Tinta Media: Pungli
Tampilkan postingan dengan label Pungli. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pungli. Tampilkan semua postingan

Rabu, 10 Juli 2024

Keniscayaan Pungli dalam Sistem Kapitalisme

Tinta Media - Libur sekolah telah tiba, seiring dengan pelaksanaan penerimaan peserta didik baru (PPDB) di setiap sekolah mulai ramai,  tak terkecuali di wilayah Kabupaten Bandung. Namun mirisnya, praktik pungli kerap mewarnai dalam proses PPDB yang masih belum tuntas.  Banyak sekolah, khususnya di wilayah Kabupaten Bandung yang diketahui masih melakukan pungli terhadap orang tua bakal calon siswa baru. Tidak menutup kemungkinan, praktik pungli dalam PPDB ini juga terjadi di daerah lain.

Tentu kita tahu,  bahwa saat ini peraturan terkait PPDB yang diberlakukan di negeri ini, khususnya yang dicanangkan Bupati Bandung adalah dengan memerhatikan beberapa hal diantaranya dari penilaian prestasi akademik siswa maupun sistem zonasi.  Ketika siswa tak lolos dengan penilaian standar prestasi sekolah tersebut,  maka dua kemungkinan yang akan dilalui siswa.  Ada yang dilihat dari jarak antara sekolah dengan tempat tinggalnya, atau yang tak sedikit terjadi adalah dengan praktik pungli berupa suap-menyuap antara orang tua siswa dengan pihak sekolah. Biasanya ini terjadi di sekolah-sekolah favorit, atas dasar ambisi siswa yang menginginkan untuk bersekolah disana. Bentuk praktik pungli (suap) ini, semisal jual-beli bangku sekolah yang diperebutkan oleh para bakal calon siswa.

Beberapa penyuluhan,  arahan serta teguran dari pemerintah terkait pungli yang terjadi dalam PPDB ternyata tak memberikan efek jera bagi beberapa oknum sekolah. Ini disebabkan oleh penanganan yang kurang kondusif, serta kurangnya kesadaran oknum sekolah, termasuk oknum guru, yang masih nekat melakukan kecurangan.

Berbagai faktor dapat menjadi penyebab dari perilaku curang ini. Mulai dari faktor pribadi akibat masalah finansial yang diakibatkan oleh minimnya upah yang diterima, sementara biaya hidup tinggi karena harga berbagai kebutuhan pokok yang terus meningkat tajam. Juga akibat gaya hidup hedonis dan materialistis di tengah masyarakat, tidak memustahilkan mereka untuk mencari jalan pintas melalui suap -menyuap.

Faktor efisiensi terkait teknis PPDB pun menjadi salah satu yang membuka peluang untuk terjadinya kecurangan, yang akhirnya bukan hanya dilakukan oleh oknum pelaksana pendidikan, tapi juga gayung bersambut dengan oknum orang tua calon siswa yang menginginkan anaknya masuk ke sekolah yang ditargetkan.

Kurang tegas dan kerasnya sanksi bagi oknum pelaku kecurangan juga menjadi salah satu faktor memarakan hal ini, yang bahkan akhirnya dapat dilakukan secara 'berjamaah'.

Inilah efek dari salah urus tata kelola penyelenggaraan pendidikan di negeri ini yang berasaskan pada ideologi kapitalisme sekularisme liberalisme. Ideologi yang menjadikan kebahagiaan sebatas pada diperolehnya keinginan materi dan manfaat sebesar-besarnya, seperti harta/kekayaan, kebanggaan/prestise, serta kedudukan yang diperoleh dengan menghalalkan segala macam cara.

Begitu pula pemerintah dalam sistem kapitalisme tak ubahnya menjadikan pendidikan sebagai ajang bisnis semata, sehingga hubungan pemerintah dengan rakyat dalam penyelenggaraan pendidikan ini ibarat pembeli dan penjual. Negara menjual, rakyat membeli. Masyarakat tidak bisa mendapatkan pendidikan jika ia tak memiliki modal (uang).

Sementara di dalam Islam yang merupakan mabda atau ideologi, memandang bahwa hidup adalah semata untuk beribadah kepada Allah SWT.  Sebagaimana firman Allah dalam Quran surah Az-Zariyat ayat 56 :

 ÙˆَÙ…َا Ø®َÙ„َÙ‚ْتُ الْجِÙ†َّ ÙˆَالْاِÙ†ْسَ اِÙ„َّا Ù„ِÙŠَعْبُدُÙˆْÙ†ِ

"Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku."

Ketika Islam diterapkan dalam kehidupan,  hukum-hukumnya pun dijadikan aturan dalam sebuah negara, maka Islam mengatur terkait pendidikan bagi rakyat.  Pendidikan di dalam sistem Islam adalah salah satu kebutuhan rakyat,  sehingga negara tidak akan memungut biaya dari masyarakatnya karena itu termasuk bagian dari hak masyarakat. Biaya pendidikan dalam sistem Islam menggunakan harta Baitul maal atau uang kas negara yang telah dialokasikan untuk kebutuhan masyarakat.

Tak hanya pendidikan saja yang diurusi oleh negara,  namun kesehatan dan keamanan masyarakat dijamin oleh negara yang menerapkan aturan Islam. Itu karena, khalifah atau pemimpin negara dalam sistem Islam berperan untuk meriayah (mengatur ) urusan masyarakat dalam negara tersebut, baik muslim maupun non-muslim yang tinggal di dalamnya.

Sistem Islam yang diterapkan dalam negara akan membentuk pribadi yang beriman,  serta berakhlak mulia. Sebab,  agama Islam mendorong umatnya untuk senantiasa taat terhadap syariat dan menjauhi hal-hal yang diharamkan, salah satunya perbuatan suap- menyuap. Islam memandang bahwa perbuatan semacam ini termasuk kategori dosa besar sebagaimana dalam sebuah hadist menjelaskan dari Abdullah bin 'Amr, dia berkata, "Rasulullah melaknat pemberi suap dan penerima suap." (HR Ahmad).

Masyarakat yang memiliki pola pikir dan pola sikap islami akan menjauhkan dirinya dari perbuatan dosa. Mereka takut akan siksa yang akan didapat atas perbuatannya, pandangan mereka terkait kebahagiaan adalah untuk mendapat ridha Allah, bukan mencari manfaat apalagi demi kesenangan materi duniawi.

Di sisi lain, sistem Islam akan mewujudkan kesejahteraan masyarakat,  sehingga mereka tak akan bersusah payah untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup, termasuk para pendidik yang justru akan sangat dihargai oleh negara, dengan diberi upah yang sesuai dengan jasanya. Sebagaimana yang pernah terjadi di masa pemerintahan Umar bin Khatab, yang mengupah seorang guru sebesar 15 dinar emas (1 Dinar=4,25 gr emas). Jika dikonversikan dengan rupiah, dengan harga 1 gr emas Rp 1.000.000, maka upah gurunya masing-masing adalah sekitar Rp 63. 750.000 per bulan.

Selain itu, ketahanan pangan yang mapan karena ditopang oleh sistem ekonomi dan politik yang stabil, menjadikan daya beli rakyat pun tinggi, selain karena rakyat tidak perlu memikirkan urusan biaya pelayanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan, karena semuanya dijamin oleh negara. Maka hal ini akan menghadirkan rakyat yang sejahtera, termasuk para guru, sehingga tidak terpikirkan untuk berbuat curang, apalagi hal tersebut diharamkan oleh syariat, dengan sanksi yang tegas dan keras bagi para pelakunya. Rakyat pun terlindung dari perilaku -perilaku kotor yang dapat menjauhkan mereka dari keberkahan Allah SWT. Wallahu a'lam bishshawwab.

Oleh: Isnaeni Nur Azizah, Sahabat Tinta Media 

Minggu, 21 Januari 2024

Saat Pungli Menjadi Nadi dalam Sistem Demokrasi



Tinta Media - Kian hari kasus pungli kian tidak terkendali. Terlebih dalam badan pemerintahan yang sarat akan berbagai kepentingan. Salah satunya pungli dalam kasus korupsi yang makin tampak. 

Pungli, Niscaya dalam Sistem Demokrasi 

Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) Albertina Ho mengungkapkan ada perkiraan nilai pungutan liar di Rumah Tahanan (Rutan) KPK mencapai Rp6,148 miliar (radarbogor.com, 16/1/2024). Disebutkan juga bahwa ada 93 pegawai KPK yang "bermain" di dalamnya. 

Dalam proses pemeriksaan, ada 169 saksi yang diperiksa dalam kasus pungli rutan KPK, ada pihak internal dan eksternal KPK. Termasuk di antaranya para tahanan yang sudah menjadi narapidana. Dari 169 saksi yang dimintai keterangan, Dewan Pengawas KPK berhasil mengumpulkan bukti dalam bentuk dokumen. Uang yang diterima paling sedikit Rp 1 juta dan paling banyak Rp 504 juta. Pegawai KPK yang diduga melanggar dikenai pasal penyalahgunaan wewenang dan berhadapan dengan Majelis Sidang Kode Etik, 17 Januari 2024 (Radar Sukabumi, 16/1/2024). 

Fakta ini menunjukkan betapa buruknya tabiat penguasa saat wewenang dan jabatan tidak digunakan sebagai alat untuk melayani rakyat. Justru yang ada sebaliknya. Kekuasaan digunakan untuk mengembangbiakkan kejahatan demi memuluskan kepentingan-kepentingan yang sarat dengan keserakahan. 

Pungli alias pungutan liar yang dilakukan oknum-oknum tidak  bertanggung jawab mencerminkan buruknya watak penguasa sistem demokrasi. Kepentingan uang mendominasi setiap keputusan dan kebijakan. Parahnya lagi, hal tersebut dianggap lumrah karena begitu banyak pelaku yang mewajarkannya. 

Sistem hukum yang berlaku pun memberikan ruang yang luas tentang masalah pungli selama ini. Sanksi hukum yang tidak memberikan efek jera menjadikan para pelaku merasa "aman-aman" saja saat tertangkap melakukan pungli. Karena sistem hukum yang ada pun rawan kasus "suap menyuap" dan jual beli kasus. Sehingga politik kepentingan uang menjadi hal yang wajar terjadi. 

Inilah watak sistem demokrasi kapitalisme. Semua kebijakan dan ketetapan yang ada selalu berorientasi pada keuntungan materi semata. Sementara tujuan yang utama bak slogan semata. Tengok saja, lembaga KPK yang notabene sebagai lembaga anti rasuah, justru ramai kasus suap dan pungli. Tak terkecuali para narapidana yang telah dijebloskan ke bui pun masih bisa bermain uang. Rendahnya pengawasan dari negara menjadi salah satu penyebab maraknya kasus-kasus semacam ini. Di sisi lain, pertahanan iman setiap individu pun sangat rendah. 

Konsep nakal tentang materi terus merusak watak individu. Jelaslah, sekularisme begitu membabi buta merusak setiap pemahaman. Tidak peduli lagi standar benar salah ataupun halal haram. Yang ada, semua dihalalkan demi mendapatkan kesenangan dan keuntungan semata. Wajar saja, kerusakanlah yang pasti terjadi. 

Penjagaan Islam 

Islam menetapkan konsep kepemimpinan yang jelas. Pemimpin adalah pengurus seluruh urusan rakyat. Pondasi iman dan takwa mutlak dimiliki oleh seorang pemimpin. Karena dengan konsep tersebut, watak pemimpin mampu terjaga dengan utuh. Setiap kebijakan yang ditetapkan senantiasa tertuju pada penjagaan rakyat. Semua dilakukan demi meraih ridha Allah SWT. 

Rasulullah SAW. bersabda, 

"Imam adalah ra'in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya" (HR. Al Bukhari). 

Masalah pungli dan korupsi adalah masalah sistemis yang dapat tuntas disolusikan dengan penerapan syariat Islam secara sempurna. Syariat Islam yang menyeluruh hanya mampu diwujudkan dalam sistem Islam dalam wadah institusi khilafah. 

Dalam institusi khilafah, khalifah akan menerapkan cara preventif (pencegahan) dan kuratif (penuntasan masalah) dengan efektif. Pertama melalui proses pengawasan dan penguatan aspek ruhiyah para penguasa. Sehingga setiap kebijakan dan tindakan yang dilakukan senantiasa mengacu pada konsep halal haram yang shahih. Kedua, pengawasan masyarakat. Kontrol sosial mampu mengurangi atau bahkan mengeliminasi setiap perbuatan zalim, termasuk korupsi, rasuah atau sejenisnya. 

Masyarakat yang memahami syariat Islam akan senantiasa melakukan amar ma'ruf dan mengingatkan penguasa agar senantiasa menjalankan amanahnya sesuai pagar syariah. Ketiga, adanya pengawasan negara. Negara menjadi hal utama dalam mengatasi kasus korupsi. Setiap kebijakan hukum dan sistem sanksi yang diterapkan dalam khilafah, disesuaikan dengan aturan syara'. Setiap hukum dan sistem sanksi diterapkan agar mampu memberikan efek jera pada pelaku korupsi. Sistem Islam-lah satu-satunya support system yang mampu menghentikan mata rantai kasus korupsi dan rasuah yang kini semakin parah. 

Demikianlah Islam menjaga kemuliaan setiap manusia. Penguasa amanah, rakyat terjaga dan hidup pun berkah.
Wallahu a'lam bisshowwab.

Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor 

Rabu, 05 Juli 2023

Pemberantasan Korupsi Hanyalah Ilusi

Tinta Media - Sungguh ironis, lembaga yang dipercayakan oleh rakyat untuk memberantas korupsi malah tidak bisa diharapkan. Temuan Pungli di rutan KPK mencapai Rp4 miliar. Dugaan pungli telah terjadi lama, yaitu dalam kurun waktu Desember 2021 hingga Maret 2022 dan sekarang kasus tersebut baru terungkap serta tengah menjadi sorotan.

Mencuatnya kasus ini setelah dewan pengawas KPK mengumumkan ada praktik pungli di lingkungan KPK. Terdapat dua unsur pelanggaran yang diselidiki, yaitu pelanggaran etik dan tindak pidana.

Ali Fikri sebagai juru bicara Penindakan dan Kelembagaan KPK mengatakan bahwa pihaknya menerima beberapa aduan dari masyarakat mengenai sejumlah modus korupsi di lapas. Modus itu antara lain, dugaan pungutan liar, suap-menyuap, penyalahgunaan wewenang, hingga pengadaan barang dan jasa.

Lembaga antirasuah ini melakukan penyelidikan dan membagi penanganan kasus menjadi 2 klaster, yaitu tindak pidana dan pelanggaran disiplin pegawai.

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM) Yogtakarta, Zaenur Rohman mengatakan bahwa terbongkarnya kasus dugaan pungli di rutan KPK merupakan bukti bahwa Dewan Pengawas KPK bisa bertindak tegas. Sayangnya, ketegasan tersebut terkesan tebang pilih. Hal itu terlihat perlakuan yang berbeda kepada level bawah, seolah tidak ada beban dalam menindak lanjut kasus. Artinya, KPK bertindak tegas, tetapi kepada level atas seolah nyalinya menciut.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Diky Anandya menyebut bahwa sejumlah kasus pungli di rutan KPK menunjukkan lemahnya integritas para pegawai KPK di era kepemimpinan Firli Bahuri.

Menurut Zaenur, pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas kasus ini bukan hanya pelaku yang menerima uang, melainkan juga jajaran di atasnya yang gagal memberikan keteladanan dan melakukan pengawasan  (Tirto, 24-6-2023).

Inilah dampak penerapan sekularisme, menghasilkan kerusakan dan kemaksiatan yang tidak berkesudahan. Lembaga yang menjadi harapan di tuntaskannya praktik korupsi menjadi lembaga yang justru melakukannya. 

Rasa takut pada Allah kian mengikis karena cinta pada harta dan dunia mengalahkan segalanya, sampai berani bermaksiat dan menghalalkan segala cara. Sikap acuh dan tidak peduli pun menjadi budaya di tengah masyarakat sehingga tidak ada suasana saling menasihati sebagai bentuk kecintaannya pada saudaranya.

Hukum tebang pilih bak pisau yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah menjadi penampakan yang  biasa dalam penerapan sanksi di negeri ini. Jika pun diberi sanksi, maka tidak menimbulkan efek jera sama sekali. Lantas, apa yang bisa diharapkan dari penerapan sistem yang dibuat manusia ini?

Islam mampu menghapus tuntas korupsi

Islam sebagai agama yang datang dari Pencipta jagat raya ini, tentu saja memiliki solusi terpercaya dan paling jitu. Keharusan kita sebagai hamba-Nya meyakini dan menjalankannya secara sempurna. Solusi ini tidak bisa dijalankan oleh salah satunya, melainkan harus bergerak bersama-sama. Mekanisme Islam sangatlah unik, yaitu dengan melibatkan peran individu, masyarakat, dan negara dalam menjaga dan menerapkan aturan-aturan atau hukum.

Individu, artinya harus tertanam pada diri kaum muslimin akidah Islam yang kuat, sehingga membuatnya terjaga dari perbuatan dosa dan maksiat, menjadikan halal dan haram sebagai alarm dalam setiap aktivitas kehidupan, termasuk dalam berpolitik.

Masyarakat, yaitu terciptanya lingkungan yang kondusif, suasana saling menasihati terjadi. Amar ma'ruf nahi munkar dilakukan sebagai bentuk kecintaan pada saudaranya. Jika ada anggota masyarakat yang terindikasi bermaksiat, umat segera melaporkannya tanpa melihat status sosialnya.

Keberadaan individu yang bertakwa dan masyarakat yang melakukan amar maruf nahi munkar, menjadi penguat satu sama lain, termasuk keberadaan negara sebagai pelaksananya.

Peran negara, yaitu dengan menerapkan Islam secara kaffah menggunakan aturan-aturan dari Allah dan rasul-Nya, termasuk dalam memberlakukan sanksi hukum atas praktik korupsi yang akan menimbulkan efek jera karena sanksi yang diberikan sangat tegas, tidak bertele tele, sehingga membuat masyarakat tidak berani melakukan hal yang sama. Negara pun akan memberikan tindakan pencegahan agar perbuatan terlaknat seperti korupsi tidak terulangi.

Bahkan, negara sampai menghitung jumlah kekayaan pejabat sebelum dan setelahnya sebagai bentuk penjagaan dari praktik korupsi. Dalam Islam, tidak akan terjadi fenomena hukum yang tumpul ke atas tajam kebawah. Sebagaimana hadits Nabi saw. yang telah masyhur,

"Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya’” (HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688).

Rasulullah saw. di sini sebagai kepala negara yang menerapkan  sanksi tegas pada siapa pun yang melanggar perintah Allah dengan begitu ketat. Selain sebagai pencegahan, sanksi yang diberlakukan dalam Islam bisa sebagai penebus dosa.

Jenis hukuman yang diberikan atas perbuatan mencuri adalah takzir, yaitu diserahkan kepada Khalifah, bisa dalam bentuk penjara, pengasingan, hingga hukuman mati. Ini tergantung dari bentuk pencuriannya, dalam hal ini korupsi. 

Begitu pun pembentukan Individu yang berkepribadian Islam, terus mengupayakan agar negara menutup rapat pintu-pintu celah kemaksiatan.

Itulah bentuk luar biasanya Islam dalam menuntaskan praktik korupsi yang mustahil dilakukan dengan penerapan sistem sekularisme, yang memisahkan agama dengan kehidupan. Penerapan kembali sistem Islam di seluruh sendi-sendi kehidupan adalah agenda besar dan harus menjadi cita-cita bersama kaum muslimin.

Oleh: Nurleni
Guru

Praktik Rasuah oleh Lembaga Anti-Rasuah, Miris

Tinta Media - Bagaikan pungguk merindukan bulan, begitulah pribahasa yang  pas untuk menggambarkan keinginan rakyat terhadap kasus korupsi yang semakin menjadi-jadi di negeri ini. Rakyat menginginkan korupsi hilang dari bumi pertiwi ini, tetapi apa kenyataannya? Lembaga anti korupsi  atau KPK justru terlibat kasus korupsi juga dalam lembaganya, ironis.

Seperti yang dilansir oleh media online tirto.id pada tanggal 24 Juni 2023, praktik pungutan liar atau pungli di lingkungan rumah tahanan (rutan) KPK saat ini tengah menjadi sorotan. Selain total nominal yang besar hingga mencapai Rp4 miliar, sejumlah pihak juga melihat perlunya perombakan sistem di internal KPK. 

Kasus ini mencuat setelah Dewan Pengawas (Dewas) KPK mengumumkan adanya temuan praktik pungli di lingkungan rutan KPK. Ketua Dewas KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean menyebut, temuan itu didasari atas inisiatif penyelidikan yang dilakukan oleh Dewas. (tirto.id)

Bahkan dalam temuannya, Dewas (Dewan Pengawas KPK) mengatakan bahwa kasus pungli ini terjadi sejak Desember 2021 sampai dengan bulan Maret 2022. Setidaknya ada dua dugaan pelanggaran dalam kasus ini, yaitu pelanggaran etik pegawai dan tindak pidana.

Korupsi Subur di Alam Demokrasi

Ibarat jamur yang tumbuh subur di musim hujan, korupsi menjalar ke hampir semua lembaga pemerintah, tak terkecuali lembaga anti-korupsi itu sendiri. Ini jelas sangat memalukan, bagai menampar muka sendiri. Bagaimana tidak, seharusnya lembaga anti-korupsi mampu menunjukkan kinerjanya yang baik dalam memberantas korupsi. Akan tetapi, kenyataannya justru KPK sendiri juga terlibat korupsi. Sekali lagi, ini sangat memalukan.

Meskipun dikatakan bahwa KPK adalah lembaga independen, tetapi faktanya tetaplah tidak bisa lepas dari budaya korupsi. Sebab, korupsinya bukan hanya terkait dengan oknum per oknum, tetapi korupsi ini sudah terjadi secara sistemis. Bukan korupsi kaleng-kaleng, tetapi sudah mencapai jumlah yang fantastis, 4 miliar rupiah ... Wow! 

Meskipun kasus korupsi di tubuh KPK ini terjadi karena sistem, tidak bisa dimungkiri juga bahwa integritas pegawai KPK juga sangat lemah. Buktinya, mereka menghalalkan segala cara demi mendapatkan harta duniawi. Salah satu cara yang mereka lakukan adalah dengan mengambil pungutan-pungutan liar.

Selain itu, yang menyebabkan korupsi sulit diberantas adalah  sistem sanksi yang diterapkan tidak bisa memberikan efek jera bagi pelaku korupsi. 
Justru, sanksi bagi pelaku korupsi hanya penjara, yang bisa dibeli fasilitasnya. 

Lihatlah bagaimana koruptor-koruptor kelas kakap itu menikmati ruangan VIP di penjara. Penjaranya ibarat kamar hotel bintang lima, ada AC, kulkas, dan tempat tidur yang empuk. Bagaimana mereka tidak betah, kalau fasilitas mewah? Bahkan, ada beberapa koruptor yang diam-diam bisa plesiran  keluar penjara. Mengaoa bisa? Sekali lagi di alam demokrasi semua yang tidak mungkin, menjadi mungkin, asalkan ada "pelumasnya".

Beginilah dampak penerapan sistem kapitalisme demokrasi, tidak akan pernah bisa memberantas korupsi sampai ke akarnya, bahkan sebaliknya semakin tumbuh subur.

Berharap korupsi akan zero di negeri ini, tentu tidak akan pernah terwujud jika sistemnya masih buatan manusia. 

Islam Berantas Korupsi Hingga ke Akarnya

Islam merupakan agama yang memiliki peta jalan bagi kehidupan. Islam selalu mempunyai solusi bagi setiap masalah yang ada, termasuk masalah korupsi.
  
Islam dengan sistem pendidikannya yang luar biasa terbukti mampu melahirkan individu-individu yang beriman dan bertakwa kepada Allah. Individu yang demikian tentu akan memilki integritas kepegawaian yang kuat dan didasarkan pada keimanan yang tinggi, sehingga tidak menghalalkan segala cara dalam mencari harta duniawi.

Pelaksanaan politik yang syar'i (ri'ayah syar'iyyah) akan diterapkan dengan cara mengurusi semua urusan rakyat dengan sepenuh hati sesuai dengan syariat Islam. Jika semua urusan rakyat sudah terpenuhi, tentunya akan ada perasaan malu untuk melakukan korupsi. 

Selain pembentukan pribadi setiap individunya, Islam juga akan menerapkan sistem sanksi yang tegas jika ada pelanggaran, termasuk pelanggaran korupsi. Sehingga sanksi itu akan memberikan efek jera dan tentunya menjadi penebus dosa bagi pelakunya. Sanksi tegas itu bisa berupa publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.  

Semua ini tidak mungkin bisa diterapkan dalam sistem demokrasi sekuler seperti saat ini. Sebab, semua hukum Islam hanya bisa diterapkan dalam sebuah institusi yang berdasarkan akidah Islam, yaitu sebuah negara Islam yang berdasarkan Al-Qur'an dan As Sunnah. Negara itu pernah jaya di masa keemasannya dan Insya Allah akan berjaya lagi sesuai MK Allah. Negara itu tidak lain adalah Daulah Khilafah 'Ala Min Hajjin Nubuwwah.
Wallahu a'lam...

Oleh: Sri Syahidah
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab