Pupuk Bersubsidi Langka, Bagaimana Indonesia Bisa Swasembada?
Tinta Media - Presiden terpilih Prabowo Subianto menyatakan ingin menuntaskan kemiskinan dan kelaparan di Indonesia dan menargetkan akan meraih swasembada pangan dalam masa empat tahun kepemimpinannya. (cnnindonesia.com, 10/05/2024)
Benarkah Indonesia akan mampu meraih swasembada pangan?
Bagai pungguk merindukan bulan harapan di atas seolah mustahil dapat dicapai saat ini. Sebab, hal mendasar menuju swasembada pangan, yaitu ketersediaan pupuk subsidi untuk petani kian langka dan berbelit. Para petani masih mengeluhkan sulit dan rumitnya regulasi yang ada. Untuk bisa mendapatkan pupuk bersubsidi, petani harus memiliki kartu tani dan menjadi anggota dari kelompok tani yang menyusun RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok), memiliki lahan 2 hektar dan ditanami tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan. (kabar6.com, 15/12/2020).
Tidak hanya sulit dan rumit, tetapi pemerintah juga telah memangkas jumlah pupuk bersubsidi yang semula diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian (permentan) no. 41 tahun 2021 tentang penetapan alokasi dan harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi. Ada 5 jenis pupuk bersubsidi yaitu pupuk organik, urea, Super Phospat (SP-36), Zvavelvuure Ammonium (ZA), dan NPK. Lalu, diganti dengan Permentan no.10 tahun 2022 yang menyebutkan bahwa jenis pupuk yang disubsidi yaitu urea dan NPK saja.
Tidak hanya jenis pupuk, pemerintah juga membatasi komoditas yang diberi pupuk bersubsidi yang awalnya dari 70 jenis menjadi 9 jenis saja, yaitu padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, tebu, kakao, dan kopi. (cnnindonesia.com, 15/07/2022)
Pembatasan pupuk ini adalah hal yang wajar. Indonesia sebagai anggota WTO, wajib menyelaraskan kebijakan dan aturan-aturannya dengan kebijakan WTO, di antaranya mengurangi subsidi di sektor pertanian, mengurangi subsidi bagi petani yang akan melakukan ekspor, serta membuka kran impor bagi komoditas pertanian. Hal ini tertuang dalam persetujuan Indonesia terhadap perjanjian Agreement on Agriculture (AoA) thn 1995. Di samping juga adanya penandatanganan perjanjian Letter of Intent antara Indonesia dengan IMF yang mendorong Indonesia membuka pasar pangan dari luar negeri, seperti beras, gula, gandum, bawang bawang putih, kedelai, dan daging. (tempo.co, 25/04/2024)
Inilah wajah pengaturan ekonomi dalam sistem kapitalis, yaitu negara tunduk pada aturan pemilik modal. Aturan pun dibuat dan bisa diubah-ubah sesuai dengan kepentingan para pemilik modal atau negara kapitalis. Pemenuhan pangan dalam pandangan kapitalis diserahkan kepada mekanisme pasar, sehingga dalam pandangan kapitalis neoliberal, subsidi merupakan bentuk campur tangan negara terhadap mekanisme pasar.
Pelayanan publik dalam kapitalis neoliberal didasarkan pada untung atau rugi. Adanya subsidi dalam pandangan mereka adalah bentuk pemborosan yang dapat merugikan. Sedangkan peran negara dalam sistem kapitalis hanyalah sebagai regulator dan fasilitator bagi pemilik modal. Dengan kondisi yang demikian akankah Indonesia meraih swasembada pangan? Padahal, mekanisme pemberian pupuk saja masih tunduk pada aturan WTO dan negara kapitalis.
Islam Solusi Tuntas Masalah Pangan
Swasembada pangan hanya akan terwujud jika negara mampu hadir dan berperan secara berdaulat dan mandiri dalam memenuhi kebutuhan rakyat tanpa intervensi dari negara lain.
Islam adalah agama sekaligus seperangkat aturan yang sesuai dengan fitrah manusia, karena datang dari Allah Swt., Sang Pencipta sekaligus Sang Pengatur alam semesta. Karenanya, aturan Allah pun pasti sempurna dan mampu menyelesaikan setiap persoalan kehidupan.
Sistem ekonomi dalam Islam adalah penerapan berbagai kebijakan yang menjamin setiap individu masyarakat dapat memenuhi kebutuhan primer, serta jaminan yang memungkinkan terpenuhinya kebutuhan sekunder dan tersier. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat mempertahankan hidup. Pemenuhannya merupakan kewajiban yang harus dijalankan oleh negara.
Dalam upaya pemenuhan kebutuhan primer manusia, Islam memandang bahwa manusia sebagai individu, bukan sebagai suatu komunitas dalam sebuah negara. Hal ini berarti, bahwa Islam menekankan pemenuhan kebutuhan bersifat individu per individu, bukan secara kolektif. Untuk itu, negara wajib bertanggung jawab penuh atas ketersediaan pangan rakyat mulai dari produksi dan faktor-faktornya, sampai pada mekanisme pendistribusian, sehingga setiap individu dapat memenuhi kebutuhan pangan.
Negara dalam Islam wajib menyediakan setiap sarana prasarana demi tercapainya ketahanan pangan dalam negeri, seperti pupuk, alat pertanian, edukasi petani, benih, riset-riset, dan lain-lain. Di samping sebagai upaya menuju ketahanan pangan, hal tersebut juga sebagai bentuk jaminan negara agar para petani dapat tetap bekerja dan hidup sejahtera.
Ini berbeda dengan kapitalis. Jika dalam kapitalis subsidi dianggap pemborosan dan bentuk campur tangan negara dalam mekanisme pasar, maka dalam Islam subsidi merupakan pemberian negara sebagai bentuk tanggung jawab dan upaya menstabilkan dan menghindari ketimpangan ekonomi.
Nabi Muhammad saw. Pernah membagikan harta fai Bani Nadhir kepada kaum Muhajirin dan tidak kepada kaum Anshar, karena nabi melihat ketimpangan ekonomi antara keduanya. Hal itu karena Islam melarang harta berputar hanya kepada segolongan orang kaya saja.
Allah Swt. Berfirman:
ÙƒَÙŠْ لاَ ÙŠَÙƒُونَ دُولَØ©ً بَÙŠْÙ†َ اْلأَغْÙ†ِÙŠَاءِ Ù…ِÙ†ْÙƒُÙ…ْ
“Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.”
(QS Al-Hasyr [59] : 7)
Pupuk merupakan komponen vital tersedianya kecukupan pangan. Untuk itu, negara khilafah akan membentuk mekanisme yang mudah dengan harga yang terjangkau bagi para petani. Islam melarang adanya penimbunan, memonopoli hajat hidup orang banyak, intervensi asing, kecurangan, korupsi, dan lain-lain.
Semua mekanisme tersebut hanya akan bisa dijalankan oleh negara yang tegak di atas keimanan dan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai Daulah Khilafah Islam. Hanya dengan Islam, akan terwujud negara yang mandiri dan mampu mewujudkan swasembada pangan, kesejahteraan petani khususnya, serta umat manusia pada umumnya. Wallahu’alam Bisshawwab.
Oleh: Ummu Ahnaf, Pemerhati Kebijakan Publik