ini sekaligus membuktikan kekuasaan Allah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah Swt. dalam Al-Qur'an surah Ar-Rum ayat 22.

Namun, keberadaan sekularisme yang secara umum dipahami sebagai pemisahan domain otoritas agama dengan politik dan hukum, justru memperburuk konflik akibat ketimpangan SARA serta menegangkan relasi antara kelompok mayoritas dan minoritas.

Ketidakkonsistenan dan Hipokritisme dalam Penerapan HAM

Sementara, organisasi HAM (Hak Asasi Manusia) yang berperan sebagai mitra dan pemangku kepentingan dalam upaya PBB untuk melindungi dan mempromosikan hak asasi manusia, yang digadang-gadang dapat melindungi martabat setiap individu tanpa diskriminasi berdasarkan ras dan etnisitas, faktanya tidak mampu mencegah diskriminasi dan fenomena rasisme.

Sebaliknya, HAM hanya dijadikan alat Barat dalam mengemukakan hak pendapat demi kepentingan mereka. Contohnya, hak-hak asasi kaum L68TQ+ . Mereka berpendapat bahwa siapa pun yang melarang, berarti tidak menjalankan HAM dan hak keberagaman yang dimiliki setiap individu. 

Namun, di sisi lain, mereka bersikap abnormal terhadap penjajahan yang terjadi di Palestina. Mereka seolah menutup mata dan telinga ketika menyaksikan kekejaman zionis kepada masyarakat Palestina. Dari sini kita melihat betapa inkonsistensi serta hipokritnya Barat cerminan tabiatnya yang individualisme dan hanya ingin menang sendiri.

Meskipun begitu, sebagian besar masyarakat liberal sekuler selalu mengklaim bahwa mereka menolak segala bentuk rasisme hingga memasukan kesetaraan dalam konstitusi mereka. Namun, realitanya fondasi mereka dibangun di atas konsep nasionalisme dan keyakinan bahwa negara mereka masing-masing lebih unggul dari yang lainnya. 

Nilai-nilai Islam dan Implementasinya Mendorong Persamaan Derajat Manusia

Dalam paradigma Islam, kedudukan manusia dalam pandangan Islam sangatlah unik dan istimewa. Keistimewaan dan kemuliaan ini diberikan kepada seluruh manusia tanpa terkecuali, sehingga setiap individu memiliki hak kemanusiaan yang sama, tanpa membedakan warna kulit, suku, ras, penguasa atau rakyat jelata. Adapun pembedanya adalah ketakwaan dihadapan Allah Swt. sebagaimana firman-Nya dalam
Al-Qur'an surat al-Hujurat: 13)

Oleh karenanya, dalam Islam sikap diskriminasi berdasarkan ras, suku, atau agama sangat dilarang. Sebab, Islam mengajarkan persaudaraan universal antara semua manusia tanpa memandang perbedaan etnis, warna kulit, atau asal usul mereka. Hal ini pernah di sampaikan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya:

"Ketahuilah bahwa tidak ada keutamaan bagi orang Arab di atas orang ajam (non-Arab), tidak keutamaan bagi orang ajam di atas orang Arab, juga bagi yang berkulit merah di atas yang berkulit hitam, atau bagi yang berkulit hitam di atas yang berkulit merah kecuali dengan sebab ketakwaan. (HR. Ahmad)

Oleh karena itu, jika pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia didasarkan pada ajaran agama dan kepatuhan kepada Allah, maka konsep-konsep seperti kesetaraan, keadilan, dan saling menghormati dapat menjadi pondasi dalam masyarakat yang diwarnai oleh harmoni antarindividu.

Sejarah telah membuktikan, bagaimana bangsa Arab sebelum Islam datang, yang merupakan struktur kesukuan. Namun, Islam hadir memberikan sebuah ikatan baru antara manusia kepada dunia; ikatan yang melampaui semua ikatan lainnya, yakni ikatan ideologis berdasarkan akidah Islam.

Tatkala ideologi diterapkan dalam satu sistem, yaitu sistem Islam terbukti mampu menyatukan hampir 2/3 dunia selama 13 abad, yang menyatukan manusia dari berbagai ras, warna kulit, suku bangsa. Oleh karena itu, jika manusia mengikuti prinsip-prinsip Islam dengan sebenar-benarnya, maka niscaya rasisme dan diskriminasi dapat dikurangi, sehingga kita dapat melangkah menuju dunia yang bebas dari rasisme dan diskriminasi.

WalLahu a'lam bi ash-shawab.

Oleh: Indri Wulan Pertiwi
Aktivis Muslimah Semarang 

Senin, 10 Juli 2023

MMC: Rasisme Tidak Ada di Dalam Sistem Khilafah dan Bukan Ajaran Islam

Tinta Media - Narator  Muslimah Media Center (MMC) menyatakan  rasisme tidak ada di dalam sistem Khilafah dan bukan ajaran Islam. 

"Berbeda dengan sistem sekulerisme demokrasi, rasisme tidak ada di dalam sistem khilafah dan bukan ajaran Islam," terangnya dalam program serba serbi MMC: Isu Rasisme berujung kerusuhan di Prancis, bukti hiprokisi HAM? di kanal Youtube Muslimah Media Center, Selasa (4/7/2023).

Ia menambahkan, meskipun Islam diturunkan di Arab, Allah menegaskan melalui lisan kekasihnya Nabiyullah ﷺ  bahwa bangsa Arab tidak memiliki kelebihan apapun dibandingkan dengan non Arab. 

"Allah menegaskan semua manusia sama di hadapan Allah ta'ala yang membedakan diantara mereka hanyalah ketakwaan saja," tambahnya.

Narator juga mengutip firman Allah dalam al qur'an surat Al Hujarat ayat 13 berbunyi "Wahai manusia sungguh kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa sungguh Allah Maha Mengetahui Maha teliti".

Atha' bin Abi Rabbah

Narator menuturkan, ketika masa khilafah berdiri selama 1.300 tahun lamanya, berbagai ras suku bangsa maupun warna kulit bisa hidup dalam kerukunan dan kesatuan.

"Salah satu buktinya adalah seorang ulama besar yang hidup pada masa kekhalifahan Bani Umayyah bernama Atha' bin abi Rabbah," terangnya. 

Ia menambahkan, Atha' adalah seorang budak berkulit hitam milik Habibah binti Maisaroh Bin Abu Husain dan tinggal di Mekkah. 

"Sang tuan melihat potensi keilmuan Atha' yang luar biasa, kemudian Habibah memerdekakan Atha agar Atha bisa memperdalam keilmuannya ataupun menjadi seorang ulama," tambahnya.

Lalu, narator menuturkan, keilmuan Atha diakui oleh kekhilafahan Bani Umayyah sehingga  diangkat menjadi seorang Mufti atau pemberi fatwa untuk musim Haji pada masa Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik.

"Di samping itu Atha juga diangkat sebagai penasehat khalifah. Tidak hanya konsep tersebut, konsep toleransi dalam Islam juga mampu menyatukan berbagai agama dalam satu kepemimpinan negara Khilafah," pungkasnya.[] Amar Dani
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab