Tinta Media: RKUHP
Tampilkan postingan dengan label RKUHP. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label RKUHP. Tampilkan semua postingan

Selasa, 27 Desember 2022

LBH Pelita Umat: KUHP Baru Batasi Hak Kebebasan Berekspresi dan Memperoleh Informasi

Tinta Media - Berkaitan dengan putusan yang diambil atas RUU KUHP, Ketua LBH PELITA UMAT, Chandra Purna Irawan.,S.H.,M.H. menilai KUHP baru untuk membatasi hak kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi.

"KUHP baru memuat ketentuan yang dapat digunakan secara semena-mena untuk membatasi hak kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi," tuturnya kepada Tinta Media, Ahad (25/12/2022).

Pasal 188 KUHP, lanjutnya, yang mengkriminalisasi 'penyebaran dan perkembangan ideologi' atau paham yang bertentangan dengan 'Pancasila'. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam pidana penjara sampai 7 tahun. 

Menurutnya, pasal 188 tersebut bertentangan dengan doktrin sistem hukum pidana. "Pasal 188 bertentangan dengan doktrin sistem hukum pidana principle of legality yaitu Pertama, konsep lex scripta. Setiap orang hanya dapat dituntut pidana apabila tercantum/tertulis didalam undang-undang, yang mengharuskan UU dirancang secara jelas, dituliskan secara terang paham yang dimaksud dan tepat agar memungkinkan digunakan untuk mengatur perilaku setiap orang," paparnya.

Kemudian konsep lex stricta, kata Candra, untuk menentukan adanya tindak pidana tidak boleh didasarkan pada analogi/multitafsir. Sedangkan pasal 188 KUHP Baru, tidak menyebutkan secara jelas, terang dan tanpa ada keraguan (expresive verbis) paham apa yang dimaksud.  

Selanjutnya ia menyebutkan bunyi pasal pasal 188 ayat (1) KUHP baru. "Pasal 188 ayat (1) KUHP Baru, yang berbunyi : Setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun," terangnya.

Sebagai Lembaga Bantuan Hukum, yang memiliki kapasitas dalam bidang hukum, ia mengkhawatirkan sebagaimana pernah terjadi pada masa Romawi Kuno, yaitu criminal extra ordinaria.

"Saya khawatir norma '...paham lain yang bertentangan dengan Pancasila...' menjadi criminal extra ordinaria, artinya kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang, sebagaimana yang pernah terjadi pada Romawi Kuno," cecarnya.

Pasal ini sangat bermasalah, tegasnya, tidak ada penjelasan dengan apa yang dimaksud dengan 'paham yang bertentangan dengan pancasila', siapa yang berwenang menentukan suatu paham bertentangan dengan pancasila. Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi setiap orang terutama pihak oposisi pemerintah karena tidak ada penjelasan terkait 'paham yang bertentangan dengan Pancasila'. Pasal ini akan menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di era orde baru. 

Chandra juga menyampaikan bahwa pasal tersebut multitafsir dan menjadi pasal karet, yang memungkinkan penguasa untuk menjatuhkan hukuman kepada siapa saja yang berseberangan dengan kebijakan rezim atau pemerintah.

"Pasal karet berpotensi akan ditafsirkan oleh Penguasa, hal ini pernah terjadi pada zaman romawi kuno yaitu hukum memberi kebebasan luas bagi penguasa memaknai apa itu perbuatan jahat (crimina stellionatus) itu. Akibatnya, penguasa dapat menjatuhkan sanksi pidana kepada siapapun yang tidak ia sukai dengan dalih yang bersangkutan telah melakukan perbuatan jahat," jelasnya.

Para penguasa/ raja, imbuhnya, di masa itupun sangat berpeluang menggunakan kekuasaannya untuk bertindak sewenang-wenang. Oleh sebab itu, sangat diperlukan pemikiran bahwa perbuatan-perbuatan jahat yang dapat dipidana selayaknya harus sudah ter-cover dalam ketentuan perundang-undangan yang ada.

Ia juga menilai pasal ini bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28, tentang gak warga negara untuk berserikat dan berkumpul.

"Kemudian tampak ada pertentangan antara Pasal 188 KUHP Baru dengan UUD 1945 yaitu  pasal 28, yang menetapkan bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya, syarat-syarat akan diatur dalam undang-undang. Sedangkan Pasal 28E ayat (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya," jelasnya.

Terakhir, ia mengajak masyarakat untuk peduli dan mengkritisi serta menolak KUHP tersebut.

"Saya mengajak kepada seluruh masyarakat, saatnya Anda peduli dan bersuara," pungkasnya. [] Nur Salamah

Kamis, 22 Desember 2022

Larangan Seks di Luar Nikah Menuai Kontroversi

Tinta Media - Masalah RKUHP menjadi KUHP pada 6 Desember kemarin menuai banyak sorotan. Pasalnya, undang-undang baru tersebut mengandung larangan seks di luar nikah yang berujung pada ketidaknyamanan para wisatawan asing yang sering melakukan kunjungan wisata ke Indonesia.

Hal ini sejalan dengan apa yang dikabarkan dalam laman CNBC Indonesia bahwa ada beberapa media asing, seperti Hong Kong, South China Morning Post (SCMP), media Australia SBS dan juga Euronews yang mengemukakan ketidaknyamanan para turis tersebut. Tak cukup sampai di situ, ternyata hal ini juga mampu membuat negara adidaya (AS) kepanasan atas undang-undang tersebut.

Duta Besar AS Sung Kim menyatakan bahwa, mengkriminalkan keputusan pribadi individu akan membayangi matriks keputusan banyak perusahaan yang menentukan apakah akan berinvestasi di Indonesia. Mereka juga mengkhawatirkan selain adanya larangan seks di luar nikah, hukum baru ini akan melarang hidup bersama antara pasangan yang belum menikah. Itu disahkan dengan dukungan dari semua partai politik dan meskipun ada peringatan dari kelompok bisnis bahwa itu dapat menakuti turis dan merusak investasi. 

Larangan seks di luar nikah dianggap mengancam keberlangsungan pariwisata, bahkan investasi. Narasi ini jelas menunjukkan keberpihakan kepada perilaku sesat yang diharamkan agama, dan menggambarkan dengan jelas bagaimana aturan dalam sistem sekuler kapitalis ini berlaku. 

Menghalangi kepentingan pihak tertentu, utamanya dalam membentur paham yang dipegang oleh para penguasa yang mengusung kapitalis dengan gaya hidup liberalnya, tentu akan menuai banyak ketidaksenangan atas aturan tersebut. 

Namun, di sisi lain, aturan ini juga menunjukkan betapa sekulernya cara berpikir anggota dewan karena memasukkan zina dalam delik aduan dan membatasi pelapor hanya keluarga dekat. Hal ini secara tidak langsung memberi peluang bagi para pelaku zina sehingga perbuatan yang tidak dibenarkan dalam agama tersebut berubah menjadi membolehkan perzinaan, bahkan negara pun mentolerir perbuatan ini sebagai hal yang biasa, bahkan mereka memfasilitasi tempat-tempat untuk menuangkan hasrat dan juga membolehkan pola pergaulan yang tak beradab.

Inilah gambaran kehidupan sekuler yang jelas bertentangan dengan Islam. Hal ini menunjukkan bahwa kita membutuhkan institusi yang tegas dalam menerapkan aturan. Aturan tersebut bukan hanya lahir dari buah pikiran belaka, melainkan harus ada pertimbangan kuat berdasarkan hukum-hukum yang telah dijelaskan dalam Islam.

Kebutuhan umat akan tegaknya aturan Islam menunjukkan kebutuhana akan tegaknya khilafah islamiyyah, sebab sistem kekhilafan ini akan menerapkan aturan Islam secara totalitas, seperti politik, sosial, ekonomi, pergaulan, keamanan dan lain-lain. Islam juga tidak akan melakukan tindakan diskriminasi pada sebagian pihak hanya karena mereka beda agama. 

Seks di luar nikah menurut Islam merupakan tindakan amoral yang menimbulkan dosa, serta akan merusak tatanan kehidupan. Maka dari itu, khilafah akan berupaya menutup jalur masuk perbuatan ini dari arah mana pun. Khalifah juga akan memberi sanksi bagi para pelaku sesuai kadar islam.

Khilafah tidak akan memanfaatkan jalan keharaman sebagai sumber pemasukan. Selain itu, jalur pariwisata di dalam Islam bukanlah sumber utama pemasukan negara. Adapun sumber pemasukan negara khilafah adalah harta fa'i, kharaj, harta umum, dan juga sedekah. Sedangkan pariwisata digunakan sebagai sarana untuk tadabbur alam dalam meningkatkan ketakwaan kepada Allah dengan mengagungkan ciptaan-Nya yang indah.

Adapun dalam penyelesaian masalah zina, maka khilafah akan melakukan beberapa tindakan seperti, 

Pertama, memberikan pendidikan yang berbasis akidah Islam untuk mengokohkan keimanan para peserta didik dengan menguatkan keterikatan mereka pada hukum syara'. 

Kedua, khilafah akan menerapkan sistem pergaulan Islam sehingga masyarakat diimbau untuk tetap berada pada koridor syar'i, seperti mewajibkan para wanita menutup aurat secara sempurna ketika keluar rumah, melarang ikhtilat dan berkhalwat tanpa ada uzur syar'i. 

Ketiga, khilafah akan mengupayakan kesejahteraan hidup keluarga dapat terjamin, sehingga seorang ibu dapat fokus dalam menempa anak-anaknya menjadi generasi mulia. 

Keempat, khilafah akan memberlakukan sanksi tegas bagi para pelaku maksiat, seperti zina. Jika ia termasuk zina mukhsan maka hukumannya akan dirajam. Jika masuk dalan zina gairu mukhsan, maka ia akan dicambuk sebanyak 80 kali kemudian diasingkan.

Beginilah cara Islam dalam menyelesaikan masalah, sehingga tak berlarut-larut. Selain itu, sanksi yang diberlakukan  di dalamnya akan menimbulkan efek jera dan ketakutan sehingga orang lain tak akan berniat untuk melakukan hal yang sama. Ketika aturan Islam diterapkan, maka hukuman yang akan mereka rasakan cukup sampai didunia saja, karena hukuman di akhirat telah tertebus.

Wallahua'lam bissawab.

Oleh: Erna Nuri Widiastuti S.Pd.
Aktivis Dakwah

Selasa, 20 Desember 2022

TERORISME, MODERASI AGAMA DAN KONTROVERSI PENGESAHAN RKHUP

Tinta Media - Jum'at Sore lalu (9/12) antara pukul 15.45 sd 17.15 WIB, penulis berkesempatan berdiskusi memenuhi undangan Cak Slamet dari PKAD (Surabaya). Tema yang diangkat 'Bomber Bandung Bawa Berkas Protes RKUHP, Ada Apa ??!!'.

Memang agak aneh, teroris dikaitkan dengan RKUHP. Biasanya narasi soal terorisme tak pernah dikaitkan dengan produk legislasi nasional, karena memang mereka tidak punya kepentingan dengan itu.

Tapi dalam kasus bom Astana Anyar, Bandung ini, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bahkan langsung mengatakan pelaku bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar, Kota Bandung meninggalkan pesan yang memprotes RKUHP yang baru saja disahkan DPR RI. Meski dengan 'Cover' temuan ini pun masih didalami polisi. (08/12).

Sementara itu, pihak Istana melalui Deputi V Kepala Staf Kepresidenan, Jaleswari Pramodhawardhani juga langsung mengaitkan aksi protes KUHP dengan bom bunuh diri di Polsek Astanaanyar, Bandung, Jawa Barat. 

Penulis sendiri dalam diskusi Dialogika (Bogor, Sabtu, 10/12)  bersama DR Muhammad Taufik, SH MH dan Aziz Yanuar, SH MH, menegaskan bahwa dalam mengamati peristiwa terorisme ini, harus dibedakan mana fakta mana opini. Beberapa tela'ah logika kritis dibawah ini bisa menjadi rujukan, misalnya:

Pertama, adanya bom di Polsek Astana Anyar Bandung adalah fakta, sementara nomenklatur 'Bom Bunuh Diri' adalah opini. Darimana kita bisa menyimpulkan itu bom bunuh diri?

Apakah, karena pelaku sendiri, bom meledak dan  pelaku ikut menjadi korban, lalu disimpulkan itu bom bunuh diri? Bagaimana, kalau ternyata pelaku tidak mengetahui dirinya membawa bom, misalnya hanya membawa tas atas perintah seseorang, lalu ada bom yang diledakkan melalui remote control?

Kedua, adanya bom di Polsek Astana Anyar Bandung adalah fakta, bom terkait protes pengesahan RKUHP adalah opini. Sebab, darimana dapat diketahui itu motifnya memprotes RKUHP sedangkan pelakunya mati? Padahal, motif baru dapat diketahui setelah memeriksa keterangan pelaku. Beda kasusnya, kalau pelaku bisa dihidupkan kembali, lalu di BAP polisi dan ditanya motifnya.

Lagipula, aneh saja ada motor hanya dengan tempelan solasi menggantung, ada poster terkait RKUHP, lalu bom dikaitkan dengan protes terhadap RKUHP.

Siapa yang menjamin, tempelan RKUHP itu ditempel pelaku? Atau bahkan, siapa yang menjamin foto motor yang beredar adalah foto motor pelaku? Bahkan, hingga identitas yang beredar adalah identitas pelaku?

Ketiga, satu-satunya dasar kepercayaan publik bahwa bom Astana Anyar adalah bom bunuh diri dan terkait dengan protes pengesahan RKUP adalah karena pernyataan itu dikeluarkan resmi dari polisi. Namun, sekali lagi, pertanyaannya, apakah keterangan polisi dapat dipercaya?

Pada tragedi duren tiga yang lalu, publik dicekok'i informasi dari polisi telah terjadi peristiwa tembak menembak antara Bharada E dan Brigadir J dan berakhir dengan tewasnya Brigadir J. Tapi kemudian, ternyata peristiwa sesungguhnya adalah pembunuhan berencana yang didalangi oleh polisi berpangkat bintang dua, bahkan menjabat Kepala Divisi Propam Mabes Polri.

Apa jaminannya, apa yang terjadi di duren tiga tidak terjadi pada kasus bom Astanaanyar Bandung?

Kembali ke diskusi PKAD, penulis tertarik dengan pernyataan Laks. Muda Purn. Soleman B. Ponto, yang menekankan bahwa terorisme harusnya diterapkan pada perbuatan bukan pikiran. Faktanya, narasi radikalisme dalam isu terorisme telah membuat migrasi kriminalisasi pemikiran yang distempeli dengan radikal, dan dijadikan dalih memerangi terorisme.

Pak Soleman juga tak sependapat dengan ide moderasi agama. Karena ide ini seolah menuduh agama adalah biang terorisme, sehingga harus dimoderasi.

Dalam diskusi tersebut, Laks. Muda Purn. Soleman B. Ponto juga banyak mengkritik materi RKUHP yang sulit dimengeri awam. Pasal-pasalnya dibuat sangat obscuur. Beberapa topik seperti soal pasal zina, pasal penghinaan presiden, penghinaan lembaga negara (DPR, Kepolisian, MPR), pasal makar, pasal paham yang bertentangan dengan pancasila, dikritik habis oleh punawirawan Jenderal TNI AL mantan Kabais ini.

Sayangnya, Komjen Purn. Susno Duadji tidak bisa membersamai karena pas ada kegiatan lain sehingga izin kepada panitia.

Penulis sendiri juga sangat menyayangkan Polri yang terlalu gegabah mengaitkan teror bom Astananyar dengan protes RKUHP. Sebab, hal itu telah menimbulkan stigma seolah yang menolak pengesahan RKUHP adalah kelompok teroris seperti pelaku bom Astana Anyar.

Lagipula, banyak tuduhan polisi dalam isu terorisme yang tak terbukti di pengadilan. Namun, polisi tak peduli dengan dampak atas tuduhan itu.

Misalnya saja di kasus yang penulis tangani yakni Ustadz Farid Okbah, Ustadz Ahmad Zain an Najah dan Ustadz Anung Al Hamat. 

Pada saat ditangkap Densus 88, ketiga Ustadz dituduh melakukan tindakan terorisme. Bahkan, juga dituduh terlibat pendanaan terorisme, melalui modus mengumpulkan dana infak dan shodaqoh dari kotak-kotak amal. Saat itu, sejumlah kotak amal disita dan dijadikan barang bukti.

Saat persidangan, tidak ada dakwaan pendanaan terorisme. Kotak-kotak amal yang disita densus 88 tidak pernah dihadirkan dimuka persidangan. Tuntutan Jaksa juga bukan pasal melakukan tindakan teror (pasal 7 jo 15 UU Terorisme). Namun, hanya menuntut dengan pasal 13 c UU Terorisme terkait menyembunyikan informasi terorisme.

Pertanyaannya, apakah Polri setelah salah kemudian memberikan klarifikasi atas kesalahan mereka menyita kotak amal infak sedekah umat Islam yang tidak terkait terorisme? Apakah Polri meminta maaf kepada umat Islam karena penyitaan atas kotak amal, infak dan shodaqoh itu berdampak pada ketakutan umat Islam untuk beramal karena takut disalahgunakan untuk pendanaan terorisme?

Sekali lagi, kita semua harus cermat dan kritis menyikapi isu terorisme. [].


Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Ketua Umum LBH LESPASS (Lex Sharia Pakta Sunt Servanda)

https://youtu.be/1QMh2qEHIGE

Catatan Hukum Akhir Pekan, Kritik atas kengototan Pemerintah & DPR mengesahkan RKUHP



Senin, 19 Desember 2022

MMC: Pengesahan Pasal Makar RKUHP, Memperlihatkan Negara Makin Represif

Tinta Media - Pengesahan  pasal 191 RKUHP yang menyatakan bahwa makar adalah niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut, dinilai narator Muslimah Media Center (MMC) semakin Memperlihatkan bahwa negara makin represif dan gencar melakukan deradikalisasi.

“Ini memperlihatkan bahwa negara makin represif dan makin gencar melakukan deradikalisasi,” nilainya pada rubrik serba-serbi MMC: Kasus B*m Bvnvh Diri Jadi Pematik Peningkatan D3radikalisasi, Solusikah? Rabu (14/12/2022) di kanal YouTube Muslimah Media Center (MMC).

Menurutnya, negara makin taat pada komitmen global yang sejatinya merupakan bentuk serangan terhadap Islam. ”Sebagaimana kita pahami bersama perang melawan terorisme maupun radikalisme merupakan propaganda Barat untuk menyerang Islam,” imbuhnya.

Saat ini, kata narator, istilah ‘perang melawan melawan radikalisme’ banyak digunakan oleh pimpinan Amerika Serikat ketimbang perang melawan terorisme. ”Mungkin karena proyek perang melawan radikalisme itu mempunyai objek sasaran yang lebih luas,” sebutnya. 

“Istilah radikalisme oleh Barat telah dijadikan sebagai alat untuk menyerang dan menghambat kebangkitan Islam,” jelasnya lebih lanjut.

Diungkapkannya, Barat melakukan monsterisasi bahwa Islam adalah paham radikal yang membahayakan. “Monsterisasi inilah yang kemudian melahirkan islamofobia di Barat dan seluruh dunia,” ungkapnya 

“Oleh karena itu, kemunculan islamofobia tidak bisa dilepaskan dengan perang peradaban Islam dengan kapitalisme,” imbuhnya.

Ideologi kapitalisme menurut narator sejatinya kini sedang berada di tepi jurang keruntuhannya. sejalan dengan itu, Amerika Serikat sebagai pusat kapitalisme dunia juga sedang dilanda berbagai keterpurukan. “Berbagai gejolak politik, ekonomi, sosial, serta kondisi buruk akibat pandemi diprediksi akan mempercepat rangkaian fase kejatuhan ideologi kapitalisme tersebut,” terangnya.

“Pada konteks perang peradaban, kondisi ini sangat menguntungkan bagi umat Islam yang sedang berjuang mengembalikan ideologi Islam ke pentas kehidupan melalui berdirinya kembai negara khilafah,” lanjutnya.

Apalagi secara internal, dinilai narator, kesadaran umat Islam untuk membangun kembali institusi khilafah kini makin menguat. hal tersebut tentu terkait dengan makin meningkatnya pemahaman umat terhadap ide khilafah sebagai ajaran Islam. “Diperkuat pula oleh kenyataan bahwa kondisi keterjajahan dan keterpurukan umat Islam saat ini memang membutuhkan institusi khilafah sebagai kekuatan global untuk meyelesaikannya,” nilainya.

Dijelaskannya ideologi Islam adalah halangan terbesar atas eksistensi ideologi kapitalisme sekularisme. “Orang-orang kafir Barat akan senantiasa mencari jalan agar obat ini tetap terlelap dengan ide-ide mereka,” jelasnya.

Menghalau stigma radikal kepada Islam, menurutnya, memang harus dilakukan, tetapi bukan berarti menjadi pengusung moderasi. Umat Islam harusnya punya agenda sendiri menuju kebangkitan Islam yang hakiki yakni berdakwah memberi kesadaran, pemahaman yang benar kepada umat, menjelaskan kerusakan ide-ide yang bertentangan dengan Islam, mengkaji Islam secara kaffah, agar tidak terjebak pada pemikiran yang salah. Serta menguatkan ikatan akidah dan ukhuwah agar tidak mudah dipecah belah oleh musuh Islam. 

“Pemahaman inilah yang harus ditanamkan pada umat Islam hingga hukum-hukum Islam dalam naungan khilafah, dan membawa kerahmatan bagi seluruh alam,” pungkasnya.[] Azzaky Ali

RKUHP DISAHKAN, TIRANI MINORITAS DPR TERHADAP MAYORITAS RAKYAT INDONESIA

Tinta Media - Draf RKUHP yang terdiri dari 37 Bab dan 627 pasal, akhirnya disahkan DPR menjadi UU pada Rabu tanggal 6 Desember 2022. Agenda super penting ini dalam rapat paripurna pengesahannya hanya dihadiri secara fisik oleh 18 orang anggota DPR 'yang terhormat'.

Sebanyak 285 dari total 575 anggota DPR absen (mbolos, mangkir). Sisanya, 108 orang hadir secara virtual dan 164 orang izin. (entah, izin tidur atau mau melahirkan).

Tentu saja, kondisi tidak layak ini telah dilegitimasi oleh Tatib DPR sejak era pandemi. Berdalih kopad kopid, semua serba online. Hingga soal pembahasan RKUHP yang berdampak luas dan menyangkut masa depan bangsa, dibahas juga secara online.

108 orang anggota DPR yang hadir secara online ini juga tidak bisa dipastikan, benar-benar mengikuti agenda atau tidur. Atau bahkan, mungkin saja mematikan camera, pasang DP, aktifkan koneksi, padahal fisiknya keluyuran kesana kemari.

Kalau menggunakan Tatib yang normal, tentu saja pengesahan RKUHP ini cacat formil karena tidak memenuhi quorum. Hanya dihadiri 18 dari total 575 anggota dewan 'yang terhormat'.

Lalu, 18 orang ini mengesahkan RKUHP yang banyak ditolak publik, dipaksakan akan diberlakukan kepada 280 juta penduduk Indonesia. Ini jelas, sebuah tirani minorotas (DPR) terhadap mayoritas (rakyat).

Kalau DPR tidak tiran, tidak diktator, sebenarnya mudah saja mengakomodir kritik publik. Cukup hapus pasal-pasal kontroversi, yang jumlahnya hanya sepuluhan pasal.

DPR tidak akan merasa kalah, kalau hanya menghapus 10 pasal kontoversi seperti soal pidana demonstrasi, penghinaan presiden, penghinaan lembaga negara, pidana kontra pancasila, dll. Sebab, kalaupun DPR menuruti kehendak publik dengan menghapus 10 pasal kontroversi, berarti DPR masih punya 617 pasal yang bisa disahkan. Sebab, total pasal RKUHP 627 pasal.

Rakyat juga ga akan protes, kalau pasalnya tidak represif dan dalam rangka menertibkan masyarakat. Misalnya, rakyat tidak ada yang mempersoalkan pasal pembunuhan, pencurian, perjudian, penipuan, penggelapan, dll. Karena ini memang jelas-jelas kejahatan.

Rakyat hanya mengkritik demo dipidana, kritik DPR dan Presiden bisa dibui, menyampaikan pendapat dianggap kebohongan, pancasila diperalat untuk gebuk rakyat, dan seterusnya. Menyampaikan kritik dan pendapat kok dibilang penghinaan?

Begini saja, kalau ga mau dikritik, ga mau dihina, ga usah jadi pejabat, ga usah jadi Presiden, ga usah jadi anggota DPR. Biar DPR dan Lembaga Presiden diisi oleh orang yang siap dikritik dan 'dihina' rakyat.

Jangan tak mau dikritik berdalih penghinaan. Lalu bertindak represif dan otoriter.

Tapi ini DPR tetap ngotot, ketok palu, lalu persilahkan rakyat gugat ke MK. Ini jelas tirani DPR kepada seluruh rakyat.

Ada juga, sebagian anggota DPR yang akting menolak RKUHP. Tapi pandangam resmi fraksinya menyetujui. Mencoba berkamuflase dengan ungkapan 'menyetujui dengan catatan'.

Intinya, ga ada guna DPR. Mereka bukan mewakili rakyat, tapi mewakili rezim. Kalau mereka wakil rakyat, semestinya mendengar kritik rakyat. Apa susahnya menghapus 10 pasal kontroversial dari 627 pasal RKUHP? [].

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

https://heylink.me/AK_Channel/

Sabtu, 17 Desember 2022

TOK! RKUHP DISAHKAN MENJADI UU: SELAMAT DATANG ERA TIRANI DAN PEMBUNGKAMAN! ERA RAKYAT DIJAJAH OLEH BANGSANYA SENDIRI!

Tinta Media - Saat penulis mengkritik RKUHP (yang akhirnya disahkan hari ini, selasa, 6/12), seorang sejawat Advokat mempertanyakan solusi atas kritik yang penulis sampaikan. Idealnya, selain menyampaikan kritik penulis juga diminta menyampaikan solusinya.

Sebenarnya, kalau pemerintah dan DPR tidak tuli, sangat mudah mengambil solusi dari banyaknya kritik publik. Yakni, cukup dengan menghapus sejumlah pasal kontroversi yang banyak dikritik publik.

Misalnya saja, saat penulis mengkritik Ketentuan pidana dalam pasal 218 RKUHP yang mengatur tentang penghinaan terhadap Presiden. Solusinya sederhana: Hapus pasal ini.

Juga soal Pasal penghinaan lembaga Negara. Solusinya ya cukup menghapus ketentuan Pasal 349. Kritik kriminalisasi dan pembungkaman demonstrasi, solusinya tinggal menghapus Pasal 256.

Belum lagi Pidana penyebaran paham yang bertentangan dengan Pancasila, yang diatur dalam Pasal 188 ayat (1):

"Setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun."

Pasal ini karet, dan sangat subjektif. Tafsirnya akan sangat tergantung kehendak kekuasaan. Kalau ditanya apa solusinya? ya hapus saja, atau buat norma pasal yang lebih limitatif.

Namun penulis paham, tujuan aktivasi norma yang tidak limitatif, yang obscuur dan lentur. Agar bisa menjadi alat represi, alat gebuk untuk membungkam lawan politik.

Jadi, problemnya bukan karena rakyat atau yang mengkritik tidak menyampaikan solusi. Tapi karena pemerintah dan DPR memang sudah pasang muka badak dan tebal kuping, tak mau mendengar kritikan rakyat, sambil sesumbar dengan sombongnya mengatakan KITA TELAH MENGAKHIRI EKSISTENSI KOLONIALISME KUHP BELANDA YANG TELAH BERCOKOL DI NEGERI INI LEBIH DARI 150 TAHUN.

Lagipula, Pemerintah dan DPR digaji untuk melahirkan solusi. Bukan malah menambah masalah dan beban rakyat.

Sebut saja, ketika Pemerintah dan DPR melegislasi UU Cipta Kerja, UU Minerba hingga UU KPK, bukannya menjadi solusi malah menjadi masalah bagi rakyat. UU tersebut ditolak bahkan memakan korban rakyat (pendemo).

Rakyat fokus mengkritik, karena UU tersebut akan diterapkan kepada rakyat. Rakyat adalah objek penerapan UU, sehingga rakyat berhak mengkritik.

Namun apapun kritik yang disampaikan rakyat, faktanya RKUHP disahkan menjadi UU. Yang tidak sependapat silahkan ke MK. Sesampainya di MK, nantinya MK menyatakan rakyat tidak memiliki legal standing. Lalu maunya apa?

Selamat datang era pembungkaman, era tirani yang makin represif. Penjajahan baru, bukan oleh Belanda, tapi rakyat dijajah oleh bangsanya sendiri. [].

Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Ketua Umum LBH LESPASS (Lex Sharia Pacta Sunt Servanda)

https://heylink.me/AK_Channel/

Jumat, 16 Desember 2022

LBH Pelita Umat: KUHP Ini Cenderung Represi

Tinta Media - Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita Umat Chandra Purna Irawan menilai KUHP yang disahkan DPR pada Selasa (6/12) cenderung represi.

"Kalau dari bunyinya saja, pasal ini sudah menimbulkan persoalan yang cenderung represi, selanjutnya bagaimana proses implementasi dari pasal," ungkapnya dalam program Kabar Petang: KUHP Baru Menjadi Alat Represi? Melalui kanal Youtube Khilafah News, Kamis (8/12/2022). 

Chandra mengatakan, RKUHP yang telah disahkan DPR menjadi KUHP masih mengandung spirit kolonialisme. "Yang menjadi spiritnya adalah bukan sekedar mengganti undang-undang kolonial dengan undang-undang buatan sendiri, tetapi bagaimana undang-undang yang kemudian disusun dan disahkan itu adalah undang-undang yang kemudian tidak menjerat kebebasan sipil," tuturnya.

Menurutnya, di dalam KUHP yang baru, potensi terhadap jeratan sipil begitu besar. "Misalnya terkait hak demonstrasi yang tidak mendapatkan izin maka akan dipidana, pertanyaannya adalah KUHP baru ini memindahkan ranah pemberitahuan menjadi ranah izin, ranah hak menjadi izin. Padahal izin adalah untuk sesuatu yang sudah dilarang, sedangkan demonstrasi itu adalah hak, pastinya tidak perlu izin cukup dengan pemberitahuan," jelasnya.

Chandra mengungkapkan bahwa izin adalah untuk sesuatu yang dilarang, dengan ada izin maka menjadi boleh. Misalnya, seorang laki-laki dan wanita tentu dilarang untuk melakukan hubungan, tapi dengan ada izin berupa menikah maka dia menjadi boleh.

"Sejumlah pihak khawatir dengan polisi yang akan salah tafsir dalam penerapan pasal-pasal baru di RKUHP, kekhawatirannya itu didasari terhadap kinerja POLRI yang dinilainya sering menyimpang dan merekayasa kasus," ungkapnya. 

"Memang penafsir pertama dalam proses penerapan pasal itu adalah polisi, dan biasanya untuk meminta perbandingan, polisi akan memanggil keterangan ahli, potensi represi itu terjadi dalam KUHP karena memindahkan sesuatu yang menjadi hak menjadi ranah perizinan mestinya cukup dengan pemberitahuan, sejumlah aturan baru RKUHP apalagi yang dianggap publik sebagai pasal karet akan menimbulkan multi interpretasi dalam penegakan hukum di kepolisian," tambahnya.

Chandra menjelaskan, beberapa pasal ada yang multi tafsir, misalkan menyebarkan paham yang bertentangan dengan pancasila. "Siapa yang berhak menafsirkan itu? kalau pemerintah, yang menafsirkannya adalah kepolisian. Saya kira salah, karena kalau dalam teori hukum pidana, sesuatu yang tidak ditulis bentuk pelanggarannya, dia tidak dapat dipidana, karena pidana merupakan pasal-pasal dalam KUHP itu. Jadi, kalau tidak disebutkan di situ tidak dapat dipidana," ujarnya.

Solusi terakhir, ujar Chandra, ada di MK, tapi publik menaruh curiga dengan MK. "Khawatir MK tidak berani melakukan pembatalan karena hakim MK sendiri dapat di recall oleh DPR atau pemerintah," pungkasnya. [] Evi

Kamis, 15 Desember 2022

RKUHP: NEOKOLONIALISME, ALAT REPRESIF NEGARA BERDALIH KARYA ANAK BANGSA

Tinta Media - Lebai atau bahasa sederhananya agak berlebihan, jika RKUHP yang dibahas di DPR saat ini diklaim sebagai konfirmasi hilangnya dominasi penjajahan Belanda, setelah lebih dari 150 tahun bercokol di negeri ini. Karya anak bangsa yang mengakhiri dominasi dan warisan hukum penjajahan Belanda.

Faktanya, substansi norma yang ada dalam RKUHP ini hanya menampilkan penjajahan dengan wajah baru. Atau dengan kata lain, RKUHP hanyalah neokolonialisme.

Ciri khas penjahahan adalah otoriteriamisme, represifme dan tirani. Ruh otoriter, represif dan tiran ini ada dalam RKUHP yang dibangga-banggakan DPR dan Pemerintah yang disahkan hari Selasa (6/12).

Misalnya saja Ketentuan pidana dalam pasal 218 RKUHP yang mengatur tentang penghinaan terhadap Presiden.

Bagian penjelasan pasal itu menyebut menyerang kehormatan adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri. Perbuatan menista atau memfitnah masuk dalam kategori itu.

"Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV," bunyi pasal 218 ayat (1) RKUHP.

Pasal ini sebenarnya adopsi konsep penguasa tidak boleh dikritik, 'The King Do Not Wrong', satu konsep tirani dan otoriterianisme warisan penjajah, yang masih dilestarikan dalam RKUHP baru dengan tampilan wajah lain. Normanya diperhalus, penjajahnya penguasa bukan lagi Belanda.

Berikutnya tentang pasal penghinaan lembaga Negara. Draf RKUHP juga masih mengatur ancaman pidana bagi penghina lembaga negara seperti DPR hingga Polri. 

Ketentuan itu tercantum dalam Pasal 349. Pasal tersebut merupakan delik aduan.

Pada ayat 1 disebutkan, 

"Setiap orang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara, dapat dipidana hingga 1,5 tahun penjara. Ancaman pidananya bisa diperberat jika penghinaan menyebabkan kerusuhan."

Substansi pasal ini adalah pasal tirani, anti kritik, dan ingin meletakan kedudukan organ kekuasaan lebih tinggi (bahkan suci) ketimbang rakyat. Sehingga, diadopsi pasal tirani agar ada pembeda kedudukan rakyat jelata dengan penguasa. Benar-benat ruh penjajahan terhadap rakyat hidup dalam pasal ini.

Belum lagi, adopsi pasal pembungkaman terhadap aksi penyampaian pendapat dimuka umum. Klausul pidana demo tanpa pemberitahuan Draf RKUHP turut memuat ancaman Pidana atau denda bagi penyelenggara demonstrasi tanpa pemberitahuan. 

Hal itu tertuang dalam Pasal 256.

"Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II,"

Luar biasa, rakyat dalam pasal ini ditempatkan sebagai rakyat di negeri jajahan, persis seperti era penjajahan Belanda. Tidak boleh ada kritik dan penyampaian pendapat dari rakyat, semua dan segenap rakyat harus mengabdi, tunduk dan patuh pada penguasa.

Masih banyak lagi kritik terhadap RKUHP ini. Jadi, aneh jika RKUHP bermasalah ini malah dibanggakan oleh DPR sebagai karya agung yang mengakhiri hukum warisan penjajah belanda.

Diluar RKUHP sejatinya produk legislasi DPR secara substansi lebih mewakili kepentingan penjajah (oligarki) ketimbang kepentingan rakyat. UU Omnibus Law Cipta Kerja, UU Minerba, UU KPK, dll, secara substansi normanya sarat dengan penjajahan hak dan kedaulatan rakyat oleh kepentingan penguasa di bawah kendali kaum oligarki. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Ketua Umum LBH LESPASS (Lex Sharia Pacta Sunt Servanda)

https://heylink.me/AK_Channel/

Selasa, 13 Desember 2022

MENYOAL RELASI PENGUASA DAN RAKYAT DI KUHP

Tinta Media - Setelah banyak protes dari masyarakat terkait kontroversi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) karena menyelisihi demokrasi, namun pada akhirnya disahkan juga oleh DPR RI dan pemerintah pada Selasa, 06/12/22 dalam rapat paripurna yang digelar di kompleks parlemen. Pengesahan RKUHP ini terkesan dikebut, sebab sebelumnya banyak gelombang aksi protes karena terdapat banyak substansi yang kontroversial, khususnya dilema relasi antara penguasa dan rakyatnya yang diurus.

 

Pengesahan RKUHP itu terkesan dikebut karena minimnya partisipasi publik, bahkan seolrah pemerintah dan DPR tidak mengindahkan kritik dan masukan publik. Padahal sejumlah kalangan publik dari mulai jurnalis, praktisi hukum, hingga aktivis HAM dan mahasiswa masih melihat materi dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih kacau dan memuat pasal-pasal bermasalah.

 

Relasi antara penguasa dan rakyat adalah relasi positif yakni penguasa mencintai rakyat dan rakyat mencintai pemimpinnya. Muhasabah dan nasehat rakyat kepada penguasanya adalah tanda kecintaan itu agar pemimpin tetap berjalan di jalan Allah. Demikian pula seorang pemimpin mesti menjadikan dirinya teladan bagi rakyatnya. Relasi penguasa dan rakyat bukan relasi permusuhan. Kepemimpinan adalah amanah Allah dan rakyat.

 

Pemimpin adalah pelayan rakyat, bukan boss dan rakyat pembantunya. Melalui KUHP ini seolah relasi penguasa dan rakyat bersifat tidak (mampu) menghasilkan hal baik atau tidak saling menguntungkan. Dalam filsafat relasi ini bernama kontraproduktif.

 

Saat Soekarno menyatakan bahwa jika negara berdasarkan Islam maka akan banyak daerah yang penduduknya bukan Islam akan memisahkan diri, semangat keislaman rakyat membuat mereka memprotesnya. KH Isa Anshari dari Masyumi melayangkan nota protesnya. Protes resmi juga dilayangkan oleh PBNU, Partai Islam Perti, Gerakan Pemuda Islam dan PB Persis. Rakyat juga memprotes lewat poster-poster berbunyi: “Kami cinta kepada presiden, tetapi lebih cinta kepada negara. Kami cinta kepada negara, tetapi lebih cinta kepada agama.”

 

Protes seperti ini dan semisalnya, asalkan sesuai dengan hukum syariah, hendaknya dilihat sebagai bentuk pertolongan sekaligus penunaian kewajiban rakyat. Bukan dianggap penentangan apalagi makar. Bahkan andaikan rakyat diam, penguasalah yang seharusnya turun lapangan untuk meminta kritik dari rakyat, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar ra.

 

Suatu hari, Khalifah Umar naik ke atas mimbar. Dia lalu berpidato di hadapan khalayak ramai. ”Wahai orang-orang, jangan kalian banyak-banyak dalam memberikan mas kawin kepada istri. Karena mahar Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya sebesar 400 dirham atau di bawah itu. Seandainya memperbanyak mahar bernilai takwa di sisi Allah dan mulia, jangan melampaui mereka. Aku tak pernah melihat ada lelaki yang menyerahkan mahar melebihi 400 dirham.”

 

Rupanya kebijakan ini tidak disetujui oleh sebagian kaum perempuan. Maka, usai menyampaikan keterangan, datanglah seorang perempuan menyampaikan protes. ” Hai, Amirul Mukminin, kau melarang orang-orang memberikan mahar kepada istri-istri mereka lebih dari 400 dirham?” protes wanita itu. ” Ya,” jawab Khalifah Umar. ” Apakah kau tidak pernah dengar Allah menurunkan ayat (melafalkan penggalan ayat 20 Surat An Nisa),” kata wanita itu.

 

Umar tersentak sambil berkata, ” Tiap orang lebih paham ketimbang Umar.” Menyadari kekeliruannya, Umar kembali naik mimbar dan menyampaikan pernyataan yang telah direvisi sesuai kritik yang disampaikan rakyatnya. (dikutip dari Jakarta, Masjiduna)

 

Perhatikanlah ucapan pidato Abu Bakar As Shiddiq saat dilantik menjadi seorang khalifah pertama dalam peradaban Islam : (1) Wahai manusia Aku telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu (ri’ayatu suunul ummah). (2) Padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antaramu (berakhlak : rendah hati dan tahu diri). (3) Maka jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, bantulah (ikutlah) aku (merangkul rakyat, bukan memusuhi).

(4) Tetapi jika aku berlaku salah, maka luruskanlah (tidak anti kritik, mengakui kesalahan, mendengar masukan para ahli dll). . Orang yang kamu anggap kuat, aku pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak dari padanya (ekonomi keseimbangan, bukan kapitalisme : menerapkan sistem ekonomi Islam). sejalan dengan firman Allah 59 : 7 “….agar harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya diantara kamu.

 

Dalam Draf RKUHP pasal 218 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wapres dipidana dengan pidana penjara maksimal tiga tahun atau denda paling banyak Rp. 200 juta. Kemudian pada Pasal 218 ayat (2) menyatakan bahwa hal tersebut tidak berlaku jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.



Pada bagian penjelasan Pasal 218 ayat (2) dinyatakan bahwa hal yang dimaksud dengan 'dilakukan untuk kepentingan umum' adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan salah satunya lewat aksi unjuk rasa atau demonstrasi, kritik atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan presiden dan/atau wakil presiden. Aksi atau kebebasan berekspresi itu pun diberi embel-embel bersifat 'konstruktif'.

Relasi penguasa dan rakyat dalam RKUHP dibandingkan relasi dalam Islam jelas bertentangan 180 derajat. Di RKUHP penguasa memposisikan dirinya sebagai pihak yang selalu benar dan menolak masukan, protes, nasihat dan sejenisnya dari rakyat. Padahal kata penghinaan adalah pasal karet yang bisa multitafsir, dikhawatirkan nasihat dan protes rakyat nanti dianggap sebagai bentuk penghinaan.

 

Padahal mestinya pemimpin itu bersyukur jika rakyatnya peduli dan masih mau memberikan berbagai masukan kepada pemimpinnya. Di RKUHP yang kini menjadi KUHP ini posisi rakyat seolah selalu akan jadi korban dan selalu jadi sasaran untuk disalahkan. Rakyat dianggap tak pernah benar, dilarang bicara, hanya disuruh diam dan menerima apapun yang dilakukan penguasa.

 

Pasal 192 menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan makar dengan maksud supaya sebagian atau seluruh wilayah NKRI jatuh kepada kekuasaan asing atau untuk memisahkan diri dari NKRI dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara maksimal 20 tahun. Pasal 193 ayat (1) mengatur setiap orang yang melakukan makar dengan maksud menggulingkan pemerintah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Sementara itu, Pasal 193 ayat (2) menyatakan pemimpin atau pengatur makar dipidana dengan pidana penjara maksimal 15 tahun.

 

Ini juga pasal yang kontroversial dan agak aneh sebenarnya. Jika mau berpikir sejalan mendalam, justru dengan menerapkan ideologi kapitalisme sekuler liberal, negeri ini bisa tergadaikan kepada oligarki asing dan aseng. Hingga hari ini hampir tak tersisa lagi sumber daya alam milik rakyat, kecuali dikuasai oleh asing dan aseng. Makar yang sesungguhnya adalah justru pada penerapan ideologi kapitalisme sekuler liberal di negeri ini. Oligarki asing dan aseng makin kaya di negeri ini, sementara rakyat makin sengsara.

 

Pasal ini juga bisa jadi pasal karet yang multiinterpretasi bagi rakyat yang menginginkan negeri ini menjadi lebih baik. Padahal ideologi transnasional demokrasi kapitalisme sekuler liberal yang diterapkan di negeri terbukti telah menyengsarakan rakyat. Kapitalisme adalah ideologi imperialisme warisan penjajah.

 

Jika rakyat menginginkan perubahan sistem agar menjadi lebih baik, maka melalui pasal ini, bisa jadi dianggap makar. Sebab secara filosofis, tidak ada yang final di dunia ini, semua terus akan berubah. Apakah jika negeri ini berubah menjadi lebih baik itu tidak boleh. Apakah ada intervensi oligarki dalam pengesahan RKUHP ini? Bukannya pasal 192 itu justru paradoks?

 

Pada pasal 188 paragraf 1 disebutkan tentang penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila. Sanksi pidana Di pasal 188 (1) berbunyi setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan dan mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjaran paling lama 4 (empat) tahun.

 

Pasal ini jika mau dipahami dengan baik, maka salah satu paham yang bertentangan dengan pancasila justru sedang diterapkan di negeri ini seperti sekulerisme, kapitalisme, liberalisme, pluralisme, feminisme, pragmatisme dan banyak isme lain yang justru sangat bertentangan dengan pancasila. Hampir semua kajian akademik tidak ada yang berpendapat bahwa Islam itu bertentangan dengan pancasila, bahkan secara historis, ada yang berpendapat bahwa pancasila adalah hadiah terbesar umat Islam untuk negeri ini. Ini secara akademik.

 

Namun demikian, secara politik yang terjadi justru sebaliknya, seringkali penyebaran ajaran Islam seperti syariah dan khilafah dianggap bertentangan dengan Islam, padahal keduanya tidka termasuk isme, melainkan bagian dari ajaran Islam. Logikanya, jika Islam tidak bertentangan dengan pancasila, berarti seluruh ajarannya juga tidak bertentangan. Menyebutkan ajaran khilafah sebagai isme adalah kebodohan. Karena itu pasal 188 ini sangat rawan ditarsirkan secara serampangan sehingga dakwah-dakwah Islam bisa dijadikan sasaran tuduhan anti pancasila.

 

Selama ini tuduhan keji seperti radikalisme, terorisme, fundamentalisme justru sering disasarkan kepada umat Islam, bukan kepada yang lainnya. Dengan adanya pasal 188, kemungkinan berbagai tuduhan kepada umat Islam akan terus digaungkan. Sementara kapitalisme, liberalisme, sekulerisme, dan pluralisme yang jelas bertentangan dengan pancasila malah akan terus tumbuh subur.

 

Draf RKUHP juga masih mengatur ancaman pidana bagi penghina lembaga negara seperti DPR hingga Polri. Ketentuan itu tercantum dalam Pasal 349. Pasal tersebut merupakan delik aduan. kPada ayat 1 disebutkan, setiap orang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara, dapat dipidana hingga 1,5 tahun penjara. Ancaman pidananya bisa diperberat jika penghinaan menyebabkan kerusuhan.

 

Istilah menghina kekuasaan ini tentu saya sangat multiinterpretasi. Penafsirannya sangat bergantung kepada penguasa. Pasal ini seolah menempatkan penguasa sebagai penafsir tunggal atas hak bersuara yang dimiliki oleh rakyat. Menempatkan diri sebagai penafsir tunggal, sama saja dengan menempatkan diri sebagai yang benar dan tidak pernah salah. Dikhawatirkan dengan pasal ini jika rakyat melakukan kritik atas kesalahan penguasa, maka bisa saja ditafsirkan sebagai delik penghinaan, bisa saja kan ?

 

Pasal 350, pidana bisa diperberat hingga dua tahun jika penghinaan dilakukan lewat media sosial. Sementara, yang dimaksud kekuasaan umum atau lembaga negara dalam RKUHP yaitu DPR, DPRD, Kejaksaan, hingga Polri. Sejumlah lembaga itu harus dihormati. ituTentu saja lembaga negara itu harus dihormati oleh rakyat karena mereka itu pelayan rakyat. Namun jika pelayan rakyat bersalah dan tidak melayani rakyat, maka rakyat jelas berhak mengingatkannya. Dengan pasal seperti ini tentu saja rakyat akan takut bersuara, khawatir suaranya ditafsirkan berbeda oleh penguasa. Ini relasi kontrakproduktif antara penguasa dan rakyat.

 

Draf RKUHP turut memuat ancaman pidana atau denda bagi penyelenggara demonstrasi tanpa pemberitahuan. Hal itu tertuang dalam Pasal 256. Pasal ini menuai banyak kritik dengan alasan bahwa bisa dengan mudah mengkriminalisasi dan membungkam kebebasan berpendapat. Koalisi masyarakat sipil mengatakan, pada praktiknya polisi kerap mempersulit izin demo. Konsistensi demokrasi dipertanyakan lewat pasal ini, sebab seolah penguasa melakukan pembungkaman atas hak bersuara rakyat. Sekali lagi hal ini menunjukkan bahwa ada paradigma yang salah dalam RKHUP terkait konstruksi relasi antara penguasa dan rakyatnya.

 

RKUHP juga mengatur soal penyiaran, penyebarluasan berita atau pemberitahuan yang diduga bohong. Pasal ini, dapat menyasar pers atau pekerja media. Pada Pasal 263 Ayat 1 dijelaskan bahwa seseorang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dapat dipenjara paling lama 6 tahun atau denda Rp500 juta.

Bunyi pasal 263 ayat 1 adalah sebagai berikut : Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.

Kemudian pada ayat berikutnya dikatakan setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan, padahal patut diduga berita bohong dan dapat memicu kerusuhan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 atau denda Rp200 juta. 

 

Lebih lanjut, RKUHP terbaru juga memuat ketentuan penyiaran berita yang dianggap tidak pasti dan berlebihan. Seseorang yang membuat dan menyebarkan berita tersebut dapat dipenjara 2 tahun atau denda paling banyak Rp10 juta. Hal itu tertuang dalam pasal 264. 

 

Jelas pasal ini menunjukkan relasi yang salah antara penguasa dan rakyat terutama soal tafsir dan penafsiran. Sebab disaat rakyat atau pers melakukan siaran terancam oleh bayang-bayang penjara. Tentu saja hal ini tidak sehat, terlepas secara etika memang tidak boleh menyebarkan berita bohong. Namun pasal ini selain menimbulkan suasana tidak kondusif bagi diskursus sosial politik di negeri ini, juga telah berpotensi merusak relasi antara penguasa dan rakyat.

 

Dalam pandangan Islam, penguasa dan rakyat harusnya saling menguatkan. Ibnu Qutaibah (w. 276H) mengutip perkataan Kaab al-Akhbar rahimahumalLah: “Perumpamaan antara Islam, kekuasaan dan rakyat adalah laksana tenda besar, tiang dan tali pengikat serta pasaknya. Tenda besarnya adalah Islam. Tiangnya adalah kekuasaan. Tali pengikat dan pasaknya adalah rakyat. Satu bagian tidak akan baik tanpa bagian yang lainnya.

 

Rasulullah bersabda : Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat. Dia akan diminta pertanggungjawaban tentang rakyatnya. Makna ar-râ’i adalah al-hâfidz al-mu’taman8 (penjaga, pemelihara, wali, pelindung, pengawal, pengurus, pengasuh yang diberi amanah). Penguasa/pemimpin wajib mewujudkan kemaslahatan siapa saja yang berada di bawah kepemimpinannya.

 

Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab ra. pernah melihat orang tua yang mengemis. Ia ternyata beragama Yahudi. Beliau bertanya, “Apa yang memaksa engkau mengemis?” Dia menjawab, “Untuk membayar jizyah (sejenis pajak), kebutuhan hidup dan karena aku sudah tua (tidak sanggup bekerja).” Lalu Khalifah Umar ra. mengutus dia kepada penjaga Baitul Mal dan berkata kepada penjaganya, “Lihatlah orang ini dan yang seperti dia! Demi Allah, kita tidak adil kepada dia jika kita mengambil jizyah pada masa mudanya, kemudian kita menistakannya ketika telah tua.” Setelah itu beliau membebaskan orang tua tersebut dari membayar jizyah. Bahkan beliau memberi dia subsidi dari Baitul Mal.

 

Dalam perumpamaan sebelumnya, fungsi tali dan pasak adalah untuk menjaga tiang agar tidak miring atau roboh. Demikianlah rakyat. Selain wajib taat kepada penguasa dalam perkara yang merupakan wewenang mereka dan bukan kemaksiatan, rakyat juga wajib menjaga agar penguasa tetap tegak di atas hukum syariah.

 

Semisal dari sekitar 627 pasal yang dikutip detik.com, lesbian, biseksual, gay, dan transgender (LGBT) tidak dimasukkan sebagai delik pidana.Padahal sudah lama disuarakan agar disorientasi seksual itu dimasukkan sebagai pelanggaran hukum. Tentu saja telah jelas, bahwa praktek LGBT bertentangan dengan agama sebagai living law negeri ini, termasuk bertentangan dengan Pancasila. Namun apa daya rakyat tak mampu mengatur undang-undang negeri ini, bisanya hanya memberikan masukan dan rasa benci dalam hati sebagai bentuk lemahnya iman karena dibatasi oleh kewenangan.

Jika rakyat tidak memiliki kemampuan mengubah kemungkaran penguasanya. Hal paling minim yang harus mereka lakukan adalah dengan membenci dan menampakkan sikap tidak rela terhadap kemungkaran tersebut. Ketika menjelaskan hadis Ummu Salamah r.a terkait kemungkaran penguasa, Imam an-Nawawi menyatakan : Siapa saja yang mengetahui kemungkaran dan tidak meragukan kemungkarannya, maka itu telah menjadi jalan bagi dia menuju kebebasan dari dosa dan hukuman dengan cara dia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya atau lisannya. Jika dia tidak mampu, hendaklah dia membenci kemungkaran itu dengan hatinya.

Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

(AhmadSastra,KotaHujan,07/12/22 : 14.56 WIB )
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Senin, 12 Desember 2022

AAPI: Pengesahan RKUHP Dipaksakan

Tinta Media - Presiden Asosiasi Ahli Pidana (AAPI) Dr. Muhammad Taufik, S.H., M.H. menegaskan bahwa disahkannya Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) itu adalah sesuatu yang dipaksakan.

“Mereka akan mengesahkan rancangan undang-undang hukum pidana itu adalah sesuatu yang dipaksakan,” tegasnya dalam Perspektif PKAD: RKUHP Segera Disahkan, Selamat Datang Rezim Otoriter??!!!, Selasa (6/12/2022) di kanal Youtube Pusat Kajian Analisis dan Data.

Menurutnya, dengan melihat proses pembuatan hukumnya, law making, prosesnya ini sama sekali unhistoris. “Sepertinya bertolak belakang dengan asas umum dari ketika ada satu peraturan khusus, peraturan umum itu dilangkahi,” tuturnya.

Putusan MK No.13-022/PUU-IV/2006 telah menghapus delik-delik pasal penghinaan presiden dari Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP dari semula delik umum siapa pun bisa melaporkan siapa saja yang menghina presiden kemudian di RKUHP ini di ubah menjadi delik aduan. “Hanya orang yang bersangkutan (orang yang menghina presiden) atau presiden saja yang boleh membuat aduan dan sifatnya bukti laporan yang mendukung,” ucapnya.

Ternyata Indonesia mencantumkan pasal penghinaan kepada pejabat kepala negara dan pejabat negara tapi di tahun 2006 pada masa Pak Susilo Bambang Yudhoyono dilakukan koreksi sehingga alhasil tidak disebutkan lagi sebagai delik umum tapi delik aduan. “Kita sudah ada asas lex specialis derogat legi generali yang artinya peraturan khusus mengesampingkan hukum yang berlaku umum. Nah tampaknya asas ini sudah tercerabut. Harusnya Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengadili undang-undang di bawah UUD (undang-undang dasar) ternyata bisa dikalahkan oleh DPR,” jelasnya.

Ia mengungkapkan jika berbicara tentang aliran hukum maka ini adalah aliran hukum yang represif yang sudah tidak dikenal di negara Belanda dan negara asal-muasalnya KUHP (Perancis) sudah tidak ada.

“Jadi betul-betul ini menggunakan asas hukum yang dipakai di negara-negara oligarki, sementara kita sudah menggunakan paham progresif,” ungkapnya.

Jika RKUHP ini sudah disahkan, Dr. Taufik menyatakan kesimpulannya bahwa akan final untuk menuju otokrasi, dengan bentuknya monolitik.

“Akan terjadi yang namanya proses kristalisasi presiden itu tiga periode,” ujarnya.

Untuk mempersiapkan tiga periode maka orang-orang yang menolak itu akan diberangus dengan menggunakan pasal-pasal penghinaan pejabat negara. “Dan ini tidak pernah ditemukan di rumusan mana pun. Ini seperti daftar pesanan makanan karena disebutkan di situ pejabat negara itu termasuk jaksa, polisi, dan sebagainya, tidak dikenal di mana pun di dalam UU mana pun gaya UU seperti itu,” kritiknya.

Ia menyebutnya sebagai penyelundupan hukum. Jadi bertolak belakang dengan demokrasi.

“Ini jelas anti demokrasi, pintu awal supaya mulus menyahkan gagasan presiden tiga periode. Karena ini lebih aman di saat negara positif tidak memiliki duit maka yang didorong adalah secepat mungkin mengesahkan RKUHP menjadi KUHP,” pungkasnya. [] Ageng Kartika.

LBH Pelita Umat: Penolakan RKUHP Harus Disertai Penghapusan Pasal Serupa


Tinta Media - Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. menilai bahwa penolakan terkait RKUHP (Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana) harus disertai penghapusan Undang-undang (UU) dengan pasal yang serupa agar penolakannya komprehensif.

“Saya kira penolakan terkait RKUHP agar lebih komprehensif penolakannya maka harus disertai dengan penghapusan ketentuan pasal yang serupa dalam UU yang lain,” tuturnya dalam Perspektif PKAD: RKUHP Segera Disahkan, Selamat Datang Rezim Otoriter??!!!, Selasa (6/12/2022) di kanal Youtube Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD).

Ia mengungkapkan bahwa yang menjadi perhatian bukan sekedar penolakan RKUHP tetapi terkait masalah pasal penghinaan terhadap penguasa maupun lembaganya yang terdapat di regulasi atau pun di Undang-Undang (UU) yang lain.

“Saya kira ini bukan masalah RKUHP saja karena di RKUHP itu ditiadakan, masih ada ketentuan lain di UU ITE, meskipun UU ITE lalu dihapus masalah pencemaran, tapi ada lagi pasal berikutnya di KUHP lama misalnya perbuatan melawan kepada penguasa umum. Ini pasal-pasal yang mirip,” ungkapnya.

Menurutnya jeratan itu harus utuh kepada siapa pun, yang dalam tanda petik melakukan mengkritik, dianggap menghina, atau dianggap melawan itu banyak sekali pasalnya.

“Banyak sekali ketentuan di dalam UU lain maka jeratnya itu bukan hanya RKUHP saja tetapi jerat utuh karena meskipun RKUHP nanti dihilangkan ketentuan itu tapi ketentuan yang lain masih sangat banyak sekali untuk menjerat,” bebernya.

“Nah untuk menjerat pelaku yang kemudian mengkritik tetapi dianggap menghina, dianggap menyudutkan, dianggap melawan, ini saya kira menjadi perhatian kita bersama,” lanjutnya.

Ia menerangkan dalam konsep regulasi yang banyak menjerat kepada siapa pun yang mengkritik kepada penguasa disebabkan spiritnya adalah memproteksi diri.

“Padahal siapa pun yang menempati kedudukan sebagai pemerintah, itu adalah sebagai lembaga yang pada intinya memang patut untuk dikritik. Jika tidak mau dikritik maka tidak perlu menduduki jabatan-jabatan publik/jabatan-jabatan pemangku kebijakan,” terangnya.

Ia berpendapat ketika menempati posisi sebagai pemangku kebijakan maka ini adalah istilahnya lembaga yang memang patut dikritisi.

“Karena pemangku kebijakan tersebut akan mengurusi, mengambil kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan publik sehingga publik yang akan diurusi kepentingannya. Saya kira patut untuk memberikan kritik terhadap kebijakan publik,” urainya. 

Penolakan itu bisa dilakukan dengan tiga hal, yakni pertama, social review. Social Review itu penting. Oleh karena itu masyarakat berbagai elemen harus menunjukkan  ketidaksetujuan terkait dengan RUKHP dan tidak setujuannya ditujukan terkait pada materiil yang diatur dalam RKUHP. “Oleh karena itu social review itu harus dilakukan,” ujarnya.

Kedua, legislatif review. Masyarakat harus mendorong agar terjadinya legislatif review, karena kalau legislatif review dilakukan (karena legislatif inilah yang nanti akan mengambil keputusan). “Apakah RKUHP ini akan tetap disetujui atau tidak oleh mereka. Oleh karena itu masyarakat akan mendesak atau mendorong agar legislatif tidak segera mengesahkan tetapi membuka ruang kepada publik untuk melakukan review terhadap pemerintah maupun legislatif,” tuturnya.

Ketiga, jika RKUHP ini mau dihapus,  berharap pasal-pasal yang mengekang kebebasan masyarakat yang diatur di dalam UU yang sebelumnya atau di UU yang sudah ada. Itu mestinya turut dihapus. “Jadi jangan sampai di RKUHP hilang tapi di UU yang lain masih banyak,” ucapnya.

Ia mengakhirinya dengan mengatakan bahwa harus menertibkan UU yang lain dahulu sebelum menertibkan RKUHP, dan fokus terhadap kuantitas dari produk UU itu 
“Jadi bukan sekedar produk hukum tetapi adalah kuantitas dari produk UU yang dihasilkan,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Prof. Suteki: Pengesahan RKUHP Lebih Baik Dievaluasi

Tinta Media - Pakar Hukum Masyarakat dan Filsafat Pancasila Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. merekomendasikan solusi bagi pengesahan RKUHP (Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana), lebih baik dievaluasi supaya lebih cermat dalam hal yang sangat krusial.

“Lebih baik dievaluasi lagi (pengesahan RKUHP) supaya lebih cermat dalam hal yang sangat krusial,” sarannya pada Perspektif PKAD: RKUHP Segera Disahkan, Selamat Datang Rezim Otoriter??!!!, Selasa (6/12/2022) di kanal Youtube Pusat Kajian Analisis dan Data (PKAD).

Menurutnya, hal yang sangat krusial tersebut meliputi pasal-pasal yang sangat kontroversial, dinilai terlalu represif, dan berpotensi untuk memenjarakan rakyat.

“Menurut saya, pemerintah dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) harus cermat dan kalau perlu menghilangkan pasal-pasal atau mencabut atau membuang pasal-pasal yang sangat kontroversial, dinilai terlalu represif, dan berpotensi untuk memenjarakan rakyat,” tuturnya.

Ia mengungkapkan ada beberapa pasal yang berpotensi dalam hal ini menjadi ancaman atau bahaya terhadap kebebasan pers, kebebasan bermedia, kebebasan berekspresi, dan juga kebebasan berpendapat. Ini menunjukkan sisi politik hukum di negara ini masih pseudo demokrasi.

“Dari sisi politik hukum, saya katakan kita ini masih pseudo demokrasi, masih pura-pura demokrasi atau setengah demokrasi. Orang mengatakan ini demokrasi semu karena terkait dengan beberapa kebebasan tadi, yaitu kebebasan pers, bermedia, berekspresi, kebebasan itu sangat dibatasi,” ungkapnya.

Bagi Prof. Suteki, nuansa RKUHP tampaknya tidak lebih masih ada unsur-unsur kolonial, bagaimana penguasa itu berhadapan dengan rakyat.

“Semestinya posisinya harus equal antara rakyat dengan penguasa. Kalau kita menganut sistem demokrasi itu, penguasa kan pekerja-pekerja rakyat, kita menjadi tuannya. Katanya kedaulatan di tangan rakyat, tapi kalo begini, apakah betul kedaulatan di tangan rakyat?” kritiknya.

Ramai dibicarakan dalam draf akhir RKUHP tanggal 24 November 2022, istilahnya versi 24 November yang mengatur tentang tindak pidana terhadap ideologi. Ideologi negara itu direformulasi, semula itu mengatur Ikhwal penyebaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme kemudian ditambah dengan frasa atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila.

“Jadi lengkapnya di Pasal 188 ayat 1 itu di draf akhir RKUHP versi 24 November bunyinya: 'Setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme, Marxisme, Leninisme, atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum, dengan lisan atau tulisan, termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun di pidana penjara paling lama empat tahun'. Nah, bahaya kan kata-kata atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila, itu multitafsir, ini pasal karet,” urainya.

Ia kembali mengkritisi tentang maksud dari paham lain itu mungkin disebut sebagai ideologi. Bercermin pada peristiwa yang sudah terjadi, saat Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) itu dibentuk, di dalamnya tidak dicantumkan TAP MPRS No. 25 tahun 1966 sebagai salah satu bahan pertimbangan atau masuk di konsideran RUU HIP.

“Hal ini akan membuat Komunisme kembali diendorse lagi bahkan ketika itu Sekretaris Jendral PDIP Hasto Krisyanto  mengatakan kami masukkan TAP MPRS No. 25 tahun 1966 dengan syarat dua ideologi lain dimasukkan sebagai ideologi terlarang, yakni radikalisme dan khilafahisme. Ketika penguasa nanti anti dengan keduanya, maka itu berbahaya!” kritiknya.

Ada beberapa pasal yang bisa dijadikan satu kajian tertentu, yakni Pasal 188, 189, dan 190 tentang peniadaan ideologi Pancasila, tentang tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat martabat presiden dan wakil presiden, kemudian tindak pidana penghinaan pemerintah.

“Pasal tentang penghasutan dan yang melawan penguasa umum, memang pasal ini kalau diterapkan semua membuat penguasa itu nyaman karena sudah dibatasi semacam itu. Ada pasal tindak pidana penyiaran/penyebarluasan berita/pemberitaan bohong, dan sebagainya. Pasal-pasal ini supaya ditinjau ulang,” pungkasnya. [] Ageng Kartika
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab