Tinta Media: Radikalisme
Tampilkan postingan dengan label Radikalisme. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Radikalisme. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 13 April 2024

Rotasi Ramadan Tangkal Radikalisme


Tinta Media - Ramadan baru saja berlalu. Kita masih ingat, puluhan pemuda, sejumlah komunitas dan mahasiswa mengadakan kegiatan Ruang Obrolan Terbuka Asyik di bulan Ramadan lalu. (Rotasi) dengan dibalut skema talk show. Acara tersebut diinisiasi oleh Pemuda Sapu Bersih Hoaks dengan mengusung tema "Ngawangkong Soal Bahaya Radikalisme dan Situasi Wilayah. “Kegiatan tersebut dilaksanakan di Angkringan Rumah Kayu Citarum, Desa Mekar Rahayu, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung. (Selasa, 26/03/2024)

Rotasi Ramadan tersebut diharapkan menjadi ajang untuk menolak paham radikalisme bersama-sama dan mewaspadai isu situasi wilayah sekaligus menjadi refleksi bagi generasi bangsa di lingkungan masyarakat. Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran dan memiliki daya nalar yang kuat dalam menepis segala marabahaya radikalisme dan informasi yang kebenarannya belum tervalidasi. 

Maka dari itu, peran pemuda di era digitalisasi saat ini menjadi garda terdepan dalam menangkal paham radikalisme. Adapun nara sumber yang dihadirkan di antaranya adalah Kepala Badan Kesbangpol Kabupaten Bandung dengan wakil Supriadi selaku analis.

Radikalisme ternyata masih menjadi isu yang terus digoreng hingga menghadirkan rasa was-was, khawatir, dan takut yang berlebihan di lingkungan masyarakat. Apalagi setelah munculnya berbagai macam survei mengenai para pemuda yang tertarik pada radikalisme hingga menggencarkan berbagai program untuk membendung paham yang berlawanan. Maka dari itu, berbagi kegiatan dilaksanakan oleh beberapa komunitas untuk mengawal para pemuda agar tidak terpengaruh paham radikalisme, seperti halnya kegiatan Rotasi Ramadan yang dilaksanakan di Kabupaten Bandung pada Ramadan lalu.

Isu radikalisme ini bermula dari banyaknya fakta yang dilakukan anak muda sebagai aksi terorisme, seperti bom bunuh diri yang dilakukan oleh beberapa pemuda di tahun-tahun silam, di antaranya kasus bom bunuh diri pada 17/07/2009, di hotel JW. Marriot oleh pemuda berusia 18 tahun, kemudian kasus penyerangan pos lalu lintas Cikokol Tangerang pada 13/11/2019 oleh pemuda berusia 22 tahun, dan sejumlah kasus lainnya. 

Contoh kasus-kasus tersebut berdampak timbulnya rasa takut di masyarakat. Walhasil, semua tindakan yang menimbulkan rasa teror di atas dinyatakan sebagai aktivitas terorisme yang terpengaruh paham radikalisme.

Di lain sisi, terdapat juga survei Setara Institute yang menunjukkan data sebanyak 67% konten media yang dilakukan oleh para milenial dan gen-Z berisi konten keagamaan yang dianggap radikal dan intoleran. 

Oleh karenanya, beberapa upaya dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah paham radikalisme dan terorisme dan menjadi program terpusat yang akan terus digalakkan.

Upaya-upaya yang dilakukan guna mencegah paham radikalisme dan terorisme menjadikan para pemuda merasa bingung dan takut untuk meyakini dan menjalankan agamanya. Yang menjadi sasaran adalah agama Islam, terutama menyasar pada gerakan yang memperjuangkan Islam kaffah, khilafah, dan jihad. 

Fakta ini merujuk pada keputusan Kemenag yang melarang adanya pelajaran tentang khilafah atau sebatas menempatkannya pada pelajaran sejarah, bukan fikih, hingga menggeser makna radikalisme dan terorisme yang sebenarnya. 

Tentu harus kita pahami bahwa semua ini merupakan langkah Barat untuk melanggengkan ideologi kapitalisme dan imperialismenya di dunia, khususnya di negeri-negeri Islam. Melalui propaganda perang melawan radikalisme, Barat dapat melakukan framing negatif dengan memberikan stigma radikal dan teroris.

Sebagai manusia, kita dibekali akal untuk berpikir sehingga sudah seyogianya kita memahami mana yang benar dan mana yang salah. Apalagi, seorang muslim sudah diberi petunjuk oleh Allah Swt. berupa Al Qur'an yang di dalamnya terdapat perintah untuk berislam secara kaffah (sempurna/seluruhnya). 

Maka dari itu, untuk menerapkan aturan-aturan Islam secara menyeluruh dibutuhkan adanya sebuah institusi yang mampu untuk menerapkannya, dan itu adalah Khilafah. 

Makna khilafah itu sendiri adalah kepemimpinan umum bagi seluruh manusia untuk menerapkan aturan Allah Swt. dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh pelosok dunia. Dengan sistem inilah, muncul generasi cemerlang, idaman umat.

Sudah seharusnya seorang pemuda muslim memiliki kepribadian Islam, yaitu memiliki pola pikir dan pola sikap Islam yang senantiasa ada dalam setiap aktivitas dan terikat dengan aturan sang Khalik. 

Selain itu, sepatutnya pemuda saat ini mencontoh para pendahulu yang telah jelas beriman kepada Allah Taala. Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khaththab, Mush’ab bin Umar, Muhammad al-Fatih, dsb. adalah pemuda yang sudah dijanjikan surga atas ketaatan mereka.

Sebagai umat Islam, sudah seharusnya kita menyingkap penyesatan opini yang telah dilakukan di balik perang melawan radikalisme seraya memahamkan ajaran Islam yang sesungguhnya, yakni bersifat pemikiran dan tanpa kekerasan, sehingga tidak mungkin melahirkan terorisme. 

Umat harusnya memiliki kesadaran dan kecerdasan akan situasi ini sehingga memiliki kewaspadaan agar tidak terjebak atau terbawa arus hingga justru memusuhi saudara muslimnya sendiri. Nyatanya, yang harus dimusuhi adalah sistem dan ideologi sekularisme dan kapitalisme, serta para pengusung utamanya. Terakhir adalah bagian dari keimanan kita bahwa pertarungan hak dan batil tentu akan dimenangkan oleh yang hak, dan pertarungan Islam dan kekufuran tentu saja akan dimenangkan Islam. Wallahu'alam bishawaab.


Oleh: Tiktik Maysaroh 
(Aktivis Muslimah Bandung)

Rabu, 13 September 2023

Usulan BNPT Kontrol Rumah Ibadah, Berpotensi Singgung Kalangan Umat Beragama



Tinta Media - Menanggapi usulan BNPT agar rumah ibadah  dikontrol oleh pemerintah, Direktur Indonesian Justice Monitor Agung Wisnuwardana menyatakan bahwa usulan ini dinilai berpotensi menyinggung Kalangan Umat Beragama. 

"Usulan dari BNPT tersebut dinilai seolah menuduh bahwa tempat ibadah adalah sarang terorisme. Ini berpotensi menyinggung kalangan umat beragama," tuturnya dalam video BNPT Menakutkan? Jumat (8/9/2023) di kanal YouTube Justice Monitor. 

Menurutnya, kalau pemerintah atau aparat langsung mengontrol segala aktivitas di rumah ibadah, ini sangat berbahaya dan rentan menimbulkan problem serius. "Justru akan mengganggu harmonisasi kehidupan beragama di Indonesia yang selama ini sudah terjadi dengan baik," ujarnya. 

Ia mengungkapkan bahwa selama ini banyak pihak meminta agar BNPT tidak  menggeneralisasi semua tempat ibadah. Ini adalah kekeliruan fatal. Persoalan terorisme harus dikelola, tidak boleh serampangan namun harus  dilakukan secara objektif, proporsional dan profesional. "Walhasil, BNPT harus segera mengklarifikasi atau meluruskan usulan tersebut. Jangan sampai  isu tersebut menimbulkan kegaduhan publik yang tidak penting," katanya. 

Ia menilai bahwa isu radikal yang diangkat oleh pemerintah terkesan tidak nyambung dengan problem yang dihadapi bangsa ini. “Ada kelompok kriminal bersenjata meneror masyarakat Papua itu yang melakukan bukan orang-orang radikal. Korupsi uang rakyat, siapa yang melakukan? Mungkin saja sebagian dari koruptor itu berteriak saya Indonesia, saya Pancasila ternyata OTT. Bukan radikal radikul seperti yang dituduhkan," ungkapnya. 

Pun demikian, lanjutnya, dengan liberalisme ekonomi yang membuat banyak sumber daya alam negeri ini dinikmati oleh segelintir orang saja. "Mereka juga tidak dituduh radikal radikul selama ini. Padahal ini adalah persoalan konkret, nyata," terangnya. 

"Eh tiba-tiba BNPT mengusulkan agar pemerintah mengontrol seluruh masjid, seluruh rumah ibadah,  seolah-olah problem negeri ini ditimbulkan oleh radikal radikul, oleh tempat ibadah," bebernya. 

Menurutnya, penting agar energi bangsa ini difokuskan pada persoalan-persoalan yang tengah dihadapi negara ini. "Tetap semangat teman-teman sekalian, berfikir waras, bersatu, dobrak untuk  menuju perubahan yang sebenarnya," pungkasnya.[] Ajira

Kamis, 07 September 2023

KAMI: Isu Intoleran, Radikalisme, Terorisme Tertuju pada Islam


 
Tinta Media - Ketua Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Adhi Masardi menilai, isu intoleran, radikalisme, terorisme selalu ditujukan pada Islam.
 
“Isu intoleransi, radikalisme, dan terorisme, sejak Orde Baru, selalu tertuju pada Islam,” tuturnya dalam diskusi online : Isu Moderasi Diangkat di tengah Korupsi Meningkat dan Kedaulatan Disikat (Cina), Ahad (3/9/2023) di kanal YouTube Media Umat.
 
Isu-isu tersebut, menurutnya, disiapkan oleh Amerika untuk menguasai negeri-negeri berpenduduk mayoritas muslim yang kaya akan energi.
 
“Indonesia mempertahankan isu terorisme untuk menyerang Islam. Hal ini karena menguntungkan bagi kekuasaan. Demikian halnya, dengan kelompok-kelompok yang mengkritisi pemerintah, maka akan dituding macam-macam, dicari pasal-pasal menebar kebohongan, dan dituduh provokasi. Ini memang harga yang harus kita bayar untuk memberikan kesadaran politik kepada masyarakat,” pungkasnya. [] Ikhty

Minggu, 07 Mei 2023

TRADISI LEBARAN DAN RADIKALISME, ADAKAH HUBUNGANNYA?

Tinta Media - Ainur Rofiq Al Amin, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel dengan judul Mencintai Tradisi (Lebaran), Mencintai NKRI yang dimuat Kompas, 19 April 2023 04:20 WIB. Salah satu sub judul tulisan itu adalah Mencegah Infiltrasi Kelompok Radikal-Teroris.

 

Saya kutip judul itu seutuhnya : Terdapat fungsi lain dari pelestarian tradisi, termasuk tradisi halalbihalal, yakni untuk mencegah infiltrasi kelompok radikal-teroris. Bagaimana nalarnya? Sebagian besar kelompok radikal-teroris akan berseberangan secara diametral atau menolak sebagian besar budaya dan tradisi yang dijalankan Muslim mayoritas, bahkan juga tradisi budaya pada umumnya.

 

Karena bagi mereka, itu dianggap sinkretisme, syirik, dan bid’ah. Mereka sering menyerukan jargon ”cukup kembali kepada Al Quran dan hadis”. Padahal, menurut Nadirsyah Hosen dalam artikelnya, ”When ’Back to the Qur’an and Hadith’ is No Longer Enough”, jargon seperti itu tak cukup dan berpotensi menggiring orang beragama secara radikal (Tim Lindsey ed, Islam, Education and Radicalism in Indonesia, 2023).

 

Menjaga dan mencintainya adalah sebentuk manifestasi menjaga dan mencintai NKRI.

 

Banyak ditemukan pernyataan kelompok radikal-teroris tentang ketidaksukaannya atas tradisi budaya Muslim Nusantara. Karena itu, jika tradisi budaya itu digalakkan, termasuk halal bihalal, secara otomatis akan mampu membuat generasi muda kita mencintai tradisi itu. Dengan demikian, siapa pun yang membenci tradisi budaya, akan muncul reaksi penentangan sekaligus self defense dalam diri generasi muda.

Generasi muda yang demikian akan mengemban Islam moderat atau wasatiyyah. Dari narasi di atas, perlu ada kesadaran bersama bahwa local wisdom masyarakat Indonesia perlu dijaga dan dilestarikan. Menjaga dan mencintainya adalah sebentuk manifestasi menjaga dan mencintai NKRI.

 

Sebagai tradisi intelektual yang harus terus dibangun, izinkan saya untuk memberikan tanggapan atas tulisan saudara  Ainur Rofiq Al Amin di atas.

 

Sub judul sebelumnya dari tulisan ini tidak perlu saya tanggapi karena hanya bicara seputar dinamika perkembangan umat Islam dalam memahami ajaran Islam yang Allah turunkan di jazirah Arab dan dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW ke seluruh penjuru dunia lantas bagaimana terjadi proses interaksi dengan masyarakat lokal. Maka, muncul berbagai kreatifitas dakwah agar Islam diterima masyarakat non muslim waktu itu. Salah satunya dengan proses islamisasi nusantara, terutama dalam hal budaya dan tradisi.  Tradisi yang jelas-jelas tidak islami akan ditinggalkan, sebab islam akan menerima kebiasaan masyarakat yang memang tidak bertentangan dengan Islam. (Lihat bukunya Carool Kersten berjudul Mengislamkan Indonesia, Sejarah Peradaban Islam di Nusantara)

 

Karena itu, soal tradisi, Islam bisa menerima seluruh tradisi masa lalu yang tidak bertentangan dengan aqidah, sementara tradisi agama lain dibiarkan dilakukan oleh pemeluknya, sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Dengan demikian, jika polemik budaya muslim nusantara ditujukan kepada umat Islam atau Islam, selain salah alamat juga gagal paham atas ajaran Islam itu sendiri. Mestinya penulis jeli melihat perkembangan islamopobia yang justru merak terjadi di seluruh dunia. Jangan selalu menembapkan umat Islam selalu dalam posisi salah terus.

 

Sepeninggal Rasulullah, Islam disebarkan oleh melalui dakwah dan pendidikan oleh para khalifah, ulama, ilmuwan, dan bahkan para pedagang. Kenapa ini terjadi, sebab dakwah memang kewajiban bagi setiap individu muslim, apapun profesinya, maka dakwah penyebaran Islam wajib dilakukan. Mengapa Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia, ya karena disebarkan oleh setiap pribadi dan para pemimpin negara, sampai pada munculnya islamopobia yang dihembuskan oleh para musuh Islam dan kompradornya karena ada dendam sejarah. Di titik inilah muncul narasi-narasi islamopobia yang bahkan diadobsi oleh umat Islam sendiri, seperti radikalisme dan terorisme. Padahal faktanya yang jadi korban narasi teorisme ini adalah umat Islam sendiri.

 

Nah di titik inilah sebenarnya persoalan yang ingin saya tanggapi dari tulisan saudara Ainur Rafiq ini. Sebenarnya soal tradisi dan budaya itu telah tuntas dalam ajaran Islam, namun anehnya mengapa bicara soal tradisi dan budaya malah menyinggung (meski sekilas) soal narasi radikalisme dan terorisme, jadi terkesan agak dipaksakan. Bahkan jika dicermati dari awal tulisan hingga sampai sub judul infiltrasi radikal terorisme, maka tidak ditemukan logika dan relevansinya. Meminjam bahasa Ainur Rafiq sendiri juga tidak ditemukan titik nalarnya. Jadi saya balik bertanya, dimana nalarnya antara tradisi lebaran dengan ilfiltrasi kelompok radikal-teroris itu ?.

 

Sebagai sama-sama dosen filsafat, saya memahami bahwa dalam ilmu filsafat, berpikir radikal bermakna upaya menggali kenyataan atau ide hingga ke akar-akarnya, jelas merupakan syarat mutlak untuk membangun diskursus rasionalisme dan kritisisme. Bahkan dalam ilmu kimia, tak kecuali, ternyata juga dikenal istilah radikal bebas. Jadi aneh kalau dosen filsafat kok malah mempermasalahkan kata radikal. Berfilsafat itu ya berfikir radikal, piye to sampeyan ini ?.

 

Secara etimologis, kata radikal sesungguhnya netral. Radikalis, kata sifat ini berasal dari bahasa Latin, radix atau radici. Menurut The Concise Oxford Dictionary (1987), istilah radikal berarti ‘akar’, ‘sumber’, atau ‘asal-mula’. Dimaknai lebih luas, istilah radikal mengacu pada hal-hal mendasar, prinsip-prinsip fundamental, pokok soal, dan esensial atas bermacam gejala, atau juga bisa bermakna “tidak biasanya” (unconventional).

 

Sampai disini jelas bahwa, kata radikal sesungguhnya netral dalam arti tidak berhubungan agama, apalagi Islam. Kata radikal lebih tepat jika ditempatkan dalam konteks akademik atau filsafat, dimana segala sesuatu harus digali dari akarnya untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki. Aktifitas berfikir dalam rumus filsafat justru harus radikal, bukan dangkal.

 

Berpikir radikal dalam tinjauan filsafat justru memiliki aksilogi positif. Sebab dengan berpikir radikal, seseorang dapat memahami, menganalisa dan bahkan memberikan solusi yang benar. Pemimpin negara yang berpikir radikal pun demikian, ia akan dapat memahami hakikat permasalahan yang dihadapi oleh negaranya.  

 

Berpikir radikal hanya mungkin dilakukan oleh pemimpin cerdas. Pemimpin yang berpikir radikal akan mampu menganalisa secara holistik  setiap permasalahan sehingga pemecahan masalahnya pun bisa tuntas dan benar. Pemimpin radikal justru akan menjadikan negara kuat dan memiliki prinsip kokoh.  Kebalikan dari berpikir radikal adalah pemimpin yang plin plan, tidak punya prinsip dan tidak punya landasan dalam berpikir.

 

Kembali ke laptop. Saya akan tanggapi beberapa paragraf dari tulisan saudara Ainur Rafiq untuk menumbuhkan budaya diskusi mencerdaskan kehidupan bangsa. Saya mulai dari paragraf pertama sub judul Mencegah Infiltrasi Kelompok Radikal Teroris.

Paragraf pertama : Terdapat fungsi lain dari pelestarian tradisi, termasuk tradisi halalbihalal, yakni untuk mencegah infiltrasi kelompok radikal-teroris. Bagaimana nalarnya? Sebagian besar kelompok radikal-teroris akan berseberangan secara diametral atau menolak sebagian besar budaya dan tradisi yang dijalankan Muslim mayoritas, bahkan juga tradisi budaya pada umumnya.

 

Menyatakan sebagian besar kelompok radikal-teroris adalah kalimat absurd yang justru akan menimbulkan polemik di masyarakat muslim. Alih-alih penulis mendukung hari anti-islamopobia, kok malah manas-manasin lagi soal narasi radikal teroris yang sudah mulai basi. Tanpa menyebut kelompok mana yang disebut radikal teroris juga akan menimbulkan suasana yang tidak nyaman di kalangan umat Islam sendiri. Mestinya lebaran atau idul fitri itu kan bahagia, kok malah menebar narasi yang bisa mengganggu kebahagiaan umat Islam. Lagi pula apa sih hubungan antara halal bi halal dengan radikal-teroris ? plis jangan lebay deh...

 

Paragraf kedua : Karena bagi mereka, itu dianggap sinkretisme, syirik, dan bid’ah. Mereka sering menyerukan jargon ”cukup kembali kepada Al Quran dan hadis”. Padahal, menurut Nadirsyah Hosen dalam artikelnya, ”When ’Back to the Qur’an and Hadith’ is No Longer Enough”, jargon seperti itu tak cukup dan berpotensi menggiring orang beragama secara radikal (Tim Lindsey ed, Islam, Education and Radicalism in Indonesia, 2023).

 

Pertanyaannya mereka itu siapa ?. Siapa yang menganggap halal bi halal itu sinkretisme, syirik dan bid’ah, siapa ?. Mestinya disebutkan dalam tulisan agar tidak terjadi prasangka buruk antar umat Islam yang sedang akan menikmati lebaran berbahagia dengan keluarga, berkumpul, silaturahmi dan berbagai rejeki. Istilah kembali kepada al qur’an dan hadits itu mestinya dirujuk kepada para ulama ahli tafsir agar maknanya lebih obyektif. Kan banyak para ahli tafsir, kenapa harus Nadirsyah Hosen yang dipilih ? Cuma nanya loh he he  ?.

 

Kutipan frase : berpotensi menggiring orang beragama secara radikal adalah kutipan yang mengalami kerancuan. Sebab kembali kepada Al Qur’an dan Hadits memang kewajiban sebagai muslim, sementara kata radikal itu istilah yang dikembangkan oleh Barat sebagai bagian dari perang pemikiran (ghozwul fikr). Sama sekali tidak ada hubungan antara Al Qur’an dan hadits dengan radikalisme. Jika dipaksa dihubung-hubungkan, maka mungkin ada kepentingan tertentu. Karena memang ghozwul fikr ini ada yang pro barat ada pula yang pro islam dari kalangan umat Islam sendiri.

 

Paragraf tiga : Menjaga dan mencintainya adalah sebentuk manifestasi menjaga dan mencintai NKRI. Kalimat ini terlalu berlebihan, sebab lebaran sebagai tradisi umat Islam adalah bagian dari kecintaan kepada agama ini. Lantas jangan diragukan lagi apakah umat Islam ini cinta Indonesia atau tidak. Loh bukannya Indonesia ini hasil perjuangan para ulama dan umat Islam.

 

Justru Indonesia saat ini sedang dalam penjajahan kapitalisme dan komunisme, mencintai Indonesia mestinya dengan mengusir dan menolak ideologi kapitalisme dan komunisme ini. Inilah sesungguhnya tantangan terbesar negara ini. Dengan menerapkan kapitalisme dan komunisme, indonesia kini terjual habis, rakyat tambah sengsara, SDA dikuasi asing aseng dan seterusnya.

 

Jika para pemimpin negeri ini menerapkan kapitalisme dan merestui komunisme, apakah mereka sedang mencintai NKRI atau malah sebalaiknya?

 

Paragraf empat : Banyak ditemukan pernyataan kelompok radikal-teroris tentang ketidaksukaannya atas tradisi budaya Muslim Nusantara. Karena itu, jika tradisi budaya itu digalakkan, termasuk halal bihalal, secara otomatis akan mampu membuat generasi muda kita mencintai tradisi itu. Dengan demikian, siapa pun yang membenci tradisi budaya, akan muncul reaksi penentangan sekaligus self defense dalam diri generasi muda.

 

Tulisan ini hanya memperkuat kelemahan nalar penulisnya dalam membangun logika korelasi antara radikal-teroris dan tradisi nusantara. Bagaimana kalau saya bertanya begini: apakah yang tidak setuju dengan tradisi nusantara adalah teroris? Jika jawabnya iya, berarti harus dihukum berat dong? Mengapa perbedaan pendapat soal tradisi nusantara lantas dikaitkan dengan radikal-teroris, apakah tidak berlebihan. Karena lemahnya korelasi, maka tulisan ini kurang ilmiah.

 

Paragraf enam: Generasi muda yang demikian akan mengemban Islam moderat atau wasatiyyah.

 

Kalimat ini terdapat banyak kesalahan istilah. Ayat tentang wasatiyah itu merujuk kepada umat, bukan kepada islam. Istilah moderat sendiri bukan berasal dari khasanah Islam, namun dari epistemologi barat. Intinya moderat itu tidak sama dengan wasatiyah, termasuk juga tidak langsung berhubungan dengan budaya lebaran.  

 

Terkait ummatan wasathan, Allah berfirman : “Demikian Kami jadikan kamu ummatan wasathan supaya kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad SAW) menjadi saksi atas perbuatan kamu...” (QS. Al-Baqarah (2): 143). Ummatan wasathan adalah umat yang adil dan pilihan karena terbentuk kepribadian dari pelaksanaan ajaran Islam.

 

Tapi saya akan coba berikan tanggapan masalah ini lebih detail ya, sekali lagi sebagai upaya menghidupkan budaya diskusi untuk mencerdaskan kehidupan umat Islam dan bangsa.

 

Barat telah menyebarkan istilah-istilah aneh yang dikaitkan dengan Islam, seperti Islam moderat. Barat yang dimaksud bukanlah letak geografis, melainkan Barat dalam makna pemikiran, ideologi dan peradaban yang sekuleristik dan kapitalistik. Pandangan ini menghendaki Barat harus dikritisi dan bahkan dilawan, karena dianggap sebagai neoimperialisme.  Barat, oleh seorang muslim  juga sering dianggap sebagai kiblat kemajuan teknologi dan kecanggihan metodologi penelitian.

 

Oleh Barat, pandangan pertama diberikan julukan sebagai muslim fundamentalis atau radikalis yang harus dimusuhi bahkan diberangus karena dianggap mengancam hegemoni Barat.  Sedangkan pandangan kedua diberi julukan  sebagai muslim moderat yang harus didukung eksistensinya karena dianggap mendukung dan menguntungkan Barat.

 

Semestinya seorang muslim melihat Barat dalam sudut pandang Islam yang obyektif, kritis dan syar’i. Barat sebagai ideologi sekuleristik dan imperialistik yang jelas-jelas telah merugikan sebagai besar negeri-negeri muslim jelas harus dilawan. Sementara terkait kemajuan teknologi, masih dalam ranah yang diperbolehkan mengadopsinya.  Sebab jika seorang muslim memandang Barat dari sudut pandangan Barat, maka identitas Islam sebagai peradaban dan muslim sebagai komunitas menjadi kabur. Cara pandang muslim dan sisi-sisi konseptual peradaban Islam terdistorsi oleh cara pandang ini. Selain hilangnya identitas kemusliman, cara pandang ini tidak memberikan sumbangan terhadap kemajuan Islam itu sendiri.

 

Karena itu, seorang muslim mesti berfikir cerdas untuk menyikapi pelabelan istilah-istilah Barat setelah kata Islam. Pelabelan dengan istilah muslim moderat atau muslim radikal dimaknai oleh Barat bahwa jika seorang muslim tidak mendukung Barat, maka akan dicap sebagai muslim radikal yang harus dimusuhi. Ironisnya, banyak kaum muslimin  yang mengikuti arus ini, sehingga terjadi kondisi kaum muslimin yang saling mencurigai dan bahkan memusuhi antar sesama muslim. Pelabelan istilah Barat terhadap kata Islam adalah politik adu domba Barat yang harus disadari oleh seluruh kaum muslimin di dunia. Ini adalah bentuk nyata dari upaya penyerangan Barat kepada Islam.

 

Dalam buku Ceryl Bernard berjudul "Civil Democratic Society"  terbitan Rand Corporation, umat Islam dibagi menjadi 4 golongan:1) Muslim Fundamentalis 2) Muslim Tradisionalis 3) Muslim moderat (liberal) 4) Muslim Sekuler. Dengan data ini berarti umat Islam hari ini menghadapi berbagai ancaman dan tantangan baik dari internal umat Islam maupun dari eksternal umat Islam. Ancaman paling serius adalah Ghazwul Fikri (perang pemikiran) sebuah strategi baru yang digunakan untuk menghancurkan Islam.

 

Menurut Mr Hamid Algadri dulu Belanda selalu menyebut kelompok yang melakukan perlawanan terhadap penjajah sebagai radikal dan Islam fundamentalis. Seperti yang dilakukan sekarang ini oleh AS dan sekutu-sekutunya terhadapat para pejuang Islam yang tidak mau tunduk padanya (Tulisan Alwi Shahab di Republika.co.id). Raden Saleh (dari keluarga Bin Yahya), yang merupakan anak didik Belanda, pada akhir hayatnya pernah ditangkap dan dituduh membela kelompok Muslim radikal yang memberontak di Bekasi. Belanda juga menyebut para pejuang kemerdekaan sebagai kaum ekstrimis yang membahayakan.

 

Tuduhan radikal dan radikalisme atas muslim dan Islam oleh Barat dan negara anteknya sesungguhnya bisa ditelusuri jejaknya. Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat (National Inteligent Council/NIC) pada Desember 2004 merilis laporan dalam bentuk dokumen yang berjudul Mapping The Global Future. “A New Caliphate provides an example of how a global movement fueled by radical religious identity politics could constitute a challenge to Western norms and values as the foundation of the global system” [Maping The Global Future: Report of the National Intelligence Council’s 2020 Project].

 

Dokumen ini berisikan prediksi atau ramalan tentang masa depan dunia. Dalam dokumen tersebut, NIC memperkirakan bahwa ada empat hal yang akan terjadi pada tahun 2020-an yakni: (1) Dovod World : Kebangkitan ekonomi Asia; Cina dan India bakal menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia. (2) Pax Americana: Dunia tetap dipimpin dan dikontrol oleh AS. (3) A New Chaliphate: Kebangkitan kembali Khilafah Islam, yakni Pemerintahan Global Islam yang bakal mampu melawan dan menjadi tantangan nilai-nilai Barat. (4) Cycle of Fear, lingkaran ketakutan. Dari sinilah sesungguhnya narasi radikal radikul itu bermula.

 

Dalam pandangan al Qur’an, Islam adalah satu. Agama tauhid yang dibawa oleh Rasulullah. Agama sempurna yang meliputi seluruh ajaran kehidupan manusia. Agama kebenaran dan pelurus agama-agama yang telah tersimpangkan. Pelabelan Islam minimal akan mereduksi makna Islam yang komprehensif, maksimalnya justru akan menghilangkan hakekat Islam itu sendiri. Allah menegaskan dalam surat Ali Imran : 19, “ Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”

 

Sementara, secara etimologi, makna al wasath adalah sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding, pertengahan [Mufradat al Fazh Al Qur’an, Raghib Al Isfahani jil II entri w-s-th]. Bisa bermakna sesuatu yang terjaga, berharga dan terpilih. Karena tengah adalah tempat yang tidak mudah dijangkau : tengah kota [At Tahrir wa At Tanwir jil II hal 17].

 

Umat wasath yang dimaksud adalah umat terbaik dan terpilih  karena mendapatkan petunjuk dari Allah. Jalan lurus dalam surat al Fatihah adalah jalan tengah diantara jalan orang yang dibenci [yahudi] dan jalan orang sesat [nasrani] [Tafsir Al Manar jil. II hal 4]. Karakter umat washtiyah ada empat : Umat yang adil, Umat pilihan [QS Ali Imran : 110], Terbaik  dan Pertengahan  antara ifrath [berlebihan] dan tafrith [mengurangi] [Tafsir Al Rari, jil. II hal 389-390]. Makna washatiyah dalam perspektif tafsir ini tidak sama dengan makna moderat atau moderasi yang kini terus dipropagandakan.

(AhmadSastra,KotaHujan,02/05/23 : 14.00)


Oleh: Dr. Ahmad Sastra

Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

Jumat, 13 Januari 2023

Gus Uwik: Narasi Radikalisme dan Terorisme adalah Agenda Barat

Tinta Media - Peneliti Pusat kajian Peradaban Islam Gus Uwik membenarkan jika narasi radikalisme dan terorisme adalah agenda Barat dengan tujuan yang jelas yaitu perang pada Islam.

“Narasi radikalisme dan terorisme adalah agenda Barat dengan tujuan yang jelas yaitu perang pada Islam,” tuturnya kepada Tintamedia.web.id, Kamis (12/1/2023).

Setelah war on terrorism (WoT), ia menyatakan kini umat Islam disibukkan dengan war on radicalism (WoR). “Sejak kapan? Bisa dirunut ke belakang ketika pada tahun 2003 terbit dokumen Rand Corporation berjudul, “Civil Democratic Islam: Partners, Resources and Strategies”. Dokumen ini berisi kebijakan AS dan sekutunya atas Dunia Islam. Intinya, mempeta-kekuatan (mapping), sekaligus memecah-belah dan merencanakan konflik internal di kalangan umat Islam melalui berbagai pola untuk mencegah kebangkitan Islam,” bebernya.

Menurutnya , setidaknya ada empat agenda dan strategi pecah-belah yang termaktub dalam kedua dokumen tersebut? 

Pertama, upaya umat Islam untuk kembali pada kemurnian ajaran, setelah periode keterbelakangan dan ketidakberdayaan Dunia Islam yang panjang dianggap sebagai ancaman bagi Barat, terhadap peradaban dunia modern dan bisa mengantarkan kepada Clash of Civilization (Benturan Peradaban).

Kedua, agar tidak menjadi ancaman, Dunia Islam harus dibuat ramah terhadap demokrasi dan modernitas serta mematuhi aturan-aturan internasional untuk menciptakan perdamaian global.

Ketiga, karena itu diperlukan pemetaan kekuatan dan pemilahan kelompok Islam untuk mengetahui siapa kawan dan lawan. “Mereka membagi umat Islam ke dalam empat kelompok, yaitu: (1) Fundamentalis: kelompok masyarakat Islam yang menolak nilai-nilai demokrasi dan kebudayaan Barat kontemporer, serta menginginkan formalisasi penerapan syariat Islam; (2) Tradisionalis: kelompok masyarakat Islam Konservatif yang mencurigai modernitas, inovasi dan perubahan; mereka berpegang pada substansi ajaran Islam tanpa peduli pada formalisasinya; (3) Modernis: kelompok masyarakat Islam Modern yang ingin reformasi Islam agar sesuai dengan tuntutan zaman sehingga bisa menjadi bagian dari modernitas; (4) Sekularis: kelompok masyarakat Islam sekular yang ingin menjadikan Islam sebagai urusan privasi dan dipisah sama sekali dari urusan negara,” urainya.

Keempat, terhadap tiap kelompok ditetapkan strategi masing-masing. “Sasaran utamanya adalah bagaimana menghadapi kaum fundamentalis, yaitu: menentang tafsir mereka atas Islam dan menunjukkan ketidak-akuratannya; mencegah menunjukkan rasa hormat dan pujian atas perbuatan kekerasan kaum fundamentalis, ekstremis dan teroris; kucilkan mereka sebagai pengganggu dan pengecut, bukan sebagai pahlawan; mendorong para wartawan untuk memeriksa isu-isu korupsi, kemunafikan, dan tak bermoralnya lingkaran kaum fundamentalis dan kaum teroris; mendorong perpecahan antara kaum fundamentalis,” ungkapnya.

Untuk menyukseskan agenda ini, lanjutnya, Barat mengembangkan apa yang disebut War on Radicalism (WoR). Barat tahu gagasan kembalinya peradaban Islam yang dibentuk melalui penerapan syariah secara kaaffah tidak akan pernah benar-benar bisa dihilangkan dari benak umat Islam. Termasuk soal Khilafah. “Mereka tahu, itu semua adalah ajaran Islam, dan telah menjadi bagian dari sejarah Dunia Islam yang tidak mungkin dihapus begitu saja. Melawan itu semua bagaikan menghalangi terangnya siang dan gelapnya malam. Tak mungkin. Namun, mereka juga tidak mungkin membiarkan. Tidak mungkin juga terang-terangan menyerang Islam sehingga harus dibungkus dengan sebuah istilah yang lebih dulu dicitraburukkan. Itulah radikal dan radikalisme Islam,” ujarnya.

Gus Uwik juga menyampaikan Barat mengatakan radikalisme adalah akar dari terorisme. Semua pelaku teroris berpaham radikal. Radikalisme sama bahayanya dengan terorisme. “Jadi, memerangi terorisme (war on terrrorism) harus disertai memerangi radikalisme (war on radicalism). Soal apa definisi radikalisme, tak penting. Seperti juga terorisme, nyaris tanpa definisi. Penguasalah yang mendefinisikan. Termasuk yang menentukan siapa yang radikal dan siapa yang bukan,” imbuhnya.

Atas nama memerangi radikalisme, ia menjelaskan kini hal itu menjadi senjata ampuh untuk menghalangi dakwah, khususnya dakwah politis – ideologis, menyingkirkan lawan politik dari mimbar-mimbar umat, termasuk sangat efektif menjadi alat untuk mempersekusi siapa saja yang tidak dikehendaki kehadirannya oleh penguasa. “Jadilah war on radicalism topeng atau mask, dipakai oleh kaum islamophobia yang sudah lama gerah melihat perkembangan dakwah Islam yang memang sangat marak sejak beberapa dekade terakhir,” ucapnya.

Gus Uwik mencontohkan ada pejabat tinggi pengidap islamofobia yang seolah mendapat peluang, terang-terangan mengatakan bahwa radikalisme di kampus sudah berkembang sejak tahun 80-an, dan kini sudah merambah ke sekolah-sekolah dari sekolah menengah hingga sekolah dasar.

“Jadi jelas, itu agenda barat. Dan banyak yang membebek bahkan mengasongkannya. Sungguh sangat disayangkan," pungkasnya.[] Erlina

Kamis, 12 Januari 2023

Kaitkan Radikalisme dan Terorisme dengan Islam, Pengamat: Jelas Logika Rapuh dan Berbahaya

  Tinta Media - Menanggapi tudingan dari pihak tertentu yang menggolongkan beberapa web Islam ke dalam daftar situs web pro radikal dan teroris, Pengamat Politik Internasional Umar Syarifuddin mengatakan, jelas logika ini rapuh dan berbahaya.

  "Mengaitkan radikalisme dengan Islam dan mengaitkan dengan terorisme jelas logika yang rapuh dan berbahaya," ujarnya kepada Tinta Media Senin (9/1/2023).

  Ia melanjutkan, rapuh karena istilah radikal masih belum jelas definisinya, apalagi disepakati. Sama dengan terorisme, istilah ini tidak lebih merupakan narasi propaganda yang digunakan secara sepihak berdasarkan kepentingan masing-masing."Yang terjadi saat ini, istilah radikal lebih diarahkan kepada umat Islam dan ajaran Islam. Ini berbahaya karena merupakan propaganda sistematis untuk membangun citra jelek Islam dengan ajarannya yang mulia," tegasnya.

  Umar heran, bagaimana mungkin umat Islam membenci ajaran Islam yang merupakan agamanya sendiri, seperti mengkriminalkan kewajiban penegakan syariat Islam secara totalitas. Padahal, tindakan tersebut jelas untuk kepentingan musuh-musuh Islam yang tidak ingin umat Islam menjalankan ajaran Islam. Musuh-musuh Islam sangat mengerti penerapan Syariah Islam secara totalitas didalam naungan khilafah termasuk ajaran jihad fi Sabilillah untuk melawan penjajah, mengancam agenda-agenda penjajahan mereka di dunia Islam.

Umar menyayangkan kalau pemerintah terjebak dalam propaganda radikalisme menuju terorisme. Bila ini terjadi, berarti pemerintah sudah tunduk kepada kepentingan asing dan membuka front terbuka memusuhi ajaran Islam dan umat Islam yang merupakan mayoritas di negeri ini."oleh karena itu, penting sekali memahamkan dan menyadarkan masyarakat akan adanya penyesatan opini terhadap istilah radikal oleh pihak yang tidak ingin melihat umat Islam bangkit secara ideologi dan menggantikannya dengan ideologi kapitalisme -sekulerisme yang sekarang masih mendominasi negeri-negeri kaum muslimin.

  Ancaman Nyata

  Sistem kapitalisme, menurut Umar, merupakan ancaman nyata dan riil. Termasuk ekonomi neoliberal. Sistem kapitalisme secara dan sistematis telah menyusahkan rakyat. Kebijakan neoliberal dengan cara mengurangi subsidi lewat instrumen liberalisasi ekonomi telah menambah beban rakyat. Sistem neoliberal yang dianut negeri ini juga telah menjadi jalan eksploitasi bagi kekayaan alam Indonesia oleh swasta. Privatisasi dengan alasan investasi dan pasar bebas telah merampas kekayaan tambang minyak, emas, batubara, hutan dan air yang merupakan milik rakyat."Kekayaan alam yang seharusnya merupakan berkah bagi rakyat dikeruk oleh perusahaan swasta nasional maupun asing untuk kepentingan segelintir orang," bebernya.

  Umar menegaskan, sistem kapitalistik tidak mampu menyatukan rakyat. Hal ini terbukti dengan lepasnya Timor -Timor karena alasan menentukan nasib sendiri sebagai hak demokrasi. Bukan hanya itu, Papua dan beberapa wilayah lain akan terancam lepas dengan alasan hak demokrasi menentukan nasib sendiri."Dengan praktik sistem kapitalisme, negara dililit hutang yang jumlahnya sudah mencapai tingkat menghawatirkan. Keamanan rakyat dalam sistem sosial juga tidak terjamin dengan baik. Sistem kapitalisme - liberalisme justru menyuburkan berbagai kejahatan dan kemungkaran," pungkasnya.[] Yupi UN

Rabu, 07 Desember 2022

RADIKAL, RADIKALIS, RADIKALISME DAN RADIKALISASI

Tinta Media - Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata radikal diartikan dengan tiga makna, pertama secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip). Kedua, keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan). Ketiga, maju dalam berpikir atau bertindak.

 

Dalam ilmu filsafat, berpikir radikal yang bermakna upaya menggali kenyataan atau ide hingga ke akar-akarnya, jelas merupakan syarat mutlak untuk membangun diskursus rasionalisme dan kritisisme. Bahkan dalam ilmu kimia, tak kecuali, ternyata juga dikenal istilah radikal bebas.

 

Secara etimologis, kata radikal sesungguhnya netral. Radikalis, kata sifat ini berasal dari bahasa Latin, radix atau radici. Menurut The Concise Oxford Dictionary (1987), istilah radikal berarti ‘akar’, ‘sumber’, atau ‘asal-mula’. Dimaknai lebih luas, istilah radikal mengacu pada hal-hal mendasar, prinsip-prinsip fundamental, pokok soal, dan esensial atas bermacam gejala, atau juga bisa bermakna “tidak biasanya” (unconventional).

 

Sampai disini jelas bahwa, kata radikal sesungguhnya netral dalam arti tidak berhubungan agama, apalagi Islam. Kata radikal lebih tepat jika ditempatkan dalam konteks akademik atau filsafat, dimana segala sesuatu harus digali dari akarnya untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki. Aktifitas berfikir dalam rumus filsafat justru harus radikal, bukan dangkal.

 

Berpikir radikal dalam tinjauan filsafat justru memiliki aksilogi positif. Sebab dengan berpikir radikal, seseorang dapat memahami, menganalisa dan bahkan memberikan solusi yang benar. Pemimpin negara yang berpikir radikal pun demikian, ia akan dapat memahami hakikat permasalahan yang dihadapi oleh negaranya.

 

Berpikir radikal hanya mungkin dilakukan oleh pemimpin cerdas. Pemimpin yang berpikir radikal akan mampu menganalisa secara holistik  setiap permasalahan sehingga pemecahan masalahnya pun bisa tuntas dan benar. Pemimpin radikal justru akan menjadikan negara kuat dan memiliki prinsip kokoh.  Kebalikan dari berpikir radikal adalah pemimpin yang plin plan, tidak punya prinsip dan tidak punya landasan dalam berpikir.

 

Dari akar kata dan makna radikal di atas, maka kata radikalis bisa bermakna kata sifat bisa juga bermakna subyek. Radikalis bisa bermakna bersifat mendasar, bisa juga orang yang memiliki pemikiran yang dalam dan mengakar. Pemikiran mendalam dan mengakar tentang segala realitas untuk mendapatkan kebenaran dalam filsafat dilakukan oleh seorang filosof. Filosof dengan demikian adalah seorang radikalis.

 

Seorang pemikir, penulis, kritikus, politisi, ilmuwan dan pendakwah haruslah seorang radikalis, bahkan otomatis sebagai radikalis. Sebab jika tak radikalis, tak mungkin bisa melakukan proses analisa permasalahan dengan metode dan pisau analisa yang tajam. Pemikir yang tidak radikalis bukanlah seorang pemikir. Jika tidak radikalis, bukan pemikiran namanya.

 

Sementara kata Radikalisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda. Radikalisme memiliki arti dalam kelas nomina atau kata benda sehingga radikalisme dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan.

 

Ada tiga arti kata radikalisme sebagai nomina dalam KBBI. Pertama, paham atau aliran yang radikal dalam politik. Kedua, paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Ketiga, sikap ekstrem dalam aliran politik.

 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata radikalisme adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik. Arti lainnya dari radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.

 

Jika melihat makna radikalisme diatas, maka politik dengan ideologi komunisme dan kapitalisme layak mendapatkan sematan kata radikalisme ini. Kedua ideologi politik itu melakukan perubahan dengan cara imperialisme dan kekerasan. Pada masa lalu, bahkan di negeri ini pernah diwarnai oleh politik komunisme yang kejam tak beradab dan tak berperikemanusiaan. Kata radikalisme dengan makna diatas tidak layak disematkan kepada Islam.

 

Namanya Joseph Vissarionovich Jugashvili Stalin dari Rusia. Figur misterius dan atheis, bekas agen rahasia Tsar. Dari seorang ayah yang pemabok dan sering memukulinya. Terinspirasi oleh karya-karya revolusioner sosialis marxis. Baginya agama adalah sebuah penipuan. Baginya Tuhan itu tidak ada. Saat istrinya mati, ia bergumam, “Inilah akhir dari rasa kehangatan saya kepada seluruh manusia”. Jadilah dia manusia dingin, sarkartis, penuh curiga, dendam dan kejam. ‘Stalin bukan manusia yang baik’, kata Herbert Morrison, Pemimpin Partai Buruh Inggris.

 

Prinsip kapitalisme adalah liberalisme sumber daya alam dengan jalan imperialisme. Seluruh sumber daya alam boleh diprivatisasi oleh para kapitalis hingga menyebabkan kemiskinan rakyat kecil karena mengabaikan pemerataan, namun lebih mengedepankan pertumbuhan semu. Adapun prinsip komunisme adalah pemerataan dengan cara otoriterisme, semua sumber daya alam dikuasai oleh negara yang diwakili oleh seorang diktator. Dalam alam komunisme, rakyat juga dibuat sengsara dan penuh tekanan.

 

Berbeda dengan Islam yang melakukan perubahan dengan dakwah dan pendidikan, sebab Islam adalah agama yang menyebarkan rahmat bagi alam semesta. Hal ini sejalan dengan hadits Rasulullah : 'Aisyah istri Nabi Muhammad SAW menyampaikan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, "Hai 'Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha Lembut. Dia mencintai sikap lemah lembut. Allah akan memberikan pada sikap lemah lembut sesuatu yang tidak Dia berikan pada sikap yang keras, dan juga akan memberikan apa-apa yang tidak diberikan pada sikap lainnya." (HR Muslim).

 

Islam melakukan berbagai perubahan dan perbaikan masyarakat hingga tegak peradaban mulia berabad-abad adalah dengan gerakan dakwah, bukan radikalisme. Beberapa ayat dakwah : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran [3]: 104).

 

Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah) (Q.S. Luqman [31]: 17).  Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah (Q.S. Ali Imran [3]: 110).

 

Serulah manusia kepada jalam Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik, sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (Q.S. An-Nahl [16]: 125).

 

Terakhir, jika mengacu kepada narasi diatas, maka radikalisasi adalah sebuah proses agar orang berpikir radikal. Hal ini tentu saja secara filosofis bagus, sebab radikalisasi adalah usaha agar orang berpikir secara mendalam dan mengakar. Seorang dosen salah satu tugasnya adalah melakukan radikalisasi kepada mahasiswa dalam arti mahasiswa harus diajarkan untuk mampu berpikir yang mendalam, mengakar, kritis, kreatif dan holistik.

 

Namun sayangnya, secara politik, oleh ideologi barat, istilah-istilah ini justru disalah artikan menjadi semacam tuduhan kepada Islam dan kaum muslimin. Ada semacam politisasi makna atas istilah radikal, radikalis dan radikalisme ini. Istilah yang sejatinya tidak berhubungan sama sekali dengan Islam justru kini disematkan kepada Islam adan kaum muslimin. Inilah kejahatan intelektual yang dilakukan oleh Barat dan jongos-jongosnya.

 

Maka, dalam perspektif politik, istilah radikalisasi dimaknai oleh mereka sebagai usaha atau proses seorang muslim berpikir radikal yang artinya kritis dan anti peradaban Barat. Sementara muslim yang membebek peradaban Barat disebut sebagai moderat dan dijadikan sebagai teman dan agennya. Radikalisasi bisa juga dimaknai secara politik sebagai upaya Barat untuk menjadikan Islam dan ajarannya serta kegiatan keagamaan sebagai tindakan radikal yang harus diwaspadai, dimusuhi bahkan dibabat habis.

 

Hal ini terutama ketika umat Islam sudah sadar politik dan melakukan perlawanan pemikiran atas imperialisme Barat atas dunia Islam. Sayangnya banyak umat Islam yang justru terjebak kepada sihir barat ini, sehingga mereka menjadi jongos barat dan memusuhi agamanya sendiri. Logikanya, jika barat sekuler berpolitik, mengapa umat Islam tidak boleh berpolitik. Jika kapitalisme berekonomi, mengapa Islam tidak boleh berekonomi juga. Inilah yang namanya hegemoni politik yang jarang disadari oleh umat Islam. 

 

Maka benarlah apa yang dikatakan oleh para periset dari National Consortium for the Study of Terrorism and Responses to Terrorism (START) justru mengungkap bahwa umat Islam telah menjadi korban sebenarnya dari aksi terorisme di seluruh dunia.

 

Sejalan dengan hasil riset di atas, John Pilger menuturkan bahwa tidak ada perang terhadap terorisme, namun yang ada hanyalah alasan yang dibuat-buat. “Korban terbesar terorisme adalah umat Islam. Hakikatnya tak ada perang terhadap terorisme, yang ada adalah perang menggunakan alasan terorisme,” katanya lansir Galamedia dari situs John Pilger pada 2 April 2021.

 

 

John Pilger sendiri merupakan seorang jurnalis investigative Australia dan produser film dokumenter pemenang penghargaan BAFTA. Pada 1967 dan 1978, dirinya memenangkan Jurnalis of the Year Award di Inggris terhadap karya film dokumenternya.

 

Maka jangan heran jika radikalisasi ini kini marak dimana-mana dengan bentuk berbagai tuduhan kepada Islam dan umat Islam sebagai radikal, teroris, fundamental, intoleran, dan seabrek tuduhan buruk lainnya. Inilah praktak radikalisasi sebagai bagian dari ghozwul fikr. Bahkan seringkali kitab Al Qur’an dijadikan sebagai barang bukti tindak terorisme.

 

Betapa kejam dan biadabnya barat memusuhi Islam dan ajarannya. Lebih kejam dan jahat lagi adalah muslim yang menjadi jongos dan antek barat dalam memusuh Islam hanya karena diberikan seonggok nasi basi. Entah apa yang akan disampaikan dihadapan Allah kelak di akhirat oleh seorang muslim yang membenci agamanya sendiri dan berkomplot dengan musuh-musuh Allah karena iming-iming dunia.

Dr. Ahmad Sastra Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

(AhmadSastra,KotaHujan,05/12/22 : 21.46 WIB)

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Rabu, 30 November 2022

Deteksi Dini Radikalisme, Pentingkah?

Tinta Media - Dalam sebuah acara Sosialisasi Peningkatan Deteksi Dini Pencegahan Radikalisme di Riung Panyaungan Jln. Raya Soreang-Banjaran, Selasa 8 November 2022, Kepala Bidang Kewaspadaan Daerah Badan Kesbangpol, Aam Rahmat, S.Sos., M.Si. menyatakan bahwa upaya kewaspadaan dini untuk pencegahan radikalisme bukan hanya tugas pemerintah, dalam hal ini Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol), tetapi merupakan kewajiban semua stakeholder, termasuk 467 ormas Islam yang tersebar di 31 kecamatan di Kabupaten Bandung.

Aam pun mengajak ormas-ormas tersebut untuk ikut dalam deteksi dini dan cegah radikalisme, apalagi menjelang pemilu 2024 yang sudah muncul riak-riak.  

"Kami mohon ormas maupun masyarakat bisa bekerja sama dan melaporkan apabila ada dugaan tindakan yang mengarah kepada terorisme maupun radikalisme, kepada aparat desa/kelurahan, Babinsa, Babinkamtibmas, maupun aparat kewilayahan lainnya," ujarnya.

Imbauan dan ajakan ini tentu menjadi sebuah tanda tanya besar, sedemikian membahayakankah radikalisme ini? Apa indikasi bahaya radikalisme ini jika dikaitkan dengan riak-riak menjelang pemilu hingga harus  ada upaya pendeteksian dini terkait radikalisme dan terorisme? 

Ketidakjelasan fakta keberadaan radikalisme dan bahaya yang diungkapkan oleh jajaran aparatur pemerintah tentu sangat disayangkan, karena dapat menimbulkan sikap saling curiga di tengah kehidupan masyarakat.

Seperti yang kita ketahui, sudah sejak lama nyanyian radikalisme terus digulirkan oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Kepala BNPT, Suhardi Alius  mendefinisikan kata radikalisme terorisme sebagai paham yang sudah mengarah kepada intoleransi, anti-Negara Kesatuan Republik Indonesia, anti-Pancasila, dan paham yang mengandung takfiri (mengkafirkan orang). 

Dari makna radikalisme ini tampak tendensius mengarah kepada kelompok elemen kaum muslimin. Fakta pun menunjukkan bahwa isu radikalisme memang diarahkan kepada pemahaman Islam dan kaum muslimin, yang memahami bahwa Islam satu-satunya agama yang benar dan diridai oleh Allah. Bahwasanya Islam harus diterapkan secara kaffah dan mendakwahkan khilafah, serta pemahaman Islam sebagai solusi kehidupan. 

Di sisi yang lain, ada kelompok yang jelas-jelas menentang pemerintahan seperti KKB (OPM) di Papua, dan juga pemahaman yang berbahaya semisal paham atheis (anti Tuhan), bahkan komunisme yang dibiarkan begitu saja, padahal simbol-simbolnya jelas tampak di tengah masyarakat. 

Maka, ketika ada seruan kepada  ormas Islam untuk bersama-sama mendeteksi secara dini paham radikalisme, sama artinya menyulut bibit perpecahan di tubuh umat Islam karena rasa saling curiga, dan juga rasa takut (phobia) masyarakat terhadap ajaran Islam. Padahal, negeri ini adalah negeri muslim dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Namun, Islam dan kaum muslimin justru dicitrakan sebagai berbahaya bagi negeri ini.

  
Jika kita telaah secara mendalam, apa sebenarnya yang membahayakan negeri ini? Sesuatu yang membahayakan tentulah yang dapat menimbulkan kebahayaan terhadap masyarakat secara luas, semisal kemiskinan dalam aspek ekonomi, kebodohan dalam aspek pendidikan, kriminalitas dan penyakit masyarakat lainnya dalam bidang sosial, narkoba dan miras, serta korupsi yang merajalela, mafia hukum dalam bidak hukum, dan lain sebagainya, yang seluruh permasalahan tersebut menimpa negeri ini. Apa penyebabnya? Semua itu diakibatkan oleh penerapan sistem hidup kapitalisme-demokrasi liberal, yang melahirkan kebijakan-kebijakan atau undang-undang yang tidak prorakyat, tapi prokapitalis (pemilik modal).

Isu radikalisme yang dinyanyikan di tengah keterpurukan negeri ini, hanyalah untuk memalingkan masyarakat dari kebobrokan sistem kapitalisme-demokrasi liberal yang diterapkan oleh rezim. Isu radikalisme yang ditiupkan kembali menjelang pemilu 2024 tampak sangat dipaksakan dan bernuansa politis, sama sekali tidak relevan dan tidak penting bagi kehidupan masyarakat.

Motif politis tersebut adalah untuk memperkokoh kedudukan rezim kapitalis, dengan melemahkan suara-suara Islam  yang kritis terhadap kebobrokan sistem kapitalisme-demokrasi liberal ini seraya memberikan Islam sebagai solusi tuntas dalam pemecahan masalah kehidupan, dengan sebutan radikal, intoleran, anti keberagaman, dan sebagainya.

Di tengah penyebaran isu radikalisme, rezim pun menyebarkan paham Islam moderat sebagai ajaran Islam yang toleran, cinta damai, dan menjunjung tinggi HAM, serta demokrasi. Paham Islam moderat yang hakikatnya merupakan sekularisasi Islam, akan semakin menjauhkan umat dari ajaran Islam yang hakiki. Moderasi merupakan bagian dari makar yang dibuat oleh musuh Islam (negara-negara kafir penjajah) untuk mencegah penegakan Islam di muka bumi ini, termasuk di Indonesia. Inilah strategi mereka, menekan kelompok yang satu (yang mereka cap radikal), dan memblow-up kelompok yang lain (Islam moderat).

Mereka memojokan ajaran Islam dan simbol-simbolnya. Umat Islam didudukkan dalam posisi tertuduh. Kelompok atau tokoh Islam yang dicap radikal, hanya gara-gara kritis terhadap rezim, mereka dibiarkan dipersekusi, bahkan dikriminalisasi, dan tidak jarang berujung pemenjaraan. Kelompok Islam ideologis dan nonkekerasan juga dibubarkan karena dianggap radikal, tanpa mendapatkan perlakuan yang adil.

Tampak jelas bahwa isu radikalisme sesungguhnya untuk menjauhkan pemahaman  Islam sebagi ideologi. Bagaimana mungkin kaum muslimin dipisahkan dari ideologi Islam yang merupakan konsekuensi mereka beriman terhadap Islam? Oleh karena itu, kaum muslimin termasuk ormas-ormas Islam, tidak butuh proyek melawan radikalisme, karena bukan radikalisme problem mendasar negeri ini, tetapi penerapan sistem kapitalisme-demokrasi liberal. Kaum muslimin juga tidak butuh moderasi, yang digadang-gadang menjadi solusi tuntas atas berbagai problem negeri ini, tetapi yang dibutuhkan adalah penerapan Islam kaffah dalam naungan khilafah. 

Maka dari itu, kaum muslimin tidak boleh takut dan diam dalam memahami Islam kaffah dan berjuang untuk penerapannya dalam kehidupan. Kaum muslimin harus menghidupkan  amar maruf nahi mungkar dalam kondisi apa pun, termasuk dalam melawan berbagai bentuk kezaliman yang diarahkan kepada Islam dan kaum muslimin.

Rasulullah saw. bersabda, "Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lisannya. Jika tidak mampu, dengan hatinya. Itulah selemah-lemahnya iman."  (HR. Muslim).

Allah SWT pun berfirman, yang artinya:
"Hendaklah ada segolongan umat di antara kalian yang menyeru kepada kebajikan, mengajak kepada kebenaran dan mencegah dari kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang beruntung." 
(TQS. Ali-Imran;104)

Inilah hakikat dari tugas jama'ah (organisasi) dalam Islam, yaitu berdakwah. Mendakwahkan Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw, melalui tahapan-tahapan dakwah yang akan menghantarkan kepada tujuan dakwah, yakni melanjutkan kehidupan Islam melalui penerapan Islam kaffah dalam naungan institusi negara khilafah. 

Insyaallah, keberkahan akan meliputi kehidupan kita sebagaimana yang telah Allah Swt. janjikan:

"Seandainya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan limpahi berkah dari langit dan bumi..."
(TQS. Al-'Araf;96)

Wallahu alam bishshawab.

Oleh: Nunung Nurhamidah
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 19 November 2022

Deteksi Dini untuk Antisipasi Radikalisme, Pentingkah?

Tinta Media - Dalam rangka mewujudkan Bandung Bedas serta demi terciptanya kondusifitas jelang pemilu 2024, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung melalui Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) kembali melaksanakan sosialisasi terkait pencegahan dan penanggulangan radikalisme dan ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di tingkat kabupaten. Kegiatan ini dilaksanakan di Hotel Sutan Raja Soreang, pada hari Selasa (1/11/2022).

Hadir dalam acara tersebut para peserta dari TP PKK dan Dharma Wanita Kabupaten Bandung dan tingkat kecamatan yang melibatkan ratusan peserta dengan narasumber dari berbagai instansi. Di
antaranya, Densus, BIN, Polresta, FKPT, dan turut dihadirkan juga mantan terorisme yang berasal dari sebuah organisasi.

Kemudian pada hari berikutnya, Rabu (2/11/22), sosialisasi dihadiri oleh para peserta dari pemuda karang taruna, Taruna Siaga Bencana (Tagana), Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), dan Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) yang berasal dari setiap kecamatan di Kabupaten Bandung. 

Dalam kontek persatuan dan kesatuan bangsa dan ideologi Pancasila, organisasi masyarakat yang sehari-hari ada di tengah-tengah masyarakat tersebut dianggap mengetahui peta kerawanan atau masalah sosial di masyarakat. Karena disinyalir bahwa adanya radikalisme tersebut salah satunya adalah dari kontek sosial masyarakat, termasuk ekonomi dan pergaulan.

Kegiatan ini dilaksanakan mengacu pada Perpres no. 7 tahun 2021 tentang Pencegahan Penanggulangan Radikalisme yang Mengarah Pada Terorisme, serta berdasarkan rencana aksi daerah dan edaran dari Kemendagri, untuk melaksanakan 22 kegiatan. Salah satunya dalam bentuk sosialisasi peningkatan deteksi dini. 

Kegiatan ini juga sesuai dengan Permendagri tentang Pemberdayaan Perempuan, termasuk Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak yang di dalamnya terdapat tugas fungsi  PKK dan Dharma Wanita, berkaitan dengan penanggulangan dan pencegahan radikalisme dengan pengamalan Pancasila dan peningkatan kesadaran bela negara, juga peningkatan peranan dalam persatuan dan kesatuan. Di dalamnya termasuk menjaga etika dan budaya dalam kerangka NKRI. 

Secara keseluruhan kegiatan yang dihadiri oleh Kepala Badan Kesbangpol Kabupaten Bandung Adjat Sudradjat yang didampingi Kabid Kewaspadaan Daerah dan Kerjasama Intelegen H. Aam Rahmi ini diselenggarakan dengan harapan agar masyarakat yang ada di tingkat desa maupun kecamatan bisa menyosialisasikan lagi tentang bagaimana fungsi kelompok masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi perempuan, dan menyampaikannya kembali kepada masyarakat lainnya. 

Hal itu bisa diawali dari keluarga, RT, RW, desa, dan tingkat kecamatan atau kabupaten. Masyarakat harus mengetahuil bagaimana potensi ancaman, gangguan, hambatan yang ada di wilayah. Masyarakat juga dituntut kepekaan karena indikator-indikator radikalisme sudah diterangkan oleh para narasumber yang hadir pada sosialisasi tersebut.

Radikalisme, terorisme, dan ekstrimisme seolah menjadi sebuah kata yang menakutkan yang terus digaungkan dan dikuatkan dengan istilah yang lebih kejam lagi, yaitu deteksi dini radikalisme dan terorisme. Seolah menyatakan pentingnya mengembangkan deteksi dini masyarakat untuk mencegah radikalisme dan terorisme dengan melibatkan semua pihak. 

Sekalipun hingga saat ini tidak ada definisi jelas tentang radikalisme dan terorisme, tetapi pada tataran praktis, yang dimaksud dengan penanggulangan bahaya serta dimunculkan istilah deteksi dini radikalisme dan terorisme itu selalu merujuk pada ajaran Islam. Banyak fakta yang menunjukkan hal itu.

Di antaranya, tak sedikit dari pengemban dakwah, ustaz, pengajian yang di dalamnya menyampaikan tentang Islam secara kaffah, seperti jihad dan khilafah, maka langsung dilabeli sebagai radikalis. 

Adapun yang dilabeli sebagai terorisme, sangat lekat dengan seorang muslimah yang berjilbab dan bercadar atau muslim yang berjenggot dan celana cingkrang. Inilah yang selanjutnya akan membuat Islam dan ajarannya dianggap sebagai “monster” menakutkan dan berbahaya. Padahal, sejatinya ajaran Islam itu diyakini akan membawa ketenangan dan menjadi benteng dari perbuatan maksiat. 

Jelas sudah bahwa istilah deteksi dini ini merupakan propaganda untuk menyerang Islam. Sebab, sejatinya Barat tak akan pernah menyerah untuk menghancurkan Islam dari dalam. 

Maka, jika ada dari umat Islam secara konsisten ikut dalam bagian propaganda ini, dia benar-benar telah melakukan  dua kesalahan besar. 

Pertama, ia telah tunduk pada propaganda massif ala Barat pasca-War on Terrorism. 

Kedua, ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebab sejatinya Islam bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah. Maka, apabila istilah “deteksi dini” ini mengacu pada Islam dan ajarannya, mereka yang mempelajari ajaran Islam secara kaffah akan distigma radikal dan akhirnya dilabeli sebagai pelaku teror. 

Karena itu, menjadikan deteksi dini sebagai solusi untuk memusnahkan radikalisme dan terorisme sejatinya menjadikan umat teralihkan dari problem utama bangsa ini, yaitu berbagai macam kerusakan akibat penerapan sistem kapitalisme yang senantiasa menggiring umat untuk meninggalkan sebagian syari'at. Maka, seharusnya bukan radikalisme, tetapi kapitalisme_dengan sekulerisme sebagai ide dasarnya_yang harus dideteksi dini.

Islam adalah akidah dan peraturan yang bisa memberikan solusi pada setiap problematika kehidupan manusia seluruhnya. Islam dihadirkan oleh Zat Yang Maha Sempurna. Dia-lah Pencipta kehidupan, alam semesta, dan manusia. Dia-lah Allah Subhanahu wa ta’ala. 

Islam telah terbukti mampu mengantarkan manusia pada peradaban mulia yang tertata dalam sistem Daulah Khilafah Islamiyah. Selama 13 abad, Islam telah menaungi 2/3 wilayah dunia. Jika hari ini isu deteksi dini radikalisme terus dipropagandakan kepada Islam dan ajarannya, itu merupakan wujud ketakutan Barat akan kembali tegaknya Khilafah islamiyyah. Namun, sekuat apa pun kafir Barat mencegah dan menghalangi tegaknya syari'ah Islam di muka bumi ini, mereka takan mampu menghadang janji Allah Swt. dan bisyarah Nabi Muhammad saw. yaitu tegaknya kembali Khilafah 'alaa minhaj Annubuwwah.

Wallahu a’lam bishshawab.

Oleh: Tiktik Maysaroh
Sahabat Tinta Madia

Sabtu, 29 Oktober 2022

Ahmad Sastra Ungkap Tujuan di Balik Isu Narasi Radikalisme dan Terorisme

Tinta Media - Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa Dr. Ahmad Sastra menilai isu narasi radikalisme dan terorisme adalah agar umat Islam tidak membawa ajaran Islam ke ranah politik.

“Faktanya umat Islam jadi tertuduh dengan kedua isu tersebut (radikalisme dan terorisme) dengan tujuan agar umat Islam tidak membawa ajaran Islam ke ranah politik,” ujarnya kepada Tinta Media, Kamis (27/10/2022)

Ia mencontohkan pada saat Pilkada DKI yang lalu, isu terbesarnya adalah haramnya pemimpin kafir. 

“Isu tersebut semakin membesar ketika ada fakta penistaan terhadap ayat al-Maidah ayat 51, kemudian melahirkan Aksi 212 yang sangat fenomenal hingga acara Reuni 212,” ucapnya. 

Dari peristiwa 212 ini kemudian muncul respons negatif dari berbagai pihak termasuk media massa. Mereka menggunakan isu radikalisme untuk memukul umat Islam. 
“Di antaranya menuding kelompok Islam yang menolak pemimpin kafir adalah kelompok radikal, intoleran, dan berbagai label buruk lainnya. Mereka menggunakan isu radikalisme untuk memukul umat Islam, hal ini tak mungkin terbantahkan,” tuturnya. 

Ia mengungkapkan bahwa seiring perkembangan, istilah radikal atau radikalisme merupakan istilah politik, bukan agama sehingga istilah ini dimaknai dengan kepentingan politik penguasa. 

“Kata radikal dan moderat merupakan proxy war, ghozwul fikr atau perang istilah dengan tujuan devide et impera, politik adu domba Barat atas umat Islam, padahal dalam pandangan Islam dituntut menjadi muslim yang bertakwa dan kaffah. Sejatinya radikal kata yang netral, berubah konotasinya menjadi negatif karena dipengaruhi oleh adanya kepentingan politik,” ungkapnya. 

Isu radikalisme dan terorisme jika dilihat dari korbannya justru sebagian besar adalah negeri muslim, kelompok muslim, dan orang yang beragama Islam. 

“Irak dan Afganistan menjadi negeri korban perang melawan terorisme ala Amerika dengan alasan yang dibuat-buat. HAMAS yang ingin mempertahankan negerinya dari penjajahan Israel masuk dalam daftar kelompok teroris, sebaliknya Israel yang nyata melakukan tindakan terorisme, alih-alih diinvasi, label teroris saja tidak pernah dilekatkan,” bebernya. 

Ia membenarkan perkataan seorang jurnalis Australia John Pilgers bahwa korban terbesar terorisme adalah umat Islam. Hakikatnya tidak ada perang terhadap terorisme, yang ada perang menggunakan alasan terorisme. 
“Bisa di analisa berdasarkan akal sehat bahwa narasi radikalisme dan terorisme adalah narasi Barat untuk menyerang Islam,” ucapnya. 

Tuduhan radikal dan radikalisme atas muslim dan Islam oleh Barat dan negara anteknya dapat ditelusuri jejaknya, bersumber dari laporan dokumen yang berjudul Mapping The Global Future oleh Dewan Intelijen Nasional Amerika (National Inteligent Council/NIC). 
“Dokumen ini berisikan prediksi atau ramalan tentang masa depan dunia. NIC memperkirakan bahwa ada empat hal yang akan terjadi pada tahun 2020an,” katanya. 

Pertama, Dovod World yakni kebangkitan ekonomi Asia. China dan India bakal menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia. 
“Kedua, Pax Americana di mana dunia tetap dipimpin dan dikontrol oleh Amerika Serikat,” ujarnya. 

Ketiga, A New Caliphate, yakni kebangkitan kembali khilafah Islam. Khilafah Islam adalah pemerintahan global Islam yang bakal mampu melawan dan menjadi tantangan nilai-nilai Barat. 
“Dan keempat, Cycle of Fear, yaitu lingkaran ketakutan. Dari sinilah (keempat hal tersebut) sesungguhnya narasi radikal radikul itu bermula,” ucapnya. 

Menghadapi perang pemikiran ini maka sebagai umat Islam yang berakal harus terus berdakwah menjelaskan ajaran Islam yang baik dari Yang Maha Baik dan untuk kebaikan negeri ini. 
“Umat juga perlu dijelaskan ancaman sesungguhnya bagi negeri ini adalah sistem kapitalisme-liberalisme, menanamkan kesadaran politik agar umat tidak terjebak dalam konstalasi politik internasional,” ungkapnya. 

Ia mengakhirinya dengan mengatakan bahwa pentingnya membina umat dengan pemikiran Islam untuk menghadapi tantangan ghozwul fikr sebab saat ini terjadi pertarungan yang tidak seimbang.

“Penting juga menyadarkan masyarakat untuk memilih sistem yang baik dan benar dalam melepaskan negeri ini dari berbagai persoalan, dan umat Islam harus memiliki kekuatan politik untuk menghadapi propaganda musuh Islam,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Kamis, 20 Oktober 2022

Kurikulum Toleransi dan Antiradikalisme Solusi Masalah Pendidikan?

Tinta Media - Guna memonitoring perkembangan pendidikan sekolah di era digital di Jawa Barat, saat ini Gubernur Ridwan Kamil akan memastikan setiap sekolah SMA, SMK, dan SLB menerapkan kurikulum toleransi dan antiradikalisme. Menurutnya, kurikulum ini mempersiapkan ketahanan ideologi dengan menanamkan nilai-nilai wawasan kebangsaan.  Harapannya akan menjadikan generasi muda jauh dari pertengkaran, tercipta kedamaian, serta memiliki sikap toleran.

Bahkan, pria yang akrab disapa Kang Emil ini menggelar acara bertema "Moderasi Beragama dan Berbangsa yang Menyenangkan" di daerah Arcamanik, Bandung tanggal 4 Agustus 2022 lalu. Acara tersebut merupakan pembekalan kepada ribuan siswa yang merupakan perwakilan dari tiap SMA, SMK, dan SLB se-Bandung Raya.

Pada acara yang dikemas dengan mengombinasikan tausiah dan humor milenial ala Gus Miftah ini diharapkan akan menjadi perpanjangan tangan agar para siswa yang ikut serta bisa meneruskan materi kebangsaan tersebut kepada lingkungan terdekatnya. Hal inilah yang akan menjadi investasi untuk menumbuhkan rasa nasionalisme, patriotisme, dan cinta tanah air, sehingga akan menciptakan kedamaian dan menghargai perbedaan seperti apa yang dicita-citakan.

Lalu, benarkah kurikulum toleransi dan antiradikalisme merupakan solusi dari berbagai masalah yang dialami pelajar saat ini? Benarkah pengaplikasiannya dapat menghindarkan generasi muda dari kerusakan moral, karena yang kita tahu masalah generasi muda kita tak hanya berkutat pada perbedaan yang dapat menimbulkan pertengkaran ataupun perilaku radikal?

Radikalisme dan intoleran selalu dianggap masalah terbesar di negeri ini. Padahal, persoalan besar bangsa yang nyata terasa adalah dampak kenaikan BBM hingga kelangkaannya, pengangguran yang terus meningkat, korupsi yang dilakukan para pemimpin dan pejabat publik semakin menggurita, adanya tebang pilih hukum antara yang kaya dan miskin, kejahatan meningkat setiap harinya disertai kerusakan moral manusia, dll. Terlebih, para pemimpin negeri ini abai dan zalim kepada rakyatnya sendiri.

Masalah perbedaan tidak pernah menimbulkan kerugian apa pun pada negeri ini, karena setiap rakyat memahami bahwa hidup di negeri yang majemuk adalah hal lumrah. Apalagi sebagai negeri dengan mayoritas muslim, masyarakat menganggap perbedaan merupakan anugerah dari Sang Pencipta, Allah Swt. Jadi, mengapa intoleran dan radikalisme selalu menjadi kambing hitam atas permasalahan negeri?

Menganggap problem pemuda karena terpapar paham radikalisme adalah tuduhan tanpa dasar. Masalah pemuda bukan hanya aksi kekerasan, perundungan, ataupun tawuran yang disebabkan sikap intoleran. Bukankah pergaulan dan seks bebas, penyimpangan seksual, miras, dan narkoba merupakan masalah serius yang juga dibutuhkan penanggulannya? Jelas hal itu tidak berhubungan dengan toleransi maupun radikalisme.

Seperti kita tahu, radikalisme dan intoleran selalu disematkan kepada umat Islam yang ingin menerapkan ajarannya secara kaffah. Berbagai cara dilakukan oleh musuh-musuh Islam untuk menjauhkan kaum muslimin dari menerapkan Syariat Islam. Bahkan, kafir Barat melalui para agennya di negeri ini, dengan massif melakukan berbagai upaya agar umat Islam menyimpang dari ajaran Islam yang lurus. Generasi muda yang merupakan tonggak peradaban menjadi sasaran untuk terus melanggengkan tujuan mereka. 

Moderasi agama semakin digaungkan, bahkan diselipkan melalui kurikulum pendidikan. Tentu saja atas dukungan para pemimpin negeri yang menjadi boneka mereka.

Padahal, dengan menjauhkan agama Islam melalui penerapan kurikulum, serta mengajarkan moderasi agama, menunjukkan bahwa negeri kita semakin sekuler. 

Bukankah tujuan pendidikan nasional dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3 menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, dan berilmu? Ini artinya, tujuan pendidikan adalah untuk mengubah perilaku manusia. Maka, dengan menanamkan nilai sekuler pada kurikulum, akan melahirkan sosok generasi liberal yang tidak ingin terikat dengan aturan Allah.

Sekulerismelah yang menjadikan generasi muda saat ini rusak dan tak tahu tujuan hidup. Akhirnya, mereka akan mencari jati diri tanpa arahan yang jelas, melakukan berbagai penyimpangan pun tak menjadi masalah, asalkan mereka mendapatkan kepuasan. Inilah sebenarnya biang kerusakan generasi penerus kita, yakni penerapan sistem sekuler liberalisme dengan mengusung demokrasi.

Sehingga, setiap individu manusia bebas bertingkah laku, tanpa mempedulikan halal ataupun haram. Sistem ini lahir dari kesepakatan manusia, pemilik kepentingan. Padahal, manusia hakikatnya memiliki berbagai kelemahan.

Ini bertolak belakang dengan sistem Islam yang lahir dari Allah, pemilik alam semesta. Sistem Islam memiliki segala aturan untuk menyelesaikan segala urusan manusia dengan tuntas.

Salah satunya, Islam mengharuskan umat melahirkan generasi yang berakhlak bersih dan memiliki keimanan yang kuat dengan selalu taat dan patuh kepada perintah Allah. Penerapan kurikulum yang sesuai dengan akidah Islam, akan menjadikan generasi muda selalu terikat dengan hukum syara' serta memiliki adab dan perilaku sopan. Generasi muda akan memiliki cara berpikir intelek dengan keilmuan yang mempuni. Mereka akan mampu melawan hawa nafsu dan tidak akan pernah menyia-nyiakan waktu untuk hal yang tidak bermanfaat, apalagi melakukan tindakan zalim yang merugikan diri atau orang lain. 

Jika ingin mengubah output pendidikan dan generasi, maka bukan hanya dengan menerapkan atau mengubah kurikulumnya saja. Namun, harus dengan mengubah sistem hidup, yaitu dengan ideologi Islam yang shahih. 

Wallahu'alam bishawab.

Oleh: Thaqqiyuna Dewi S.I.Kom
Sahabat Tinta Media 

Kamis, 25 Agustus 2022

Tujuan Proyek Radikalisme untuk Hadang Kebangkitan Islam

Tinta Media - Narator Muslimah Media Center mengungkap tujuan di balik proyek radikalisme yang terus dihembuskan oleh rezim.

“Tujuannya (radikalisme) adalah dalam rangka menghadang kebangkitan islam sebab hanya khilafah yang bisa menghentikan hegemoni barat atas dunia islam,” tutur narator dalam Serba-Serbi MMC; Ada Apa di Balik Upaya Melindungi Dunia Pendidikan dari R4dik4l1sme? Sabtu (20/8/2022), di kanal youtube Muslimah Media Centre. 

Ia mengingatkan, agar umat Islam menyadari, bahwa dunia hari ini termasuk Indonesia berada dalam cengkeraman kapitalisme global. "Radikalisme adalah proyek barat untuk menjaga kepentingan mereka agar tetap menguasai dunia dengan ideologi kapitalisme. Proyek ini memunculkan islamofobia terhadap mesyarakat bahkan umat islam sendiri, terutama ide islam kaffah dan khilafah yang merupakan bagian dari ajaran islam,"

Menurut narator, narasi radikalisme ini juga diduga kuat sebagai bentuk pengalihan masalah kegagalan rezim, misalnya kegagalan rezim di bidang pendidikan, rezim menjanjikan adanya IR. 04 akan meningkatkan kualitas pendidikan namun kenyataannya konsekuensi logis dari penerapan kapitalisme berdampak pada mahalnya biaya pendidikan dan pengalihan fungsi pendidikan tinggi dan arah riset. 
 
“Demikian pula dalam bidang kesehatan, BPJS dinilai gagal melayani kesehatan rakyat. Fakta yang terjadi BPJS justru hanya merupakan iuran yang dipaksakan. Jika tidak ada BPS rakyat tidak dapat beberapa layanan, dan masih banyak lagi bukti kegagalan rezim,” terangnya. 
  
Menurutnya, semua ini menunjukkan kegagalan rezim dalam menjalankan fungsi kepemimpinan, yang disebabkan karena 2 faktor, yaitu rezim tidak memiliki konsep bernegara yang kuat dan tangguh, selanjutnya rezim dibangun atas asas yang keliru yaitu asas sekularisme. 
 
“Jadi yang gagal adalah rezim tetapi yang dijadikan sasaran adalah masyarakat dan mahasiswa yang mengkritik penguasa yang gagal menguasai rakyat dengan tuduhan intoleransi, radikalisme, ekstremisme dan terorisme,” tambahnya lagi. 
 
Jika ditelusuri lebih mendalam, lanjutnya, radikalisme ingin menjadikan islamofobia melenyapkan pemikiran ideologi islam. Bagaimana mungkin mereka memisahkan ideologi yang melekat dengan akidah islam? Karena itu umat tidak butuh proyek melawan radikalisme karena bukan radikalisme problem mendasar negeri ini, umat juga tidak butuh moderasi, yang digadang-gadang menjadi solusi tuntas atas berbagai problem negeri ini. 
 
“Problem mendasar negeri ini, karena tidak mau taat pada aturan Allah, maka solusi tuntasnya adalah dengan taat kepada Allah yaitu dengan menerapkan syariat islam kaffah dalam bingkai negara khilafah,” pungkasnya.[] Khaeriyah Nasruddin


######

Izin setor SN, Ustad.
Afwan jiddan, telat. 

“Radikalisme mengarahpada ajaran Islam kaffah. Ajaran yang menghendaki agar syariat Islam diterapkan secara keseluruhan (kaffah) dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara,” tutur narrator dalam Serba-Serbi MMC; Ada Apa di Balik Upaya Melindungi Dunia Pendidikan dari R4dik4l1sme?, Sabtu (20/8/2022), di kanal youtube Muslimah Media Centre.  
 
Apakah yang memiliki paham ini yang mereka maksud ingin menggulingkan kekuasaan? lanjut narator, seharusnya tidak, sebab Islam kaffah adalah solusi atas semua persoalan bangsa. Kaum muslimin mencapai kejayaan di berbagai bidang saat khilafah tegak, pada saat itu tidak ada kemiskinan dan keterpurukan hidup, yang ada adalah keadilan, kesejahteraan hingga keamanan yang terwujud di tengah masyarakat.  
 
“Karena itu harusnya mereka yang menginginkan bangsa ini maju dan berkah dengan aturan Allah tidak diberi stigma negatif,” sambung narator. 
 
Menurut narator, adanya isu kampus terpapar radikalisme adalah upaya mengkerdilkan fungsi kritis mahasiswa maupun dosen terhadap kebijakan pemerintah. Dengan framing kampus terpapar radikalisme dan daya tekan rezim yang kuat akan membuat dosen dan mahasiswa bungkam terhadap kebenaran.  
 
“Padahal wujud pengabdian intelektual adalah menyuarakan kebenaran dan berbicara untuk kepentingan umat,” tambahnya. 
 

“Tujuannya adalah dalam rangka menghadang kebangkitan islam sebab hanya khilafah yang bisa menghentikan hegemoni barat atas dunia islam,” lanjutnya.  
 
Ini juga diduga kuat sebagai bentuk pengalihan masalah kegagalan rezim, naraotr menambahkan, misalnya kegagalan rezim di bidang pendidikan, rezim menjanjikan adanya IR. 04 akan meningkatkan kualitas pendidikan namun kenyataannya konsekuensi logis dari penerapan kapitalisme berdampak pada mahalnya biaya pendidikan dan pengalihan fungsi pendidikan tinggi dan arah riset.  
 
“Demikian pula dalam bidang kesehatan, BPJS dinilai gagal melayani kesehatan rakyat. Fakta yang terjadi BPJS justru hanya merupakan iuran yang dipaksakan. Jika tidak ada BPS rakyat tidak dapat beberapa layanan, dan masih banyak lagi bukti kegagalan rezim,” terangnya. 
  
Menurutnya, semua ini menunjukkan kegagalan rezim dalam menjalankan fungsi kepemimpinan, yang disebabkan karena 2 faktor; yaitu, rezim tidak memiliki konsep bernegara yang kuat dan tangguh, selanjutnya rezim dibangun atas asas yang keliru yaitu asas sekularisme. 
 
“Jadi yang gagal adalah rezim tetapi yang dijadikan sasaran adalah masyarakat dan mahasiswa yang mengkritik penguasa yang gagal menguasai rakyat dengan tuduhan intoleransi, radikalisme, ekstremisme dan terorisme,” tambahnya lagi. 
 
Jika ditelusuri lebih mendalam, lanjutnya, radikalisme ingin menjadikan islmofobia melenyapkan pemikiran ideologi islam. Bagaimana mungkin mereka memisahkan ideologi yang melekat dengan akidah islam? Karena itu umat tidak butuh proyek melawan radikalisme karena bukan radikalisme problem mendasar negeri ini, umat juga tidak butuh moderasi, yang digadang-gadang menjadi solusi tuntas atas berbagai problem negeri ini. 
 
“Problem mendasar negeri ini, karena tidak mau taat pada aturan Allah, maka solusi tuntasnya adalah dengan taat kepada Allah yaitu dengan menerapkan syariat islam kaffah dalam bingkai negara khilafah,” pangkasnya. (Khaeriyah Nasruddin)
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab