Tinta Media: Radikalisme
Tampilkan postingan dengan label Radikalisme. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Radikalisme. Tampilkan semua postingan

Senin, 22 Agustus 2022

Isu Kampus Terpapar Radikalisme, Upaya Mengerdilkan Kampus sebagai Produsen Pemikir

Tinta Media - Narator video MMC mengatakan, “Adanya isu kampus terpapar radikalisme sejatinya adalah upaya mengerdilkan kampus sebagai produsen para pemikir,” tuturnya dalam video: Ada Apa di Balik Upaya Melindungi Dunia Pendidikan dari Radikalisme? Sabtu (20/8/2022) melalui kanal Youtube Muslimah Media Center.
 
Isu ini, lanjutnya, tentu akan memandulkan fungsi kritis mahasiswa maupun dosen terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
 
“Dengan framing kampus terpapar radikalisme ini dan daya tekan rezim yang kuat akan membuat dosen dan mahasiswa bungkam terhadap kebenaran. Padahal wujud dari pengabdian intelektual kepada umat adalah menyuarakan kebenaran dan berbicara untuk kepentingan umat,” tandasnya.
 
Meningkatkan Kewaspadaan
 
Narator menyebut, Wakil Komisaris Polri Komjen Gatot Adi Pramono mengatakan memasuki tahun ajaran baru,  dunia pendidikan khususnya tingkat perguruan tinggi harus terus meningkatkan kewaspadaan terhadap paham dan gerakan kekerasan, terutama yang digunakan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dengan legitimasi yang didasarkan pada pemahaman agama yang salah.
 
“Paham dan gerakan tersebut adalah intoleransi, radikalisme, ekstrimisme dan terorisme,” lanjut Narator menirukan Waka Polri.
 
 Menurut Waka Polri, kata Narator, berdasarkan catatan global terorism index 2020 menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2021 terdapat 5.226 aksi terorisme di seluruh dunia. Korban meninggal dunia yang berjatuhan akibat aksi tersebut mencapai 7.142 jiwa.
 
Mitigasi
 
Narator mengatakan, beberapa kampus merespon masuknya paham radikalisme dan terorisme di kampus dengan membuat program mitigasi pencegahan paham-paham tersebut masuk ke lingkungan kampus.
 
“Namun sejatinya masyarakat masih mempertanyakan benarkah kampus telah terpapar radikalisme intoleransi, hingga terorisme? Apa sebenarnya definisi dari radikalisme itu sendiri dan bagaimana ciri-cirinya?” ucapnya.

Pasalnya, lanjut Narator, hingga hari ini definisi tersebut masih absurd di pandangan masyarakat. “Jika yang dimaksud radikalisme adalah terorisme dengan berbagai tindakan teror dan aksi kekerasan yang membahayakan tentu kita sepakat bahwa hal itu harus dilawan,” tukasnya.
 
Tapi faktanya tidak demikian. “Mantan Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Riyyacudu pada 2019 pernah menyebut sekitar 23 % mahasiswa terpapar radikalisme. Hal ini didasarkan pada bentuk persetujuan mahasiswa tersebut terhadap ajaran jihad dan memperjuangkan negara Islam atau Khilafah,” bebernya.
 
 Karena itu, nilainya, meski pemerintah mengatakan bahwa radikalisme bukan bagian dari gerakan keagamaan namun nyatanya pihak yang disebut terpapar radikalisme dikaitkan dengan mereka yang memiliki pemahaman Islam yang benar dan lurus.
 
“Pasalnya ajaran jihad dan Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam yang ada di dalam kitab muktabar para ulama Salafush Shalih. Khilafah merupakan kepemimpinan yang satu untuk umat Islam yang menerapkan semua hukum Islam,” ungkapnya.
 
Khilafah, lanjutnya, merupakan mahkota kewajiban yang menjadikan umat Islam bisa melaksanakan ajaran Islam secara menyeluruh.
 
“Karena itu radikalisme sejatinya mengarah pada ajaran Islam kafah yaitu ajaran yang menghendaki agar syariat Islam diterapkan secara keseluruhan atau kafah dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara,” simpulnya.
 
Narator lalu mempertanyakan, apakah orang yang memiliki paham ini yang mereka maksud ingin menggulingkan kekuasaan?

“Seharusnya tidak, sebab Islam kafah adalah solusi atas semua persoalan bangsa. Kaum muslimin mencapai masa kejayaan di berbagai bidang pada saat kekhilafahan tegak. Saat  itu tidak ada kemiskinan dan keterpurukan hidup. Yang ada adalah keadilan, kesejahteraan, hingga keamanan yang terwujud di tengah-tengah masyarakat,” ucapnya berargumen.
 
"Karena itu, harusnya mereka yang menginginkan bangsa ini maju dan berkah dengan aturan Allah tidak diberi stikma negatif," tambahnya. 
 
Cengkeraman Kapitalisme
 
Narator menegaskan, umat Islam harus menyadari bahwa dunia hari ini termasuk Indonesia berada dalam cengkraman kapitalisme global. “Radikalisme sejatinya adalah proyek barat untuk menjaga kepentingan mereka agar tetap menguasai dunia dengan ideologi kapitalismenya,” imbuhnya.
 
 Proyek ini, katanya,  hanya memunculkan islamofobia terhadap masyarakat, bahkan umat Islam sendiri terutama pada ide Islam kafah dan Khilafah yang merupakan bagian dari ajaran Islam. Tujuannya adalah dalam rangka menghadang kebangkitan Islam, sebab hanya Khilafah yang bisa menghentikan hegemoni barat atas dunia Islam.
 
 “Ini juga diduga kuat sebagai bentuk pengalihan masalah kegagalan rezim, misalnya kegagalan rezim di bidang pendidikan. Rezim menjanjikan adanya revolusi industri 4.0 akan meningkatkan kualitas pendidikan dan daya saing di bidang pendidikan.Namun kenyataannya konsekuensi logis dari penerapan kapitalisme berdampak pada mahalnya biaya pendidikan dan pengalihan fungsi pendidikan tinggi dan arah riset,” ungkapnya.  
 
Demikian pula, tambahnya,  pada bidang kesehatan,  BPJS dinilai gagal melayani kesehatan rakyat. Fakta yang terjadi BPJS justru hanya merupakan iuran yang dipaksakan. Jika tidak ada BPJS maka rakyat tidak mendapatkan beberapa layanan, dan masih banyak lagi bukti kegagalan rezim.  
 
“Semua ini menunjukkan kegagalan rezim dalam menjalankan fungsi kepemimpinan yang disebabkan karena dua faktor yaitu rezim tidak memiliki konsep bernegara yang kuat dan tangguh. Selanjutnya rezim dibangun atas asas yang  keliru yaitu asas sekulerisme,” bebernya.  
 
Jadi, simpulnya,  yang gagal adalah rezim tapi yang  dijadikan sasaran adalah masyarakat dan mahasiswa yang mengkritik kebijakan penguasa yang gagal mengurusi rakyat dengan tuduhan intoleransi, radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme.
 
 “Jika ditelusuri lebih mendalam, radikalisme ingin menjadikan Islamopobhia melenyapkan pemikiran ideologi Islam. Bagaimana mungkin mereka memisahkan ideologi yang melekat dengan akidah Islam?” tanyanya.
 
Tidak Butuh Moderasi
 
Narator menilai, umat tidak butuh proyek melawan radikalisme, karena bukan radikalisme problem mendasar negeri ini. Umat juga tidak butuh moderasi yang digadang-gadang menjadi solusi tuntas atas berbagai problem negeri ini.
 
“Problem mendasar negeri ini adalah karena tidak mau taat pada aturan Allah. Maka solusi tuntasnya adalah dengan taat kepada Allah yaitu dengan menerapkan syariah Islam kafah dalam bingkai negara Khilafah,” tegasnya.
 
Narator menutup penuturannya dengan membacakan Al-Quran surat al-Baqarah ayat 85 yang artinya, “Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia.  Dan pada hari kiamat mereka dikembalikan dengan siksa yang sangat berat.  Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” [] Irianti Aminatun
 
 
 
 

Jumat, 29 Juli 2022

Angkat Kearifan Lokal untuk Melawan Intoleransi dan Radikalisme


Tinta Media - Bagi masyarakat Sunda di Jawa Barat, kearifan lokal merupakan unsur penting sebagai pedoman hidup sehari-hari. Konsep Silih Asah, Silih Asih, dan Silih Asuh, misalnya, merupakan filosofi hidup dari orang Sunda yang dijadikan sebagai perekat sosial dari beragam elemen masyarakat di Jawa Barat. Konsep tersebut dipandang ampuh untuk menjadi benteng pertahanan agar tidak terpapar perilaku intoleransi serta paham radikalisme, sehingga dinilai baik jika dijadikan senjata untuk melawan intoleransi dan radikalisme tersebut. Hal ini disampaikan oleh Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Barat, Rafani Achyar, kepada ANTARA beberapa waktu yang lalu. 

Menjadikan kearifan lokal sebagai bentuk konter terhadap isu intoleransi dan radikalisme tentulah tidak tepat. Hal ini karena keduanya tidak berkaitan. Isu intoleransi dan radikalisme hanyalah bentuk islamophobik yang disebarkan oleh pihak-pihak tertentu, karena kebencian mereka terhadap Islam dan syariatnya.  Menurut mereka, jihad dan khilafah yang merupakan bagian dari syariat Islam berpotensi memecah belah persatuan bangsa. 

Di sisi lain, isu kearifan lokal ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi dari apa pun. Isu ini dipandang dapat menyatukan berbagai keberagaman di tengah masyarakat, baik budaya maupun agama (kepercayaan). Karena itu, masyarakat menjadi lebih mengedepankan kearifan lokal sebagai alat persatuan bangsa, dibandingkan menonjolkan agama.

Hal tersebut diperkuat dengan penyebaran propaganda terkait isu-isu yang bertujuan untuk memanipulasi ajaran Islam. Semua itu disandarkan pada paham dan ide-ide yang sebenarnya bukan dari Islam, seperti demokrasi dan HAM, hingga mendeskreditkan Islam dan hukum-hukum Islam. Wajar jika umat semakin jauh dari Islam yang hakiki. Hal seperti ini memang lazim terjadi dalam sistem kapitalis demokrasi, seperti yang diterapkan di negeri ini.

Tentu menjadi miris dan ironis, jika masyarakat Jabar dan Indonesia pada umumnya yang mayoritas muslim, lebih mengedepankan kearifan lokal daripada agamanya. Bukankah Allah Swt. telah menetapkan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang diridai Allah? 

Allah berfirman, yang artinya:

"Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah disempurnakan agamamu untuk-Ku, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu dan telah Kuridai Islam sebagai agamamu, tetapi barang siapa terpaksa karena lapar bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh Allah Maha Pengasih Maha Penyayang." (TQS Al Maidah: 3)

Sesungguhnya, Islam merupakan alat pemersatu. Islam dapat diterima oleh semua suku dan bangsa, hingga terwujud rahmatan lil'alamin. Sebagaimana firman Allah Swt, yang artinya: 

'Dan kami tidak mengutus engkau Muhammad melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam." (Q.S Al- Ambiya: 107)

Karena itu, harusnya masyarakat di negeri ini bangga sebagai umat Islam, sehingga meletakkan Islam sebagai bagian yang tertinggi dalam kehidupannya. Hal ini sebagaimana ungkapan, "Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya."

Agar kesadaran umat Islam kembali lurus dalam beragama, haruslah ada upaya dari kaum muslimin untuk membina dirinya dengan Islam. Hal ini  seiring dengan adanya para pengemban dakwah Islam yang membina umat dengan tsaqafah Islam,  membebaskan dari akidah yang rusak, pemikiran yang salah, persepsi yang keliru, serta pengaruh ide-ide dan pandangan-pandangan yang kufur. 

Keberadaan dakwah  Islam kaffah (menyeluruh)  di tengah-tengah masyarakat sangat penting, baik secara berjamaah maupun individu. Hal ini akan membentuk kesadaran dan opini umum tentang Islam sebagai way of life. Dengan begitu, ada kerinduan dalam diri umat untuk menerapkannya dalam kancah kehidupan. Sistem Islam akan hadir sebagai tatanan  masyarakat yang bersakhsiyah Islam, baik dari sisi pola pikir, ataupun pola sikap. 

Ini karena Islam adalah agama untuk seluruh manusia, sebagaimana firman Allah Swt, yang artinya:

"Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS Saba;28)

Karena itu, penerapannya pun dapat meliputi semua suku bangsa dan keberagaman agama. Masyarakat akan hidup berdampingan secara damai. Inilah yang tercermin dalam kehidupan di Yerusalem dan Andalusia ketika Islam diterapkan oleh institusi negara (khilafah). Dua kota ini dikenal dengan kota tiga agama, karena di dalamnya hidup berdampingan secara damai, penganut agama Islam, Yahudi, dan Kristen. Bahkan, di Yerusalemlah berkumpul tempat ibadah tiga agama tersebut.

Islam sebagai dien yang berasal dari Sang Pencipta, tentu sesuai dengan kehidupan manusia, hingga mampu menyatukan umat manusia dan membawa rahmat bagi seluruh alam. Hal inilah yang tampak selama kurun waktu khilafah tegak, lebih dari 13 abad. Daulah Islam mampu menyatukan seluruh warga negaranya, baik muslim maupun nonmuslim, apa pun warna kulit, agama, ras, dan suku bangsa. Keadilan dan kesejahteraan dirasakan oleh seluruh rakyat tanpa kecuali. 

Adapun terkait kearifan (budaya) lokal, jikapun ada di tengah masyarakat, maka perlu diperhatikan, apakah kearifan lokal tersebut bertentangan dengan Islam ataukah tidak. Jika bertentangan dengan Islam, maka harus dihilangkan. Namun, jika tidak bertentangan, maka dibolehkan untuk tetap ada. 

Demikianlah, justru hanya penerapan Islam secara keseluruhanlah yang akan mendatangkan persatuan, perdamaian, dan kesejahteraan bagi umat manusia. Ini hanya bisa dilakukan oleh sebuah institusi daulah khilafah.

Firman Allah Swt. yang artinya:

"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) maka Kami siksa mereka sesuai apa yang telah mereka kerjakan. (TQS. Al A'raf: 96)

Wallahu a'lam bishawab

Oleh: Elah Hayani
Sahabat Tinta Media


Senin, 04 Juli 2022

Kementerian Berupaya Perangi Radikalisme, Prof. Suteki: Negara Dikelola Tidak Berdasar Prinsip Negara Hukum


Tinta Media - "Menanggapi upaya berbagai Kementerian untuk memerangi yang mereka sebut dengan radikalisme, saya sebagai guru besar di bidang hukum, merasa prihatin karena pengelolaan negara ini tidak lagi didasarkan prinsip negara hukum," ungkap Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Suteki kepada Tinta Media (1/7/2022).

Menurutnya, hal ini bertentangan dengan pasal 1 ayat 3 UUD 1945. "Indonesia ialah negara hukum. Pelarangan terhadap tindakan, pemikiran yang dilakukan oleh warga negara harus diatur oleh Undang-undang, tidak cukup dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) apalagi hanya dengan aplikasi ASN No Radikal," lanjutnya.

Ia berkata, upaya 'pembersihan' paparan radikalisme terus digencarkan. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) bersama Kementerian Agama, kepala BNPT, kepala BKN serta kepala daerah lainnya telah meluncurkan aplikasi ASN No Radikal. "Aplikasi ini ditujukan untuk membasmi paham radikalisme di lingkup Pegawai Negeri Sipil (PNS)," ujarnya.

"Menguatkan upaya tersebut, Menteri Agama sebelum Yakult, Fachrul Razi memberi usulan khusus terkait penerimaan CPNS. Ia meminta seleksi CPNS dibuat lebih ketat dan tidak menerima peserta-peserta yang terindikasi memiliki paham keagamaan tertentu seperti pro khilafah," lanjutnya.

Sebelumnya, kata Suteki, upaya pemerintah untuk mewujudkan birokrasi yang bebas dari paham Radikalisme dilakukan lewat penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) penanganan Radikalisme ASN oleh Sebelas Kementerian dan lembaga. Setelah itu, ada Surat Edaran (SE) Bersama tertanggal 25 Januari 2022 tentang upaya pembersihan ASN terpapar Radikalisme. Menteri PAN-RB dan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) berkomitmen untuk melakukan langkah tegas guna mencegah Aparatur Sipil Negara (ASN) dari paham Radikalisme.

"SE Bersama merupakan tindak lanjut dari Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang larangan kegiatan penggunaan simbol dan atribut, serta penghentian kegiatan FPI yang diterbitkan 30 Desember 2020 lalu. Selain itu, SE Bersama ini juga menyebutkan beberapa organisasi terlarang dan ormas yang telah dicabut status badan hukumnya, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI), Jamaah Islamiyah, Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Front Pembela Islam (FPI)," ungkapnya.

Sementara itu, menurutnya, tidak gampang membuktikan seseorang terpapar radikalisme sesuai dengan koridor hukum. Yang sering dipakai adalah koridor politik. "Asal tidak setuju dengan kebijakan pemerintah, asal mengamalkan agama secara taat, apakah langsung dikatakan terpapar Radikalisme?" tanyanya. 

Ia mengatakan, urusan ideologi negeri ini sudah dibingkai dengan UU Ormas pasal 59, Tap MPR no.XXV MPR 1966. Yang dilarang adalah Ateisme, Komunisme, Marxisme dan Lenimisme. "Sedangkan nomenklatur dan paham lain merupakan pasal karet yang sulit dipastikan dan cenderung mengikuti kehendak penguasa. Ini yang seharusnya dihindari," pungkasnya.[] Yupi UN

Sabtu, 04 Juni 2022

Ada Modus Baru Radikalisme di Kampus: Benarkah?



Pierre Suteki 

Tempo.co Jakarta 30 Mei 2022 memuat berita tentang Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar yang mengatakan  bahwa ada modus baru radikalisme di kampus berupa propaganda, yaitu penyebarluasan informasi terkait kegiatan maupun rekrutmen kelompok radikal. “Modus baru itu misalnya propaganda ISIS. Ini melibatkan kalau ada di kampus seperti yang di Universitas Brawijaya seperti menjadi kepanjangan tangan penyebarluasan informasi berkaitan dengan kegiatan mereka dan termasuk kegiatan rekrutmen. Mem-posting konten-konten,” kata Boy Rafli kepada wartawan usai menghadiri rapat kerja bersama Komisi III di Gedung DPR, Senin, 30 Mei 2022. 

Boy Rafli menyampaikan kelompok radikal seperti ISIS memerlukan media untuk menyebarkan misi-misi kelompoknya. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran pihaknya karena bisa berujung pada pelanggaran hukum. “Istilahnya itu, didukung oleh user-user individu yang menjadi suatu pelanggaran hukum. Melakukan posting ulang, menulis narasi-narasi mulai dari luar negeri pada unsur-unsur dalam negeri masuk kepada mereka yang kemudian mereka sebar ke teman-temannya. Ini menjadi potensi tumbuhnya radikalisasi di lingkungan dia (kampus). Itu yang kita tidak mau,” katanya. 

Atas berita adanya modus baru radikalisme kampus yang ‘memposting konten-konten’ tersebut saya merasa aneh dan prihatin ketika kampus menjadi sasaran terhadap TUDUHAN adanya GERAKAN RADIKALISME karena memang TUGAS KAMPUS itu MEROHANIKAN ILMU. Yakni pencarian terhadap HAKIKAT ILMU. Kampus itu bukan LEMBAGA PELATIHAN KERJA (LPK). Nah, ketika yang hendak dicari itu the truth and justice, maka KARAKTER PENCARIANNYA dipastikan RADIKAL, yakni cara berpikir yg MENGAKAR, MENDASAR dan KOMPREHENSIF, MENYELURUH dan bukan SEPOTONG-POTONG atau GRADUAL. 

Pernyataan Boy Rafli juga tidak jelas tentang "memposting konten-konten". Konten apa? Apakah konten yang dimaksud itu sudah ditetapkan oleh hukum sebagai bentuk PELANGGARAN HUKUM atau TINDAK KEJAHATAN (DELIK)? Hal ini harus clear dulu sehingga ada kepastian hukumnya. Jika tidak, APH akan ngawur bertindak terhadap sesuatu konten yang OBSCURE (kabur) dan LENTUR (tidak pasti). Narasi itu akan menggiring tindakan yang semena-mena, SSK (Suka Suka Kami) terhadap orang atau kelompok orang yang DICURIGAI memposting konten-konten yang dianggap RADIKAL oleh BNPT. 

Saya juga tidak setuju dengan narasi BNPT yang menyatakan bahwa radikalisme mengarah pada terorisme. Radikalisme itu nomenklatur yang lebih bermuatan politis dibandingkan muatan hukum yang tadi saya katakan obscure dan lentur. Narasi "mengarah" itu juga narasi yang ambigu, dan kabur yang kemudian menimbulkan kecurigaan dan ketakutan luar biasa bahkan bersifat irrasional yg disebut POBHIA. Untuk mengatakan bahwa radikalisme itu mengarah pada terorisme harus dilakukan pembuktian melalui penelitian yg INDEPENDENT, apakah betul SEMUA RADIKALIS itu sekarang TELAH dan pasti akan MENJADI TERORIS. Taruhlah begini, sekarang ada RATUSAN NAMA yang terdaftar sebagai PENCERAMAH RADIKAL termasuk saya. Silahkan diteliti, apakah saya telah menjadi TERORIS atau telah terbukti orang lain yang menjadi TERORIS karena RADIKALIS? Berapa persen? Apakah satu orang itu bisa dianggap MEWAKILI? Apakah itu ILMIAH? Ini bangsa apa? Bangsa PRIMITIF atau bangsa yang sudah maju dengan penggunaan ratio yang proporsional? 

Agar soal radikalisme tidak menjadi hantu, kita kiranya perlu mendudukan radikalisme dan terorisme secara proporsional. Mengingat terorisme faktanya juga ada. Yang harus dikerjakan sekarang adalah merumuskan dulu tentang RADIKALISME dan TERORISME yang selama ini terkesan dimaknai secara OBSCURE dan LENTUR. Meskipun kita sudah mempunyai UU TERORISME, masih juga ada banyak yang menilai perumusan delik terorisme juga masih terlalu kabur, obscure dan lentur sehingga menyasar seluruh tindakan-tindakan yang dianggap "MENGARAH" saja (contohnya RADIKALISME) telah DIANGGAP sebagai tindakan yang masuk dalam JARING DELIK TERORISME.

Saya kira ini tindakan yang gegabah, tidak cermat dan selelu berpotensi membuat KEGADUHAN di tengah masyarakat. Mestinya BNPT dan BIN itu tidak terus memproduksi narasi-narasi yang justru menimbulkan kegaduhan dan ketakutan dalam masyarakat. Kerjanya itu SENYAP tetapi benar-benar mampu menciptakan order (ketertiban dan keamanan) dan menanggulangi TERORISME atau TINDAKAN MAKAR terhadap IDEOLIGI, dan atau PEMERINTAH. Bukan teriak RADIKAL RADIKUL terhadap semua pihak yang dianggap mengkritisi dan berseberangan dengan rezim yang berkuasa. 

Saya sebagai dosen kampus, ada 4 hal yang perlu saya sampaikan kepada para mahasiswa: 

Pertama, semua muslim saya minta tetap istiqomah terhadap ajaran islam yang sudah pasti sbg perintah alloh dan rasul-Nya serta ijtihad para ulama, bukan umala. Termasuk mahasiswa muslim tidak boleh gentar menghadapi segala rintangan untuk menjalankan ajaran Islam dan mendakwahkannya. Itu semua perintah Alloh. Hanya yang perlu dicatat adalah strategi yang tepat untuk berdakwah dan menjalankan syariat tersebut dengan mengenal medan dakwah dan batas demarkasi dakwah. Semua perjuangan mempunyai risiko itu benar, namun strategi perjuangan juga harus ada. Strategi dakwah mana yang sesuai? Tentu kita harus meniru stategi dakwah rasululloh, yakni menyampaikan kebenaran (speak up) walaupun pahit. Qulil haq walau kanaa muron! 

Kedua, kemudian yang perlu dilakukan mahasiswa adalah harus mampu mendeteksi secara dini atas gerakan yang TERINDIKASI TERORISME. Semua mahasiswa MUSLIM harus ANTITERORISME karena Islam tidak mengajarkan umat untuk melakukan kegiatan TEROR. 

Ketiga, mahasiswa tetap harus menjalin dengan pihak kampus tanpa harus alergi dengan organisasi ekstra kampus. Yang penting mengetahui secara persis "JENIS KELAMIN" organisasi tersebut. Jangan mudah terprovokasi dengan kegiatan TERORISME. 

Akhirnya perlu saya sampaikan bahwa sebagai KOMUNUTAS ILMUWAN, mahasiswa menjadi RADIKAL itu WAJIB, namun menjadi TERORIS itu jangan. Radikalisme ( peyoratif) di kampus itu hanya sebuah propaganda yang patut diduga bertujuan untuk MEMBERANGUS KEMERDEKAAN BERSERIKAT, BERKUMPUL DAN MENYATAKAN PENDAPAT civitas akademika dan bukanlah sebuah realita. Tetaplah RADIKAL: RAMAH TERDIDIK DAN BERAKAL. 

Tabik...!!!
Semarang, Rabu: 1 Juni 2022

Jumat, 03 Juni 2022

Prof. Suteki: Perlu Mendudukkan Radikalisme dan Terorisme Secara Proporsional


Tinta Media - Menanggapi adanya modus baru radikalisme di kampus, Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Suteki, S.H., M.Hum. menilai perlu mendudukkan radikalisme dan terorisme secara proporsional.

"Agar soal radikalisme tidak menjadi hantu, kita kiranya perlu mendudukkan radikalisme dan terorisme secara proporsional," tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (1/5/2022).

Menurutnya, mengingat terorisme faktanya juga ada. Yang harus dikerjakan sekarang adalah merumuskan dulu tentang radikalisme dan terorisme yang selama ini terkesan dimaknai secara obscure dan lentur. "Meskipun kita sudah mempunyai UU Terorisme, masih juga ada banyak yang menilai perumusan delik terorisme juga masih terlalu kabur, obscure dan lentur sehingga menyasar seluruh tindakan-tindakan yang dianggap mengarah saja telah dianggap sebagai tindakan yang masuk dalam jaring delik terorisme," ujarnya.

Ia melihat bahwa tindakan ini gegabah, tidak cermat dan selalu berpotensi membuat kegaduhan di tengah masyarakat. Mestinya BNPT dan BIN tidak terus memproduksi narasi-narasi yang justru menimbulkan kegaduhan dan ketakutan dalam masyarakat. Kerjanya itu senyap tetapi benar-benar mampu menciptakan order (ketertiban dan keamanan) dan menanggulangi terorisme atau tindakan makar terhadap ideologi, dan atau pemerintah. "Bukan teriak radikal radikul terhadap semua pihak yang dianggap mengkritisi dan berseberangan dengan rezim yang berkuasa," terangnya.

Ia menyatakan bahwa sebagai dosen kampus, ada hal yang perlu disampaikan kepada mahasiswa. Diantara bahwa semua muslim diminta tetap istiqamah terhadap ajaran Islam yang sudah pasti sebagai perintah Allah dan rasul-nya serta ijtihad para ulama bukan umala. "Termasuk mahasiswa muslim tidak boleh gentar menghadapi segala rintangan untuk menjalankan ajaran Islam dan mendakwahkannya. Itu semua perintah Allah SWT," bebernya.

"Hanya yang perlu dicatat adalah strategi yang tepat untuk berdakwah dan menjalankan syariat tersebut dengan mengenal medan dakwah dan batas demarkasi dakwah," paparnya.

Prof. Suteki menyampaikan bahwa semua perjuangan mempunyai resiko itu benar, namun strategi dakwah mana yang sesuai? "Tentu kita harus meniru strategi dakwah Rasulullah, yakni menyampaikan kebenaran (speak up) walaupun pahit. Qulil Haq walau kanaa muron!" tukasnya.

Kemudian, lanjutnya, yang perlu dilakukan mahasiswa adalah harus mampu mendeteksi secara dini atas gerakan yang terindikasi terorisme. "Semua mahasiswa muslim harus antiterorisme karena Islam tidak mengajarkan umat untuk melakukan kegiatan teror," jelasnya.

Ia melanjutkan bahwa mahasiswa tetap harus menjalin dengan pihak kampus tanpa harus alergi dengan organisasi ekstra kampus. "Yang penting mengetahui secara persis jenis kelamin organisasi tersebut. Jangan mudah terprovokasi dengan kegiatan terorisme," ulasnya.

"Akhirnya perlu saya sampaikan bahwa sebagai komunitas ilmuwan, mahasiswa menjadi radikal itu wajib namun menjadi teroris itu jangan," simpulnya.

"Radikalisme (peyoratif) di kampus itu hanya sebuah propaganda yang patut diduga bertujuan untuk memberangus kemerdekaan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat civitas akademika dan bukanlah sebuah realita. Tetaplah RADIKAL: Ramah Terdidik dan Berakal," pungkasnya.[] Ajirah

Rabu, 01 Juni 2022

Radikalisme Masih Digoreng, Bentuk Islamofobia


Tinta Media - Diakui atau tidak, negeri ini sedang berada di tepi jurang kehancuran. Kondisi ini bisa dilihat dari berbagai kecurangan yang semakin massif dan terstruktur, seperti korupsi yang semakin menggila, penguasaan lahan dan sumber daya alam oleh para pemilik modal, banyaknya BUMN yang collapse, serta infrastruktur yang mangkrak. 
        
Ditambah lagi harga kebutuhan pokok masyarakat yang dari waktu ke waktu semakin mahal, biaya sekolah yang mahal, peran ibu sebagai ummu warobatul bait yang harusnya mengurus urusan rumah jadi terbengkalai karena harus bekerja di luar rumah, ditambah lagi dengan kenaikan PPN, kenaikan TDL dan BBM secara berkala, semakin memperberat beban hidup masyarakat.

Namun, di tengah segudang masalah yang membelit negeri ini, isu radikalisme selalu diangkat, seolah-olah menjadi permasalahan utama dan urgent untuk diberantas. Tentu saja hal tersebut tidak nyambung.

Seperti yang kita ketahui, nyanyian radikalisme terus digulirkan oleh BNPT. Mereka menyatakan bahwa ratusan pesantren diduga mengajarkan radikalisme. BNPT juga berencana akan terus melakukan pemantauan terhadap masjid-masjid, lagi-lagi demi mencegah radikalisme. Kotak amal pun tak luput dari tudingan untuk pendanaan terorisme.

Moderasi beragama yang terus-menerus digaungkan dengan maksud melawan radikalisme, justru menjadi masalah besar yang mengakibatkan umat jauh dari ajaran Islam. Di sisi lain, keganasan KKB di Papua yang telah membunuh puluhan anggota TNI, juga warga sipil tidak dianggap sebagai tindakan teroris

Dari realitas tersebut, tampak jelas bahwa isu  radikalisme terus digaungkan agar umat Islam phobia terhadap agamanya sendiri. Bagaimana bisa seorang muslim benci terhadap agamanya sendiri? Padahal, agama ini mengajarkan kebaikan dan membimbingnya pada ketaatan kepada Allah Swt.

Mereka menyudutkan Islam hanyalah untuk melanggengkan penerapan sistem kapitalis-demokrasi di negeri ini, dengan menyasar pemahaman Islam dan kaum muslimin yang kontra dengan kebijakan kapitalistik penguasa, agar tercipta phobia Islam di tengah masyarakat. 

Upaya moderasi yang selalu digaungkan justru menjadi masalah besar yang mengakibatkan umat jauh dari ajaran Islam kaffah. Moderasi merupakan bagian dari makar yang dibuat oleh musuh Islam untuk mencegah panegakan Islam di muka bumi ini.

Mereka memojokan ajaran Islam dan simbolnya. Umat Islam didudukkan dalam posisi tertuduh. Kelompok atau tokoh Islam dicap radikal, hanya gara-gara kritis terhadap rezim. Mereka dipersekusi, bahkan dikriminalisasi dan berujung pemenjaraan. Kelompok Islam ideologis dan nonkekerasan juga dibubarkan karena dianggap radikal.

Jelaslah, bahwa isu radikalisme di tengah keterpurukan negeri ini adalah isu politis dan tampak sangat dipaksakan, sama sekali tidak relevan dan tidak penting. Hal ini tampak sebagai bentuk pengalihan isu masyarakat dari kegagalan rezim dalam mengatasi berbagai persoalan, khususnya persoalan ekonomi. Isu ini jelas bernuansa politis yang tujuannya adalah memperkokoh rezim, melemahkan sikap kritis umat Islam

Saat Islamophobia kembali mengemuka, narasi moderasi beragama menjadi olahan manis. Narasi ini menjadi racun berbalut madu yang ditawarkan untuk dicicipi. Berbagai cuitan terkait ekstrimisme, terorisme, dan radikalisme selalu disematkan terhadap Islam dan digadang-gadang sebagai unsur yang menyulut api Islamophobia di tengah masyarakat.

Umat Islam tidak boleh takut dan diam saja dengan adanya kejadian inim. Umat harus selalu melakukan amar maruf nahi mungkar dalam kondisi apa pun, termasuk dalam melawan berbagai bentuk kezaliman yang diarahkan kepada Islam.

Rasulullah saw. bersabda, "Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lisannya. Jika tidak mampu, dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman  (HR. Muslim)
 
Kita tidak boleh takut, apalagi kepada sesama mahluk yang hanya bersifat fana. Kekuasaannya pun hanya bersifat sementara, yang akan lenyap dan binasa. Harusnya rasa takut hanya kita sematkan kepada Allah Yang Mahakekal.

Apabila kita ingin menghilangkan berbagai bentuk kezaliman, penghinaan, pelecehan, dan pendiskreditan terhadap Islam, tidak ada cara lain selain harus mengganti sistem sekuler liberal yang ada saat ini dengan sistem yang terbaik yang datang dari Zat Yang Mahabaik, yaitu sistem Islam secara kaffah. Dengan sistem ini, akan ada kebaikan bagi seluruh umat manusia, baik muslim maupun nonmuslim, dan menghadirkan rahmat bagi seluruh alam. 

Dengan sistem Islam, tidak akan dibiarkan berbagai bentuk kezaliman terhadap Islam melalui konspirasi orang-orang kafir dan munafik. Dengan begitu, ajaran dan umat Islam akan selalu terjaga marwah dan kewibawaannya

Maka dari itu, umat Islam wajib mempelajari tsaqafah atau ilmu-ilmu Islam. Ilmu-ilmu itu sangat bermanfaat dan dapat menghantarkan umat Islam menuju ke surga. Ilmu itulah yang akan membuat pemiliknya semakin dekat dan memiliki rasa takut kepada Allah Swt, tidak malah pobhia terhadap Islam. 

Allah Swt. berfirman yang artinya, "Sungguh rasa takut kepada Allah di antara para hambanya hanyalah orang-orang yang berilmu (ulama)." (QS.Fatir [35]:28)

Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.

Oleh: Nunung Nurhamidah
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab