Tinta Media: RUU
Tampilkan postingan dengan label RUU. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label RUU. Tampilkan semua postingan

Senin, 05 Juni 2023

RUU KESEHATAN DAN ANCAMAN LIBERALISASI KESEHATAN

Tinta Media - Beberapa pekan lalu, LBH Pelita Umat menggelar Islamic Lawyers Forum (ILF) dibeberapa daerah dengan mengangkat tajuk "RUU Kesehatan; Ancaman atau Perubahan".

Dalam acara ILF, LBH Pelita Umat menyampaikan agar mewaspadai liberalisasi sektor jasa diantaranya kesehatan merupakan implikasi dari Pemerintah yang menyepakati General Agreement on Trade in Services (GATS) merupakan perjanjian perdagangan multilateral di bidang jasa. Salah satu perjanjian di bawah WTO yang mengatur perjanjian umum untuk semua sektor jasa, tujuan yaitu untuk memperdalam dan memperluas tingkat liberalisasi sektor jasa di negara-negara anggota.

WTO mengklasifikasi perdagangan dunia menjadi dua kategori, yaitu General Agreement on Tarif and Trade (GATT) dan General Agreement on Trade in Services (GATS). GATS mengatur segala jenis transaksi perdagangan jasa, dimana sektor kesehatan turut serta menjadi objek yang diperjualbelikan dalam perdagangan dunia.

Di dalam GATS terdapat beberapa ketentuan yaitu:

1). kehadiran komersial, ketika suatu perusahaan pemasok jasa dari negara lain beroperasi di Indonesia. Ketentuan ini membuka peluang kepada swasta dalam negeri dan luar negeri untuk memungkinkan membuka usaha jasa kesehatan.

2) pergerakan manusia (movement of natural person), ketika tenaga kerja berpindah kenegara lain. Misalnya pekerja asing yang bekerja secara independen sebagai penyedia jasa di Indonesia. Dalam arti memungkinkan tenaga kesehatan asing dapat bekerja di Indonesia.

Liberalisasi kesehatan menjadikan pelayanan kesehatan bergeser menjadi komoditas dan jasa komersial. Sektor kesehatan menjadi bagian penting dalam perdagangan bebas karena merupakan sektor yang sangat strategis dan menyangkut hajat hidup banyak manusia. Invasi ekonomi dalam sistem pelayanan kesehatan membuat rakyat tidak bisa memperoleh akses terhadap pelayanan kesehatan secara baik dan merata.

Liberalisasi kesehatan berupaya menjauhkan peran negara dalam urusan pelayanan kesehatan dan cenderung menyerahkan pada mekanisme pasar. Padahal, kewajiban negara adalah menjamin kesehatan bagi setiap warga negara, seperti yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 28 H ayat 1, UUD 1945 pasal 34 ayat 3, UU No. 26 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Sedangkan BPJS tidak murni tanggung jawab negara karena masyarakat turut serta menanggung biaya kesehatan dengan cara iuran, masyarakat saling bahu-membahu atau gotong royong dengan mengumpulkan iuran bulanan.

Demikian.

IG @chandrapurnairawan

Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.
Ketua LBH Pelita Umat dan Mahasiswa Doktoral

Kamis, 22 Desember 2022

ABI: RUU PPRT Tidak Menjamin Adanya Perlindungan

Tinta Media - Terkait dengan percepatan pengesahan Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), Sekjen Aliansi Buruh Indonesia (ABI) Imam Ghozali menilai, RUU tersebut tidak menjamin adanya perlindungan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT). 

“Rancangan Undang-undang itu jelas tidak menjamin adanya perlindungan,” tutur Imam dalam acara Kabar Petang : Cegah ‘Perbudakan’ PRT! Rabu, (21/12/2022) di kanal YouTube Khilafah News.

Imam menjelaskan, meskipun nantinya RUU PPRT tersebut menjadi Undang-undang, tapi permasalahan PRT tidak semata-mata karena adanya penganiayaan dan kedzaliman.

Menurutnya, permasalahan muncul karena adanya faktor ekonomi. Maksudnya, adanya profesi PRT adalah karena ada dorongan ekonomi. 

“Mereka ingin kesejahteraannya meningkat atau yang tadinya pra sejahtera ingin menjadi sekedar sejahtera saja. Sehingga mendorong mereka untuk bekerja,” ungkapnya. 

Berprofesi sebagai PRT, menurut Imam, PRT juga tahu konsekuensinya. Ketika menjadi PRT, job desk-nya memang cuma mengikuti instruksi dari majikan. Akan tetapi, realitanya banyak pekerjaan yang harus dilakukan dan bisa menimbulkan banyak masalah. Belum lagi hidup bersama majikan dan jauh dari rumah, resiko dan bahaya tidak ada yang menjamin perlindugan. 

“Tapi, mereka terpaksa melakukan itu karena dorongan ekonomi. Jadi, kalau ingin menjamin tidak adanya kedzaliman kepada PRT, ya selesaikan faktor ekonomi,” tegas Imam 

Tak Cukup UU PPRT

Sementara itu, menurut Imam, untuk menyelesaikan masalah ekonomi tidak cukup hanya dengan UU PPRT. Akan tetapi, bagaimana sistem ekonomi ini dikelola dengan baik hingga semua warga negara bisa sejahtera. “Kalau sejahtera, mungkin pembantu rumah tangga tidak terlalu banyak dibutuhkan,” tambahnya.
 
Imam mencontohkan kehidupan di negara-negara maju, termasuk Qatar. Di negara-negara yang maju dan sejahtera, banyak fungsi-fungsi PRT digantikan oleh teknologi dan robot. “Inilah yang tidak disadari oleh penguasa di negeri ini. Bagaimana mereka seharusnya melindungi tidak hanya dari sisi undang-undang atau hukum saja tapi juga dari sisi ekonomi,” tegas Imam.

Pemerintah saat ini, menurut Imam, kurang memperhatikan pembangunan sumber daya manusia. Akhirnya, pendidikan dan skill PRT rendah karena tidak mendapat kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. 

“Karena faktor orientasi terhadap pembangungan sumber daya manusia ini relatif rendah. Yang dipikir cuma proyek-proyek, bangun-bangun infrastruktur,” ungkapnya. 

Solusi Tuntas

Untuk mendapatkan solusi yang tuntas, menurut Imam, perlu dicari penyebab utama atau akar permasalahannya. Menurutnya, akar permasalahan dari penganiayaan dan eksploitasi terhadap PRT bukan sekedar dari sisi individu. “Kita lihat terkait eksploitasi terhadap PRT, karena kita berada di negeri kapitalis,” kata Imam.
 
Ketika Islam ribuan tahun lalu muncul di dunia Arab, di masyarakat saat itu juga ada budak. Islam pun mengakui adanya perbudakan. Akan tetapi, menurut Imam, budak dalam sistem Islam dengan sistem kapitalis jauh berbeda.

“Nasib budak-budak di dalam sistem Islam, sangat berbeda jauh dengan budak-budak di era kapitalis, di mana eksploitasi perempuan ditingkatkan sementara moralitas rendah sekali,” bebernya.

Jadi, menurut Imam, jika pemerintah menyelesaikan masalah PRT dengan sistem kapitalis, maka tidak akan tuntas. Kapitalis sendiri menyelesaikan masalah berdasarkan akal semata. Menurutnya, masalah manusia hanya bisa diselesaikan secara tuntas oleh pembuat manusia yaitu Allah Swt.
 
“Maka, saya tawarkan kepada para pemimpin, jangan mencari alternatif yang tidak jelas. Mari mencari alternatif baru. Atau alternatif lama tapi sekarang tidak dipakai lagi. Apa itu? Yakni alternatif Islam. Alternatif yang dulu pernah dipakai dan berhasil, tapi sekarang ditinggalkan,” pungkas Imam.[] Ikhty

Sabtu, 01 Oktober 2022

RUU Sisdiknas, Menghapus Kesejahteraan bagi Guru?

Tinta Media - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), tengah menyusun Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). RUU ini akan menggabungkan tiga UU sekaligus, yakni UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, serta UU Perguruan Tinggi. Nadiem Makarim menjelaskan agar sertifikasi tidak menjadi syarat guru mendapatkan kesejahteraan, sebagaimana yang diakomodasi di RUU Sisdiknas, padahal sertifikasi adalah bukti bahwa seseorang memiliki kelayakan, sebagaimana sertifikasi profesi yang lain. 

Nadiem menjelaskan, bahwa saat ini hanya guru dengan sertifikasi saja yang mendapatkan tunjangan profesi. Hal inilah yang diperbaiki lewat RUU Sisdiknas.
Padahal menurutnya, setiap guru bisa mendapatkan tunjangan tanpa memiliki sertifikasi Pendidikan Profesi Guru (PPG). 

Tunjangan guru dapat mengacu pada UU ASN, UU Ketenagakerjaan, hingga alokasi dana BOS dan bantuan dari yayasan. Hal ini dituangkan dalam RUU Sisdiknas, yang menjadi pasal kontroversial, yaitu Pasal 105 huruf a hingga huruf h yang memuat hak guru atau pendidik. 

Dalam pasal ini, tidak satu pun ditemukan klausul hak guru mendapatkan tunjangan profesi guru (TPG). Pasal ini hanya memuat klausul hak penghasilan/pengupahan, jaminan sosial dan penghargaan yang disesuaikan dengan prestasi kerja. Perhimpunan Pendidik Guru (P2G) menyatakan bahwa hal ini merupakan mimpi buruk bagi para guru.

Draf Omnibus law RUU Sisdiknas tersebut dinilai tidak menjawab berbagai masalah pendidikan. Perdebatan mengenai tunjangan profesi (guru) menunjukan bahwa ada persoalan besar dalam memosisikan guru. Banyak guru yang tidak memperoleh kesejahteraan karena tidak mempunyai sertifikat, padahal mereka mendedikasikan hidupnya untuk mengajar. Ini akan sangat memengaruhi kualitas guru dalam mengajar. Belum lagi jika dilihat dari kurikulum pendidikan yang sering berganti-ganti, ketersediaan sarana dan prasarana yang kurang memadai, mahalnya biaya pendidikan. Hal-hal tersebut berpengaruh terhadap kualitas pendidikan negeri ini yang masih rendah.

Dalam masyarakat kita saat ini, posisi guru hanyalah sebagai pekerja yang dibayar, baik guru honorer maupun PNS yang bersertifikat atau tidak. Upah yang mereka terima tidak sebanding dengan jasa mereka. Ilmu yang diajarkan pun dinilai hanya sebatas nilai angka yang tertera dalam buku rapot atau ijazah. Padahal, para guru ini adalah tombak terdepan dalam memajukan pendidikan dan pembinaan generasi penerus bangsa yang berkualitas dalam membentuk akhlak dan meningkatkan intelektualitas peserta didik. 

Namun, karena standar dalam sistem kehidupan yang diterapkan saat ini, yaitu sekularisme-kapitalisme, pendidikan hanyalah berorientasi materi, yaitu hanya untuk memenuhi standar kebutuhan hidup, membentuk generasi yang berpikiran bahwa belajar adalah bekal atau alat untuk mendapatkan materi dalam kehidupan. Maka, mulianya guru dan ilmu yang diajarkan hanya sebatas itu, dan cukup diupah dengan materi yang sesuai dengan nilai ilmu yang diajarkan di setiap jenjang pendidikan.

Ketika tunjangan profesi guru akan dihilangkan, wajar jika para guru ini merasa keberatan, apalagi kondisi biaya hidup saat ini sangat mahal, sementara upah sebagai guru tidak ada peningkatan. Hal ini akan menghapus kesejahteraan para guru. 

Kondisi para guru tersebut sangatlah miris. Karena itu, kita butuh solusi tuntas, bukan solusi tambal sulam yang malah mengundang masalah baru, yaitu solusi dari sistem hidup yang sempurna dan sahih, yaitu solusi Islam. 

Islam telah menempatkan guru (pendidik) sebagai posisi yang mulia, begitu pun dengan ilmu yang diajarkannya. Apalagi jika ilmu tersebut merupakan ilmu dan tsaqofah Islam, yang terus dikembangkan untuk memajukan kehidupan masyarakat. 

Selain itu, berbagai fasilitas pendukung pendidikan dibangun untuk seluruh rakyat, sehingga dapat dinikmati tanpa beban biaya alias gratis. Namun, sarana tersebut tetap berkualitas tinggi, ditopang oleh kekuatan dan kemandirian APBN negara. Salah satunya berasal dari hasil pengelolaan kekayaan SDA.

Inilah gambaran politik pendidikan dalam Islam, yang ditopang oleh penerapan Islam kaffah, sehingga menjadikan Khilafah Islam sebagai negara maju. Salah satu indikatornya adalah kemajuan dalam pendidikan, yang mampu melahirkan generasi pengisi peradaban Islam yang tinggi dan maju. Hal tersebut karena Islam menempatkan pendidikan sebagai hal yang sangat penting dalam tegaknya pilar peradaban.

Sepanjang sejarah khilafah, para guru sebagai tenaga pengajar diposisikan sebagai pihak yang berjasa memberikan kemaslahatan bagi umat. Negara memberikan kesejahteraan dan penghargaan yang sangat besar, baik berupa upah, sarana prasarana untuk memudahkan mereka dalam mengajar, maupun hadiah. Salah satu yang sangat fenomenal terjadi di masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab yang menetapkan upah bagi setiap pengajar sebesar 15 Dinar (1 dinar=4,25 gr emas, 1 gr emas= misal Rp 500.000) yang jika dikalkulasikan setara dengan RP31.875.000/bulan. Beliau tidak memandang status guru tersebut honorer ataukah PNS, mempunyai sertifikasi atau tidak. Yang pasti, profesinya adalah guru. Hal ini sebagai bukti bahwa beliau memiliki kepedulian sangat tinggi terhadap pendidikan.

Perkembangan ilmu dan tsaqofah Islam terus mengalami kemajuan, sehingga masa kekhilafahan Islam ini telah banyak melahirkan generasi cerdas dan saleh. Selain itu, penerapan Islam juga menghadirkan peradaban yang gemilang yang dipengaruhi oleh kemajuan sains dan teknologi. Kekhilafahan Islam menjadi pusat dari segala kemajuan ilmu dan teknologi bagi dunia, dirasakan oleh seluruh umat manusia, menebarkan rahmatnya ke seluruh dunia.

Selama sistem kapitalisme demokrasi yang diterapkan, maka kaum muslimin tidak akan pernah merasakan pendidikan yang murah dan berkualitas, tidak akan ada kesejahteraan bagi para guru sebagai pengajar. Hanya Islam solusi atas problematika pendidikan yang terjadi sekarang ini, 
termasuk yang menimpa para guru.

Wallahu alam bishawab.

Oleh: Elah Hayani
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab