Tinta Media: Rasis
Tampilkan postingan dengan label Rasis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rasis. Tampilkan semua postingan

Rabu, 03 Januari 2024

SENATOR BALI (DPD RI) ARYA WEDAKARNA, RASIS

Tinta Media - Mengutip informasi dari website kantor berita yang memberitakan bahwa Senator Bali Arya Wedakarna mendadak viral di lini masa X. Akibat video ketika Arya sedang memarahi kepala Kanwil Bea Cukai Bali Nusa Tenggara dan kepala Bea Cukai Bandara I Gusti Ngurah Rai, serta pengelola bandara.  "Saya gak mau yang front line, front line itu, saya mau yang gadis Bali kayak kamu, rambutnya kelihatan terbuka. Jangan kasih yang penutup, penutup gak jelas, this is not Middle East. Enak aja Bali, pakai bunga kek, pake apa kek,". 

Berkaitan dengan hal tersebut di atas saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut: 

Pertama, bahwa yang menjadi krusial dari pernyataan tersebut adalah membandingkan 2 (dua) subjek yaitu gadis Bali dan gadis yang pakai penutup. Apabila hanya membandingkan saja tidak terdapat persoalan, tetapi jika terdapat "kalimat repetisi" dan "kata keterangan". Kalimat Repetisi adalah pengulangan sebuah kata yang dianggap penting, hal ini dapat disimak kalimat awal "Jangan kasih yang penutup" lalu diberi kalimat Repetisi "penutup gak jelas". Pernyataan Arya Wedakarna menjadi jelas ketika ditambah "kata keterangan" yaitu "this is not Middle East ". penggunaan kata keterangan ini dapat signifikan membantu dalam memahami dengan lebih jelas dan ekspresif; 

Kedua, bahwa berdasarkan penjelasan di atas yaitu pernyataan Arya Wedakarna yang ditambah "Kalimat Repetisi" dan "Kata Keterangan". Kemudian berdasarkan teori tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi sebagai berikut pernyataan "Jangan kasih yang penutup, penutup gak jelas, this is not Middle East" tuturan tersebut mengarah pada semua orang dalam hal ini adalah perempuan (mitra tutur) bahwa yang menggunakan penutup kepala adalah tidak jelas, ini bukan Middle East atau timur Tengah, sementara perempuan timur Tengah dikenalnya menggunakan hijab. Juga dapat dianalisis menggunakan "kata konotasi"; 

Ketiga, bahwa sehingga pernyataan Arya Wedakarna tampak seperti menghina dan mencela hijab. Sebab, bagi umat Islam, hijab merupakan ajaran Islam dan bentuk memuliakan perempuan. Pernyataan tersebut dapat dikategorikan tindak pidana 156a KUHP yaitu Unsur perbuatan tindak pidananya berupa : pelecehan, merendahkan terhadap suatu ajaran agama yang dianut di Indonesia adalah perbuatan yang dapat dipidana berdasarkan Pasal 156a KUHP; dan unsur dengan sengaja mengeluarkan perasaan atau perbuatan merendahkan, melecehkan ajaran agama serta dinyatakan di hadapan dan/atau ditujukan kepada publik, artinya dapat dinilai unsur sengaja terpenuhi; 

Demikian
IG @chandrapurnairawan

Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.
Ketua LBH Pelita Umat, Mahasiswa Doktoral 

Minggu, 05 Februari 2023

Al-Qur’an Dibakar, Dr. Ahmad Sastra: Islamofobia Semakin Menggila

Tinta Media - Peristiwa pembakaran Al-Qur’an oleh Poludan berikut pernyataannya akan melakukannya setiap Jumat sampai Swedia masuk NATO, menurut Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra hal itu menunjukkan islamofobia semakin menggila.

“Peristiwa itu menunjukkan bahwa Islamofobia semakin menggila dan tentu saja tindakan rasis yang menyakiti umat Islam sedunia. Hanya orang gila dan rasis yang nekat membakar Al-Qur’an, kitab suci, dan disucikan oleh umat Islam seluruh dunia,” tuturnya kepada Tinta Media, Selasa (24/1/2023).

Ia mengkritik tindakan Poludan tersebut yang didukung oleh peraturan negara atas nama kebebasan berekspresi. “Kegilaan atas nama kebebasan berekspresi di negara-negara demokrasi bukan sekedar tindakan individual, namun memang diakui oleh konstitusi,” kritiknya.

Poludan merupakan satu dari ribuan orang-orang abnormal pendengki Islam dengan tindakan-tindakan yang justru bertentangan dengan narasi toleransi yang selama ini didengung-dengungkan di dunia Barat. Seperti homoseksual yang diklaim Barat sebagai kebebasan dalam berekspresi justru didukung sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM). Inilah jahatnya Barat, termasuk Swedia yang tidak melarang Poludan, bahkan aksinya dijaga oleh sejumlah polisi.

“Barat itu standar ganda dalam kebijakan politiknya. Di satu sisi mengampanyekan kebebasan berekspresi, namun jika umat Islam mengekspresikan kebebasannya untuk menjalankan ajaran agamanya, seperti memakai cadar, Barat justru menuduhnya sebagai kaum radikal dan ekstrimis,” ujarnya dengan tegas.

Dr. Ahmad mengungkapkan bahwa Islamphobia ini bukan hanya berupa pembakaran Al Qur’an, tetapi sering juga terjadi berupa kriminalisasi dan diskriminasi atas muslim, serangan kepada masjid, aksi kekerasan atas muslim, pelarangan jilbab dam burdah, dan lain sebagainya.
“Dan islamphobia di Barat itu didukung oleh konstitusi negara, bahkan media-media yang ada,” ungkapnya.

Tindakan-tindakan rasis terhadap umat Islam, menurut pandangan Dr. Ahmad, terjadi karena tidaknya institusi negara, umat Islam menjadi lemah dan dilema di saat dihina oleh kaum kafir, tidak dapat melakukan tindakan apa pun kecuali hanya sebatas kecaman.

“Tiadanya institusi negara mengakibatkan umat Islam hanya bisa marah dan mengecam, namun tidak bisa melakukan tindakan hukum tegas, sebab negeri-negeri muslim juga menerapkan ideologi demokrasi sekuler yang menyewakan kebebasan dan HAM,” tuturnya.

Dr. Ahmad Sastra menegaskan seharusnya para kepala negara muslim menyadari akan islamphobia ini sebagai proyek Barat untuk menghancurkan Islam. Ia mengkritisi sikap para penguasa negeri muslim yang justru mendukung propaganda Barat dengan membenci Islam dan melakukan berbagai tuduhan keji kepada ajaran Islam.

“Kepala negara akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah atas sikapnya di saat agama Allah ini dihina. Idealnya ada negeri muslim yang melakukan tekanan dan tindakan nyata atas penghinaan Islam ini,” tegasnya.

Sayangnya, negeri-negeri muslim justru membeberkan Barat dan tidak membela Islam bahkan tidak menerapkan hukum-hukum Islam sebagai konstitusi negaranya. Nasionalisme telah menjadikan negeri-negeri muslim lemah, seperti buah di lautan, bahkan seperti makanan yang diperebutkan banyak orang.

Ia mengatakan bahwa di dalam ajaran Islam, penghinaan Islam itu dihukum mati oleh negara. Sebagaimana pendapat Ibnu Taimiyah yang menyatakan siapa saja yang menghina Islam secara umum dihukum mati oleh negara Islam, baik pelakunya muslim maupun kafir.

“Tidak adanya negara Islam, menjadikan hukuman mati tidak dapat dilakukan karena konstitusinya tidak mendukung. Idealnya negeri-negeri muslim melakukan tindakan tegas dengan memberlakukan hukuman mati bagi siapa pun yang menghina Islam, Allah, Rasulullah, dan Al Qur’an. Mestinya Poludan Rasmus ini dihukum mati dengan digantung di depan umum,” pungkasnya. [] Ageng Kartika









Al-Qur’an Dibakar, Dr. Ahmad Sastra: Islamofobia Semakin Menggila

Tinta Media - Peristiwa pembakaran Al-Qur’an oleh Poludan berikut pernyataannya akan melakukannya setiap Jumat sampai Swedia masuk NATO, menurut Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra hal itu menunjukkan islamofobia semakin menggila.

“Peristiwa itu menunjukkan bahwa Islamofobia semakin menggila dan tentu saja tindakan rasis yang menyakiti umat Islam sedunia. Hanya orang gila dan rasis yang nekat membakar Al-Qur’an, kitab suci, dan disucikan oleh umat Islam seluruh dunia,” tuturnya kepada Tinta Media, Selasa (24/1/2023).

Ia mengkritik tindakan Poludan tersebut yang didukung oleh peraturan negara atas nama kebebasan berekspresi. “Kegilaan atas nama kebebasan berekspresi di negara-negara demokrasi bukan sekedar tindakan individual, namun memang diakui oleh konstitusi,” kritiknya.

Poludan merupakan satu dari ribuan orang-orang abnormal pendengki Islam dengan tindakan-tindakan yang justru bertentangan dengan narasi toleransi yang selama ini didengung-dengungkan di dunia Barat. Seperti homoseksual yang diklaim Barat sebagai kebebasan dalam berekspresi justru didukung sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM). Inilah jahatnya Barat, termasuk Swedia yang tidak melarang Poludan, bahkan aksinya dijaga oleh sejumlah polisi.

“Barat itu standar ganda dalam kebijakan politiknya. Di satu sisi mengampanyekan kebebasan berekspresi, namun jika umat Islam mengekspresikan kebebasannya untuk menjalankan ajaran agamanya, seperti memakai cadar, Barat justru menuduhnya sebagai kaum radikal dan ekstrimis,” ujarnya dengan tegas.

Dr. Ahmad mengungkapkan bahwa Islamphobia ini bukan hanya berupa pembakaran Al Qur’an, tetapi sering juga terjadi berupa kriminalisasi dan diskriminasi atas muslim, serangan kepada masjid, aksi kekerasan atas muslim, pelarangan jilbab dam burdah, dan lain sebagainya.
“Dan islamphobia di Barat itu didukung oleh konstitusi negara, bahkan media-media yang ada,” ungkapnya.

Tindakan-tindakan rasis terhadap umat Islam, menurut pandangan Dr. Ahmad, terjadi karena tidaknya institusi negara, umat Islam menjadi lemah dan dilema di saat dihina oleh kaum kafir, tidak dapat melakukan tindakan apa pun kecuali hanya sebatas kecaman.

“Tiadanya institusi negara mengakibatkan umat Islam hanya bisa marah dan mengecam, namun tidak bisa melakukan tindakan hukum tegas, sebab negeri-negeri muslim juga menerapkan ideologi demokrasi sekuler yang menyewakan kebebasan dan HAM,” tuturnya.

Dr. Ahmad Sastra menegaskan seharusnya para kepala negara muslim menyadari akan islamphobia ini sebagai proyek Barat untuk menghancurkan Islam. Ia mengkritisi sikap para penguasa negeri muslim yang justru mendukung propaganda Barat dengan membenci Islam dan melakukan berbagai tuduhan keji kepada ajaran Islam.

“Kepala negara akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah atas sikapnya di saat agama Allah ini dihina. Idealnya ada negeri muslim yang melakukan tekanan dan tindakan nyata atas penghinaan Islam ini,” tegasnya.

Sayangnya, negeri-negeri muslim justru membeberkan Barat dan tidak membela Islam bahkan tidak menerapkan hukum-hukum Islam sebagai konstitusi negaranya. Nasionalisme telah menjadikan negeri-negeri muslim lemah, seperti buah di lautan, bahkan seperti makanan yang diperebutkan banyak orang.

Ia mengatakan bahwa di dalam ajaran Islam, penghinaan Islam itu dihukum mati oleh negara. Sebagaimana pendapat Ibnu Taimiyah yang menyatakan siapa saja yang menghina Islam secara umum dihukum mati oleh negara Islam, baik pelakunya muslim maupun kafir.

“Tidak adanya negara Islam, menjadikan hukuman mati tidak dapat dilakukan karena konstitusinya tidak mendukung. Idealnya negeri-negeri muslim melakukan tindakan tegas dengan memberlakukan hukuman mati bagi siapa pun yang menghina Islam, Allah, Rasulullah, dan Al Qur’an. Mestinya Poludan Rasmus ini dihukum mati dengan digantung di depan umum,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Kamis, 19 Mei 2022

Ruhut Sitompul Diduga Rasis, Prof. Suteki: Bagian Karakter Sistem Demokrasi Sekuler


Tinta Media  - Dugaan rasis yang dilakukan politisi Ruhut Sitompul terhadap Anies Baswedan, dinilai Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. sebagai bagian karakter sistem demokrasi sekuler yang tidak ada kesetiaan dan idealitas.

"Karakter sistem demokrasi sekuler memang tidak ada kesetiaan dan idealitas," tuturnya pada acara segmen Tanya Profesor : Dugaan Ra515 Ruhut S Wajib Diproses Hukum, Jumat (13/05/2022) di kanal YouTube Prof. Suteki.

Bahkan kata orang, lanjut Suteki, sistem demokrasi sekuler itu istilahnya tidak ada teman dan musuh abadi. Yang abadi itu adalah kepentingannya. Yang kemudian menyebabkan politik itu sering dikatakan sebagai dunia yang kotor. Dan kalau dunianya kotor lalu pemainnya biasanya cenderung berbuat kotor. Sehingga menggunakan semua cara untuk mencapai tujuannya.

Menurutnya, politisi tidak peduli tentang halal maupun haram. "Politisi itu tidak peduli halal atau haram, etis atau tidak etis, rasis atau tidak rasis. Bahkan kalau perlu dengan penghinaan atau pelecehan terhadap pihak yang berseberangan itu hal yang biasa," paparnya.

Ia berharap Bang Ruhut S. tidak termasuk yang demikian. "Saya berharap Bang Ruhut tidak termasuk yang demikian. Saya berharap politisi itu punya idealitas yaitu memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Bukan hanya kepentingan partai atau kelompoknya saja," ujarnya.

Bahkan jika partainya itu salah, kata Suteki, harus berani mengakui kesalahan dan bukan membela membabi buta apalagi harus menyerang pihak yang lain dengan narasi jahat.

Terakhir, ia berharap agar para politisi bersikap baik dan mulia. "Tunjukkan kebaikan dan prestasi diri, sehingga pembelaan terhadap kebenaran dan keadilan terus bisa dilakukan. Demikian itu adalah politisi yang sebaliknya yaitu politisi yang mulia," pungkasnya. [] Nur Salamah
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab