Tinta Media: Radikal
Tampilkan postingan dengan label Radikal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Radikal. Tampilkan semua postingan

Senin, 30 Januari 2023

Inilah Dampak Ketika Negara Membangun Narasi Kebohongan Bahaya Radikal

Tinta Media - Ketika negara membangun sebuah narasi kebohongan akan bahaya radikal maka narasi tersebut, menurut Ketua LBH Pelita Umat sekaligus Mahasiswa Doktoral Chandra Purna Irawan, S.H, M.H. akan menimbulkan dampak kebencian, diskrimasi, dan prasangka (prejudice) yang dapat membawa seseorang berbuat kriminal (hate crime).

“Narasi kebohongan akan bahaya radikal yang dibangun negara akan menimbulkan dampak kebencian, diskrimasi, dan prasangka (prejudice) yang dapat membawa seseorang berbuat kriminal (hate crime),” tuturnya kepada Tintamedia.web.id, Jumat (27/1/2023).  
  
Narasi kebohongan akan bahaya radikal yang dimaksud adalah narasi kebohongan tentang ajaran Tuhan, yang menurut Chandra dinarasikan seolah-olah sebuah ideologi atau faham. Sementara di sisi lain negara mengadopsi ideologi atau paham kapitalisme.

Chandra mempertanyakan bagaimana mungkin negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, mengkriminalkan dan membangun narasi kebohongan terhadap ajaran Tuhan Yang Mahas Esa. “Ajaran Tuhan dituduh sebagai ideologi dan faham, kemudian pengikut Tuhan dikriminalisasi dengan tuduhan bertentangan dengan ideologi negara. Saya jadi teringat pada tokoh yang menyatakan negeri ini tidak maju karena Tuhan tidak ditakuti. Tantangan kita adalah bagaimana Tuhan ditakuti,” pungkasnya.[] Erlina 

Inilah Dampak Ketika Negara Membangun Narasi Kebohongan Bahaya Radikal

Tinta Media - Ketika negara membangun sebuah narasi kebohongan akan bahaya radikal maka narasi tersebut, menurut Ketua LBH Pelita Umat sekaligus Mahasiswa Doktoral Chandra Purna Irawan, S.H, M.H. akan menimbulkan dampak kebencian, diskrimasi, dan prasangka (prejudice) yang dapat membawa seseorang berbuat kriminal (hate crime).

“Narasi kebohongan akan bahaya radikal yang dibangun negara akan menimbulkan dampak kebencian, diskrimasi, dan prasangka (prejudice) yang dapat membawa seseorang berbuat kriminal (hate crime),” tuturnya kepada Tintamedia.web.id, Jumat (27/1/2023).  
  
Narasi kebohongan akan bahaya radikal yang dimaksud adalah narasi kebohongan tentang ajaran Tuhan, yang menurut Chandra dinarasikan seolah-olah sebuah ideologi atau faham. Sementara di sisi lain negara mengadopsi ideologi atau paham kapitalisme.

Chandra mempertanyakan bagaimana mungkin negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, mengkriminalkan dan membangun narasi kebohongan terhadap ajaran Tuhan Yang Mahas Esa. “Ajaran Tuhan dituduh sebagai ideologi dan faham, kemudian pengikut Tuhan dikriminalisasi dengan tuduhan bertentangan dengan ideologi negara. Saya jadi teringat pada tokoh yang menyatakan negeri ini tidak maju karena Tuhan tidak ditakuti. Tantangan kita adalah bagaimana Tuhan ditakuti,” pungkasnya.[] Erlina 

Kamis, 19 Januari 2023

Prediksi Politik 2023, LBH Pelita Umat: Narasi Radikal Akan Terus Digaungkan

Tinta Media - Berdasar data enam tahun kebelakang  yaitu mulai 2017 hingga 2022 Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan memprediksi 4 peristiwa politik pada 2023.
 
“Pertama, narasi radikal. Kampanye politik narasi radikal telah dilakukan pemerintah, diramaikan oleh penari dayang-dayang buzzer dan kelompok sekuler, digaungkan sejak 2017 hingga 2022 tidak ada hentinya,” tuturnya di acara Islamic Lawyer Forum: Analisis Kebijakan Hukum, Politik, Ekonomi, Pendidikan dan Dakwah Islam Tahun 2023, Ahad (15/1/2023) melalui kanal You Tube Royah TV.
 
Kampanye radikal, intoleran, anti kebinekaan, anti Pancasila itu akan terus dimainkan, akan terus berulang dan kemungkinan 2023 akan ditabuh semakin kencang. “Ini terkonfirmasi dengan pernyataan salah satu tokoh di sebuah berita yang mengatakan bahwa kelompok radikal akan semakin banyak pada saat menjelang pemilu,” ucapnya meyakinkan.
 
Bahkan, menurut Chandra bukan sekedar narasi tapi pemerintah juga menerbitkan regulasi untuk mendukung kampanye itu. “Prediksi saya dapat dinyatakan benar kalau menggunakan data 6 tahun ke belakang ditambah pernyataan tokoh serta regulasi bahwa kemungkinan narasi radikal, intoleransi ini akan terus dimainkan. Jangan kaget! Harus Waspada!,”tandasnya.

Monsterisasi Ajaran Islam 

Prediksi kedua sebut Chandra, terkait narasi monsterisasi, alienasi, kriminalisasi ajaran-ajaran Islam akan berulang pada 2023.

“Monsterisasi menciptakan sebuah kampanye seolah-olah ajaran Islam itu monster yang menakutkan. Setelah monsterisasi lalu alienasi yaitu ajaran Islam dibuat asing sehingga masyarakat tidak berani mendekat. Di stigma lalu dipukul,” bebernya.
 
Chandra memberikan contoh ajaran Islam yang dimonsterisasi itu seperti kata jihad, kafir, cadar, syariah, khilafah. “Dimonsterisasi, dialienasi, distigmatisasi dan terakhir dipersekusi. Ini kemungkinan akan berulang pada 2023,”terangnya.
 
Prediksi ketiga lanjutnya, kampanye terorisme yang dilekatkan dengan simbol-simbol keagamaan yang dalam konteks ini Islam.
 
“Meski orang menyatakan terorisme itu tidak mengenal agama, tapi pada faktanya setiap kali ada peristiwa selalu dengan mudah ditemukan simbol-simbol keagamaan seperti buku Iqro, buku-buku jihad, Al-Quran, bendera tauhid dan lain-lain,” ungkapnya.
 
Prediksi keempat, berkaitan dengan pembusukan terhadap kepribadian muslim. Seorang muslim  dibusukkan citranya supaya dia tidak berani menampakkan citra sebagai muslim. Chandra memberikan contoh narasi politik identitas menyasar kaum muslimin yang menyuarakan gagasan berkaitan dengan politik Islam.
 
“Islam dan politik itu seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan tapi politik Islam dicitrakan buruk seolah-olah menjadi pemecah bangsa,” kesalnya.
 
Oleh karena itu memungkasi penuturannya Chandra mengatakan bahwa hal ini harus disikapi dengan soliditas yang kuat agar kejadian-kejadian diatas tidak berulang. “Ini harus menjadi perhatian penting pada 2023,” tandasnya. [] Irianti Aminatun
 
 
 

Jumat, 13 Januari 2023

Tudingan Radikal dan Teroris Karena Mendakwahkan Khilafah, Gus Uwik: Jelas Salah!

Tinta Media - Adanya tudingan pihak tertentu yang menggolongkan beberapa web Islam ke dalam situs web pro radikal dan teroris karena konsisten mendakwahkan khilafah sebagai ajaran Islam, menurut Peneliti Pusat kajian Peradaban Islam Gus Uwik penggolongan tersebut jelas salah.

“Jelas salah tudingan tersebut. Karena khilafah itu bagian syariat Islam, bukan ideologi apalagi ajaran sesat,” tuturnya kepada Tintamedia.web.id, Kamis (12/1/2023).

Gus Uwik juga merasa heran terhadap tudingan tersebut. “Bagaimana mungkin syariat Islam dikatakan berbahaya? Justru syariat Islam itu akan membawa rahmatan lil 'alamin sebagaimana janji Allah SWT. Itu janji dari Sang Pencipta Alam Semesta. Pasti tidak pernah salah. Masak kita mau ingkar dengan janji Allah? Tentu tidak,” ujarnya.

Di sisi lain, menurutnya dakwah hukumnya adalah fardhu kifayah. “Artinya wajib ada dari sebagian umat Islam yang melakukannya. Jika tidak maka akan berdosa. Dan saat ini, salah satu bentuk dakwah adalah dengan tulisan yang bisa disebar melalui web. Artinya mendakwahkan bagian dari syariat Islam, yakni Khilafah adalah sebuah fardhu kifayah,” tandasnya. 

Jika kedudukannya seperti di atas, ia menilai hal yang konyol jika dakwah khilafah melalui media digolongkan pro radikal dan terorisme. “Itu jelas ngawur dan pasti tidak ada logika tepat dan benar yang mendasarinya. Lebih banyak pada dugaan dan halusinasi semata,” imbuhnya.

Ia menjabarkan banyak dalil yang menjelaskan akan adanya Khilafah dan kewajiban akan adanya khilafah. “Semua sudah dijelaskan secara detail oleh empat Mazhab, sebagaimana jelasnya menjelaskan bab thoharoh. Tidak ada yang samar. Kalau lah ada perbedaan, itu hanya pada hal-hal pendetailan saja. Secara pokok tentang kewajiban khilafah tidak ada perselisihan. Jadi kalau ada yang menyalahkan atau bahkan menuduh Khilafah adalah ajaran yang tertolak apalagi teroris, jelas ini menyelisihi pendapat jumhur ulama. Tidak ada dalilnya. Yang ada hanya karena islamofobia,” urainya.

Terkait dengan dalil kewajiban Khilafah, ia menyarankan untuk membuka buku karya ulama Nusantara yang dari dulu menjadi salah satu rujukan di sekolah menengah dan perguruan tinggi Islam di Indonesia dan Malaysia. Buku tersebut adalah buku karya Sulaeman Rasyid berjudul Fiqih Islam yang menjelaskan di bab akhir tentang kewajiban Khilafah. 

Di dalam buku tersebut, ia menyampaikan bahwa Sulaeman Rasyid, sebagaimana banyak penulis kitab fiqih lainnya, menyatakan hukum mendirikan khilafah adalah kewajiban atas semua kaum muslimin. “Berikut kutipan pernyataan Sulaeman Rasyid : ‘Kaum muslim (ijma’ yang mu’tabar) telah bersepakat bahwa hukum mendirikan khilafah itu adalah fardu kifayah atas semua kaum muslim.’ Sulaeman Rasyid juga menyebutkan alasan kewajiban mendirikan khilafah adalah berdasarkan: (1) Ijma’ Shahabat, sehingga mereka (para shahabat) mendahulukan musyawarah untuk memilih khalifah daripada menyelesaikan pengurusan jenazah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; (2) Kaidah Maa laa yatimmu al-waajib Illaa bihi fahuwa waajib, tidak mungkin dapat menyempurnakan kewajiban –misalnya membela agama, menjaga keamanan, dan sebagainya– selain dengan adanya khilafah; dan (3)beberapa ayat Al-Qur'an dan al-Hadits,” bebernya

Dari penjelasan dalam buku karya Sulaeman Rasyid tersebut, ia menegaskan sekali lagi bahwa sudah sangat jelas bukti dan hukumnya bahwa Khilafah itu ajaran Islam.

Syariah Baik untuk Negeri Ini

Gus Uwik menilai menilai bahwa negeri ini bahkan dunia tidak sedang baik-baik saja. “Ekonomi morat-marit di ambang resesi. Implikasinya PHK semakin banyak, harga-harga semakin meloncat, beban ekonomi semakin sulit, dll. Belum lagi diperparah dengan sumber daya alam yang banyak di jarah oleh Oligarki, Korupsi semakin membabi buta, dll. Ini semua disebabkan oleh sistem kapitalis yang rakus. Memberikan kebebasan dan ‘melegalkan’ kepada para oligark untuk berkuasa dan memeras,” paparnya.

Dalam bidang pendidikan, ia melihat bahwa pendidikan saat ini menegasikan keimanan dan ketaqwaan. ”Ujungnya mencetak peserta didik yang orientasinya hanya untuk bekerja. Akhirnya muncul watak merusak, menghalalkan segala cara untuk meraih cita-cita. Itu semua karena tidak adanya iman dan Islam,” bebernya.

Selain itu, ia menyampaikan adanya narkoba dan seks bebas itu muncul karena budaya hedonis dan kebebasan. “Bebas bertingkah laku sehingga bebas seks bebas dan mabok. Dan masih banyak lagi kerusakan akibat diberlakukannya sistem kapitalis,” ucapnya prihatin.

Islam melalui konsep khilafahnya, menurutnya, akan melahirkan era baru yang penuh kedamaian, stabilitas, dan kemakmuran bagi dunia Islam. “Khilafah akan menggunakan seluruh sumber daya untuk melindungi kepentingan Islam dan kaum Muslim. Dengan sistem khilafah akan membalik kondisi yang sebelumnya orang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin menjadi merata dengan sistem ekonominya,” tambahnya.

Pendidikan dalam Islam, lanjutnya akan menjadikan perserta didik yang beriman dan bertakwa. Tidak berani melanggar aturan karena takut sama Allah. Dan takut di siksa di akhirat kelak. Tidak berani bergaul bebas. Apalagi sampai seks bebas, narkoba, dll. Semuanya berdosa dan melanggar syariat. “Dan masih banyak lagi rahmatan lil 'alaminnya Islam jika diterapkan secara paripurna,” pungkasnya.[] Erlina

Rabu, 07 Desember 2022

RADIKAL, RADIKALIS, RADIKALISME DAN RADIKALISASI

Tinta Media - Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata radikal diartikan dengan tiga makna, pertama secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip). Kedua, keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan). Ketiga, maju dalam berpikir atau bertindak.

 

Dalam ilmu filsafat, berpikir radikal yang bermakna upaya menggali kenyataan atau ide hingga ke akar-akarnya, jelas merupakan syarat mutlak untuk membangun diskursus rasionalisme dan kritisisme. Bahkan dalam ilmu kimia, tak kecuali, ternyata juga dikenal istilah radikal bebas.

 

Secara etimologis, kata radikal sesungguhnya netral. Radikalis, kata sifat ini berasal dari bahasa Latin, radix atau radici. Menurut The Concise Oxford Dictionary (1987), istilah radikal berarti ‘akar’, ‘sumber’, atau ‘asal-mula’. Dimaknai lebih luas, istilah radikal mengacu pada hal-hal mendasar, prinsip-prinsip fundamental, pokok soal, dan esensial atas bermacam gejala, atau juga bisa bermakna “tidak biasanya” (unconventional).

 

Sampai disini jelas bahwa, kata radikal sesungguhnya netral dalam arti tidak berhubungan agama, apalagi Islam. Kata radikal lebih tepat jika ditempatkan dalam konteks akademik atau filsafat, dimana segala sesuatu harus digali dari akarnya untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki. Aktifitas berfikir dalam rumus filsafat justru harus radikal, bukan dangkal.

 

Berpikir radikal dalam tinjauan filsafat justru memiliki aksilogi positif. Sebab dengan berpikir radikal, seseorang dapat memahami, menganalisa dan bahkan memberikan solusi yang benar. Pemimpin negara yang berpikir radikal pun demikian, ia akan dapat memahami hakikat permasalahan yang dihadapi oleh negaranya.

 

Berpikir radikal hanya mungkin dilakukan oleh pemimpin cerdas. Pemimpin yang berpikir radikal akan mampu menganalisa secara holistik  setiap permasalahan sehingga pemecahan masalahnya pun bisa tuntas dan benar. Pemimpin radikal justru akan menjadikan negara kuat dan memiliki prinsip kokoh.  Kebalikan dari berpikir radikal adalah pemimpin yang plin plan, tidak punya prinsip dan tidak punya landasan dalam berpikir.

 

Dari akar kata dan makna radikal di atas, maka kata radikalis bisa bermakna kata sifat bisa juga bermakna subyek. Radikalis bisa bermakna bersifat mendasar, bisa juga orang yang memiliki pemikiran yang dalam dan mengakar. Pemikiran mendalam dan mengakar tentang segala realitas untuk mendapatkan kebenaran dalam filsafat dilakukan oleh seorang filosof. Filosof dengan demikian adalah seorang radikalis.

 

Seorang pemikir, penulis, kritikus, politisi, ilmuwan dan pendakwah haruslah seorang radikalis, bahkan otomatis sebagai radikalis. Sebab jika tak radikalis, tak mungkin bisa melakukan proses analisa permasalahan dengan metode dan pisau analisa yang tajam. Pemikir yang tidak radikalis bukanlah seorang pemikir. Jika tidak radikalis, bukan pemikiran namanya.

 

Sementara kata Radikalisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda. Radikalisme memiliki arti dalam kelas nomina atau kata benda sehingga radikalisme dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan.

 

Ada tiga arti kata radikalisme sebagai nomina dalam KBBI. Pertama, paham atau aliran yang radikal dalam politik. Kedua, paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Ketiga, sikap ekstrem dalam aliran politik.

 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata radikalisme adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik. Arti lainnya dari radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.

 

Jika melihat makna radikalisme diatas, maka politik dengan ideologi komunisme dan kapitalisme layak mendapatkan sematan kata radikalisme ini. Kedua ideologi politik itu melakukan perubahan dengan cara imperialisme dan kekerasan. Pada masa lalu, bahkan di negeri ini pernah diwarnai oleh politik komunisme yang kejam tak beradab dan tak berperikemanusiaan. Kata radikalisme dengan makna diatas tidak layak disematkan kepada Islam.

 

Namanya Joseph Vissarionovich Jugashvili Stalin dari Rusia. Figur misterius dan atheis, bekas agen rahasia Tsar. Dari seorang ayah yang pemabok dan sering memukulinya. Terinspirasi oleh karya-karya revolusioner sosialis marxis. Baginya agama adalah sebuah penipuan. Baginya Tuhan itu tidak ada. Saat istrinya mati, ia bergumam, “Inilah akhir dari rasa kehangatan saya kepada seluruh manusia”. Jadilah dia manusia dingin, sarkartis, penuh curiga, dendam dan kejam. ‘Stalin bukan manusia yang baik’, kata Herbert Morrison, Pemimpin Partai Buruh Inggris.

 

Prinsip kapitalisme adalah liberalisme sumber daya alam dengan jalan imperialisme. Seluruh sumber daya alam boleh diprivatisasi oleh para kapitalis hingga menyebabkan kemiskinan rakyat kecil karena mengabaikan pemerataan, namun lebih mengedepankan pertumbuhan semu. Adapun prinsip komunisme adalah pemerataan dengan cara otoriterisme, semua sumber daya alam dikuasai oleh negara yang diwakili oleh seorang diktator. Dalam alam komunisme, rakyat juga dibuat sengsara dan penuh tekanan.

 

Berbeda dengan Islam yang melakukan perubahan dengan dakwah dan pendidikan, sebab Islam adalah agama yang menyebarkan rahmat bagi alam semesta. Hal ini sejalan dengan hadits Rasulullah : 'Aisyah istri Nabi Muhammad SAW menyampaikan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, "Hai 'Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha Lembut. Dia mencintai sikap lemah lembut. Allah akan memberikan pada sikap lemah lembut sesuatu yang tidak Dia berikan pada sikap yang keras, dan juga akan memberikan apa-apa yang tidak diberikan pada sikap lainnya." (HR Muslim).

 

Islam melakukan berbagai perubahan dan perbaikan masyarakat hingga tegak peradaban mulia berabad-abad adalah dengan gerakan dakwah, bukan radikalisme. Beberapa ayat dakwah : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran [3]: 104).

 

Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah) (Q.S. Luqman [31]: 17).  Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah (Q.S. Ali Imran [3]: 110).

 

Serulah manusia kepada jalam Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik, sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (Q.S. An-Nahl [16]: 125).

 

Terakhir, jika mengacu kepada narasi diatas, maka radikalisasi adalah sebuah proses agar orang berpikir radikal. Hal ini tentu saja secara filosofis bagus, sebab radikalisasi adalah usaha agar orang berpikir secara mendalam dan mengakar. Seorang dosen salah satu tugasnya adalah melakukan radikalisasi kepada mahasiswa dalam arti mahasiswa harus diajarkan untuk mampu berpikir yang mendalam, mengakar, kritis, kreatif dan holistik.

 

Namun sayangnya, secara politik, oleh ideologi barat, istilah-istilah ini justru disalah artikan menjadi semacam tuduhan kepada Islam dan kaum muslimin. Ada semacam politisasi makna atas istilah radikal, radikalis dan radikalisme ini. Istilah yang sejatinya tidak berhubungan sama sekali dengan Islam justru kini disematkan kepada Islam adan kaum muslimin. Inilah kejahatan intelektual yang dilakukan oleh Barat dan jongos-jongosnya.

 

Maka, dalam perspektif politik, istilah radikalisasi dimaknai oleh mereka sebagai usaha atau proses seorang muslim berpikir radikal yang artinya kritis dan anti peradaban Barat. Sementara muslim yang membebek peradaban Barat disebut sebagai moderat dan dijadikan sebagai teman dan agennya. Radikalisasi bisa juga dimaknai secara politik sebagai upaya Barat untuk menjadikan Islam dan ajarannya serta kegiatan keagamaan sebagai tindakan radikal yang harus diwaspadai, dimusuhi bahkan dibabat habis.

 

Hal ini terutama ketika umat Islam sudah sadar politik dan melakukan perlawanan pemikiran atas imperialisme Barat atas dunia Islam. Sayangnya banyak umat Islam yang justru terjebak kepada sihir barat ini, sehingga mereka menjadi jongos barat dan memusuhi agamanya sendiri. Logikanya, jika barat sekuler berpolitik, mengapa umat Islam tidak boleh berpolitik. Jika kapitalisme berekonomi, mengapa Islam tidak boleh berekonomi juga. Inilah yang namanya hegemoni politik yang jarang disadari oleh umat Islam. 

 

Maka benarlah apa yang dikatakan oleh para periset dari National Consortium for the Study of Terrorism and Responses to Terrorism (START) justru mengungkap bahwa umat Islam telah menjadi korban sebenarnya dari aksi terorisme di seluruh dunia.

 

Sejalan dengan hasil riset di atas, John Pilger menuturkan bahwa tidak ada perang terhadap terorisme, namun yang ada hanyalah alasan yang dibuat-buat. “Korban terbesar terorisme adalah umat Islam. Hakikatnya tak ada perang terhadap terorisme, yang ada adalah perang menggunakan alasan terorisme,” katanya lansir Galamedia dari situs John Pilger pada 2 April 2021.

 

 

John Pilger sendiri merupakan seorang jurnalis investigative Australia dan produser film dokumenter pemenang penghargaan BAFTA. Pada 1967 dan 1978, dirinya memenangkan Jurnalis of the Year Award di Inggris terhadap karya film dokumenternya.

 

Maka jangan heran jika radikalisasi ini kini marak dimana-mana dengan bentuk berbagai tuduhan kepada Islam dan umat Islam sebagai radikal, teroris, fundamental, intoleran, dan seabrek tuduhan buruk lainnya. Inilah praktak radikalisasi sebagai bagian dari ghozwul fikr. Bahkan seringkali kitab Al Qur’an dijadikan sebagai barang bukti tindak terorisme.

 

Betapa kejam dan biadabnya barat memusuhi Islam dan ajarannya. Lebih kejam dan jahat lagi adalah muslim yang menjadi jongos dan antek barat dalam memusuh Islam hanya karena diberikan seonggok nasi basi. Entah apa yang akan disampaikan dihadapan Allah kelak di akhirat oleh seorang muslim yang membenci agamanya sendiri dan berkomplot dengan musuh-musuh Allah karena iming-iming dunia.

Dr. Ahmad Sastra Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

(AhmadSastra,KotaHujan,05/12/22 : 21.46 WIB)

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Kamis, 22 September 2022

Pilih Dituding Radikal atau Jadi Murtad?

Tinta Media - Viral beredar kriteria penceramah Radikal versi Nurwahid salah satu direktur BNPT. Jika ini benar maka kriteria ini sangat rusak dan merusak. Paling tidak di kriteria poin dua. 

Bahwa yang Radikal itu adalah:

Adapun lima ciri dari penceramah radikal yang diuraikan Ahmad Nurwakhid antara lain:

1. Mengajarkan ajaran yang anti Pancasila dan pro ideologi khilafah transnasional.

2. Mengajarkan paham takfiri yang mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama.

3. Menanamkan sikap anti pemimpin atau pemerintah yang sah dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, ujaran kebencian dan sebaran hoaks.

4. Memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman.

5. Memiliki pandangan anti budaya atau anti kearifan lokal keagamaan.

[BNPT Ungkap 5 Ciri Penceramah Radikal, Salah Satunya Sering Menanamkan Sikap Membenci Pemerintah] http://share.babe.news/al/RkbQeMyfTR

Coba kita cermati poin dua. Berarti kita tidak boleh menganggap bahwa yang diluar Islam itu kafir. Padahal jelas menurut ajaran aqidah Islam bahwa yang tidak beragama Islam adalah kafir.

Kalau kepada sesama muslim memang tidak boleh sama sekali mengkafirkan betapapun perbedaan mazhabnya selama masih dalam koridor perbedaan yang diijinkan oleh Islam.

Salah satu aqidah Islam adalah mengkafirkan orang kafir dan menyebut mereka dengan “kafir”, sebagaimana Allah Ta’ala menyebut mereka langsung dalam Al-Qur'an,

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

Sesungguhnya TELAH KAFIRLAH orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam”, padahal Al Masih berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah, Rabbku dan juga Rabbmu”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. (QS. Al-Maaidah: 72)

Salah satu aqidah kita adalah apabila tidak mengkafirkan orang kafir, maka ini adalah bentuk kekufuran. Sebagaimana salah satu pembatal keIslaman, yaitu

الثالث : من لم يكفر المشركين أو شك في كفرهم أو صحح مذهبهم : كفَرَ إجْماعاً

“Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang musyrik atau ragu-ragu bahwa mereka kafir atau membenarkan mazhab (ajaran) mereka maka ini adalah kekufuran secara ijma’.” [Nawaqidul Islam poin ke-3]

Salah satu dalil yang paling nyata dan hampir mayoritas muslim tahu adalah surat Al-Kafirun, sangat jelas mereka yanh tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dipanggil dengan sebutan “kafir”

Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا  عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6

Katakanlah, “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Dan kalian bukan penyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak pernah men]adi penyembah apa yang kalian sembah, dan kalian tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untuk kalianlah agama kalian, dan untukkulah agamaku.” [QS. Al-Kafirun: 1-6]

Allah Ta’ala juga berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ أُولَٰئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang KAFIR yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al Bayyinah: 6)

Adapun beralasan dengan “intoleransi”, maka ini alasan yang dibuat-buat saja. Agama Islam adalah agama yang indah, toleransi dan memerintahkan berlaku adil kepada orang kafir sekalipun.

Allah Ta’ala berfirman,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tiada melarang kamu untuk BERBUAT BAIK dan berlaku ADIL terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al-Mumtahah: 8)

Jadi kepada setiap muslim apapun mazhabnya kita harus lapang dada tidak boleh saling menyesatkan atau mengkafirkan. Apalagi hanya soal perbedaan cabang cabang fikih. Kita wajib menjaga ukhuwah sesama muslim apapun perbedaannya selama masih dalam batasan ikhtilaf. 

Namun kepada orang selain Islam memang mereka itu kafir. Itu kata Allah dan Rasul Nya. Namun sebutan mereka sebagai kafir bukan berarti kita berbuat kekerasan dan kezholiman kepada mereka. Selama mereka berbuat baik kepada kita maka kita juga berbuat baik kepada mereka. Apalagi misalnya kita bertetangga maka ada hak hak tetangga. Misalnya tentang memberi makanan maka yang paling berhak adalah tetangga yang paling dekat pintunya dengan pintu rumah kita meskipun dia orang kafir. Wallaahu a'lam.[]

Ustaz Abu Zaid
Tabayyun Center 


Sabtu, 25 Juni 2022

𝐈𝐍𝐈𝐋𝐀𝐇 𝐌𝐀𝐊𝐍𝐀 𝐒𝐄𝐒𝐔𝐍𝐆𝐆𝐔𝐇𝐍𝐘𝐀 𝐃𝐀𝐑𝐈 𝐑𝐀𝐃𝐈𝐊𝐀𝐋 𝐃𝐀𝐍 𝐌𝐎𝐃𝐄𝐑𝐀𝐓


Tinta Media - Kafir penjajah itu radikal (memegang teguh sampai ke akarnya) terhadap akidah sekuler (memisahkan kehidupan ruang publik/bernegara dari agama). Sedangkan Islam mewajibkan menegakkan khilafah (sistem pemerintahan yang menerapkan syariat Islam secara kaffah) dan jihad (berperang melawan kafir penjajah). 

Oleh karena itu kafir penjajah meracuni umat Islam dengan ide kufur moderat/moderasi agama (jalan tengah/mengaku Islam tetapi menuruti maunya kafir penjajah) dan membangga-banggakannya seolah sebagai kebaikan. 

Dalam waktu bersamaan, kafir penjajah mencap umat Islam yang berpegang teguh pada akidah dan syariat Islam sebagai radikal (tentu saja karena memegang teguh Islam sampai ke akarnya) dan menghinadinakan dengan berbagai fitnah buruk.  

Untuk apa mereka melakukan itu? Tujuannya hanya satu, agar kaum Muslim tak memegang teguh akidah dan syariat Islam sehingga dengan mudah kafir penjajah merampok SDA dan memperbudak SDM negeri-negeri Islam. Sialnya, para penguasa negeri Islam malah bangga jadi antek penyebar ide kufur jebakan kafir penjajah tersebut.

Itulah makna sesungguhnya di balik kata radikal dan moderat, tak ada hubungannya sama sekali dengan toleransi. Istilah toleransi hanyalah kedok untuk menutupi kebusukan ide kufur moderat/moderasi. 

Lagian, kaum Muslim yang taat syariat Islam paham betul apa itu toleransi (tidak memaksa orang kafir masuk Islam, tidak mengganggu orang kafir beribadah, hidup bertetangga dengan baik dengan orang kafir) tak perlu lagi diajari oleh kafir penjajah dan anteknya yang kerap kali mempersekusi dan mengkriminalisasi Islam dan pengembannya.[] 


Depok, 20 Safar 1443 H | 27 September 2021 M


Joko Prasetyo
Jurnalis

Sabtu, 07 Mei 2022

Menjadi Profesor Radikal Itu Berat, Biarkan Saya Saja Prof. BSP


Tinta Media  - Menyandang jabatan akademik profesor atau guru besar itu tidak ringan bebannya. Berat pertanggungjawabannya secara akademik keilmuwan. Mengutip Pasal 49 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, berikut adalah sejumlah kewajiban dan wewenang dari seorang guru besar atau profesor:

(1) Profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi yang mempunyai kewenangan membimbing calon doktor;

(2) Profesor memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat;

(3) Profesor yang memiliki karya ilmiah atau karya monumental lainnya yang sangat istimewa dalam bidangnya dan mendapat pengakuan internasional dapat diangkat menjadi profesor paripurna.

Sekali lagi, menjadi Profesor itu berat, soalnya bukan sekedar memiliki tanggungjawab intelektual melainkan juga tanggungjawab moral. Bisa saja, profesor mengeluarkan teori "ndakik ndakik", tetapi mahasiswa akan melihat itu hanyalah 'Nato' (No Action Talk Only) saat melihat Professor tak sejalan antara perkataan dan perilakunya.

Menjadi profesor apalagi profesor radikal, itu jauh lebih sulit lagi. Nalar kebenaran harus tunduk pada logika ilmu, bukan logika kekuasaan. Saat terjadi benturan antara ilmu dan kekuasaan, profesor radikal harus memilih setia pada ilmu dan membersamainya dengan segala konsekuensinya, bukan mengabdi dan mengemis pada kekuasaan.
Akibatnya, kadangkala, bukan hanya dialienasi oleh kekuasaan bahkan rekan sejawat pendidik pun ikut menjauhi dirinya karena takut distigma dan terpapar radikal. Bukan karena tak percaya pada nalar ilmu, tapi karena takut pada persekusi kekuasaan yang bisa setiap saat merampasnya capaian yang dirintis dengan ilmu selama puluhan tahun.

Menjadi Profesor radikal ini ibarat Guru yang memiliki kewajiban "digugu lan ditiru". Bukan "wagu tur saru". Tetap menjaga dedikasi, berani membela kebenaran dan keadilan meskipun berisiko untuk dikriminalisasikan dan dipersekusi jabatannya.

Coba, nalar ilmu mana yang bisa dibenarkan, seorang profesor pengajar Pancasila plus Filsafat Pancasila hingga nyaris seperempat abad, dipersekusi jabatannya karena tuduhan anti Pancasila. Naif bukan? Tapi itulah resiko menjadi Profesor radikal, harus siap kehilangan jabatan demi kesetiaan pada visi meruhanikan ilmu. Menjadi garda kebenaran dan keadilan, walau harus terkoyak dan kehilangan jabatan. Kalau hanya bermodal Rasisme, Islamphobia dan Xenophobia, malah mendapatkan jabatan, itu sih gampang sekali. Tidak perlu menjadi profesor, "Dilan" saja sanggup untuk melakoni semua itu.

Open Mind itu terbuka pada semua, bukan hanya kepada budaya dan tradisi Barat, melainkan juga pada budaya dan tradisi intelektual agama Islam, agamanya sendiri. Ajaran Islam, telah terpatri menjadi kebiasaan yang bersumber dari dialektika intelektual dari sejumlah dalil, hingga mampu meng-istimbath hukum sebagai dasar pijakan amal.

Janganlah terlalu membanggakan Barat, tapi tidak bangga pada budaya dan tradisi intelektual agamanya sendiri. Islam memiliki tradisi intelektual yang kokoh, dalam meng-istimbath dalil-dalil syar'i hingga sampai pada kesimpulan wajibnya menutup aurat bagi setiap muslimah, apapun statusnya, baik menjadi mahasiswi maupun bukan.

"Sing salah bakal seleh", itu adalah peribahasa yang dapat diterapkan bagi setiap diri yang mampu menginsyafi kesalahan. Bukan berapologi atau mengidentifikasi diri menjadi korban kejahatan, itu tidak layak, Tuan dan Puan.

Apalagi, standar Profesor itu lebih ketat. Tak ada yang menuntut seorang Profesor lebih dari yang lain, tetapi keinsyafan dirilah yang wajib menjadikan 'wibawa gelar' menjadi bintang pemandu (leitztern) dalam setiap langkah dan tutur. Mulutmu harimaumu, adalah gambaran betapa pentingnya menjaga lisan dan betapa dahsyatnya bencana akibat kesalahan lisan.

Oleh: Prof. Pierre Suteki
Pakar Hukum Masyarakat 

Selasa, 22 Maret 2022

LIMA CIRI PEJABAT RADIKAL

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1WkkRtdJjjczq6KN5fb8RUe6RnzC2cMGM

Tinta Media - Kalau BNPT membikin 5 (lima) kriteria penceramah radikal, ada baiknya kita juga sampaikan yang radikal itu bukan penceramah. Penceramah mau ngomong apa saja, tidak pernah merugikan negara, tidak pernah membebani rakyat.

Yang radikal itu pejabat, karena ulah radikal pejabat itu merugikan negara dan membebani rakyat. Dampak destruktif pejabat radikal itu menyengsengengrayakan seluruh rakyat (meminjam istilah yang dipopulerkan oleh Prof Mahfud MD).

Lantas, apa saja ciri-ciri pejabat radikal ? Setidaknya, agar seimbang, paling tidak ada 5 (lima) ciri pejabat radikal, yaitu :

*Pertama,* suka bohong, ingkar dan khianat. Pejabat yang memiliki sifat ini sangat berbahaya bagi rakyat. Sikap radikalnya, dapat membahayakan rakyat.

Misalnya, pejabat radikal itu yang menjanjikan mobil SMK di pesan 6000 unit, ada duit 11.000 T dikantongnya, tidak akan import padahal seluruh kebutuhan rakyat nyaris import, tidak mau copras capres tapi faktanya nyapres, dan mungkin selanjutnya tidak mau tiga periode padahal ngarep.com.

*Kedua,* pejabat yang gemar melakukan korupsi politik dengan modus membuat kebijakan yang seolah-olah untuk rakyat, namun sebenarnya hanya melayani kepentingan oligarki. Uang negara dikuras untuk membiayai proyek yang merupakan proyek terima kasih kepada oligarki.

Misalnya, maksa bikin bandara Kertajati, di Subang, Jawa Barat, tapi akhirnya cuma jadi bengkel. Uang negara dihambur-hamburkan untuk proyek yang tidak lagi memberikan manfaat sesuai dengan peruntukannya.

Bikin kereta cepat Jakarta Bandung, biaya US$ 6 miliar membengkak menjadi US$ 8 miliar. Bukannya proyek dihentikan karena dikorupsi, malah bikin Perpres baru, diberikan fasilitas dana talangan dari APBN melakukan PMN.

Kebijakan radikal seperti ini, selain merugikan keuangan negara, jelas sangat menyengsengrayakan rakyat. Pada akhirnya, rakyat yang disuruh tombok lewat pajak yang dipungut negara.

*Ketiga,* pejabat yang memfasilitasi keluarganya untuk KKN. Awalnya diberikan akses ke kekuasaan, anak dan mantu jadi pejabat.

Setelah itu, dilindungi kasusnya, sehingga laporan KKN tidak jalan. Radikal sekali dan sangat sangat menyengsengrayakan.

*Keempat,* pejabat yang suka ngutang dan jual aset. Kemana-mana sombongnya bikin proyek mercusuar, proyek ini dan itu. Ternyata, biayanya bukan dari hasil kerja, tapi dari hasil ngutang.

Sebagian lagi, dari jual aset negara. Dari jalan yang publik domain, dijual jual kepada swasta, sampai sejumlah proyek infrastruktur yang agunannya adalah proyek atau aset negara lainnya.

*Kelima,* pejabat yang sudah gagal tapi minta tunda pemilu dan tiga periode. Rakyat yang sudah muak lihat wajahnya, pejabat radikal ini masih ingin terus tampil di TV.

Pejabat radikal seperti ini, rawan merusak TV dengan memukulnya dengan benda keras. Sebab, rakyat yang jengkel melihat mukanya, bisa ngamuk dan melampiaskan kejengkelan dengan merusak TV.

Sebenarnya, masih banyak ciri pejabat radikal lainnya. Tapi karena ingin bersikap adil, meskipun sangat jengkel kepada pejabat radikal ini, cukuplah lima ciri-ciri sebagaimana BNPT juga ungkap lima ciri-ciri penceramah radikal. [].


Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik 

Senin, 21 Maret 2022

Ahmad Sastra: Ilmu Harus Bersifat Radikal

https://drive.google.com/uc?export=view&id=14boQ0WmbhyRmRjIimPUU6TSxH0EtloeS

Tinta Media - Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra, M.M menuturkan, ilmu itu harus bersifat radikal, jika tidak, akan menjadi lemah dan hanya sekedar informasi.

"Ilmu itu harus bersifat radikal, kalau tidak maka ilmu itu menjadi lemah, bisa jadi bersifat persepsi, atau bersifat informasi dan mungkin bisa jadi hoax," tuturnya dalam acara FGD#29 Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa: Radikalisme dan Terorisme dalam Kontruksi Kebijakan dan Kajian Sabtu (19/03/2022) di kanal YouTube Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa.

Ia mengatakan, dari sudut pandang filsafat, ilmu itu sendiri bersifat radikal, “Bahwa kita mengkaji ilmu itu memang harus bersifat radikal. Dalam artian tersusun dari akarnya apa? Rantingnya apa? Dan daunnya apa? Jadi suatu ilmu itu harus mengakar,” ujarnya.

Menurutnya, ilmu-ilmu itu bisa dibedakan yang berkaitan dengan alam semesta, manusia dan kehidupan. Karena itu dari konteks ini maka istilah radikalisme itu baik, positif kalau dalam ilmu. Dari aspek filsafat dapat dilihat dari beberapa sisi.

Pertama, dari sisi Otologis. “Bahwa bicara tentang objek apa yang ditelaah oleh ilmu, bagaimana wujud objek hakiki dari ilmu tersebut. Maka kita bisa melihat secara etimologis radikal itu artinya netral, karena digali dari sisi bahasa dan secara etimologis radikal itu mengacu kepada akar, mengakar dan hal-hal yang sifatnya mengakar berarti radikal," bebernya.

"Jika secara terminologi, radikalisme itu berkaitan dengan upaya mencapai tujuan politik dengan cara kekerasan," imbuhnya.

Kedua, dari sisi epistemologi. "Kata radikalisme kalau dalam timbangan epistemologi itu cara mendapatkan pengetahuan, bagaimana proses munculnya pengetahuan yang berupa ilmu, bagaimana prosedurnya. Kalau didalam Islam sumber ilmu itu dari wahyu dan akal, kalau di Barat itu sumbernya filsafat. Karena filsafat sumber kebenaran itu dari akal saja," jelasnya.

Ia mengutip pendapat dari Profesor Syarif Basuni bahwa justru sulit membuat suatu pengertian yang identik dan dapat diterima secara Universal. "Sulit melakukan atas pengawasan terorisme, oleh karena itu menurut Profesor Bryan Jenkins, terorisme itu merupakan pandangan yang objektif dalam konteks akademik dalam istilah terorisme belum ditemukan titik persamaan definisi hingga sekarang. Jadi di dalam konteks akademik istilah ini sebenarnya masih the bed table," jelasnya.

Ketiga, dari sisi Metodologi. "Filsafat itu sendiri juga bagian dari metodologi berpikir, observasi, analisa, sintesis, pengalaman dan sebagainya. Kemudian filsafat itu metode berpikir tentang pembentukan, penilaian, pembahasan juga berkaitan dengan sistem pemikiran dengan pendekatan ilmiah, maka kita lihat misalnya Studi Islam yang dikaji di barat," terangnya.

"Jadi, kalau dilihat dari sisi etimologis maka radikalisme dan terorisme berasal dari epistemologi barat, ini penting sekali dilihat dari awal karena di kemudian hari dikaitkan dengan agama, itu problem atau masalahnya," ungkapnya.

Keempat, dari sisi Aksiologi. "Hubungan dengan nilai, manfaat, orientasi dan motif maka perkembangannya sampai hari ini maka kita perhatikan dengan baik maka radikalisme dan terorisme lebih mengarah kepada motif politik bukan motif akademik lagi," pungkasnya. [] Emalia
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab