Tinta Media: Putusan MK
Tampilkan postingan dengan label Putusan MK. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Putusan MK. Tampilkan semua postingan

Selasa, 31 Oktober 2023

IJM: Putusan MK Tidak Konsisten Tentang Batas Usia Minimal Capres Cawapres

Tinta Media - Menanggapi putusan MK tentang batas usia minimal Capres Cawapres berumur 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala, Direktur Indonesia Justice Monitor Agung Wisnuwardana menilai MK tidak konsisten.

“MK tidak konsisten dalam menangani dan memutuskan uji materi yang seharusnya menjadi ranah pembuat undang-undang yaitu DPR dan pemerintah, namun diambil alih oleh MK,” ujarnya dalam tayangan Putusan MK Seperti Drama Korea? Di kanal YouTube Indonesia Justice Monitor (18/10/2023).

Ia menjelaskan bahwa MK dinilai sebagian publik bermain-main saat memutus uji materi Pasal 169 huruf Q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum pasal itu mengatur soal batas usia minimal capres cawapres berumur 40 tahun. Khususnya terkait dengan berbagai permohonan soal syarat usia.

"Pagi kemarin yang ditolak hanya yang diajukan oleh partai yang dipimpin ponakan. Tapi kemudian materinya dikabulkan lewat permohonan lain. Permohonan uji materi ini terdaftar dengan nomor 29/PUU-XXI/2023. MK menggelar sidang pembacaan putusan pada Senin pagi pukul 10 WIB," jelasnya.
 
Ia mengungkapkan, permohonan uji materi ini dikaitkan warga net sebagai ikhtiar mendorong Putra Sulung Presiden Jokowi Gibran Rakabuming Raka maju di Pilpres 2024. Usia Gibran masih 36 tahun. Keputusan MK menolak permohonan uji materi ini disambut gembira sebagian masyarakat Indonesia. 

“Namun jika pagi sebagian publik bergembira, maka siang harinya hingga sore hari dinilai giliran keluarga besar presiden Joko yang senang. Alasannya, MK mengabulkan syarat calon presiden dan wakil presiden berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah,” ungkapnya.

“Gugatan dengan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023 itu dilayangkan oleh seorang mahasiswa Universitas Surakarta bernama Almas Tsaqibbirru,” tambahnya.

Ia menjelaskan bahwa konsekuensi dari putusan MK itu membuat kekuasaan saat ini berpeluang untuk mengokohkan dinasti politik. "Sehingga dikhawatirkan otoritarianisme semakin mapan sampai-sampai konstitusi dan pengawal konstitusi tunduk pada kehendak pihak tertentu," jelasnya.

"Inilah kenyataan dinamika politik di negeri ini bahkan sebagian publik menilai terlalu panjang dan berliku," tegasnya.

Ia menduga bahwa ini sebagai usaha Jokowi untuk mempertahankan kekuasaan, indikasinya di mulai dari upaya tersebut, dari usaha memperpanjang masa jabatan, kemudian mendorong masa jabatan presiden. "Sampai pada akhirnya membuka peluang bagi anaknya Gibran menjadi kontestan Pilpres 2024," tuturnya.

“Dengan adanya upaya untuk mempertahankan kekuasaan, muncul isu miring di masyarakat ada sesuatu yang dikhawatirkan Jokowi terkait persoalan hukum," imbuhnya.

Agung berharap agar masyarakat semakin cerdas menyikapi keputusan Mahkamah Konstitusi ini. 

“Mulai dari sekarang kita harus menatap masa depan menatap ke depan terus berbenah kembali kepada syariah Islam. Jangan sampai memberikan karpet merah bagi sistem kapitalisme dan oligarki untuk berkuasa,” pungkasnya.[] Azzaky Ali

Analis: Putusan MK by Design dan Jalan Khusus Gibran Jadi Cawapres

Tinta Media - Analis Senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan menilai bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah by design dan jalan khusus menjadi Cawapres. 

“Putusan MK itu memang putusan yang by design? By design seperti apa? Putusan untuk memberikan jalan khusus kepada Gibran untuk bisa menjadi Cawapres,” ujarnya kepada Tinta Media, Ahad (29/10/2023). 

Menurutnya, ada tiga alasan kenapa putusan MK tersebut adalah by design. 

Pertama, yang menarik disini katanya, adalah MK mengabulkan gugatan bahwa usia Cawapres itu minimal 40 tahun. Tetapi dia ternyata juga mengabulkan gugatan bahwa seorang kepala daerah yang berusia kurang dari 40 tahun boleh juga diajukan menjadi Cawapres. “Jadi saya kira ini by design yang pertama,” ungkapnya. 

Kedua, adalah kebetulan ketua MK-nya yaitu pamannya Gibran. Sehingga muncul berita yang santer menyatakan bahwa desakan mencalonkan Gibran menjadi cawapres itu berasal dari lingkaran relawan-relawan Jokowi. 

Rupanya, singgung Fajar, desakan-desakan itu dalam enam bulan terakhir ini semakin menguat. Dari situlah kemudian disampaikan aspirasi itu kepada adiknya presiden yang kemudian menyampaikan kepada suaminya yang ketua umum MK itu.

Walaupun mungkin, ungkap Fajar, pada awalnya tidak dianggap tetapi karena desakan-desakan itu terus bergulir maka akhirnya dipertimbangkan dan diputuskan. 

“Hal ini tentu karena Jokowi sangat ingin akan legacy yang dibagun selama ini bisa dilanjutkan oleh orang-orang yang diyakini bisa dipercaya begitu,” bebernya. 

“Terlebih mungkin dalam rangka untuk melindungi kepentingan keluarga Jokowi pasca lengser begitu,“ imbuhnya. 

Ketiga, adalah dari sisi Gibran sendiri. Menurutnya, sejak awal anak ini bersikap ambigu. Bolak-balik ditanya tentang pengusungan menjadi cawapres begitu saja gak jelas. Kalau dia punya sikap, punya ketegasan dan tidak mau atau tidak punya ambisi ke arah sana, ya dia bisa menolak dengan tegas bahwa saya tidak berniat atau punya niat mencalonkan atau dicalonkan menjadi bakal calon presiden. 

Tapi dari awal anak ini kan selalu menghindar, selalu mengulur dan seterusnya. “Ini sebenarnya menggambarkan dalam enam bulan ini dikondisikan agar memang pada waktunya nanti Gibran yang eligible (memenuhi syarat) untuk menjadi bakal Cawapres gitu,” ungkapnya. 

Carut Marut

Dari sini, papar Fajar, menggambarkan betapa carut marutnya aspek hukum pada MK ini. Khususnya yang seharusnya tidak masuk dalam ranah substansi atau menambahkan substansi perundang-undangan tetapi malah menambahkan. 

“Jadi yang bermasalah di sini adalah penambahan kalimat oleh MK, “Atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah yang dipilih melalui pemilihan langsung” kan gitu,” singgungnya. 

Padahal menurutnya, persyaratan itu yang harusnya masuk dalam open legal policy atau kebijakan hukum terbuka. 

“Nah, kebijakan hukum terbuka itu adalah kewenangannya si pembentuk undang-undang dalam hal ini adalah DPR dan pemerintah gitu,” terangnya. 

“MK sebenarnya tidak punya hak untuk menambahkan substansi perundang-undangan, tetapi dia hanya mengkaji apakah UU itu sah atau tidak,” tandasnya. [] Langgeng Hidayat

Gus Uwik: Politik Dinasti Tidak Diperbolehkan dalam Islam

Tinta Media - Terkait putusan MK yang dinilai memuluskan putra Presiden Jokowi untuk bisa ikut dalam kontestasi pilpres 2024, Peneliti Pusat Kajian Peradaban Islam Gus Uwik menegaskan bahwa politik dinasti tidak diperbolehkan dalam Islam.

"Politik dinasti tidak diperbolehkan dalam Islam," tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (28/10/2023).

Adanya politik dinasti dengan kasus Gibran, katanya, walau berbeda namun ada kemiripan. Proses peralihan kekuasaan dengan adanya putra mahkota, atau kekuasaan diwariskan pada anggota keluarganya. Ini melanggar kaidah rida dan ikhtiyar dalam bai'at itu sendiri. 

Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa dalam Islam memilih pemimpin itu bebas, tidak ada paksaan.

"Islam mensyaratkan dalam memilih pemimpin harus bebas, tidak ada paksaan pemilihan calon, apalagi saat memilihnya," ujarnya.

Adanya putra mahkota, imbuhnya, menunjukkan rakyat 'di paksa' menerima pilihan raja sebelum atas siapa yang nanti akan meneruskannya, rakyat wajib menaatinya. Ini bertentangan dengan Islam.

Rezim Brutal

Gus Uwik, sapaan akrabnya juga menilai bahwa putusan MK mengindikasikan rezim saat ini telah merusak tatanan perpolitikan yang ada.

"Rezim dengan sadar 'merusak' tatanan perpolitikan yang ada. Jika ada aturan yang menghalangi nafsu politiknya maka aturan itu akan diubah melalui perangkat kekuasaannya. Termasuk keluarga yang menduduki posisi jabatan strategis. Tidak peduli lagi kepentingan rakyatnya. Semua dikorbankan untuk kepentingan nafsu politik diri dan keluarganya," cecarnya.

Jelas, tegasnya, ini membahayakan kehidupan berpolitik dan menjadi legasi buruk bagi rezim yang ada. Ternyata brutal dalam berpolitiknya, menghalalkan segala macam cara untuk meraih kepentingannya. 

Terakhir, ia mengatakan ketika rezim brutal dalam perpolitikan, maka ketika berkuasa akan semakin brutal dan rakyat akan kembali menjadi korban.

"Untuk kepentingan nafsu politiknya saja berani dan brutal mengutak-atik peraturan, apalagi nanti saat berkuasa. Maka akan lebih brutal lagi. Karena punya kuasa dan power. Ujungnya rakyat yang menjadi korban," pungkasnya.[] Nur Salamah

PKAD: Putusan MK Terkait Batas Usia Minimal Capres Cawapres di Luar Kepantasan dan Kepatutan Etika Politik

Tinta Media - Analis Senior Pusat Kajian dan Data Analisis (PKAD) Fajar Kurniawan menilai bahwa putusan MK mengenai batas usia minimal capres cawapres sudah di luar kepantasan dan kepatutan etika politik.

“Saya kira ini sudah diluar kepantasan dan kepatutan etika politik,” ujarnya kepada Tinta Media, Ahad (29/10/2023). 

Hal tersebut, menurutnya, karena proses pengkondisian memang sengaja dilakukan sedemikian rupa, meskipun awalnya itu usulan dari relawan. Namun Jokowi melihat ini adalah sesuatu yang masuk akal. Maka selebihnya tinggal diatur-atur karena kewenangan ada di tangan presiden.

“Ini menunjukkan bagi kita bagaimana kekuasaan itu bisa memuluskan proses pencalonan dari Gibran walaupun dengan cara yang sangat kasar,” bebernya.

Ketakutan

Fajar melihat, sikap Jokowi yang mempengaruhi proses keputusan MK di atas, itu didorong oleh dua hal, apakah dia benar-benar ingin memastikan bahwa apa yang dia rintis itu betul bisa diwujudkan atau bisa juga perspektif ketakutan. 

“Ketakutan apa? Karena banyak kebijakan-kebijakan yang problematik selama Jokowi menjabat. Maka siapapun penggantinya bisa jadi kemudian akan memperkarakan Jokowi,” tegasnya. 

Fajar kemudian mencontohkan kebijakan yang problematik itu dari masa pemerintahan Jokowi ini. Seperti proyek IKN yang menginvestasikan ratusan triliun dan menyeret keuangan negara. Belum lagi kereta cepat Jakarta-Bandung yang jebol juga. Kemudian UU Omnibuslaw, pulau Rempang, dan masih banyak lagi. Yang bisa jadi ketika dia lengser akan diperkarakan dan diangkat kembali di depan pengadilan. “Nah ini yang menurut saya lebih dominan motifnya Jokowi,” terangnya. 

Oleh karena itu, simpul Fajar, masuk akal kalau kemudian menyerahkan itu kepada darah dagingnya sendiri yaitu Gibran. Apalagi hanya Prabowo yang bisa dipercaya oleh Jokowi untuk menggaransi bahwa dia bisa smooth landing, dia bisa berhenti dengan nyaman, bisa tidur dengan nyenyak setelah dia tidak lagi menjabat sebagai Presiden RI.

“Dan itu bisa dilihat dari sosok Prabowo yang dikawal dengan Gibran yang bisa menguatkan Prabowo,” tandasnya. [] Langgeng Hidayat

Putusan MK tentang Batas Usia Capres Cawapres, Siyasah Institute: Mestinya Berkeadilan dan Tidak Mengakal-akali

Tinta Media - Menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), Direktur Siyasah Institute Iwan Januar mengatakan, semua orang punya hak yang sama berkarir politik, akan tetapi mekanisme yang dipakai mestinya berkeadilan dan tidak mengakal-akali aturan.

"Sebenarnya siapa saja punya hak yang sama berkarir politik, akan tetapi mekanisme yang dipakai mestinya berkeadilan dan tidak mengakal-akali aturan," tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (28/10/2023).

Iwan mengutip komentar mantan ketua MK, Prof Jimmly Asshiddiqie berjalan dengan akal bulus dan akal fulus. Banyak pihak menduga kuat ada rekayasa terhadap konstitusi dalam hal ini.

"Tapi begitulah demokrasi, hukum dibuat manusia. Jadi manusia juga merasa berhak untuk mengubah aturan sesuai kepentingan politik mereka," cetusnya.

Putusan MK menurut Iwan, itu sudah dugaan kuat demikian. Bukankah hakim Mahkamah Konstitusi saja sudah ada yang begitu kecewa dengan keputusan MK kemarin. Baru kali ini secara terang-terangan ada rezim yang sibuk mempertahankan kekuasaannya dengan mengokohkan dinastinya. 

Ini tandanya, tegasnya, bahwa demokrasi itu memang tidak membutuhkan rakyat. Rakyat hanya dibutuhkan untuk memilih penguasa dan wakil rakyat yang sudah ditentukan oleh parpol dan penguasa. "Setelah mereka berkuasa, rakyat dicampakkan. Aturan mereka buat sekehendak penguasa," simpulnya.

Direktur Siyasah Ini mengungkapkan akan bahaya politik dinasti akan membuka peluang besar abuse power, penyelewengan kekuasaan. "Kata Lord Acton; power attend to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Sulit bagi rakyat mengontrol kekuasaan. Ini sudah terjadi di daerah-daerah, berbagai jabatan diduduki orang terdekat, berbagai proyek dikuasai sanak famili. Bahaya," katanya sambil mengingatkan.

Iwan mengulas bahwa dalam Islam siapa saja punya hak untuk berkompetisi dalam kekuasaan. Tapi Islam mengingatkan bahwa bila penunjukkan kekuasaan itu karena kedekatan, bukan karena kelayakan, "Maka itu pengkhianatan terhadap amanah. Tunggu saja kehancurannya," tandasnya.

"Para sahabat dan orang-orang salih menolak kerabat mereka menduduki jabatan dan menikmati harta kekayaan negara. Khalifah Umar menolak pencalonan anaknya. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menolak tawaran harta Baitul Mal untuk anak-anaknya," pungkasnya. [] Muhammad Nur

Sabtu, 28 Oktober 2023

Putusan MK Tentang Batas Usia Minimum Capres-Cawapres, IJM : Ini Semua by Design

Tinta Media - Menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi terkait usia minimum pencalonan Capres Cawapres, Direktur IJM (Indonesia Justice Monitor), Agung Wisnuwardana menilai bahwa ini semua by design.

"Ya, jadi saya melihat ini semua by design dan diduga kuat ada peran Jokowi di balik ini semua," tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (26/10/2023).

Dan tentu ada peran oligarki, lanjutnya, yang menginginkan ada keberlanjutan program-program Jokowi ke depan, yang tentu banyak menguntungkan kalangan oligarki dan para kapitalis .

Ia beranggapan bahwa previllege Jokowi itu sangat kuat sekali. Tentu yang diharapkan dari previllige itu apa, organ-organ atau alat kekuasaan bisa digunakan sebagai sarana untuk memenangkan pemilihan umum. 

"Inikan yang saya katakan sangat berbahaya. Ujungnya proses-proses politik yang demikian ini akan berujung pada otoriatanisme," jelasnya.

Agung menegaskan otoriatanisme itu semakin nyata hari ini, sampai konstitusi dan pengawal konstitusi pun tunduk kepada pihak yang punya otoritas, dalam hal ini Pak Jokowi beserta semua pihak yang menginginkan Gibran maju Cawapres.

"Bagaimana putusan MK yang dikatakan mahkamah garda terdepan penjaga konstitusi pun bisa diobok-obok sedemikian rupa?" tanyanya kesal.

Ini yang sangat disayangkan, dan ujung politik yang demikian, nanti akan membangun sebuah fenomena, kata Lord Acton itu dengan adagium "power tends to corrupt and the absolutely power tends corrupt to absolutely", kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut. 

Agung membeberkan di balik ini semua ada isu tentang ekspor ilegal nikel. Ada informasi yang menjerat Luhut Binsar terlibat di dalamnya, dan menantu Presiden terlibat di dalamnya. Ada informasi juga, ekspor ilegal ini masuk ke tangan Jokowi. 

"Nah, ini kan rumit dan proses ini ujungnya nanti kekuasaan itu yang dominan dan cenderung absolut gitu. Dan ini menimbulkan kekuasaan yang otoriter," pungkasnya.[] Nita Savitri

Jumat, 27 Oktober 2023

Ulama Aswaja: Putusan MK Mengenai Batas Usia Capres Cawapres Hanya Cermin Buruk Demokrasi


Tinta Media - Putusan MK mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang berbunyi “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” dinilai Ulama Aswaja KH. Rokhmat S. Labib sebagai cermin buruk negara demokrasi.

“Itulah Oligarki..., maka apa yang terjadi sekarang, hanyalah cermin buruk negara demokrasi,” tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (26/10/2023).

Menurutnya, putusan MK itu mengkonfirmasi apa yang selama ini menjadi opini di tengah masyarakat bahwa putusan hakim bisa dipesan oleh yang pegang kuasa. Penjelasan hakim MK Saldi Isra dalam dissenting opinion  dengan gamblang menjelaskan hal tersebut. 

“Dia tak habis pikir, bagaimana bisa dua hal yang sama, yakni gugatan batas usia 40  tahun ditolak, sedangkan berpengalaman menjadi kepala daerah bisa diterima. Padahal kasusnya serupa, bahwa ketentuan tersebut menjadi kewenangan pembuat undang-undang,” tuturnya menanggapi penjelasan hakim MK Saldi Isra.

“Jika MK yang sering disebut sebagai penjaga konstitusi bisa seperti itu, bagaimana dengan hakim di pengadilan tingkat di bawahnya?” tanyanya kemudian.

Menurutnya, putusan MK ini mengindikasikan jalan Gibran agar bisa ikut pilpres 2024 dan diharapkan dapat meneruskan kekuasaan Jokowi. 

“Ya, jelas sekali. Jika bukan untuk Gibran, mengapa keputusan beberapa hari menjelang pendaftaran? Begitu keluar putusan, Gibran langsung didaftarkan,” tegasnya.

Ia menilai inti politik dinasti adalah mengangkangi kekuasaan untuk diri dan keluarganya. “Tentu saja, yang menjadi fokus adalah bagaimana kekuasaan tetap dipegang dinastinya,” nilainya.

Untuk itu, menurut Ustadz Labib berbagai cara akan ditempuh untuk  mempertahankannya. Semua batasan akan diterobos jika menghalangi nafsu kuasanya. “Kasus putusan MK itu jelas menunjukkan demikian,” ujarnya.

“Ketika terjadi, maka tidak ada kepentingan rakyat. Rakyat hanya atas nama, tetapi faktanya demi dinasti,” tambahnya.

Pandangan Islam

Ustadz Labib menjelaskan bahwa Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu milik umat. Umat yang berhak menentukan siapa yang menjadi penguasa mereka. “Namun patut ditekankan, bahwa kekuasaan hanya untuk menjalankan kedaulatan syara’,” jelasnya.

Lebih lanjut ia jelaskan bahwa itu artinya, penguasa tidak hak membuat Undang-undang, apalagi mengubah undang-undang sesuai dengan selera hawa nafsunya. Sebab, undang-undang itu harus didasarkan kepada dalil syara’. 

“Bahkan seandainya para penguasa dan semua rakyat berkumpul untuk mengubah ketentuan syara’, tidak diperbolehkan,” tegasnya.

Menurutnya inilah yang membedakan secara fundamental dengan demokrasi yang menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Sehingga hukum dan undang-undang bisa diubah kapan saja sesuai kesepakatan. 

“Di sinilah secara faktual hukum mengabdi kepada para pemegang kekuasaan, baik politik maupun ekonomi,” pungkasnya.[] Raras

Kamis, 26 Oktober 2023

PAKTA: Putusan MK Tentang Batas Usia Minimal Capres Cawapres Bukti Bobroknya Demokrasi

Tinta Media - Menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang berbunyi “Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” Direktur Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Dr. Erwin Permana mengatakan bahwa itu bukti bobroknya demokrasi.
 
“Keputusan MK ini menurut saya itu menunjukkan bukti bobroknya demokrasi,” tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (25/10/2023).
 
Erwin beralasan, kalaulah MK itu berfungsi untuk meluruskan semua regulasi yang tak sejalan dengan konstitusi, ini justru MK itu sendiri telah merontokkan konstitusi.
 
“Jadi bukan lagi Mahkamah Kontitusi di tengah-tengah masyarakat malah berkembang menjadi mahkamah keluarga. Kenapa mahkamah keluarga? Karena dengan sendirinya klausul ini, ini menjadi karpet merah untuk Gibran,” ulasnya.
 
Erwin menerangkan, yang memutuskan itu adalah paman Gibran, presiden Indonesia itu adalah Jokowi, bapaknya Gibran. “Jadi apapun yang terkait dengan pasal ini senantiasa ini pasti terhubung dengan Gibran. Jadi, ini merupakan karpet merah untuk Gibran,” imbuhnya.
 
Terus Berkuasa
 
Dalam penilaian Erwin, putusan MK ini merupakan bagian dari ambisi Jokowi untuk senantiasa terus berkuasa.
 
“Setelah upaya-upaya yang dia lakukan untuk bertahan tiga periode itu gagal karena banyak hal, akhirnya dia berusaha untuk diteruskan oleh keluarganya. Siapa yang paling mungkin? Yang paling mungkin adalah Gibran. Nah, jadi ini merupakan upaya untuk melanggengkan ambisi Jokowi untuk terus berkuasa,” bebernya.
 
Menurutnya, dinasti politik semacam ini sangat berbahaya bagi rakyat dan negara, karena akan menutup celah bagi orang lain yang jauh lebih kapabel, yang jauh lebih mampu, yang jauh lebih memiliki kapasitas untuk berkuasa.
 
 “Yang berkuasa itu pada akhirnya adalah anaknya penguasa sekarang. Apakah mampu atau tidak itu menjadi nomor sekian. Dia enggak cakap, itu nomor sekian, dia tidak memiliki kapasitas, tidak memiliki integritas, itu nomer sekian. Akhirnya kondisi negara yang memang sudah amburadul tidak kunjung bisa diperbaiki,” sesalnya.
 
Islam
 
Erwin lalu membandingkannya dengan Islam. “Dalam Islam isu politik dinasti itu sama sekali tidak ada, karena Islam itu paradigma politiknya adalah riayah suunil ummah (mengurusi urusan masyarakat),” ujarnya.
 
Maka dengan sendirinya, ia melanjutkan,siapa di antara orang-orang terbaik dalam Islam yang mampu untuk mengurus urusan masyarakat dengan cara yang baik akan diserahi amanah kepemimpinan.
 
“Apakah bapaknya sudah menjadi khalifah, kemudian anaknya ternyata memiliki kemampuan yang sama dengan bapaknya bahkan mungkin lebih baik dibanding bapaknya tidak masalah,” tambahnya.
 
Ini, ucapnya, berbeda dengan demokrasi. Dalam demokrasi politik itu bukan pengurusan terhadap urusan rakyat tetapi politik bermakna kepentingan.
 
“Kepentingan yang dilegalkan melalui peraturan perundang-undangan bahkan dengan sendirinya perundang-undangan itu dibuat akan berpihak kepada yang membuat dan juga keluarga yang membuat. Pada akhirnya negeri ini bukan menjadi milik rakyat,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 

Selasa, 14 Maret 2023

JANGAN GR, PUTUSAN MK TAK AKAN MAMPU MEMUPUS SYAHWAT POLITIK JOKOWI UNTUK TERUS BERKUASA!

"Tak ada (niatan presiden). Berkali-kali Pak Jokowi, saat ditanya soal itu beliau menjawab, beliau bilang taat kepada konstitusi. Persoalan tiga periode, penundaan pemilu, itu kan keputusan politik. Itu ada di MPR, bagaimana pun, MPR lah yang melihat secara cermat,"

[Ade Irfan Pulungan, Stafsus Presiden Jokowi]

Tinta Media - Ada sebagian orang yang naif menafsirkan keputusan MK yang menolak gugatan masa jabatan presiden terkait Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terhadap UUD 1945. Mereka menganggap, Jokowi sudah 'Game Over'.

Padahal, sikap MK yang memutuskan menolak permohonan UU Pemilu yang diajukan oleh Herifuddin Daulay yang perkaranya teregister dalam Nomor 4/PUU-XXI/2023 hanyalah tindakan repetisi. 

Karena sebelumnya, MK juga sudah pernah menolak perkara yang sama pada perkara Putusan MK Nomor 117/PUU-XX/2022. Pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-XX/2022 juga diberlakukan secara mutatis mutandis pada Nomor 4/PUU-XXI/2023.

Itu artinya, MK hanya 'Copy Paste' pertimbangan putusan perkara nomor 117/PUU-XX/2022, lalu diberlakukan untuk perkara Nomor 4/PUU-XXI/2023. Lah, dimana letak hebatnya MK?

Yang patut dicurigai, pertimbangan MK yang menyatakan tidak atau belum memiliki alasan yang kuat untuk mengubah pendiriannya. Artinya, suatu saat MK bisa saja mengubah putusan dengan dalih 'ada alasan kuat' untuk mengubah pendiriannya.

Lagipula, Jokowi bisa saja pinjam tangan DPR atau MPR untuk menunda Pemilu dalam rangka memperpanjang usia kekuasaannya. Jokowi nantinya dapat berdalih tidak ingin memperpanjang jabatannya, tidak ada niat, taat konstitusi. Tapi karena ada desakan dan keputusan dari DPR dan MPR, amanah dari wakil rakyat, aspirasi dari rakyat (meminjam legitimasi dari survey), lalu JOKOWI DENGAN ENTENGNYA AKAN MENGUCAPKAN BISMILLAH, MENERIMA AMANAH PERPANJANGAN JABATAN PRESIDEN, BAIK MELALUI MODUS TUNDA PEMILU ATAU MENGUBAH KONSTITUSI DENGAN MEMBERIKAN KESEMPATAN JOKOWI UNTUK DIPILIH KEMBALI, BAIK SECARA LANGSUNG MAUPUN DIPILIH VIA MPR DENGAN MODUS KEMBALI KE UUD 1945.

Apalagi, Jokowi biasa bohong. Tidak ada niat itu harus dipahami kebalikannya. Selama ini, fakta banyak bicara tentang kebalikan statement Jokowi.

Coba perhatikan pernyataan Ade Irfan Pulungan, Stafsus Jokowi:

"Tak ada (niatan presiden). Berkali-kali Pak Jokowi, saat ditanya soal itu beliau menjawab, beliau bilang taat kepada konstitusi. Persoalan tiga periode, penundaan pemilu, itu kan keputusan politik. Itu ada di MPR, bagaimana pun, MPR lah yang melihat secara cermat,"

Tak ada niat, bagaimana jika niat itu dititipkan kepada DPR MPR? Mengingat, semua partai mayoritas berkoalisi dengan Jokowi.

Apakah partai akan menolak, jika perpanjangan jabatan Jokowi kompensasinya adalah perpanjangan jabatan anggota DPD, DPR baik pusat hingga daerah?

Jadi, jangan terlalu sibuk copras - capres. Karena tidak ada jaminan, Pemilu dan Pilpres 2024 akan tetap berjalan sesuai jadwal. Apalagi, Oligarki sudah sangat nyaman dilayani oleh rezim hari ini. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

https://heylink.me/AK_Channel/

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab