Tinta Media: Rakyat
Tampilkan postingan dengan label Rakyat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rakyat. Tampilkan semua postingan

Kamis, 21 November 2024

Lagi-Lagi Penguasa Tak Berpihak kepada Rakyat


Tinta Media - Hampir semua media sosial maupun cetak akhir-akhir ini memberitakan tentang nasib para peternak di Boyolali, Jawa Tengah. Dikutip dari tempo.com  Boyolali, Jum'at, 8-11-2024, Puluhan peternak sapi dan pengepul susu dalam beberapa waktu terakhir membagikan kepada masyarakat dan membuang susu hasil panen mereka lantaran pabrik atau industri pengolahan susu (IPS) membatasi kuota penerimaan pasokan susu.

Hal senada juga dikutip dari kumparan.news.com, Sabtu (09/11/2024), bahwa ratusan peternak sapi, peloper, hingga pengepul susu menggelar aksi mandi di Tugu Patung Susu Tumpah di kota Boyolali. Aksi yang mereka lakukan tidak lain mewakilkan kekecewaan yang amat mendalam dan bentuk protes karena susu di tolak IPS (industri pengelolaan susu) dengan dalih sudah membatasi penerimaan dari sejak bulan September, maintenance mesin, dan lain-lain. 

Penguasa hanya mencari kesalahan peternak kecil serta mencari celah untuk mempersulit usahanya, dari segi izin usaha, pajak, dan lain-lain.
Padahal, alih alih bela rakyat, ternyata adanya kebijakan Impor susu yang diambil oleh penguasa untuk memenuhi gizi. 

Tidak tanggung-tanggung, susu yang terbuang pun berasal dari 20 ribu peternak. Bahkan, mereka menyanggupi suplay susu ke IPS. Namun, penguasa bersikap tuli dan buta. Padahal, kebutuhan nasional baru saja terpenuhi hanya 20 % dari keseluruhan peternak.

Alih-alih menyesejahterakan rakyat, ini malah membatasi penerimaan dari peternak lokal dan impor yang tiada batas.
Penguasa terlalu banyak dalih, seperti susu lokal kurang segarlah, inilah, itulah. Bukannya memfasilitasi peternak dengan berbagai alat yang mumpuni, menyediakan sarana dan prasarana, penghasilan rakyat yang transparan pun di cut. Kebijakan impor yang dilakukan penguasa menyulitkan para peternak menyalurkan susu, dan ini tidak lain adalah hasil dari penerapan sistem demokrasi. Seharusnya pemerintah mengambil solusi yang revolusioner dengan memberikan perlindungan penuh terhadap rakyat.

Hanya dengan penerapan Islam oleh negara Islamlah kemaslahatan umat akan terwujud. Karena negara secara mandiri akan memenuhi kebutuhan rakyat dengan optimal dengan memaksimalkan potensi yang ada. Khilafah akan menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan, sehingga tidak akan merebak para oligarki yang mencari keuntungan di tengah penderitaan rakyat.
Semoga sistem Islam segera tegak di tengah-tengah umat, agar semua permasalahan umat terselesaikan. Wallahu a'lam bish shawwab.





Oleh: Ummu Aisha
Sahabat Tinta Media

Senin, 11 November 2024

Retreat Pejabat demi Kesejahteraan Rakyat, Benarkah?



Tinta Media - Pemilu tahun ini dinilai sebagai pemilu terburuk sepanjang sejarah oleh beberapa pihak. Bagaimana tidak? Kecurangan berjalan secara masif, sistematik, dan terstruktur dikarenakan terjadi di berbagai jenjang. Tragisnya, paslon berseragam biru muda itu tetap meraih kemenangan di bawah pengondisian Mahkamah Konstitusi.

Tibalah hari pelantikan bulan Oktober lalu. Acara bagi-bagi kue kekuasaan kepada semua parpol pun telah dilaksanakan. Dalam pekan terakhir, juga beredar kabar bahwa presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka telah menggelar retreat di Akademi Militer, Magelang, Jawa Tengah selama tiga hari.

Pembekalan (retreat) berbau healing ini dilaksanakan dengan dalil untuk menyatukan visi dan misi, serta membentuk bonding dan team building. Sebagaimana yang dilansir oleh Liputan6.com (28/10/2024), jajaran anggota Kabinet Merah Putih pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka telah selesai mengikuti Akademi Militer atau Akmil di Magelang, Jawa Tengah.

Sebelumnya, para jajaran Kabinet Merah Putih pun diberikan vitamin terbaik oleh pemerintah RI Prabowo Subianto agar semua anggota dalam keadaan sehat selama retreat. Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi mengungkapkan bahwa para kebinet harus bangun pukul 04.30 WIB selama retreat dan tidak ada satu pun anggota yang sakit di tengah kepadatan agenda tersebut.

Di sisi lain, Raja Juli sebagai Menteri Kehutanan juga menilai dalam waktu tiga hari dengan suasana Lembah Tidar yang sejuk, dapat memberi ruang kepada para menteri dan wakil menteri untuk berkomunikasi dan berinteraksi lebih intens. Dia juga berpendapat bahwa para anggota kabinet kembali ke Jakarta dengan semangat yang membara menyukseskan pemerintahan Prabowo-Gibran untuk menyejahterakan rakyat dan kemandirian bangsa.

Namun, sebenarnya yang dibutuhkan rakyat tidak hanya seorang pemimpin yang disiplin dan sinergi, tetapi juga pejabat yang mempunyai visi dan misi baru untuk perubahan. Sebab, sepanjang sistem kapitalisme masih digunakan oleh negara ini, kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat tidak akan pernah terwujud.

Jika dilihat pada fakta dunia, yang berdaulat di sistem demokrasi hanyalah segelintir orang, yaitu para elite politik. Akibatnya, kemakmuran hanya dirasakan para elite penguasa, wakil rakyat, partai dan para oligarki. Sementara, rakyat tetap atau bahkan semakin terjerumus dalam jurang kemiskinan.

Demokrasi adalah sistem kufur yang dibangun di atas fashluddin anilhayyah (memisahkan agama dari kehidupan). Para ulama mengharamkan untuk mengambilnya, menerapkan, dan menyebarluaskan. Slogan populer demokrasi yaitu suara rakyat adalah suara Tuhan merupakan slogan sesat dan menyesatkan karena manusia adalah makhluk penuh hawa nafsu dan hawa nafsu mereka seharusnya mengikuti syariat.

Pada dasarnya, kaum muslimin wajib terikat dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam berpolitik. Banyak ayat Al-Qur'an yang memerintahkan umat Islam untuk selalu terikat dengan syariah Islam. Sebagaimana dalam firman Allah Swt.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةًۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْن

"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian." (TQS al-Baqarah [2]:208)

Banyak pula ayat Al-Qur'an yang memerintahkan umat Islam untuk selalu terikat dengan syariah Islam, termasuk dalam menjalankan sebuah negara. Allah Swt. berfirman: 


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَخُوْنُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ وَتَخُوْنُوْٓا اَمٰنٰتِكُمْ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ 

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Jangan pula kalian mengkhianati amanah-amanah kalian. Padahal kalian tahu." (TQS al-anfal [8]:27). 

Di antara sekian banyak amanah, yang paling penting adalah amanah kekuasaaan. Profesionalitas, amanah dan integritas menjadi asas rekrutmen SDM aparat negara, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme.

Dalam sistem Islam, hukum secara prinsip dibersihkan dari kepentingan para elite pembuatnya. Karenanya, dalam sistem Islam yang berhak membuat hukum hanyalah Allah Swt. dengan standar halal-haram. 

Lihatlah keagungan hukum syariah yang terikat ekonomi, politik, sosial, hukum, dan sebagainya! Semua hukum syariah tersebut pasti melindungi kepentingan manusia secara adil dan menyeluruh. Wallahu ‘alam bish-shawab.




Oleh: Rihadatul Aisy S 
{Aktivis Dakwah, Agen Perubahan}

Senin, 04 November 2024

Benarkah Rakyat Puas terhadap Kinerja Pemerintah atau Hanya Pencitraan Saja?



Tinta Media - Deputi Protokol dan Media Sekertariat Presiden, Yusuf Permana mengapresiasi hasil Survei Indikator Politik Indonesia yang menunjukan tentang tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Joko Widodo menjelang akhir masa jabatannya, yaitu mencapai 75 persen. Yusuf mengatakan bahwa tingkat kepuasan yang tinggi ini merupakan bukti bahwa upaya keras pemerintah dalam berbagai bidang telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, seperti pembangunan infrastruktur, pelayanan kesehatan, pendidikan, hingga penanganan selama pandemi, dan juga dalam pemulihan ekonomi.

Dalam Rilis Temuan Survei Nasional, evaluasi publik terhadap 10 tahun pemerintahan Presiden Jokowi Widodo Burhanuddin mengungkapkan bahwa untuk masalah pemberantasan korupsi, lebih banyak dinilai buruk. Catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan hasil pemantauan bahwa tren korupsi 2023 yang terus meningkat sejak periode kedua Jokowi, yang melonjak hampir tiga kali lipat, dari 271 kasus menjadi 791 kasus pada 2023.

Semakin maraknya tren korupsi ini tidak lepas dari tumpulnya keberanian negara untuk memberikan hukuman berat kepada para koruptor. Dari data trend vonis bagi koruptor 2020-2022, mereka hanya dihukum rata-rata 37-41 bulan atau maksimal 3 tahun 4 bulan. Akibatnya, korupsi makin marak. Di antara kasus korupsi terbesar di Indonesia yaitu:

Pertama, kasus korupsi PT. JIWASRAYA yang merugikan negara  sebesar Rp16,81 Triliun

Kedua, kasus korupsi PT. Timah yang merugikan negara mencapai RP300 Triliun

Masih banyak kasus lainnya yang menunjukkan bahwa pemerintah sebetulnya tidak punya kemampuan politik untuk menegakan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Sementara, terkait hasil survei tentang kepuasan yang sangat tinggi dari masyarakat Indonesia terhadap kinerja Jokowi dalam berbagai bidang selama sepuluh tahun menunjukan bahwa hal  tersebut hanyalah pencitraan saja, karena kondisi sebenarnya tidak menunjukkan hal yang demikian.

Buktinya, negara masih banyak mengalami berbagai problematika di tengah-tengah masyarakat, tetapi pencitraan menutupi semua itu dan mengelabui rakyat. Banyak kebijakan yang menunjukan keberpihakan negara kepada oligarki dan bukan kepada rakyatnya sendiri. 

Contohnya dalam aspek sosial, semakin banyak rakyat Indonesia tersangkut judi online yang menjamur di tengah-tengah masyarakat, sampai pada tarap menghawatirkan, meningkatnya kasus kekerasan pada anak dari tahun ke tahun, kasus perundungan (bulliying) tidak pernah ada habisnya, kasus bunuh diri yang marak terjadi, dan masih banyak lagi berbagai kasus kriminalitas lainnya yang makin meningkat. 

Dalam aspek kesejahtraan, kewajiban wajib pajak saat ini terus digulirkan oleh pemerintah. Ini semakin membebani rakyat, seperti naiknya PPN, pembatasan subsidi BBM, wacana tapera (tabungan perumahan rakyat), PNS dan pekerja yang akan dipotong upahnya sebesar 2,5 persen, yang sangat tidak jelas. 

Berbagai kebutuhan pokok makin melejit membuat rakyat  semakin menjerit. Ditambah lagi biaya pendidikan yang terus mengalami kenaikan, terutama di perguruan tinggi, kebijakan UKT naik semakin meroket.

Kebijakan pembangunan 10 tahun di masa pemerintahan Jokowi tidak memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Malah, banyak rakyat yang merasakan penderitaan akibat perampasan lahan dan ruang hidup. Juga banyak satwa liar yang kehilangan tempat hidup. Alam menjadi rusak dan menimbulkan banyak bencana, longsor, banjir dan lainnya akibat dari pembangunan yang berlangsung.

Tidak cukup di situ saja, kesulitan rakyat makin bertambah dengan angka PHK yang terus meningkat. Ini mengakibatkan ekonomi semakin sulit yang berefek kepada semua lini kehidupan. 

Berbagai problematika yang terjadi diakibatkan karena peran negara bukan sebagai pengurus rakyat, tetapi sebagai regulator dan fasilitator sehingga hanya menguntungkan para Investor dan para oligarki. Kebijakan-kebijakan negara bukan menjadi solusi, malah makin menguntungkan oligarki dan mencekik rakyat.

Negara menjadikan sumber pemasukan negara saat ini dari utang dan pajak. Semakin negara meningkatkan utang untuk pembelanjaan negara, maka rakyat yang akan membayar utang tersebut melalui pembayaran pajak yang akan dinaikan untuk pembelanjaan negara. Akibatnya, rakyat makin menderita dan menimbulkan aneka persoalan yang nyaris ada di seluruh dimensi kehidupan.

Hal ini disebabkan karena agama tidak dipakai untuk mengatur kehidupan. Aturan agama tidak dijadikan sebagai standar halal dan haram. Pemenuhan terhadap kebutuhan rakyat tidak terpenuhi oleh negara.

Ini semua diakibatkan sistem kapitalisme sekulerisme yang memberikan dampak buruk bagi rakyat dan negara. Sistem ini melahirkan manusia yang tamak, egois, hanya bepikir kepentingan diri dan kelompoknya. 

Sistem demokrasi yang lahir dari kapitalis-sekuler memberikan wewenang kepada manusia untuk membuat aturan yang sesuai dengan kepentingannya. Segala macam cara dilakukan untuk meraih uang dan kedudukan. Akhirnya, pencitraan dilakukan untuk menutupi semua kebobrokan masa kepemimpinan pemerintahan era Jokowi selama 10 tahun. Ini membuktikan bahwa negeri kita tidak baik-baik saja.

Saatnya rakyat kembali kepada sistem sahih yang berasal dari allah Swt., yaitu sistem Islam yang menjadikan negara sebagai pengurus rakyat dalam berbagai aspek kehidupan, yaitu dengan menerapkan syari'at Islam secara kaffah, yang sempurna dalam mengatur segala aspek kehidupan, yaitu: 

Pertama, pturan Islam yang berbasis akidah Islam, menjadikan negara memiliki aparat yang handal, profesional, amanah dan beriman, dan  yang tidak dikendalikan oleh kepentingan oligarki. Dasar pengaturan urusan dan kegiatan ekonomi rakyat oleh negara diatur sesuai dengan ketentuan syariah. Hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan ekonomi dibangun oleh 3 prinsip, yaitu kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan distribusi kekayaan di antara masyarakat. 

Kedua, sistem yang mendukung perwujudan sumber daya manusia yang berkualitas melalui penerapan sistem pendidikan yang gratis. Sehingga, rakyat dapat menikmati pendidikan gratis sampai perguruan tinggi, yang diarahkan untuk menciptakan tenaga ahli di berbagai bidang. Tujuannya untuk menjaga urusan vital rakyat, melayani rakyat, serta memajukan negara sehingga menjadi negara yang mampu mengontrol urusannya sesuai dengan visinya, serta mandiri, tidak tergantung pada oligarki.

Ketiga, pengelolaan sumber daya yang melimpah oleh negara, yang akan dijadikan sumber devisa bagi negara yang merupakan milik umum yang dikelola oleh negara bukan kepada para oligarki seperti di sistem kapitalis. 

Keempat, sistem Islam menjamin pemenuhan kebutuhan dasar dan dorongan pengembangan kekayaan. Islam mewajibkan negara agar dapat memenuhi kebutuhan dasar rakyat, yaitu pangan, papan, sandang, serta penyediaan layanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Negara mewajibkan laki-laki sebagai penanggung jawab dan pencari nafkah untuk bekerja dengan membuka lapangan pekerjaan yang luas, memberikan modal kerja. Negara akan membantu rakyat yang tidak mampu.

Kelima, sistem Islam juga mendukung pertumbuhan bisnis dan investasi

Keenam, negara Islam mampu mewujudkan stabilitas sistem moneter dan keuangan. Ini dilakukan dengan menjadikan emas dan perak sebagai standar, dan mendorong kemajuan ekonomi yang lebih baik.

Ketujuh, APBN yang mengoptimalkan pelayanan dan kekuatan negara. Dengan SDA yang melimpah, negara akan memiliki aset yang besar, sehingga tidak akan menjadikan pajak dan utang sebagai pemasukan, seperti di sistem demokrasi. 

Dengan penerapan aturan Islam yang paripurna, akan terjamin kesejahteraan rakyat di segalap aspek kehidupan. Islam juga melarang pencitraan  yang merupakan kebohongan untuk menutupi kebobrokan aparat yang lahir dari sistem rusak yang merusak. Islam menjungjung tinggi kejujuran. Adanya pertanggungjawaban kepada Allah menjadikan semua amanah ditunaikan dengan sebaik-baiknya dan secara profesional. Wallahu alam bis shawab.


Oleh: Elah Hayani
Sahabat Tinta Media

Minggu, 03 November 2024

Investasi Digenjot, Rakyat Tetap Terpojok



Tinta Media - Para investor digenjot Pemkab Kabupaten Bandung untuk berinvestasi karena Bandung memiliki potensi cita rasa kuliner dan wisata yang telah populer mendunia. Upaya peningkatan investasi pun dilakukan Pemkab Bandung dengan mendorong para pengusaha untuk melakukan investasi di Bandung. Hal ini diungkapkan oleh Pjs Bupati Bandung Dikky Ahmad Sidik di kegiatan Bandung Regency Investment Summit (BRIS). 

Pembangunan jor-joran dikebut, digenjot dengan membuka kran bagi investor asing dan aseng. Ini merupakan konsep pembangunan ala kapitalisme liberal. Fakta di atas membuktikan kuatnya paham kapitalisme liberal di negeri ini. Investasi digenjot tanpa memikirkan akibatnya. Jelas, yang merasakan akibat dari banyaknya investor yang berinvestasi di wilayah tersebut adalah masyarakat sekitar dan seluruh rakyat.

Walaupun tidak mungkiri, ada juga yang merasa terbantu, misalnya seorang pedagang yang mungkin bisa berjualan di area wisata. Namun, lebih banyak ruginya daripada untungnya. Yang beruntung justru para kapitalis yang bebas mengeksploitasi lahan dan sumber daya alam lainya. 

Itulah kejamnya pengelolaan dalam asuhan sistem kapitalisme liberal. Sejatinya, yang rakyat butuhkan itu bukan sekadar sandang, pangan, dan papan, tetapi juga masalah keamanan, kenyamanan, dan lingkungan hidup yang sehat, menuntut ilmu, dan kebahagiaan dalam hidup berkeluarga.

Investasi hanya menguntungkan para kapitalis dan penguasa. Negara bebas membuat kebijakan untuk memuluskan pemilik modal walaupun akan berakibat buruk kepada rakyat. Buktinya, lapangan pekerjaan tetap susah, gaji tetap minim, sedangkan harga-harga kebutuhan pokok makin hari makin mencekik rakyat. Rakyat justru terus dikejar oleh berbagai pungutan pajak yang menambah derita kalangan ekonomi menengah ke bawah. Sebaliknya, orang-orang kaya justru mangkir bayar pajak.

Dalam Islam, pembangunan seperti jalan tol, jembatan, dan insfratruktur lainya adalah hal penting dalam rangka melayani dan memenuhi kebutuhan  rakyat. Menyediakan sarana prasarana di berbagai sektor adalah tugas dan kewajiban negara, bukan dalam rangka bisnis atau demi mendapatkan pemasukan negara. 

Pembangunan harus bisa dinikmati secara merata di semua kalangan, miskin atau kaya. Semua berhak mendapatkan dan menikmati. Ini seperti pada masa kekhilafahan Islam. Pada masa Khalifah Al-Mansur (762 M) pesatnya pembangunan insfratruktur terjadi kota di Baghdad, Irak. Pada abad ke 8, jalan-jalan sudah terlapisi aspal, sedangkan pembangunan jalan di Eropa terjadi di abad ke 18.

Semua pembiayaan berasal dari sumber daya alam, terutama harta kepemilikan umum. Harta tersebut dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk berbagai insfratruktur bangunan, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. 

Negara memudahkan rakyat mendapatkan pekerjaan dengan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Negara juga memberi gaji yang sangat layak sehingga bisa mencukupi kebutuhan hidupnya.

Dalam Islam, sangat jelas bahwa tujuan dan pengelolaan sumber daya alam hanyalah untuk kemaslahatan rakyat. Itulah sebagian contoh kecil dari sejarah peradaban Islam.

Jelaslah bahwa sektor pariwisata bukan menjadi sumber pendapatan bagi negara. Namun, hanya sebagai pemenuhan hak rakyat untuk mendapatkan hidup bahagia, sebagai syi'ar Islam dalam rangka menumbuhkan rasa keimanan dan melihat kebesaran Allah Swt.
Sungguh indah, jika Islam dijadikan sebagai aturan kehidupan, seluruh manusia dan lingkungan alam pun akan selalu terjaga.

Masihkah kita terus berharap pada investasi dan sistem kapitalisme sekuler liberal? Tentu saja tidak boleh.
Pemenuhan kebutuhan individu rakyat akan dipenuhi oleh sebuah negara yang memiliki konsep ri'ayah (pengurusan) rakyat. Negara yang mandiri, bukan negara regulator, tetapi yang menerapkan  aturan Islam secara kaffah untuk kemaslahatan umat. Wallahu a'lam bishawab .



Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media

Rabu, 30 Oktober 2024

Serampangan Urus Kekayaan Alam, Rakyat Jadi Korban


Tinta Media - Kasus pencurian emas di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat melibatkan warga negara asing (Tiongkok).
Dari persidangan yang berlangsung, terungkap bahwa YH terlibat dalam kegiatan penambangan emas ilegal yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp1,020 triliun. Kerugian tersebut berasal dari cadangan emas yang hilang sebanyak 774,27 kg dan perak sebanyak 937,7 kg.

Terjadi juga kasus penambangan emas ilegal di Nagari Sungai Abu, Kecamatan Hilir Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Nahas, aktivitas penambangan emas ilegal ini justru merenggut nyawa, sebab terjadi longsor di tanah galian. Sejumlah 13 orang meninggal, 11 dibawa, 4 masih di lokasi 25 masih tertimbun tanah, dan 3 mengalami luka-luka (CNNindonesia, 27-09-2024 )

Dari kasus longsor di tanah galian tersebut dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya negara telah serampangan dalam memetakan dan mengelola tambang.  Hal ini memunculkan adanya oknum-oknum tak bertanggung jawab yang  mengakibatkan kecelakaan kerja hingga hilangnya nyawa dan pencurian emas.

Seharusnya negara memiliki tingkat kewaspadaan yang tinggi atas pihak-pihak asing dan lainnya yang berambisi merugikan negeri ini. Indonesia harus memiliki data besar terkait kekayaan dan potensi alam, serta kedaulatan dalam pengelolaannya. Sehingga, tambang dalam skala besar maupun kecil akan aman dari tangan-tangan jahat dan bisa dimanfaatkan dengan benar dan baik.

Sangat disayangkan, akibat dari abainya negara terhadap pengelolaan sumber daya alam, kasus-kasus tambang ilegal terus bermunculan, padahal ada undang-undang yang mengaturnya. Inilah akibat dari adopsi sistem yang salah, yaitu sistem kapitalisme. Sistem ini berorientasi pada materi sehingga membuat negara seolah cuci tangan dan apatis dalam mengurusnya. 

Namun, lain halnya jika sistem Islam yang dijadikan sandaran dan tolok ukur penentu aturan dalam mengelola tambang. Dalam sistem Islam, negara berfungsi sebagai pengurus dan perisai. Fungsi inilah yang menuntun negara dalam mengatur potensi kekayaan alam sesuai dengan ketentuan Allah, sebagaimana hadis Rasulullah saw.

"Ada tiga hal yang tidak boleh dilarang (orang lain dihalangi untuk memanfaatkannya): rerumputan, air dan api." (HR Ibnu Majah)

Hadis ini menjelaskan bahwa jika seperti halnya pengaturan tambang dalam Islam, apabila barang tambang yang jumlahnya banyak atau melimpah, maka haram dimiliki oleh individu, sebab merupakan milik umum. Namun, jika jumlahnya sedikit, maka boleh dimiliki individu, serta sumber daya alam yang dikonservasi adalah milik negara.

Negara dengan aturan Islam akan mengatur dan mengelola tambang serta memetakan wilayah tambang. Banyak sedikitnya barang tambang akan ditentukan oleh para ahli yang terkait, sementara konservasi dialokasikan untuk kebutuhan negara dalam menjaga fungsi ekologi lingkungan.

Hasil tambang yang jumlahnya melimpah  wajib dikelola oleh negara secara mandiri tanpa ada campur tangan swasta. Dengan demikian, negara mampu menutup akses pencurian tambang oleh pihak asing. Hasil dari pengelolaan tambang ini nantinya akan dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat kembali. Distribusi dapat dilakukan secara langsung dalam bentuk subsidi energi dan sejenisnya atau secara tidak langsung dalam bentuk jaminan gratis kebutuhan publik yang dibiayai oleh pos kepemilikan umum baitul maal.

Apabila hasil tambang berjumlah sedikit dan wilayah tersebut tidak membahayakan untuk dieksplorasi dan dieksploitasi, maka negara akan mengizinkan, baik individu maupun swasta mengelola tambang tersebut dengan disertai syarat dan prosedur, yaitu peralatan yang digunakan dan para pekerja harus safety sesuai ketentuan.

Maka, hanya dengan sistem Islam jaminan keselamatan kerja, kesejahteraan rakyat dapat diberikan secara optimal sehingga mampu dimanfaatkan dengan benar dan baik untuk keberlangsungan hidup.


Oleh: Anindya Vierdiana
Sahabat Tinta Media

Kamis, 17 Oktober 2024

SDA Melimpah, Apakah Rakyat Sejahtera?



Tinta Media - Setiap negara memiliki kekayaan alam yang berbeda-beda, tergantung letak geografis negara tersebut. Secara geografis, Indonesia berada tepat di garis khatulistiwa sehingga memiliki kekayaan alam berupa tambang yang melimpah. 

Indonesia di tahun 2023 menempati posisi ke enam sebagai negara dengan cadangan emas terbesar, yaitu sebanyak 2.600 ton. Dari segi produksi, Indonesia menempati posisi ke delapan dengan produksi sebesar 10 MT. Maka, seharusnya rakyat Indonesia menjadi sejahtera karena adanya kekayaan alam yang dimiliki. (CNBC Indonesia, 15/05/2024)

Warga negara asing (WNA) asal Cina berinisial YH terlibat penambangan emas ilegal di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Perbuatan YH membuat negara rugi hingga 1,02 triliun. Emas yang berhasil dikeruk melalui aktivitas penambangan ilegal ini sebanyak 774,3 kg. YH juga berhasil mengeruk cadangan perak di lokasi tersebut sebanyak 937,7 kg. (CNN Indonesia, 27/09/2024)

Dari uji sampel di lokasi pertambangan, emas  tersebut memiliki kadar yang tinggi, yaitu 136 gram/ton untuk sampel batuan dan 337 gram/ton untuk sampel batu tergiling. Pelaku melakukan aksinya dengan memanfaatkan lubang tambang pada wilayah tambang yang berizin. Pertambangan ilegal ini sudah melubangi tambang sepanjang 1.648,3 meter dengan volume 4.467,2 meter kubik.

Seperti inilah keadaan di negeri tercinta ini. Negara gagal dalam mengelola kekayaan alam yang ada sehingga mengakibatkan terjadinya berbagai hal buruk terhadap rakyat. 

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Solok, Sumatra Barat mengatakan bahwa terjadi tanah longgsor di kawasan tambang ilegal di Nagari Sungai Abu, Kecamatan Hiliran, Gumanti. Diduga, tanah longsor tersebut terjadi akibat hujan lebat pada Kamis 26 September malam. Bencana ini mengakibatkan 15 orang tewas dan 13 orang lainnya terluka. (VoaIndnesia, 29/09/2024)

Dampak dari penambangan ilegal ini pula, kekayaan emas Indonesia akan habis secara perlahan karena dikeruk oleh oknum tertentu. Otomatis keuntungan hanya didapatkan oleh oknum tersebut, sedangkan rakyat hanya mendapatkan imbasnya. 

Kasus tambang ilegal ini tidak terjadi baru kali ini saja, tapi sudah berulang kali. Hal ini menunjukan ketidakmampuan negara dalam mengelola kekayaan alam yang dimiliki negeri ini. Di samping itu, hukum yang ditegakkan negera berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam bersifat tidak tegas.

Ini semua adalah buah dari sistem kapitalisme yang diterapkan dalam negeri ini. Negara kapitalis membolehkan seseorang untuk memprivatisasi tambang yang seharusnya menjadi milik umum. Harusnya, negaralah yang mengelola tambang tersebut untuk dikembalikan lagi kepada rakyat sebagai pemiliknya.

Namun, privatisasi ini tidak dipermasalahkan dalam sistem kapitalisme selagi ada keuntungan di dalamnya. Maka, segala cara diperbolehkan. Itulah tolok ukur sistem ini, yaitu keuntungan semata, bukan syariat Allah.

Sudah seharusnya negara memiliki bigdata terhadap kekayaan alam yang dimiliki. Negara juga harus memiliki kedaulatan dalam mengelolanya. Tidak hanya itu, negara harus memiliki kewaspadaan tinggi kepada pihak asing dan pihak lainnya yang akan merugikan Indonesia. Karena itu, negara harus mengatur tambang, baik besar maupun kecil dengan aturan Islam. 

Dalam negara Islam, khalifah menjalankan perannya sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (perisai). Khalifah menerapkan aturan dalam mengelola kekayaan alam sesuai dengan ketentuan Allah. 

Apakah kekayaan alam tersebut boleh dikelola individu atau harus negara yang mengelolanya? Jika diperbolehkan dikelola oleh individu, itu adalah kekayaan alam yang hasilnya hanya sedikit, tidak melimpah. Sedangkan kekayaan alam yang hasilnya melimpah, maka negara berkewajiban mengelolanya. Dengan begitu, rakyat bisa mendapatkan manfaat yang optimal dan negara mampu menyejaahterakan rakyatnya. Wallahu’alam bishawab.



Oleh: Zidna Ilma
Sahabat Tinta Media

Kabinet “Obesitas”, Akankah Menyelesaikan Masalah Rakyat?


Tinta Media - Pada akhir masa jabatannya, pemerintah masih saja membuat aturan baru terkait jumlah menteri untuk periode berikutnya. Seharusnya pemerintahan Jokowi sudah memasuki lame duck period, yaitu masa ketika DPR dan pemerintah tidak boleh mengambil kebijakan di sisa masa jabatan yang penggantinya sudah ada.  Akan tetapi, DPR tetap saja mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang perubahan atas UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menjadi undang-undang. Pengesahan dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR ke-7 pada Kamis (19/9). 

Setidaknya, terdapat enam poin penting dalam perubahan tersebut. Satu di antaranya mengenai jumlah kementerian yang kini ditetapkan sesuai dengan kebutuhan presiden. Jumlah kementerian akan bertambah menjadi 44 kementerian pada era kepemimpinan Prabowo. 

Pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah 'Castro' menyatakan bahwa penambahan pos kementerian merupakan upaya politik hukum untuk mengakomodasi kepentingan pemerintahan Prabowo Subianto. Jadi, ada semacam over coalition yang butuh diakomodasi sehingga satu-satunya pilihan adalah menambah jumlah kementerian (CNN Indonesia, 20-9-2024).

Jika kita amati, jumlah kementerian era Jokowi sebenarnya sudah cukup gemuk sehingga menjadikan kinerja kementerian tidak efektif, bahkan tumpang-tindih. Kabinet obesitas hanya akan membuka peluang korupsi dan tentu menjadi ajang bagi-bagi kekuasaan balas jasa.

Selain itu, banyaknya kementerian jelas membutuhkan tambahan dana untuk menggaji para menteri. Risiko defisit APBN akan makin lebar dan utang makin bertambah. Lagi-lagi hal ini bisa menjadi alasan pemerintah menaikkan pajak. Belum lagi dengan makin banyak kementerian, makin besar pula peluang untuk korupsi karena masing-masing menteri dapat membuat kebijakan dan negosiasi untuk kepentingan masing-masing. Belum jelas keuntungan yang didapat oleh rakyat, justru rakyat sudah harus siap dengan dampak negatif dengan kebijakan ini. 

Realitas ini menunjukkan kepada kita bahwa sistem kapitalisme  menyebabkan lahirnya aturan-aturan yang menguntungkan pemilik modal. Pemilik modal yang memberikan modal untuk pemilu akan mendapatkan hasilnya setelah calon pemimpin dilantik. Bahkan, sebelum dilantik pun, mereka sudah mendapat keuntungan. 

Sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak ada makan siang gratis. Wajar apabila peraturan yang ada akan mudah diubah sesuai kepentingan yang diinginkan. Misalnya, jumlah kursi menteri dirasa kurang untuk mengakomodasi semua yang berkoalisi, maka dibuat saja aturan yang dapat mengakomodasi semuanya, tanpa melihat apakah itu berdampak baik atau buruk untuk masyarakat. Meskipun slogan demokrasi adalah dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat, kenyataannya tidak demikian. 

Sementara itu, jika kita bandingkan dengan sistem kekhilafahan, kepemimpinan dalam khilafah akan terpusat (sentralistis) pada khalifah (kepala negara). Hal ini akan memperkecil celah korupsi. Khalifah diperbolehkan mengangkat pembantu/pejabat untuk membantu tugasnya. Khalifah akan memilih pejabat dengan efektif dan efisien dengan jobdesk dan tanggung jawab yang jelas, baik dalam urusan kekuasaan maupun selain kekuasaan (administrasi). 

Standar aturan yang menjadi rujukan khalifah adalah hukum syara' sehingga khalifah tidak akan mudah mengubah aturan yang ada sesuai kepentingannya, apalagi bertentangan dengan syariat. Itulah perbedaan yang menonjol antara sistem kapitalisme dengan sistem Islam (khilafah).



Oleh: Desi Kurniasih 
(Aktivis Muslimah Sidoarjo)

Rabu, 09 Oktober 2024

Pendidikan Dikapitalisasi, Rakyat Butuh Solusi Islam




Tinta Media - Sejumlah siswa SMP terekam kamera sedang melakukan kegiatan belajar mengajar dengan duduk lesehan sambil mendengarkan guru. Mereka duduk hanya beralaskan terpal warna biru karena tidak ada kursi maupun meja.
Dalam vidio, aktivitas tersebut  berlangsung di SMPN 60 Bandung. DetikJabar pun menelusuri hal tersebut dan memang betul adanya. Namun, karena jadwal siswa masuknya di siang hari, maka detikJabar tidak melihat secara langsung.

Rita Nurbaiti (Humas SMPN 60 Bandung) juga mengakui bahwa memang SMPN 10 belum mempunyai gedung sekolah sehingga kegiatan belajar mengajar siswa masih menumpang di SDN Ciburuy Regol. Untuk meja dan kursi memang ada, dan hanya bisa disimpan di teras sekolah.
Kondisi seperti itu terjadi sejak sekolah tersebut didirikan, yaitu tahun 2018. Orang tua murid pun selalu menanyakan tentang kapan gedung sekolah akan dibangun mengingat jumlah siswa yang cukup banyak.

Pendidikan adalah hak seluruh manusia yang harus difasilitasi dengan sarana prasarana pendidikan yang memadai oleh negara. Namun sayang, adanya sistem zonasi juga berpengaruh terhadap masalah yang terjadi di dunia pendidikan saat ini. Impian untuk bisa masuk sekolah favorit terkendala masalah zonasi. Imbasnya,  kesenjangan sangat terlihat di dunia pendidikan. Ada sekolah yang full siswanya, ada pula yang satu sekolah hanya menampung beberapa murid saja. 

Mirisnya, ternyata masih ada sekolah yang tidak mempunyai gedung, hingga sarana dan prasarana untuk menunjang kegiatan belajar mengajar. Ini sangat disayangkan. Semua karut-marut dunia pendidikan tidak lepas dari pengaruh sistem yang diterapkan saat ini, yaitu sistem kapitalisme sekuler. Sehingga, muncul kapitalisasi di berbagai sektor. Salah satunya adalah sektor pendidikan. Jika sudah begitu, negara pun abai terhadap masalah sarana pendidikan. 

Akibat Kapitalisasi Pendidikan 

Pendidikan dikapitalisasi sedemikian rupa sehingga yang bisa mengenyam pendidikan  berkualitas dengan sarana prasarana yang memadai hanya orang kaya saja. Sementara, kalangan ekonomi menengah ke bawah akan terpinggirkan. Ini terbukti dengan ketiadaan gedung sekolah sehingga siswa harus belajar dengan beralaskan terpal. Terlihat jelas bahwa sistem kapitalisme sekuler tidak pernah berpihak kepada rakyat. Rakyat justru menjadi sasaran ketidakadilan. 

Sebenarnya, ada anggaran pendidikan yang dikucurkan pemerintah. Namun faktanya, tetap saja ada sekolah yang kondisinya memprihatinkan.  Anggaran pendidikan sangat rentan menjadi ladang korupsi dan diselewengkan. 

Bahkan, untuk sarana kebersihan sekolah seperti sapu dan alat pel lantai dibeli oleh para orang tua murid dengan inisiatif mengumpulkan uang kas setiap bulan. Terlihat jelas bahwa pendidikan dalam sistem kapitalisme ibarat barang dagangan, siapa yang mampu dan punya uang, maka dengan mudah bisa mengenyam pendidikan di sekolah favorit dengan segala sarana dan prasarana yang memadai. 

Islam Solusi Tuntas Dunia Pendidikan

Dalam Islam, masalah pendidikan menjadi prioritas yang betul-betul harus perhatikan dengan memberikan sarana dan prasarana yang bagus. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan tanpa memandang miskin ataupun kaya. 

Hal ini karena dalam Islam, pendidikan adalah kebutuhan dasar setiap individu rakyat.  Pendidikan merupakan kunci membentuk peradaban yang gemilang. Sehingga, negara sebagai raa'in (pengurus) akan betul-betul serius memperhatikan masalah pendidikan, mulai dari insfratruktur, guru-guru yang kompeten, dan segala sarana prasarana yang menunjang kegiatan belajar mengajar.

Anggaran pendidikan diberikan oleh negara dari baitul mal. Karena itu, sudah menjadi kewajiban bagi negara untuk mengurus urusan rakyat. Sehingga, para orang tua tidak akan berat menanggung beban biaya pendidikan. 

Sebagai kepala keluarga, seorang ayah hanya fokus mencari nafkah untuk kebutuhan sehari-hari, sedangkan seorang ibu fokus mendidik anak-anak dan mengurus urusan rumah tangga. 

Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, pemimpin negara akan mengurus urusan rakyat sesuai ketentuan syariat Islam. Pengelolaan sumber daya alam sesuai syariat akan mampu menghasilkan pundi-pundi rupiah yang fantastis, kemudian dialokasikan sesuai dengan kebutuhan di berbagai sektor, termasuk sektor pendidikan. 

Walhasil, tak ada aturan yang mampu menyelesaikan masalah kecuali hanya dengan kembali pada aturan Allah Swt. yang tidak mungkin mengecewakan. 

Negaralah yang menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan, seperti halnya dulu pernah gemilang selama berabad-abad lamanya. Jadi, wahai kaum muslimin, marilah tunduk pada aturan Allah sebagai bentuk keimanan. Mari Istikamah dalam gerbong perjuangan mengembalikan kehidupan Islam, Allahuakbar! Wallahu a'lam bishawab.




Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media



Sabtu, 31 Agustus 2024

Demokrasi Elit, Rakyat Melilit



Tinta Media - Miris! Dalam sistem demokrasi saat ini, kekuasaan sering kali menjadi tujuan utama. Seperti yang dikatakan oleh Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI), prinsip utama politik adalah untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok, dengan tujuan akhir menguasai kekuasaan dengan cara apa pun.

Adi Prayitno menyoroti panas dinginnya hubungan PKS dan Anies yang terlihat pecah dalam konsistensi Pilgub Jakarta 2024. Beliau berkomentar, "Kesimpulan politik kita sederhana: jangan pernah baper, jangan dibawa ke hati. Hari ini lawan, besok bisa kawan." (Minggu, 11/08/2024).

Ironisnya, dalam Pilkada Jakarta 2024, parpol di Koalisi Indonesia Maju (KIM) mengungkapkan bahwa penentuan calon kepala daerah akan dilakukan oleh para ketua umum. Seperti yang kita ketahui, KIM merupakan koalisi yang mengusung presiden dan wakil presiden yang telah terpilih. Bahkan, menurut Felia, di beberapa daerah kekuasaan politik lokal sering terkonsentrasi pada segelintir keluarga atau kelompok elite tertentu yang memiliki jaringan politik dan ekonomi yang kuat. Hal ini menciptakan apa yang disebut sebagai oligarki lokal.

Padahal, kedaulatan partai seharusnya ada di tangan anggota, bukan hanya di tangan segelintir kelompok elite. Partai politik seharusnya menyambung aspirasi rakyat agar tidak sekadar pragmatis dalam mengejar kekuasaan.

Seperti yang telah dikatakan oleh para ahli, asas batil demokrasi memberikan kedaulatan hukum di tangan manusia. Segala cara dilakukan demi kemenangan, yang sering kali didukung oleh dana besar untuk membeli suara rakyat.

Namun, dalam Islam, politik memiliki sistem yang benar dan sahih, yakni khilafah yang berasal dari Rasulullah saw. Dalam pandangan Islam, politik bermakna ria'ayyah su'unil ummah (mengurus urusan umat). Syaikh Ahmad 'Athiyah menyatakan, bahwa politik bermakna memelihara, mengurus, dan memperhatikan urusan rakyat.

Islam juga menetapkan bahwa kekuasaan harus menerapkan syariat Islam secara kafah. Politik dalam Islam memiliki makna yang khas terkait dengan mengurus urusan umat sesuai syariat. 

Rasulullah saw. bersabda, "Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah. Dan kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan tersebut pada hari kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mendapatkan kekuasaan tersebut dengan haknya dan melaksanakan kewajibannya pada kekuasaan itu." (HR. Muslim)
Wallahualam bissawab.


Oleh: Alda 
(Aktivis Dakwah, Kontributor TOS, Founder @kata_langitkuu)

Selasa, 20 Agustus 2024

Penunggak Pajak Diburu, Rakyat Bak Buronan


Tinta Media - Dalam sistem saat ini, pajak merupakan penghasilan utama yang disebut-sebut sebagai tulang punggung dan instrumen penting bagi negara. Pendapatan pajak memberikan kontribusi besar bagi keuangan negara. Maka, tak heran jika rakyat menjadi sasaran utama dalam memenuhi kas negara. Seolah tanpa pajak, negara tak berdaya.

Menurut data, di Kabupaten Bandung terdapat sekitar 30 persen alias 330.000 kendaraan belum membayar pajak. Hal ini dipicu oleh berbagai macam faktor, terutama kondisi ekonomi masyarakat yang menurun. 

"Kondisi ekonomi sekarang, masyarakat lebih mementingkan kebutuhan pokok dan pendidikan, jadi terkadang pajak terlewati," ucap Doni selaku Kepala P3D Wilayah Kabupaten Bandung.

Akan tetapi, Bapenda (Badan Pendapatan Daerah) Jawa Barat melalui Pusat Pengelolaan Pendapatan Daerah (P3D) Wilayah Kabupaten Bandung II Soreang terus berusaha memenuhi target pendapatan dengan mengejar para penunggak pajak. Doni mengatakan bahwa pajak bersifat memaksa dan wajib. (pikiran-rakyat.com, 07/08/2024).

Sungguh miris, di negara yang kaya akan sumber daya alam, rakyat bak buronan yang tak kunjung usai, terus dicari dan dikejar sampai dapat. Lalu, sebenarnya di manakah letak peran negara bagi rakyatnya?

Sistem Kapitalisme

Inilah buah penerapan sistem kapitalisme, sistem buatan manusia yang berorientasi materi. Sistem ini memberikan kebebasan kepada siapa pun yang memiliki modal besar untuk menguasai kekayaan alam negara, sehingga kesenjangan sosial semakin terasa, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. 

Sistem kapitalisme tidak memandang bahwa penguasa adalah pengurus rakyat. Dalam kaitannya dengan pajak untuk pendapatan kas negara, pemerintah tidak mempertimbangkan apakah rakyat sedang dalam keadaan sulit ataukah tidak. Yang jelas, karena wajib, maka sifatnya memaksa tanpa melihat kondisi rakyat. Lagi-lagi rakyat menjadi korban. Jangankan meraih keadilan dan kesejahteraan, yang ada rakyat semakin terpuruk dalam hmimpitan ekonomi.

Sistem Islam

Berbeda jauh dengan penerapan sistem Islam. Penguasa dalam sistem Islam adalah pengurus, pelayan, sekaligus pelindung bagi rakyat. Pajak (dharibah) dalam Islam sifatnya temporal (sementara). Pajak dikenakan ketika kondisi Baitul Mal sedang mengalami kekurangan atau kekosongan. Penarikan pajak pun hanya dikenakan kepada orang-orang kaya saja. Ketika keadaan Baitul Mal mulai stabil, maka penarikan pajak pun dihentikan.

Betapa indahnya hidup dalam naungan Islam. Keadilan dan kesejahteraan rakyat akan mampu terwujud nyata, karena Islam rahmatan lil Alamin. Wallohu a'lam bishawab.



Oleh: Agustriany Suangga
Muslimah Peduli Generasi

Kamis, 04 Juli 2024

Pembangunan Jor-joran, Tak Peduli Rakyat Kelaparan



Tinta Media - Adanya jalan tol Bogor-Ciawi-Sukabumi (BOCIMI) sangat membantu masyarakat yang akan menuju ke Sukabumi - Pelabuhan Ratu, karena lebih cepat dibandingkan dengan sebelumnya. 

Biasanya dari Jakarta-Sukabumi memakan waktu 5 jam. Namun, kali ini dari Jakarta-Sukabumi hanya memakan waktu 2,5 jam. Mungkin bisa lebih cepat apabila keadaan tol Jagorawi tidak padat. Tak heran jika jalan tol ini dibangun dengan dana yang fantastis, yaitu mencapai Rp7,7 triliun.

Tol Bogor-Ciawi-Sukabumi sendiri terdiri dari empat seksi.
Seksi pertama, ruas Ciawi-Cigombong yang memiliki panjang 15,35 KM dan sudah beroperasi sejak Desember 2018 lalu.

Seksi kedua, dari Cigombong ke arah Cibadak sepanjang 11,9 KM, telah diresmikan pada Agustus 2023 lalu.

Seksi ketiga, arah Cibadak sampai ke Sukabumi Barat dengan panjang 13,70 KM.

Seksi keempat, Sukabumi Barat-Sukabumi Timur dengan panjang 13,05 KM.
Selain memangkas waktu perjalanan, jalan tol ini juga memudahkan distribusi barang maupun jasa.

Fasilitas jalan tol adalah salah satu kebutuhan. Kemajuan yang semakin pesat membuat jalan tol menjadi kebutuhan yang wajib saat ini. Pembangunan infrastruktur termasuk jalan tol yang bermutu seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, baik pusat maupun daerah. Negara wajib menjamin ketersediaan transportasi publik yang memadai beserta kelengkapannya, tidak boleh terjadi dharar (kesulitan, penderitaan, kesengsaraan) yang menimpa masyarakat saat melakukan perjalanan. 

Namun, saat ini pembangunan jalan tol jor-joran yang dilakukan oleh pemerintah menyebabkan berbagai permasalahan di tengah-tengah masyarakat. Banyak rumah warga yang digusur, bahkan ladang pertanian yang menjadi sumber penghasilan warga pun tak luput dari incaran guna dibangun sebuah infrastruktur yang mengatasnamakan kepentingan rakyat. Padahal, sebenarnya pembangunan ini hanya untuk kepentingan asing dan para investor yang sedang giat-giatnya mengincar aset-aset negara dan sumber daya alamnya yang melimpah. 

Sejatinya, proyek ini sekadar proyek yang menguntungkan oligarki. Seperti yang kita ketahui bahwa untuk menggunakan jalan tol harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Artinya, kita harus membayar akses jalan tol. 

Selain itu, hanya orang yang ber-uang yang bisa melewatinya, sementara rakyat jelata apalah daya. Padahal, seharusnya kebutuhan rakyat secara merata harus diutamakan, karena mereka sangat membutuhkan fasilitas umum yang sudah selayaknya disediakan negara untuk melayani rakyat. Bukan malah rakyat dibebani dengan berbagai pajak ataupun iuran dengan dalih asuransi. 

Begitu mirisnya hidup di bawah sistem kapitalisme sekularisme. Negara tak ubahnya sebagai penjual dan rakyat adalah pembeli. Semua serba menjadi bisnis demi memakmurkan para korporator.

Sungguh, tidak ada pelayanan terbaik selain yang dilandasi akidah Islam. Adapun prinsip Islam dalam mengelola layanan publik antara lain: negara bertanggungjawab dalam
pembangunan infrastruktur, tidak boleh diserahkan ke investor atau pihak swasta. Dalam pembangunannya, harus ada perencanaan wilayah yang baik. Negara membangun infrastruktur publik dengan standar teknologi mutakhir yang dimiliki. 

Oleh karena itu, negara seharusnya menata ulang basis pengelolaan transportasi agar sesuai dengan Islam. Negara tidak boleh mengelolanya dengan ruh bisnis atau dengan tata cara muamalah yang melanggar aturan Islam.

Negara harus mengelolanya dalam rangka melayani kebutuhan rakyat, sehingga bisa saja dengan menggratiskan rakyat dalam mengaksesnya.

Dalam negara Islam, prinsip pengelolaan transportasi adalah untuk memenuhi kebutuhan publik, bukan mengambil keuntungan, sehingga perhitungan biaya operasional dihitung untuk menutupi BEP (Break Event Poin) saja. Jika BEP sudah tercapai, maka dimungkinkan untuk operasional selanjutnya, bahkan mungkin digratiskan. Hal ini karena dalam penyediaan sarana transportasi, infrastruktur yang terlibat semuanya adalah milik publik. Inilah mekanisme pembangunan transportasi dalam Islam yang akan memudahkan masyarakat untuk mengaksesnya. Wallahua'alam bisshawab.


Oleh: Rukmini
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 15 Juni 2024

Tapera Menambah Daftar Beban Rakyat


Tinta Media - Peraturan Pemerintah (PP) 21 tahun 2024 tentang penyelenggaraan tabungan perumahan rakyat masih ramai diperbincangkan. Pasalnya, pemotongan gaji 3% yang bersifat wajib bagi pekerja seperti PNS, karyawan swasta, dan pekerja lepas yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum, berusia 20 tahun atau sudah kawin pada saat mendaftar sangat tidak masuk akal.

Faisal Basri, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance mengatakan bahwa program iuran Tapera sangat aneh karena sifatnya wajib bagi semua pekerja. Pekerja yg sudah memiliki rumah tidak mendapatkan manfaat dari program itu. 

Demo buruh menolak Tapera (6/6/2024) dilakukan  di depan istana negara oleh massa Konfederasi  Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan partai Buruh. Presiden KSPI, Said Iqbal menilai bahwa program Tapera menjadikan pemerintah lepas tanggung jawab dalam menyediakan rumah bagi rakyat Indonesia.  

Kewajiban iuran Tapera dari negara semakin menambah beban hidup rakyat. Sebelum program Tapera ini diundangkan, rakyat sudah dibebani dengan iuran-iuran wajib lainnya, seperti iuran BPJS Kesehatan, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, Pajak penghasilan, dan ditambah dengan beban iuran Tapera.

Tambahan pemotongan gaji semakin memberatkan rakyat di tengah kebutuhan harga bahan pokok yang selalu naik. Rakyat harus memeras pikiran untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Belum lagi biaya transportasi, pendidikan, dan cicilan lainnya. Tidak hanya itu, peserta yang sudah memiliki rumah juga harus membayar iuran program ini.

Memang, dalam sistem kapitalis sekuler, semua dinilai dari kacamata untung dan rugi, bukan halal dan haram. Hasil penerapan sistem kapitalisme menjadikan negara pelayan korporasi, bukan pelayan rakyat. Akibatnya, rakyat terpaksa bergotong-royong memenuhi kebutuhan hunian di tengah impitan ekonomi yang sulit, sehingga negara menjadi abai terhadap pemenuhan kebutuhan papan rakyat. 

Ini berbeda dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam, negara menjadi pelayan rakyat. Negara memastikan kehidupan dan kesejahteraan rakyat dari sisi sandang, pangan, dan papan yang mudah didapatkan dan tidak membebani rakyat. Negara memudahkan akses kesehatan, pendidikan, serta hunian. 

Dalam sistem Islam, negara juga mengatur kepemilikan dan pengelolaan lahan. Individu yang memiliki lahan harus memanfaatkan lahannya, baik yang berjumlah sedikit ataupun banyak. 

Jika didapati individu lalai dalam mengelola lahan kepemilikannya, seperti tidak digunakan atau tidak untuk aktivitas produktif selama 3 tahun, maka negara berhak mencabut kepemilikan tersebut. Aturan syariat atas kepemilikan lahan meminimalkan terjadi aktivitas dominasi lahan oleh segelintir orang yang dapat berdampak pada monopoli lahan yang sering terjadi dalam sistem kapitalis.

Rasulullah saw. bersabda, 

"Imam (Khalifah) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya." (HR Bukhari)


Oleh: Rinta Rizkya
Sahabat Tinta Media 

Rabu, 12 Juni 2024

Tapera Tak Ubahnya Pemalakan pada Rakyat


Tinta Media - Saya setuju dengan pernyataan Ono Surono, Ketua DPD Jabar yang mengatakan bahwa Tapera menambah beban  para pekerja, padahal mereka sudah mempunyai kewajiban lain, termasuk menjadi peserta BPJS Kesehatan.

Dalam pernyataannya, Ono Surono juga mengkritisi kebijakan pemerintah yang mewajibkan setiap pekerja membayar iuran Tapera sebesar 2.5% dari gaji yang diterima.  Ia meminta pemerintah untuk tidak memaksakan kebijakan tersebut karena gaji para pekerja yang sedikit akan makin berkurang. Lalu, iuran Tapera sebesar 0.5% yang dibebankan pada pengusaha juga bisa berdampak pada penurunan insentif bagi para pekerja (detikjabar, 30/5/2024 ).

Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) adalah program pemerintah untuk mengadakan kepemilikan rumah bagi pekerja dengan harga murah dan terjangkau, serta bunga yang rendah. Tabungan  akan dikembalikan setelah kepesertaan berakhir.  

Tapera pertama kali digulirkan tahun 2020 berdasarkan Peraturan Pemerintah no 25 tahun 2020. Pada tahun 2024, Presiden Jokowi mengubah PP 25 /2020 menjadi PP no 21/2024 yang mewajibkan seluruh karyawan ikut penyelenggaraan Tapera (AYOBANDUNG.com, 30/5/2024).

Kriteria pekerja yang harus ikut Tapera adalah usia minimum 20 tahun, sudah menikah, dan memiliki penghasilan paling sedikit sebesar upah minimum daerahnya. 

Golongan pekerja yang otomatis ikut Tapera adalah Pegawai Negeri Sipil, anggota Polri dan TNI, Karyawan BUMN, Karyawan BUMD dan BUMDES, pegawai mandiri, pekerja di sektor informal, dan WNA yang memegang VISA kerja di Indonesia. Dengan demikian, setiap pekerja yang menerima upah, wajib ikut Tapera.

Tapera tidak ubahnya pemalakan oleh pemerintah kepada rakyat karena adanya kewajiban pada setiap pekerja untuk menyetor uang 2.5% gaji. Rakyat tidak diberi pilihan, padahal selama ini sudah ada pemotongan gaji setiap bulannya, seperti BPJS Kesehatan 1%, BPJS ketenagakerjaan JHT  2%, BPJS Jaminan Pensiun 1%, BPJS Jaminan Kematian 0.3% dan BPJS ketenagakerjaan JKK  1.74%. Sekarang akan  ditambah lagi pemotongan untuk Tapera 2.5%. 

Gaji pekerja di Kab. Bandung sesuai UMR saat ini  Rp3.527.967. bila dipotong serentetan iuran itu, maka uang yang diterima pekerja tinggal Rp3.253.261.  Di tengah kondisi serba mahal seperti saat ini, beban para pekerja semakin berat.  Belum lagi biaya untuk makan sehari-hari, biaya pendidikan anak, transportasi, kesehatan, dan lainnya. Maka, pantas bila Tapera mengundang banyak kritikan dari berbagai kalangan. Para pekerja pun menolaknya.

Mirah Sumirat, Ketua Asosiasi Serikat Pekerja menyampaikan kritiknya, bahwa  seharusnya pemerintah yang bertanggung jawab dan wajib menyediakan perumahan untuk rakyat, bukan main potong gaji pekerja. Tindakan itu sama saja dengan memiskinkan rakyat secara perlahan. 

Muslimah news.net (1/6/2024) menyoroti dana Tapera yang terkumpul dari seluruh pekerja di Indonesia pasti akan besar sekali jumlahnya, bahkan mencapai milyaran rupiah. Hal ini berpotensi menjadi lahan baru korupsi karena masa tabungan akan lama.  Rasanya kecurigaan itu beralasan karena faktanya, pada tahun 2021 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan 124.960 pensiunan belum menerima pengembalian dana Tapera yang nilai totalnya mencapai Rp567.5 Miliar  (detikProperti, 3/6/24 ). Ke mana larinya uang nasabah?

Kegaduhan yang ditimbulkan Tapera menunjukkan kepedulian dan kepekaan penguasa sangat minim.  Penguasa telah berbuat zalim kepada rakyat. Angka 2.5% memang terlihat kecil, tetapi bagi pekerja yang gajinya di bawah UMK, gaji utuh saja tidak mencukupi, apalagi kalau dipotong 2.5%.  Seharusnya iuran yang sifatnya menabung tidak dipaksa untuk membayar, apalagi dengan memotong gaji pekerja tanpa izin. Sedangkan negara sendiri belum optimal memberikan pelayanan kepada rakyat. 

Pemaksaan ikut Tapera ini menunjukkan bahwa pemerintah dengan sistem kapitalisme hanya ingin mengumpulkan uang rakyat, sedang peruntukan dan pengelolaannya tidak jelas, kapan dapat rumahnya, di mana lokasinya, berapa jarak dari tempat kerja, dsb. 

Negara hanya sekadar regulator, tidak peduli dengan sulitnya hidup rakyat. Tapera adalah bentuk lepas tangan negara dalam membantu rakyat untuk memiliki tempat tinggal. Rakyat dipaksa saling menanggung beban, seperti BPJS. Rakyat yang tidak sakit membiayai yang sakit. Pemerintah hanya mengatur jalurnya saja.

Berlainan dengan Sistem Islam, pemimpin (khilafah ) akan hadir memberi layanan sebaik mungkin karena tugasnya adalah mengurus urusan rakyat (raa'in), bukan mengeruk keuntungan dari rakyat. Rasulullah saw. bersabda,

"Imam  adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya." (HR Bukhari).

Dalam Islam, rumah adalah salah satu kebutuhan dasar bagi rakyat. Maka, sudah seharusnya pengadaan perumahan rakyat menjadi tanggung jawab pemerintah (khilafah), tanpa adanya iuran wajib. Semua ditanggung negara. Khilafah bukan bertindak sebagai pengumpul dana rakyat, melainkan bertugas memenuhi kebutuhan rakyat.

Islam mewajibkan khilafah membantu rakyat untuk memiliki tempat tinggal dengan cara:

Pertama, menciptakan iklim ekonomi yang sehat sehingga setiap kepala keluarga mempunyai pekerjaan atau penghasilan.

Kedua, khilafah melarang praktik ribawi dalam kepemilikan rumah dan menghilangkan kepemilikan lahan yang luas oleh swasta/ korporasi, karena khilafah akan mengutamakan kepemilikan lahan untuk rakyat yang mampu mengelolanya. 

Ketiga, baitul maal akan membantu rakyat dengan subsidi bagi kepemilikan rumah.

Sungguh, hanya dengan sistem Islam hidup rakyat terjamin. Rakyat memiliki rumah tanpa memberatkan rakyat yang lain. Khilafah berperan sebagai raa'in yang adil dengan tujuan meraih rida Allah Swt. Wallahu alam bisshawab.


Oleh: Wiwin
Sahabat Tinta Media

Selasa, 11 Juni 2024

Tapera, Tabungan Perumahan Rakyat atau Taktik Pencekik Rakyat?



Tinta Media - Jangan salahkan sebagian besar umat apabila memandang kebijakan yang diambil oleh pemerintah saat ini bukan solusi untuk menyelesaikan akar masalah, tetapi justru membuat masalah semakin banyak cabangnya. 

Belum lama ini pemerintah membuat kebijakan atau keputusan terkait tabungan perumahan untuk rakyat yang disingkat dengan Tapera. Benarkah Tapera merupakan tabungan perumahan untuk rakyat, atau hanya taktik dari pemerintah zalim dalam menguras uang rakyat dengan dalih tabungan?

Tapera dimaksudkan untuk pengadaan rumah bagi masyarakat yang belum mempunyai rumah. Dana ini dikumpulkan dari pemotongan gaji para pegawai negeri atau PNS dan para pekerja buruh pabrik, PNS TNI/polri. Kisaran iuran Tapera yang dipotong sebesar 3% persen dari pendapatan setiap kepala keluarga. 

Secara hitungan matematis, mekanisme ini tidak masuk akal sehat. Seperti yang dilansir oleh Sindo news, Rabu (29-05-2024), Presiden Partai Buruh, Said Iqbal menyoroti hitungan iuran peserta Tapera tidak akan mampu mencukupi buruh untuk memiliki rumah saat pensiun atau di-PHK. 

Sebagian masyarakat atau umat menilai kebijakan ini bukanlah solusi tepat untuk mengatasi persoalan rumah layak huni bagi masyarakat. Adanya tabungan bersama ini justru menimbulkan masalah baru yang semakin mencekik perekonomian rakyat yang sudah morat-marit. 

Jauh sebelum Tapera, kita mengetahui bahwa pemerintah telah melahirkan kebijakan menggunakan uang masyarakat untuk bidang kesehatan yang disebut BPJS. Apakah iuran tersebut sudah berjalan sesuai harapan masyarakat? 
Tidak kalah pentingnya, apakah potongan dari upa buruh, PNS, TNI, dan lainnya untuk menabung ini sudah sesuai Syari'at Islam?

Umat Islam sudah semakin cerdas, pandai dalam berpikir, dan mengambil keputusan. Ini terbukti dengan adanya berbagai macam penolakan dari beberapa pihak. Meskipun mereka belum seratus persen memahami Islam secara kaffah, umat manusia khususnya umat Islam sejatinya mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Di sinilah perlunya pemahaman Islam yang secara menyeluruh. 

Umat perlu dipahamkan bahwa Islam tidak hanya mengatur soal ibadah salat, zakat, puasa, kurban, ataupun haji saja. Islam itu luas. Urusan WC saja diatur, apalagi soal kesehatan, kebersihan, pendidikan, perekonomian, kewarganegaraan, keamanan, dan lain sebagainya.

Kita sebagai umat Islam wajib menaati aturan hakiki yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Aturan ini terdapat dalam Al-Qur'an, hadis Nabi, ijma' sahabat, dan kias. Aturan atau kewajiban ini juga berlaku bagi para pemimpin negeri. 

Dalam kepengurusan negaranya, pemerintah juga wajib menaati aturan Islam yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. sebagai konsekuensi keimanan yang diyakini. Sebagai masyarakat, kita wajib menaati pemerintah selama mereka juga taat akan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah , 

Sebagai seorang muslim, kita juga wajib untuk saling menasihati dalam kebaikan dan kebenaran. Baik dan benar di sini bukan berdasarkan pemikiran manusia yang memperturutkan hawa nafsu, melainkan berdasarkan syariat Islam yang bersumber dari kalamullah. 

Allah Swt. berfirman, yang artinya:

"Siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum-hukum Allah, mereka itulah kaum yang zalim." TQS Al-Maidah ayat 47.

Dalam surat An Nisa Allah Swt. juga berfirman, yang artinya: 

"Wahai orang-orang yang beriman, taatlah pada Allah dan taatilah Rasulullah (Muhammad) serta Ulil Amri yang berkuasa di antara kalian." TQS an-Nisa' ayat ke 59. 

Ini sejalan dengan penjelasan imIman asy-Syaukani rahimakumullah yang berkata, 

"Ulil amri adalah para imam, para sultan, para qadhi (hakim), dan setiap orang yang memiliki kekuasaan syar'i, bukan kekuasaan bangsa thaghut." (asy-Syaukani Fath al-Qadiir, 1/556)

Pemerintah bertanggung jawab terhadap penyiapan dan penyediaan rumah untuk rakyat dengan murah sebagaimana program kesehatan, dan ketersediaan pangan. 

Dalam ajaran Islam, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat adalah kewajiban bagi negara untuk mewujudkannya. Pemimpin adalah pelayan, pelindung, dan perisai umat. 

Rasulullah saw. telah bersabda, yang artinya:

"Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengurus dan dia bertanggung atas rakyat yang diurusnya." HR Al-Buchori.

Islam telah terbukti nyata mampu menjaga, melindungi, dan mengurus semuanya selama seribu tiga ratus tahun lamanya. Dalam Islam, menjadi rahmat seluruh alam bukan hanya di negeri-negeri Arab saja. Akan tetapi, syariat Islam telah berhasil ditegakkan dan menjangkau dua pertiga bumi/dunia. Segala bentuk kezaliman dapat diantisipasi atau diminimalisir terjadinya, yaitu dengan sanksi yang juga mampu memberikan efek jera. Dengan pendidikan berbasiskan islamiah sesuai metode Rasulullah, umat terjaga, terlindungi dan terhindar dari pemikiran sekuler yang tidak melibatkan aturan Islam dalam kehidupan. Wallahu alam bissawab


Oleh: Yeni Aryani
Sahabat Tinta Media

Minggu, 09 Juni 2024

Program Ambisius Penguasa, Benarkah untuk Rakyat?



Tinta Media - Tugas utama seorang pemimpin adalah menyejahterakan rakyatnya. Maka, yang harus dilakukan adalah membuat program kerja untuk kemaslahatan rakyat. Hal ini dilakukan agar segala sesuatu yang direncanakan bisa direalisasikan dengan terarah dan sesuai tujuan. Program kerja yang dibuat pun harus berdasarkan kebutuhan rakyat dan menjadi prioritas.

Seperti yang diungkapkan oleh Dadang Supriatna, Bupati Bandung, bahwasanya dirinya telah berhasil merealisasikan 13 program prioritas. Salah satunya adalah program insentif guru ngaji dengan anggaran Rp109 miliar. Dari target 17.000 orang, baru terserap 15.881 orang. 

Sebanyak 314 penghargaan pun berhasil diraih, Pendapatan Asli Daerah (PAD) meningkat dari Rp960 miliar menjadi Rp1,3 triliun. Dana APBD ikut merangkak dari Rp4,6 triliun menjadi Rp7,4 triliun. 

Pertanyaannya adalah apakah banyaknya 'award', meningkatnya PAD dan APBD diiringi juga dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat? 

Program prioritas adalah program yang ditujukan kepentingan umum, lintas urusan, berskala besar, memiliki urgensi tinggi, serta memberikan dampak luas bagi masyarakat. Seperti misalnya aspek pendidikan, kesehatan, perumahan dan pemukiman, pengembangan usaha dan pariwisata, ketahanan energi, ketahanan pangan, penanggulangan kemiskinan dan infrastruktur.

Tentunya, untuk membuat program prioritas harus dilakukan perencanaan yang matang dan tepat, sebab akan menjadi pegangan dan tolok ukur dalam mencapai target. Maka dari itu, dalam membuat program prioritas, yang harus disiapkan adalah niat dan keseriusan untuk menyejahterakan rakyat, kemampuan anggaran, analisis yang tepat, kerja sama dan tanggung jawab seluruh pihak terkait.

Namun, jika melihat fakta, program pemerintah yang digadang-gadang mampu menyejahterakan rakyat ini praktiknya tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Seperti misalnya, maraknya PHK secara sepihak oleh perusahaan sehingga berakibat pada bertambahnya jumlah pengangguran  pembangunan kereta cepat dengan harga tiket yang mahal dinilai tidak tepat sasaran. Perumahan bersubsidi dengan kualitas asal-asalan, juga mahalnya biaya pendidikan hingga banyak pelajar putus sekolah turut melengkapi ketidakseriusan proyek tersebut.

Selain itu, banyak alih fungsi lahan yang merugikan rakyat dan lingkungan, tingginya biaya kesehatan, ketimpangan sosial dan ekonomi semakin terlihat, angka kemiskinan tak kalah meningkat, bahkan kelangkaan bahan pangan sering terjadi dan sering pula harganya meroket. 

Kalau faktanya seperti ini, artinya pemerintah tidak serius membuat program kerja. Pemerintah tidak menjadikan kebutuhan vital rakyat sebagai prioritas. 

Di sisi lain, anggaran untuk menjalankan satu program prioritas saja sudah menggelontorkan dana Rp109 miliar, belum  lagi program-program lainya. Bersyukur jika anggaran tersebut benar-benar tepat sasaran, tetapi bukan rahasia lagi, proyek-proyek besar seperti ini rawan akan praktik korupsi. 

Faktanya, banyak terjadi kebocoran anggaran di sepanjang jalan yang dilakukan pihak terkait. Akibatnya, pelaksanaan program kerja tersendat hingga terbengkalai karena kehabisan anggaran. Lagi dan lagi, rakyat selalu jadi korban kerakusan para birokrat.

Akhirnya, solusi negara adalah meminjam uang pada pihak asing dan tak jarang menyerahkan proyek tersebut untuk dikelola oleh pihak swasta atau asing. Ujung-ujungnya, program prioritas ini tidak dirasakan kemaslahatannya oleh rakyat, tetapi hanya dirasakan para oligarki dan kapitalis.

Fakta-fakta tersebut menjadi bukti, ketika kekuasaan sudah tersekularisasi dan penguasa menerapkan sistem ekonomi kapitalisme dalam meriayah rakyat, maka yang terjadi adalah penguasa tidak akan mampu memecahkan problematika kehidupan rakyat, sekalipun seribu program prioritas dibuat.

Arah pandang sistem sekularisme kapitalisme hanya sebatas kebahagiaan dunia. Maka, program kerja yang dibuat pun hanya mengejar pahala dunia (award), yang hanya dinilai oleh segelintir orang. Dalam sistem ini, persoalan data dan angka bisa diutak-atik alias diperjualbelikan. 

Di tengah karut-marutnya kehidupan ini, negara harus mencari sistem alternatif pengganti sistem sekularisme kapitalisme, yaitu sistem Islam. Sistem ini Allah Ta'ala buat untuk mengatur dan memecahkan problematika kehidupan. Sejarah mencatat, sistem Islam pernah berjaya dengan menerapkan syariat Islam hampir 14 abad.

Negara Islam (Khilafah) yang dipimpin oleh seorang Khalifah, memosisikan kepentingan rakyat di atas kepentingan kelompok dan pribadi. Oleh sebab itu, setiap program kerja yang dibuat pun akan sesuai dengan apa yang dibutuhkan rakyat. Hal itu dilakukan semata-mata karena adanya kesadaran hubungan dengan Sang Khalik yang memberi amanah, bukan karena berharap apresiasi, materi, dan pujian dari manusia. 

Seorang Khalifah akan berusaha keras mewujudkan kesejahteraan rakyat dalam seluruh aspek kehidupan. Khilafah dengan sistem ekonomi Islamnya, mampu memenuhi kebutuhan rakyat, baik sandang, pangan, ataupun papan. Khalifah juga akan memberikan peluang usaha bagi rakyat dengan menyediakan sarana prasarananya secara cuma-cuma. 

Kemampuan Khilafah memenuhi kebutuhan rakyat tidak diragukan. Pendapatan negara yang luar biasa bersumber dari harta fa'i, kharaj, ghanimah, anfal, rikaz, khumus, zakat, jizyah, dan pengelolaan barang tambang. Seluruh hasil pengelolaannya kemudian disimpan di kas negara (baitul mal) dan dialokasikan untuk kepentingan rakyat.

Inilah Islam. Kepemimpinan tidak sekadar mendudukkan seseorang di panggung kekuasaan, tetapi yang lebih utama adalah bagaimana kekuasaannya itu digunakan untuk menjaga, menerapkan, dan mendakwahkan Islam, serta bertanggung jawab dunia akhirat dalam mengurus rakyat dengan hukum-hukum Allah Swt.

Maka dari itu, program kerja dibuat oleh Khalifah berdasarkan kebutuhan vital rakyat, yang disandarkan pada hukum syara. Sungguh, hanya dengan penerapan syariah secara kaffah, pemimpin mampu bekerja dengan baik, menjalankan seluruh program prioritasnya hanya dengan berharap ridha Allah Swt.
Wallahualam bisshawab.

Oleh: Neng Mae
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 18 Mei 2024

Terjerat Pinjol, Rakyat Makin Terseret Gaya Hidup Konsumtif


Tinta Media - Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah pinjaman di aplikasi pinjol terus meningkat. Terdapat sekitar 17 juta entitas yang menerima pinjol di seluruh Indonesia. Dalam data tersebut, guru yang paling banyak terjerat pinjol dengan persentase hingga 42 persen. Hal ini disebabkan karena penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan hidup. Karena itu, mereka mencari alternatif lain yang lebih mudah, yakni dengan cara pinjaman online. 

Kebanyakan guru yang terjerat pinjol berusia 19 hingga 34 tahun (generasi milenial). Mereka mengerti yang namanya teknologi digital, aplikasi, dan hal-hal yang berkaitan dengan itu. Alhasil, mereka yang paham dengan teknologi ini bisa mengaksesnya dengan sangat mudah.

Dudung Abdul Qadir selaku Wakil Sekretaris Jenderal (wasekjen) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengatakan bahwa hal ini dikarenakan penghasilan guru yang masih sangat rendah sehingga rentan terjebak pinjol.

Tren pinjol makin meningkat, sejatinya hal ini disebabkan oleh banyak hal, di antaranya adalah kesempitan hidup yang menimpa sebagian masyarakat negeri ini. Pinjol pun menjadi jalan termudah yang dipilih untuk bisa memenuhi kebutuhan pangannya. 

Kesempitan hidup masyarakat tidak lepas dari penerapan sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. Sistem ini lebih melegalkan liberalisasi ekonomi. Alhasil, segala komoditas dikapitalisasi atau dibisniskan. Rakyat pun kesulitan mengakses kebutuhan-kebutuhan asasiahnya karena harganya mahal.

Selain itu, cara pandang sekuler-kapitalis yang diadopsi masyarakat telah menjerat mereka pada pinjol tak berkesudahan. Sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan telah mewarnai kehidupan masyarakat dengan gaya hidup hedonis dan materialis. Masyarakat kini memandang sumber kebahagiaan ada pada materi dan kesenangan jasadiah semata. Padahal, mengejar kesenangan materi juga membutuhkan cuan yang tidak sedikit. 

Gaya hidup materialis masyarakat juga diperkuat lagi dengan gempuran media yang secara terus-menerus mempersuasif masyarakat untuk hidup hedon. Masyarakat yang jauh dari pemahaman Islam tidak lagi mempedulikan apakah harta yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan asasiah dan gaya hidup mereka diperoleh melalui jalan halal ataukah bertentangan dengan aturan Allah, sebagaimana pinjol yang disertai riba. 

Negara cenderung abai terhadap persoalan ketakwaan rakyat, termasuk kesejahteraannya. Celakanya, negara juga melegalkan praktik pinjol dengan perizinan lembaga pinjol.

Mewujudkan masyarakat bersih dari riba membutuhkan peran sentral negara dalam menjauhi riba dengan segala bentuknya. Sistem Islam sebagai sistem pemerintahan berlandaskan Al-Qur'an dan As-Sunah tidak akan membenarkan praktik riba berlangsung. 

Penerapan syariat Islam secara kaffah sejatinya akan menghapuskan praktik riba. Untuk mencegah fenomena pinjam-meminjam, sistem Islam akan berupaya memenuhi kebutuhan asasiah setiap individu rakyat melalui penerapan sistem ekonomi Islam dengan mekanisme langsung maupun tidak langsung.

Dalam mekanisme tidak langsung, kepala keluarga yang menjadi pihak pencari nafkah akan dipermudah dan difasilitasi untuk bekerja. Lapangan kerja dalam sistem Islam akan terbuka lebar sebab seluruh kepemilikan rakyat hanya boleh dikelola oleh negara. 

Pengelolaan SDA dalam jumlah besar akan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar pula. Jika kepala keluarga tidak mampu memenuhi, yang wajib membantu adalah kerabatnya. 

Pendapatan yang baik disertai aparat pemerintah yang amanah meniscayakan adanya data kekerabatan yang menunjang mekanisme ini. Jika seluruh kerabat tidak mampu memenuhi kebutuhannya, kewajiban memberi nafkah jatuh kepada kas negara (Baitul Maal). Anggaran yang digunakan negara untuk membantu individu yang tidak mampu akan diambil dari pos zakat.

Adapun mekanisme langsung akan dilakukan negara pada pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Dalam hal itu, negara menggratiskan pelayanan-pelayanan tersebut kepada masyarakat, sehingga harta yang dimiliki masyarakat benar-benar fokus dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan, ditambah kebutuhan sekunder ataupun tersiernya. 

Bagi masyarakat yang membutuhkan bantuan keuangan, maka negara melalui lembaga Baitul Maal akan memberikan pinjaman tanpa riba, sebab Islam mengharamkan riba secara mutlak. 

Negara akan melarang pendirian lembaga pinjol dengan riba atau aktivitas sejenis. Di sisi lain, sistem pendidikan Islam mencetak masyarakat yang memiliki akidah Islam yang kuat dan berorientasi akhirat, sehingga amal-amalnya tidak berputar pada bagaimana memenuhi kesenangan duniawi, tetapi justru dihiasi dengan amal shalih. 

Demikianlah sistem Islam mewujudkan masyarakat tanpa riba sehingga kehidupan menjadi berkah karena diliputi rida Allah. Inilah indahnya hidup di bawah sistem Islam. Wallahu'alam bishshawab.


Oleh: Rukmini
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab