Tinta Media: Ramadan
Tampilkan postingan dengan label Ramadan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ramadan. Tampilkan semua postingan

Senin, 08 April 2024

Ramadan yang Tak Lagi Suci

Tinta Media - Ramadan adalah bulan suci yang  bisa mencegah orang untuk berbuat kejahatan. Namun, kesucian bulan Ramadan ternodai dengan maraknya kejahatan di tengah masyarakat. Dikutip dari jawapost.com (22/3/2024), Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengungkapkan bahwa kasus kriminal yang terjadi di bulan Ramadan mengalami peningkatan yang signifikan. Dalam keterangan resminya,  Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Erdi Adrimulan Chaniago menjelaskan bahwa pada 18 Maret 2024 terjadi kenaikan kasus sebanyak 1.145 kasus atau 112,14 persen. Ia menjabarkan, terdapat lima jenis kejahatan yang menjadi catatan tertinggi kepolisian, yaitu pencurian dengan pemberatan, narkotika, curanmor, judi, dan pencurian dengan kekerasan.

Menurut hasil pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Stufies (ISESS) Bambang Rukminto, meningkatnya tren kejahatan di bulan Ramadan kali ini disebabkan karena adanya peningkatan kebutuhan yang tinggi pada masyarakat. Menurut Bambang, dengan adanya peningkatan kebutuhan, maka pengeluaran dari masyarakat juga akan terus meningkat, sementara peningkatan kebutuhan masyarakat tersebut tidak diiringi dengan peningkatan penghasilan. Ia juga menyayangkan upaya dari kepolisian untuk mengantisipasi kejahatan ini, padahal siklus kejahatan di bulan Ramadan dan jelang Lebaran itu terjadi setiap tahun. Seharusnya bisa diantisipasi dengan cara yang tepat. (mediaindonesia.com, 21/3/2024).

Maraknya kejahatan seperti ini tiada lain disebabkan oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Faktor internal dipengaruhi oleh keimanan masyarakat yang belum sempurna. Perbuatannya tidak dibalut dengan ketakwaan dan tidak mencerminkan kepribadian islami meskipun keyakinannya adalah Islam. Mereka mampu menghalalkan berbagai macam cara tanpa peduli bahwa amalannya kelak akan dipertanggungjawabkan.

Namun, faktor internal ini sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu penerapan sistem kapitalisme sekularisme yang menjadi landasan bagi segala bentuk peraturan yang ada di negeri ini, baik pendidikan, ekonomi, dan bidang lainnya. 

Perilaku masyarakat yang liberal juga lahir dari sistem ini. Sistem ini menjadikan materi sebagai standar utama kebahagiaan. Hal inilah yang membuat umat Islam mudah melakukan kejahatan atau kriminalitas. Materi pengajaran agama yang diajarkan juga sangat minim. Agama Islam sebagai ideologi tidak diajarkan, hanya diajarkan sebagai ibadah ritual saja.

Sekularisme juga menjadi landasan dalam berekonomi di negeri ini. Inilah yang menjadi kunci utama penyebab kemiskinan struktural. Liberalisasi kepemilikan publik dan leluasanya pihak swasta dalam mengendalikan kebutuhan hidup masyarakat telah nyata menjauhkan masyarakat dari kesejahteraan. Yang katanya dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat, tetapi faktanya dari oligarki untuk oligarki, dan oleh oligarki.

Sistem ini juga banyak merampas hak rakyat. Rakyat yang seharusnya mendapatkan kebutuhan pokok seperti jalan, air, listrik, dan lainnya secara mudah, tetapi saat ini harus menggapainya dengan cara yang sulit dan biaya yang tinggi. Maraknya kejahatan seperti ini juga disebabkan oleh sanksi yang tidak membuat jera bagi pelakunya. 

Sungguh, hanya Islamlah sistem yang mampu menyelesaikan segala problematika kehidupan secara tuntas. Islam menjadikan negara sebagai ra'in (pengatur), yang akan menjamin kesejahteraan rakyat melalui pemenuhan kebutuhan pokok rakyat oleh negara. Selain itu, juga adanya jaminan keamanan oleh negara. Hal ini tentu akan sangat meminimalisir terjadinya tindak kejahatan pada masyarakat.

Islam juga membangun kehidupan yang aman dan tenteram dengan kekuatan tiga pilar, yaitu ketakwaan individu, masyarakat yang peduli, dan negara yang menerapkan aturan Islam, termasuk sistem sanksi yang adil dan tegas. Negara akan membina individu rakyat agar menjadi pribadi yang bertakwa. Negara juga menerapkan sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam sehingga setiap individu akan paham untuk apa tujuan hidupnya di dunia.

Pada tataran masyarakat, akan muncul budaya amar makruf nahi mungkar sehingga mampu meminimalisir kejahatan sekecil apa pun, juga saling peduli dan membantu apabila ada yang merasa kesulitan secara materi. Selain menjamin kebutuhan pokok masyarakat, negara juga akan memberikan sanksi bagi setiap pelaku kejahatan dengan sanksi yang bersifat jawabir atau penebus dosa pelaku dan zawajir atau pencegah orang lain berbuat yang serupa.

Demikianlah, hanya Islam yang mampu mengatur tatanan kehidupan secara sempurna dan mampu mewujudkan keamanan dam kesejahteraan dalam kehidupan. Wallahu 'alam bishshawab.

Oleh: Shiera KT
Aktivis Muslimah

Rabu, 22 Maret 2023

KH M. Shiddiq Al-Jawi: Berdosa Menunda Qadha’ Puasa Hingga Ramadhan Berikutnya

Tinta Media - Pakar Fiqh Kontemporer KH M. Shiddiq Al-Jawi, S.Si., M.SI. menyatakan berdosa bagi seseorang yang menunda qadha' puasa hingga masuk Ramadhan berikutnya.

“Adapun dalam hal waktu mengqadha', qadha', wajib dilaksanakan selambat-lambatnya pada bulan Sya’ban dan berdosa jika seseorang menunda qadha' hingga masuk Ramadhan berikutnya,” tuturnya pada program Kajian Soal Jawab Fiqih: Belum Qadha` Puasa Ramadhan Sudah Datang Lagi, Kamis(16/03/2023) di kanal YouTube Ngaji Shubuh.

Namun demikian, menurut Ustadz Shiddiq, barangsiapa yang belum meng-qadha' puasa Ramadhan yang lalu, kemudian sudah datang lagi Ramadhan berikutnya, maka harus dilihat dulu alasan penundaan (ta'khir) qadha tersebut. Jika penundaan itu karena ada udzur syar’i (alasan syar’i), seperti karena sakit, nifas, menyusui, atau hamil, maka tidak mengapa. “Tidak masalah, tidak ada dosa,” tegasnya. 

“Demikian menurut seluruh mazhab tanpa ada perbedaan pendapat, sebab yang bersangkutan dimaafkan karena ada udzur dalam penundaan qadha'-nya,” lanjutnya.

Namun, lanjutnya, jika penundaan qadha` itu tanpa ada udzur syar’i, maka para ulama berbeda pendapat dalam dua pendapat. Pendapat Pertama, pendapat jumhur, yaitu Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan lain-lain.

“Bahwa, orang tersebut di samping tetap wajib mengqadha`, dia wajib juga membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari dia tidak berpuasa. Fidyah ini adalah sebagai kaffarah (penebus) dari penundaan qadha`-nya,” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, II/81, Yusuf al-Qaradhawi, Fiqhush Shiyam, hlm. 64). 

Ustadz Shiddiq kemudian menjelaskan bahwa pendapat pertama ini terbagi lagi menjadi dua: Menurut ulama Syafi’iyah, fidyah tersebut berulang dengan berulangnya Ramadhan (Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala al-Mazahib Al-Arba’ah Kitabush Shiyam (terj), hal.109).

Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, fidyah hanya sekali, yakni tidak berulang dengan berulangnya Ramadhan (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/680).

Berikutnya, Kiai menyampaikan pendapat Kedua, yaitu pendapat Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya, Imam Ibrahim An-Nakha`i, Imam al-Hasan Al-Bashri, Imam Al-Muzani (murid Asy-Syafi’i), dan Imam Dawud bin Ali. Mereka mengatakan bahwa orang yang menunda qadha' hingga datang Ramadhan berikutnya, tidak ada kewajiban atasnya selain qadha'. Tidak ada kewajiban membayar kaffarah (fidyah) (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/240; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/240).

Disampaikannya dalil pendapat pertama yang mewajibkan fidyah di samping qadha’ karena adanya penundaan qadha` hingga masuk Ramadhan berikutnya, adalah perkataan sejumlah sahabat, seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah. (Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm], 2000, hal. 872). 

Ath-Thahawi meriwayatkan dari Yahya bin Aktsam: "Aku mendapati pendapat ini dari enam sahabat yang tidak aku ketahui dalam masalah ini ada yang berbeda pendapat dengan mereka." 

Selain itu, Kiai menyampaikan pendapat Imam Syaukani yang menjelaskan dalil lain bagi pendapat pertama ini. Yaitu sebuah riwayat dengan isnad dhaif dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW tentang seorang laki-laki yang sakit di bulan Ramadhan lalu dia tidak berpuasa, kemudian dia sehat namun tidak mengqadha` hingga datang Ramadhan berikutnya. Maka Nabi SAW bersabda : "Dia berpuasa untuk bulan Ramadhan yang menyusulnya itu, kemudian dia berpuasa untuk bulan Ramadhan yang dia berbuka padanya dan dia memberi makan seorang miskin untuk setiap hari [dia tidak berpuasa]." (yashuumu alladziy adrakahu tsumma yashuumu asy-syahra alladziy afthara fiihi wa yuth’imu kulla yaumin miskiinan). (HR Ad-Daruquthni, II/197). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 871; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/689).

Dalil pendapat kedua (ulama Hanafiyah), bahwa orang yang menunda qadha` hingga datang Ramadhan berikutnya, tidak ada kewajiban atasnya selain qadha`. Dikarenakan adanya kemutlakan nash Al-Qur`an yang berbunyi: "fa-‘iddatun min ayyamin ukhar" yang berarti "maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (QS Al-Baqarah [2] : 183). 

“Jadi boleh meng-qadha' puasa kapan saja dan tidak ada kewajiban membayar kaffarah (fidyah) apa pun,” jelasnya.

Menurut kiai, perlu ditambahkan bahwa dalam masalah menunda qadha' (ta'khir al-qadha'), Imam Abu Hanifah memang membolehkan qadha` puasa Ramadhan kapan saja walau pun sudah datang lagi Ramadhan berikutnya. Dalilnya adalah kemutlakan nash Al-Baqarah : 183.

“Kewajiban mengqadha puasa Ramadhan adalah kewajiban yang lapang waktunya tanpa ada batasan tertentu, walaupun sudah masuk Ramadhan berikutnya." (wujuubu al-qadhaa`i muwassa’un duuna taqyiidin walaw dakhala ramadhan ats-tsaniy). Mahmud Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 122.

Sedangkan jumhur berpendapat bahwa penundaan qadha` selambat-lambatnya adalah hingga bulan Sya’ban dan tidak boleh sampai masuk Ramadhan berikutnya. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ahmad dari ‘A`isyah RA dia berkata : "Aku tidaklah mengqadha` sesuatu pun dari apa yang wajib atasku dari bulan Ramadhan, kecuali di bulan Sya’ban hingga wafatnya Rasulullah SAW." 

Dari dalil-dalil di atas,Ustadz Shiddiq menyampaikan dalil yang _rajih_ (kuat). Mengenai wajib tidaknya fidyah atas orang yang menunda qadha` Ramadhan hingga datang Ramadhan berikutnya, pendapat yang rajih adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Ibrahim An-Nakha`i, dan lain-lain, yaitu bahwa orang yang menunda qadha hingga masuk Ramadhan, hanya berkewajiban qadha`. “Ttidak wajib membayar fidyah,” tuturnya.

Menurutnya itu dikarenakan kewajiban membayar fidyah bagi orang yang menunda qadha` Ramadhan hingga masuk Ramadhan berikutnya, membutuhkan adanya dalil khusus dari nash-nash syara’. “Padahal tidak ditemukan nash yang layak menjadi dalil untuk kewajiban fidyah itu,” terangnya.

Adapun dalil hadits Abu Hurairah yang dikemukakan, yaitu sabda Nabi SAW : "Dia berpuasa untuk bulan Ramadhan yang menyusulnya itu, kemudian dia berpuasa untuk bulan Ramadhan yang dia berbuka padanya dan dia memberi makan seorang miskin untuk setiap hari [dia tidak berpuasa]." (HR Ad-Daruquthni, II/197).
“Maka hadits ini adalah hadits dhaif yang tidak layak menjadi hujjah (dalil),” tegasnya.
 
Disampaikannya bahwa Imam Syaukani berkata,"…telah kami jelaskan bahwa tidak terbukti dalam masalah itu satu pun [hadits shahih] dari Nabi SAW." (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 872). 

Dijelaskannya pula dari Yusuf al-Qaradhawi meriwayatkan tarjih serupa dari Shiddiq Hasan Khan dalam kitabnya Ar-Raudatun An-Nadiyah (I/232),"…tidak terbukti dalam masalah itu sesuatu pun [hadits sahih] dari Nabi SAW." (Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqhush Shiyam, hal. 64).

Menurutnya, pendapat beberapa sahabat yang mendasari kewajiban fidyah itu, adalah dasar yang lemah. “Sebab pendapat sahabat --yang dalam ushul fiqih disebut dengan mazhab ash-shahabi atau qaul ash-shahabi— bukanlah hujjah (dalil syar’i) yang layak menjadi sumber hukum Islam,” paparnya. 

Kiai menyampaikan perkataan Imam Syaukani, "Pendapat yang benar bahwa qaul ash-shahabi bukanlah hujjah [dalil syar’i]." (Imam Syaukani, Irsyadul Fuhul, hal. 243). 

Sedangkan Imam Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan,"…mazhab sahabat tidak termasuk dalil syar’i." 

Mengenai periwayatan ath-Thahawi dari Yahya bin Aktsam bahwa dia berkata, "Aku mendapati pendapat ini dari enam sahabat yang tidak aku ketahui dalam masalah ini ada yang berbeda pendapat dengan mereka", tidaklah dapat diterima. Kata Syekh Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, "Sesungguhnya riwayat-riwayat dari sahabat ini tidaklah terbukti, sebab riwayat-riwayat itu berasal dari jalur-jalur riwayat yang lemah [dhaif]. Maka ia wajib ditolak dan tidak boleh ditaqlidi atau diikuti.“(Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal.210).

Masalah Waktu Qadha menurut Kiai Shiddiq yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur, bukan pendapat Imam Abu Hanifah, rahimahullah. Jumhur mengatakan bahwa mengqadha` puasa Ramadhan itu waktunya terbatas, bukan lapang (muwassa`) sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah. 
“Maka qadha wajib dilakukan sebelum masuknya Ramadhan berikutnya. Jika seseorang menunda qadha tanpa udzur hingga masuk Ramadhan berikutnya, dia berdosa,” pungkasnya.[] Raras

Selasa, 21 Maret 2023

Marhaban Ya Ramadan

Tinta Media - Sebentar lagi bulan yang dinantikan oleh kaum muslimin akan tiba, yaitu bulan Ramadan, bulan penuh kemuliaan, dan bulan yang penuh keutamaan. Di bulan Ramadan, Allah senantiasa melipat gandakan pahala, menurunkan rahmat dan ampunan-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang berpuasa dengan penuh keimanan dan hanya mengharap Rida Allah. 

Rasulullah bersabda, yang artinya:

"Siapa saja yang berpuasa Ramadan dengan penuh keimanan dan hanya mengharap pahala-Nya, maka dosa-dosanya yang lalu akan di ampuni (HR Mutafaq'alaih).

Keutamaan bulan Ramadan, antara lain:

Pertama, Ramadan sebagai penghulu bulan. Nabi Muhammad saw. bersabda, yang artinya:

"Penghulu bulan adalah Ramadan dan Penghulu hari adalah Jumat (HR Ibnu Abi ad-Dunya').

Kedua, Ramadan sebagai bulan pembakaran atau penghapus dosa-dosa. Rasulullah saw. bersabda, yang artinya: 

"Sungguh dinamakan Ramadan karena ia membakar dosa-dasa (Asy-Saukani,Fath al-Qodir, 1/240).

Ketiga, Ramadhan sebagai Nujulul Qur'an atau bulan diturunkannya Al-Qur'an. Allah Swt. berfirman, yang artinya:

"Ramadan adalah bulan yang didalamnya Al-Qur'an diturunkan, sebagai petunjuk bagi manusia serta berisi ragam penjelasan mengenai petuntuk itu dan pembeda antara yang benar dan yang batil (QS Al-Baqarah: 185).

Al-Qur'an adalah wahyu Allah sekaligus mukjizat terbesar untuk Rasulullah saw. Al-Qur'an juga merupakan hujjah dalam berdakwah dan sumber hukum bagi kaum muslim. 

Al-Qur'an diturunkan pada malam bulan Ramadan, yaitu malam lailatul qadar, yaitu malam yang penuh keberkahan. Allah Swt. berfirman yang artinya:

"Pada malam itu turun para malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar (QS Ql-Qodar: 4-5).

Keempat, Ramadan adalah bulan yang di dalamnya pintu-pintu surga di buka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu. 

Nabi saw. bersabda, yang artinya:

"Saat Ramadan tiba pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu (HR al-Bukhari dan Muslim).

Imam Ibnu Hajar menyebutkan bahwa maksud dari setan-setan dibelenggu adalah setan tidak bebas mengganggu kaum muslimin sebagaimana bebasnya mereka pada bulan selain Ramadan. Ini karena kaum muslimin sibuk dengan puasa yang menahan sahwat dan sibuk dengan membaca Al-Qur'an dan zikir.

Kelima, Ramadan adalah bulan dilipatgandakannya pahala. Allah Swt. berfirman dalam hadis qudsi yang artinya:

"Setiap amal kebaikan manusia akan dilipatgandakan pahalanya dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat."

Allah Swt. berfirman, yang artinya: 

"Kecuali puasa. Amalan puasa adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalas pahalanya, Hal itu karena yang berpuasa telah meninggalkan sahwat dan makanan karena-Ku"(HR al-Bukhari dan Muslim).

Sudah sepantasnya seorang mukmin bergembira dan bersemangat dalam menyambut bulan Ramadan karena sejatinya seorang muslim paham akan betapa besar kemuliaan dan balasan kebaikan yang Allah limpahkan pada orang-orang yang beramal saleh selama bulan Ramadan. .

Kita dinaungi keberkahan, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu, setiap do'a dikabulkan, ampunan diberikan dan amal dilipatgandakan. Akan tetapi, kita tetap harus mawas diri.

Nabi saw. mengingatkan bahwa ada orang-orang yang justru merugi manakala Ramadan tiba dan berlalu. Beliau bersabda, yang artinya:

"Jibril as.berkata kepada diriku, 'Sungguh merugi seseorang yang masuk ke dalam bulan Ramadan, lalu tidak diampuni dosanya.' Akupun mengucapkan: Amin." (HR al-Bukhari Muslim).

Kerugian selama bulan Ramadan disebabkan dua hal.

Pertama, yang mengerjakan ibadah shaum, tarawih, dan beragam amal lainnya bukan karena Allah, melainkan karena riya' dan pencitraan, maka gugurlah pahalanya dan maghfirah Allah. Rasulullah bersabda, yang artinya:

"Siapa saja yang berpuasa Ramadan dengan penuh keimanan dan hanya mengharap rida Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR al-Bukhari).

Kedua, berpuasa hanya untuk menahan lapar dan haus saja, sementara lisan dan perbuatan mereka terus bermaksiat. Rasulullah bersabda, yang artinya: 

"Boleh jadi orang berpuasa itu ganjaran dari puasanya hanya rasa lapar dan dahaga (HR al-Bukhari).

Yang termasuk kemaksiatan di sini yaitu, seperti tidak taat syariat, mencampakan hukum-hukum Allah, memfitnah dan menebar permusuhan sesama kaum muslimin, serta berkolaborasi dengan orang-orang zalim, padahal Allah telah mengingatkan agar tidak cenderung dengan orang-orang zalim.

Dengan itu, marilah kita sambut bulan Ramadan ini dengan suka cita, dengan kesiapan iman dan takwa. Jadikan Ramadan tahun ini sebagai kesempatan untuk mengubah diri menjadi lebih baik lagi di hadapan Allah. Penuhi dengan hal-hal yang positif dan jadikan Ramadan ini sebagai tolak ukur untuk lebih baik lagi dari bulan-bulan sebelumnya dan lakukan hingga setelah Ramadan usai. Kita sungguh mengharapkan rahmat dan ampunan hanya pada Allah semata dan apa pun yang kita lakukan dan kerjakan hanya untuk mendapat pahala dari Allah, supaya kita layak mendapat surga Allah.

Wallahu a'alam bishawab.

Oleh: Risna
Sahabat Tinta Media

Minggu, 19 Maret 2023

Harga Bahan Pokok Meroket, Tradisi Buruk yang Terus Berulang

Tinta Media - Menjelang Ramadhan bahan-bahan mengalami kenaikan. Masalah ini seolah sudah tradisi yang terus berulang di momen hari besar agama. Kenaikan harga tersebut membuat masyarakat  berkeluh kesal karena kesusahan untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga. 

Menurut Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, Kamis (9/3/2023) harga salah satu komoditas mengalami kenaikan. Di sejumlah daerah harga cabai mendekati bulan ramadhan mencapai Rp 70.000/kg.  Harga cabai merah secara nasional yakni Rp 69.000/kg. Harga cabai rawit tertinggi berada di wilayah kota Pangkal Pinang mencapai Rp 82.500/kg. (Kompas.com)

Komoditas pangan lainnya yang mengalami kenaikan yakni bawang merah mencapai Rp 36.430/kg, bawang putih naik menjadi Rp 31.020/kg, daging ayam ras mencapai  Rp 34.040/kg, telur ayam ras mencapai Rp.28.660/kg, minyak goreng kemasan sederhana menjdi Rp 18.140 per liter, harga minyak curah menjadi Rp 15.120 per liter. Disamping itu, harga gula konsumsi naik menjadi Rp 14.500/kg, tepung terigu mengalami kenaikan sebesar Rp 11.340/kg. (Bisnis.com)

Fenomena yang sering terjadi ini seharusnya membuat negara melakukan upaya antisipasi agar tidak ada gejolak harga dan rakyat mudah mendapatkan kebutuhannya. Selain itu, kenaikan harga juga terjadi karena ada yang bermain curang dan tamak seperti menimbun atau monopoli komoditas sehingga mendapatkan keuntungan yang besar.

Kenaikan harga yang sudah menjadi tradisi menunjukkan kegagalan negara dalam menjaga stabilitas harga dan menyediakan pasokan yang sesuai kebutuhan rakyat. Sangat jauh berbeda dengan mekanisme yang islam hadirkan dalam menuntaskan masalah tersebut. 

Peran Negara Dalam Sistem Islam
Dalam islam, peran neagar sebagai pelayan rakyat. Negara wajib hadir secara penuh sebagai penanggung jawab semua kebutuhan rakyat sekaligus pelindung mereka.  Negara akan bertindak tegas terhadap pihak-pihak yang  melakukan kecurangan untuk mencari keuntungan bagi dirinya sendiri. 

Islam memandang masalah pangan merupakan masalah yang perlu mendapatkan perhatian khusus dan perluh segera diatasi. Sebab, pangan  sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi  demi melangsungkan kehidupan. Apabila rakyatnya kelaparan maka seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.

Oleh karena itu, Negara akan memperhatikan tata kelola pemenuhan pangan dalam negeri. Negara wajib mengatur semua rantai pangan, yaitu produksi, distribusi dan konsumsi rakyat. Negara menjamin semua rakyatnya mendapatkan pangan dengan layak, berkualitas dan harganya terjangkau
Islam akan  menjamin mekanisme pasar terlaksana dengan baik dengan menjaga gejolak harga di pasar, sehingga harga tetap stabil dan rakyat mampu mendapatkannya. 

Selain itu, negara juga berkewajiban menjaga transaksi ekonomi rakyat agar jauh dari hal yang melanggar syariat islam, seperti monopoli pasar, menimbun barang agar langka dan penipuan. Semua kecurangan tersebut akan diberantas oleh Negara. Negara juga menyediakan informasi ekonomi dan pasar, serta membuka akses informasi pasar bagi semua orang untuk meminimalkan informasi yang tidak tepat yang bisa dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk mencari keuntungan yang besar dengan cara tidak benar. 

Alhasil, tidak ada tradisi meroketnya harga bahan pokok menjelang ramadhan maupun hari Nataru kita jumpai di dalam sistem islam. Namun berbeda jika negara saat ini yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Rakyat jangan kaget dengan harga bahan pokok yang terus meroket, dan ini menjadi tradisi dengan sistem ekonomi kapitalisme. Kesejahteraan rakyat bisa diraih dengan penerapan sistem islam secara kaffah.

Oleh: Retno Jumilah
Aktivis Dakwah Remaja
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab