Tinta Media: Puasa
Tampilkan postingan dengan label Puasa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puasa. Tampilkan semua postingan

Minggu, 17 Maret 2024

Menjadi Taqwa Tak Cukup dengan Puasa



Tinta Media - Ternyata untuk bisa menjadi orang bertakwa tak cukup hanya lewat puasa Ramadhan. Di dalam al-Quran ada 6 ayat yang ujungnya diakhiri dengan frasa “la’allakum tattaqun” (agar kalian bertakwa) sebagaimana yang terdapat dalam QS al-Baqarah ayat 183 terkait kewajiban puasa Ramadhan. 

Di sini saya hanya akan menyebutkan 4 ayat saja:

Ayat yang memerintahkan manusia untuk menyembah (beribadah kepada) Allah SWT. Para ulama memaknai ibadah tak hanya melulu yang bersifat ritual (mahdhah) seperti shalat, puasa, haji, dll; tetapi mencakup semua jenis ketaatan kepada Allah SWT dalam seluruh aspek kehidupan (ghayr mahdhah) seperti dalam bidang ekonomi, politik, pemerintahan, hukum, pendidikan, sosial, dll. 

Hakikat ubudiah sendiri, menurut Imam Ja’far ash-Shadiq, mencakup tiga hal:

(1) Seorang hamba menyadari bahwa apa yang ada pada dirinya bukan miliknya, tetapi milik Allah SWT yang kebetulan Dia titipkan kepada dirinya; 
(2) Seorang hamba wajib tunduk dan patuh tanpa membantah pada semua perintah Allah SWT tanpa kecuali; 
(3) Seorang hamba tidak boleh membuat hukum/aturan apa pun di luar hukum/aturan yang telah Allah SWT buat. Mereka hanya berkewajiban menerapkan seluruh hukum/aturan (syariah)-Nya. 

Terkait semua itu, Allah SWT berfirman:

 يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ 

(Hai manusia, sembahlah Tuhan kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 21).

Ayat yang memerintahkan kaum Muslim untuk menegakkan semua sanksi hukum (hudud, jinayat, ta’zir dan mukhalafat), khususnya hukum qishash. Allah SWT berfirman:

  وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون

(Dalam penegakan hukum qishash itu ada kehidupan bagi kalian agar kalian bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 179).

Ayat yang memerintahkan kaum Muslim untuk menunaikan shaum Ramadhan. Allah SWT berfirman:

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون

(Hai kaum beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu telah diwajibkan atas kaum sebelum kalian, agar kalian bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 183).

Ayat yang memerintahkan kaum Muslim untuk hanya mengikuti “jalan lurus”, yakni Islam dan seluruh syariahnya, dan haram mengikuti jalan-jalain lain yang bisa mengakibatkan mereka menyimpang dari ideologi dan sistem Islam. Allah SWT berfirman: 

 وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ 

(Inilah jalanku yang lurus. Karena itu, ikutilah oleh kalian jalan itu, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan lain sehingga bisa mengakibatkan kalian tercerai-berai (menyimpang) dari jalan tersebut. Itulah wasiat Allah kepada kalian agar kalian bertakwa (QS al-An’am [6]: 153).

Atas dasar itu, dalam momentum Idul Fitri ini, marilah seluruh umat Islam bersegara menerapkan seluruh syariah Islam secara kaffah dalam semua aspek kehidupan di bawah naungan institusi Khilafah ‘ala mihaj an-Nubuwwah. Hanya dengan itulah ketakwaan paripurna bisa benar-benar terwujud dalam diri umat. 
Marilah kita amalkan ayat berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ 

(Hai kaum yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara totalitas, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh kailan yang amat nyata (QS al-Baqarah [2]: 208).
WalLahu a’lam.

Wa mâ tawfîqî illâ billâh wa ’alayhi tawakkaltu wa ilayhi unîb. []


Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar
(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor).

Selasa, 05 Maret 2024

Mengqadha Puasa yang Ditinggalkan Selama Bertahun-Tahun, Wajibkah Membayar Fidyah?



Tinta Media - Bagi orang yang tidak melaksanakan puasa selama bertahun-tahun tanpa ‘udzur (halangan) padahal ada kemampuan dan kesempatan untuk melakukannya, wajibkah ia mengqadha disertai membayar fidyah? Inilah pendapat tiga madzhab fikih berkaitan dengannya. Tulisan ini adalah terjemahan bebas dari soal-jawab al ‘âlim al jalîl as-Syaikh ‘Atha Ibn Khalil Abu Rasytah di Facebook. 



Soal: 

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh

Wahai syaikh, saya ingin mengetahui hukum Allah terkait mengqadha puasa agar hati saya menjadi tenang. Saya di waktu jahiliyah (belum bertaubat) tidak berpuasa di bulan Ramadhan dengan sengaja tanpa ada ‘udzur (halangan yang dibenarkan syariat). Kemudian alhamdulillah,  Allah merahmatiku hingga saya bertaubat. Bagaimana saya mengqadha puasa yang ditinggalkan. Apakah ada kewajiban membayar fidyah setiap tahunnya ataukah cukup mengqadha saja. Saya berharap Anda ,wahai Syaikh kami menjawab pertanyaan ini. 

Jawab: 

Wa ‘alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh

Wahai saudaraku, Anda menyatakan bahwa anda tidak mengerjakan puasa secara sengaja selama waktu tertentu tanpa ada ‘udzur. Kemudian setelah sekian tahun berlalu, Allah memberi Anda hidayah pada jalan yang lurus. Lalu anda berpuasa... Atas dorongan takwa Anda ingin mengqadha puasa Ramadhan yang tidak dikerjakan sebelumnya. Sungguh, saya memuji Allah atas nikmat hidayah yang Allah berikan pada Anda yang menghantarkan  pada sebaik-baik ketaatan hingga Anda tidak mencukupkan dengan puasa yang Anda jalani setelah mendapat hidayah. Anda juga sangat bersemangat untuk mengqadha puasa bulan Ramadhan yang ditinggalkan. Semoga Allah melimpahkan berkahnya pada Anda dan bagi Anda sebaik-baik taubat. Semoga Allah menyempurnakan nikmat dan rahmatnya pada Anda. Aamiin 

Saudaraku yang mulia, kami (beliau sebagai amir Hizbut Tahrir) tidak mentabanni (adopsi) perkara ibadah. Kami persilakan perkara ini  bagi muslim untuk mengikuti pendapat dari  madzhab yang ada pada topik puasa atau shalat..... Kami disini akan paparkan sebagian pendapat fikih terkait mengqadha puasa dan hal-hal terkait yang semoga dengannya menjadikan dada Anda menjadi lapang dan hati menjadi tenang: 

1. Terdapat dalam kitab Nihâyah al-Mathlab fî Dirâyah al-Madzhab, karya ‘Abdul Malik al Juwaini yang bergelar Imam al Haramain (w. 478 H), beliau adalah ahli fikih madzhab Imam Asy Syafi’i: 

“Siapa saja yang  telah berlalu (tidak melaksanakan puasa) di bulan Ramadhan dan memungkinkan untuk mengqadhanya, tidak boleh ia melambatkan qadhanya hingga masuk bulan Ramadhan tahun selanjutnya. Apa yang kami sebutkan bukanlah sesuatu yang dianjurkan, namun sesuatu yang wajib dilakukan, seiring adanya kemampuan dan hilangnya halangan. Jika terpaksa mengundurkan qadha puasa pada tahun selanjutnya tanpa ada ‘uzdur, maka selain mengqadha, wajib pula membayar fidyah sebanyak satu mud makanan setiap harinya, jika melambatkan mengqadha selama dua tahun atau beberapa tahun, maka berkaitan mengandakan fidyah ada dua pendapat: 

Pertama, fidyahnya tidak dilipatgandakan, namun seperti hanya melambatkan satu tahun saja. Pendapat yang shahih (lebih kuat) adalah melipatgandakan fidyah. Wajib baginya membayar fidyah untuk satu tahun yang lewat satu mud setiap harinya, jika terlambat mengqadha dua tahun maka dua mud setiap harinya.  Hal ini sebagai tambahan. Inilah ketentuan tentang fidyah... 

Hal ini berarti qadha puasa Ramadhan, hendaklah dilakukan sebelum masuk Ramadhan tahun selanjutnya. Jika melambatkan hingga masuk bulan Ramadhan maka wajib atasnya mengqadha dan membayar fidyah. Dan pendapat lain bahwa jika melambatkan mengqadha hingga dua tahun maka wajib atasnya membayar dua fidyah (dari setiap hari yang ditinggalkan, pent) disertai qadha. 

2. Terdapat dalam kitab Kasysyafu al-Qina’ ‘an matni al-Iqna’, karya Manshur bin Yunus al Buhuti al Hanbaliy (w. 1051 H) 

“Siapa saja yang tidak mengerjakan puasa Ramadhan sebulan penuh atau sebagiannya. Maka hendaklah ia mengqadha sejumlah hari yang ditinggalkan. Dan boleh melambatkan pelaksanaan qadha selama belum berlalu waktunya yakni hingga nampaknya hilal bulan Ramadhan selanjutnya. Tidak boleh melambatkan qadha puasa hingga masuk bulan Ramadhan selanjutnya tanpa ‘udzur. Jika melambatnya hingga bertemu bulan Ramadhan selanjutnya maka ia wajib mengqada dan memberi makan orang miskin setiap harinya yang teranggap sebagai kafarah (penebus keterlambatan). Tidak dilipatgandakan fidyah karena beberapa kali Ramadhan terlambat mengqadha, karena banyaknya keterlambatan tidak menambah kewajiban fidyah sebagaimana jika mengakhirkan haji yang wajib beberapa tahun, tidak ada kewajiban baginya melaksanakan haji berkali-kali)...hal ini berarti bahwa siapa yang tidak melaksanakan puasa Ramadhan dan tidak mengqadhanya hingga bertemu Ramadhan selanjutnya maka wajib atasnya qadha dan fidyah. 

3. Adapun Madzhab Abu Hanifah, meski melambatkan qadha puasa hingga bertemu Ramadhan selanjutnya maka yang diwajibkan hanya mengqadha puasa, tanpa fidyah. 

Dalam kitab al-Mabsûth karya Imam Sarkhasiy, ahli fikih madzhab Hanafi (w. 483) disebutkan: 

“Orang yang ada kewajiban mengqadha puasa Ramadhan namun tidak mengqadhanya hingga bertemu bulan Ramadhan selanjutnya, maka wajib atasnya mengqadha Ramadhan yang telah lewat, menurut madzhab kami tidak ada kewajiban fidyah. Sedangkan menurut Imam Syafi’i rahimahullah wajib mengqadha serta membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin setiap harinya. Bagi kami yang zhahir (dalil yang terang) adalah firman Allah Ta’ala: “maka hendaklah mengqadhanya di hari yang lain” (QS. al Baqarah [2]: 184). Pada ayat di atas tidak ada batasan waktu tertentu, sedangkan membatasi waktu tertentu, yaitu di antara dua Ramadhan adalah sebuah tambahan, padahal puasa adalah ibadah yang terkait dengan waktu tertentu tetapi mengqadhanya tidak dibatasi waktu tertentu (pent). 

Di dalam kitab Badaî’u al-Mashani’ fi Tartîb as-Syarâ’i karya ‘Alâ’u ad-Din al Kâsâniy al Hanafi (w. 587 H) disebutkan:

“Pendapat ulama madzhab Hanafi, bahwa mewajibkan qadha tanpa batasan waktu tertentu, sebagaimana kami sebutkan bahwa perkara qadha puasa adalah mutlak, tanpa batasan sebagian waktu atas sebagian waktu yang lain. Jadi sifatnya mutlak (tanpa batasan waktu). Atas dasar ini maka ashab kami menyatakan: bahwasanya jika melambatkan qadha Ramadhan hinga masuk Ramadhan selanjutnya tidak ada kewajiban fidyah...” 

Hal ini berarti bahwa madzhab Abu Hanifah hanya mewajibkan qadha tanpa fidyah, yaitu qadha semata atas hari-hari di bulan Ramadhan Ramadhan yang tidak dilaksanakan puasa. 

Sebagaimana saya sampaikan di awal, bahwa kami tidak mentabanni perkara ibadah. Saya hanyalah memaparkan kepada Anda sebagian pendapat madzhab Abu Hanifah, asy Syafi’i dan ahli fikih madzhab Hanbali. Dan apa yang menurut Anda melapangkan dada Anda (dari pendapat-pendapat yang telah dipaparkan, pent) maka lakukannlah. Semoga Allah memberikan taufik kepada Anda terhadap apa yang Allah sukai dan ridhai. 

Saya berharap hal ini memadai. Dan Allah Maha mengetahui dan Maha Adil. 

Saudaramu, ‘Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah
8 Ramadhan 1440 H/13 Mei 2019

Oleh: ‘Syekh Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah
Penerjemah: Wahyudi Ibnu Yusuf 

Senin, 15 Mei 2023

Ustadzah Rif'ah Kholidah: Seseorang yang Masih Punya Hutang Puasa Ramadhan Boleh Melakukan Puasa Syawal

Tinta Media - Konsultan dan Trainer Keluarga Ustadzah Rif'ah Kholidah dari Muslimah Media Center (MMC) menuturkan bolehnya seseorang berpuasa Syawal meski belum mengqadha puasa Ramadhan.

"Boleh bagi seseorang yang masih punya hutang puasa di bulan Ramadhan karena uzur syar'i, misalkan karena sakit, haid, nifas, safar, dan yang lainnya, untuk melakukan puasa 6 hari di bulan Syawal. Meskipun ia belum mengqadha puasa Ramadhannya," tegasnya dalam tausiyah Jelang Kemenangan: Keutamaan Puasa 6 Hari di Bulan Syawal, Ahad (7/5/2023) di kanal Youtube Muslimah Media Center.

Ustadzah Rif'ah Kholidah memaparkan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya seseorang berpuasa 6 hari di bulan Syawal sebelum mengqadha puasa Ramadhannya. 

"Pendapat pertama yaitu pendapat para jumhur ulama yakni ulama mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafii. Dan pendapat kedua yaitu pendapat ulama mazhab Hambali yang mengharamkan puasa 6 hari di bulan Syawal sebelum mengqadha puasa Ramadhan," ungkapnya. 

Dari dua pendapat ini, menurutnya, pendapat yang lebih rajih atau yang lebih kuat adalah pendapat jumhur ulama yang membolehkan puasa 6 hari di bukan Syawal sebelum mengqadha puasa Ramadhan. 

Ustadzah Rif'ah menuturkan ini dikarenakan mengqadha puasa Ramadhan adalah kewajiban yang longgar waktunya atau wajib wasa' yakni dapat dikerjakan mulai dari bulan Syawal sampai bulan Sya'ban.

Ia menunjukkan dengan dalil bahwa mengqadha puasa Ramadhan adalah kewajiban yang wasa' atau yang longgar waktunya. Hal ini ada pada hadits dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha yang artinya: Saya pernah mempunyai kewajiban qadha puasa Ramadhan, maka saya tidak mampu mengqadhanya kecuali di bulan Sya'ban (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)

"Hadits ini menunjukkan bahwa mengadha puasa Ramadhan itu waktunya adalah longgar dari bulan Syawal sampai Sya'ban yakni satu bulan sebelum Ramadhan berikutnya. Padahal sudah kita ketahui bahwa 'Aisyah radhiyallahu 'anha adalah orang yang sangat gemar melaksanakan amal ibadah sunah termasuk melaksanakan puasa 6 hari di bulan Syawal," jelasnya.

Ustadzah Rif'ah Kholidah juga memaparkan bahwa, dalam kitabnya Al-Qawaid, Imam Ibnu Rajab al-Hambali menjelaskan tentang kebolehan mendahulukan kesunnahan atau an-nawafil dari kewajiban yang longgar waktunya atau wajib wasa'. Jika ibadah mahdhah itu waktunya longgar atau wasa' maka boleh melakukan kesunnahan sebelum melaksanakan kewajiban seperti shalat. dan boleh pula melakukan kesunnahan sebelum mengadha suatu kewajiban seperti puasa Ramadhan.

"Ini menurut pendapat yang lebih shahih," pungkasnya.[] Hanafi


Kamis, 23 Maret 2023

Puasa Itu Menyehatkan

Tinta Media - Sobat. Ibadah puasa Ramadhan adalah salah satu rukun Islam yang diwajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang telah mukallaf. Tujuan utama dari syariat ini tiada lain agar manusia mencapat derajat takwa. Syariat yang kita kerjakan bukan ditujukan untuk meyehatkan tubuh, melainkan untuk menaati Allah dan Rasul-Nya. Efek dari syariat tersebut adalah qalbu dan raga yang sehat.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ 

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” ( QS. Al-Baqarah (2): 183 )

Sobat. Para ulama banyak memberikan uraian tentang hikmah berpuasa, misalnya: untuk mempertinggi budi pekerti, menimbulkan kesadaran dan kasih sayang terhadap orang-orang miskin, orang-orang lemah yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, melatih jiwa dan jasmani, menambah kesehatan dan lain sebagainya.

Uraian seperti di atas tentu ada benarnya, walaupun tidak mudah dirasakan oleh setiap orang. Karena, lapar, haus dan lain-lain akibat berpuasa tidak selalu mengingatkan kepada penderitaan orang lain, malah bisa mendorongnya untuk mencari dan mempersiapkan bermacam-macam makanan pada siang hari untuk melepaskan lapar dan dahaganya di kala berbuka pada malam harinya. Begitu juga tidak akan mudah dirasakan oleh setiap orang berpuasa, bahwa puasa itu membantu kesehatan, walaupun para dokter telah memberikan penjelasan secara ilmiah, bahwa berpuasa memang benar-benar dapat menyembuhkan sebagian penyakit, tetapi ada pula penyakit yang tidak membolehkan berpuasa. Kalau diperhatikan perintah berpuasa bulan Ramadan ini, maka pada permulaan ayat 183 secara langsung Allah menunjukkan perintah wajib itu kepada orang yang beriman.

Sobat. Orang yang beriman akan patuh melaksanakan perintah berpuasa dengan sepenuh hati, karena ia merasa kebutuhan jasmaniah dan rohaniah adalah dua unsur yang pokok bagi kehidupan manusia yang harus dikembangkan dengan bermacam-macam latihan, agar dapat dimanfaatkan untuk ketenteraman hidup yang bahagia di dunia dan akhirat.

Pada ayat 183 ini Allah mewajibkan puasa kepada semua manusia yang beriman, sebagaimana diwajibkan kepada umat-umat sebelum mereka agar mereka menjadi orang yang bertakwa. Jadi, puasa sungguh penting bagi kehidupan orang yang beriman. Kalau kita selidiki macam-macam agama dan kepercayaan pada masa sekarang ini, dijumpai bahwa puasa salah satu ajaran yang umum untuk menahan hawa nafsu dan lain sebagainya.

Sobat. Perintah berpuasa diturunkan pada bulan Sya'ban tahun kedua Hijri, ketika Nabi Muhammad saw mulai membangun pemerintahan yang berwibawa dan mengatur masyarakat baru, maka dapat dirasakan, bahwa puasa itu sangat penting artinya dalam membentuk manusia yang dapat menerima dan melaksanakan tugas-tugas besar dan suci.

Sobat. Dalam konteks kesehatan, puasa ramadhan pun sejatinya memiliki tiga proses yang harus dilalui seseorang untuk menjadi sehat dan memiliki system tubuh yang seimbang.

1. Proses Detoksifikasi (Mengeluarkan racun). Tubuh kita akan merasakan lapar, lemas, pusing, sedikit meriang, denyut jantung menurun, dan lain-lain. Pada fase ini tubuh sedang mengalami detoksifikasi. Terjadi penurunan gula darah, kolesterol dan asam urat secara drastic. Jika perlu bukti, sebelum puasa Ramadhan, ceklah kesehatan di lab, ukur kolesterol, asam urat dan kadar gula. Nah, setelah 10 hari pertama puasa ramadhan, silahkan cek ulang dan badingkan hasilnya dengan sebelum berpuasa.

2. Proses Rejuvenasi (Peremajaan). Tubuh mungkin akan terasa lebih ringan karena mulai terbiasa dengan aktivitas puasa. Pada fase ini, proses pengeluaran racun masih berlangsung, tetapi kecepatannya mulai melambat. Pada fase ini pula mulai terjadi peremajaan pada bagian sel-sel yang rusak. Inilah yang disebut proses autofagi, yaitu mekanisme pembongkaran bagian-bagian sel yang sudah tua, rusak, tidak berfungsi dan menggantinya dengan sel yang baru. Pada sepuluh hari kedua ini, tubuh berhasil memperbarui sekitar 60 % sel-sel tubuh. Sistem tubuh pun mulai mengarah pada keseimbangannya.

3. Proses Stabilisasi (Pemantapan kondisi). Tubuh memasuki kondisi keseimbangan alamiah. Detoksifikasi berjalan dengan lancar, proses autofagi berhasil mengganti dan meremajakan sel-sel tubuh secara sempurna, konsentrasi dan daya ingat meningkat, emosi lebih stabil, kekebalan tubuh meningkat hingga sepuluh kali lipat, serta berat badan kembali normal.

Sobat. Selain menjaga keseimbangan tubuh. Manfaat puasa bagi kesehatan adalah:

• Puasa mampu mengobati penyakit mag. Makanan yang terlalu banyak dan pola makan yang tidak terkontrol adalah salah satu penyebab meningkatnya asam lambung. Fakta bahwa kadarasam lambung pada penderita mag yang berpuasa justru lebih mendekati normal dibandingkan hari-hari saat tidak berpuasa, pola makan kita jauh lebih teratur. Berpuasa juga mampu mengurangi kebiasaan-kebiasaan buruk kita, seperti kebiasaan makan camilan, makan makanan berlemak, merokok, serta minuman berkafein dan bersoda.

• Puasa mampu mengobati penyakit hipertensi. Puasa dapat menstabilkan tekanan darah yang disebabkan oleh pola makan yang tidak terkontrol, juga menstabilkan emosi dan rasa cemas yang sering terjadi. Saat berpuasa, tubuh akan mengurangi produksi hormon yang dapat meningkatkan tekanan darah. Selain itu, saat berpuasa juga wajib menahan emosi sehingga tekanan darah menjadi lebih stabil.

• Puasa membantu menurunkan obesitas. Puasa Ramadhan adalah bentuk diet terbaik untuk mengatasi obesitas jika dilakukan dengan benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW yaitu sederhana dalam urusan makanan.

• Puasa membantu mengobati penyakit diabetes mellitus. Dengan kekuasaan Allah SWT puasa mampu mengobati penyakit diabetis mellitus. Puasa akan membakar gula yang ada dalam darah, kemudian mengubahnya menjadi energy yang dibutuhkan oleh tubuh. Dengan demikian tubuh akan terbebas dari gula yang berlebih dengan tetap memelihara kadar gula normal yang sesuai kebutuhan manusia.

• Puasa meredakan penyakit encok. Cara paling utama dalam mengobati encok adalah dengan memperbaiki gaya hidup sehat, terutama dalam hal makanan. Jika anda ingin terhindar dari encok hindari jeroan, seafood serta minuman yang mengandung fruktosa dan alcohol. Gantilah dengan sayur, buah, telur dan sumber karbohidrat.

• Puasa membantu mencegah penyakit kanker. Puasa bermanfaat bagi penderita kanker, diantaranya terjadi penurunan produksi glukosa darah, asupan gizi seimbang, terjadinya regenerasi system kekebalan tubuh, dan meningkatnya produksi sel-sel pembunuh kanker.

• Puasa meningkatkan performa seksual. Setelah beberapa hari siklus puasa dijalankan, produksi hormone testosterone dan performa seksual justru meningkat pesan.

• Puasa meningkatkan kesehatan kulit dan membuat awet muda. Puasa memiliki manfaat dalam peningkatan kesehatan kulit karena saat berpuasa terjadi regenerasi sel-sel kekebalan tubuh, penurunan radikal bebas, serta peningkatan status antioksidan sehingga terjadi penurunan proses peradangan.

• Puasa meningkatkan kekebalan tubuh. Mampu meningkatkan imunitas karena dengan berpuasa membantu mengeluarkan racun atau detoksifikasi. Penguasa juga mengurangi massa lemak tubuh. Lemak tubuh ini dapat merusak keseimbangan system kekebalan tubuh.

• Puasa menurunkan resiko asma. Pada beberapa orang yang berpuasa, serangan asma menjadi lebih jarang hal itu karena saat berpuasa perasaan seseorang biasanya menjadi lebih damai, lebih tenang, dan berserah diri kepada Allah SWT dengan begitu, resiko asma kambuh dapat diminimalisasi. 

Sobat. Jadi puasa Ramadhan merupakan saat-saat paling berharga bagi orang beriman untuk meraih kesempatan memperbaiki diri secara menyeluruh luar-dalam, baik jasmani maupun rohani. Pada bulan yang penuh berkah ini. Allah SWT memberi kita kesempatan untuk melatih dan mengoptimalkan diri sekaligus menyeimbangkan potensi jiwa dan fisik yang kita miliki.

Salam Dahsyat dan Luar Biasa!

Oleh: Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku BIGWIN dan Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UI Tribakti Lirboyo. Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur

Jumat, 01 Juli 2022

Kiai Shiddiq: Haram Hukumnya Puasa Arafah Berbeda dengan Waktu Wukuf


Tinta Media - Pakar Fikih Kontemporer KH. M. Shidiq al-Jawi, S.Si., M.S.I. berpendapat, haram hukumnya berpuasa Arafah berbeda dengan waktu wukuf di Arafah.

“Haram hukumnya Muslim berpuasa Arafah pada hari yang berbeda dengan waktu wukuf di Arafah. Inilah pendapat terkuat (rajih) dalam masalah ini,” ungkapnya kepada Tinta Media, Kamis (30/6/2022).

Ia merujuk dua dalil sebagai sandaran pendapatnya. “Pertama, karena puasa hari Arafah yang berbeda dengan hari wukuf di Arafah telah menyimpang dari definisi syariah (al ta’rif al syar’i) untuk puasa hari Arafah,” jelasnya.

Untuk menguatkan pendapatnya, Kiai Shiddiq merujuk penjelasan Badruddin Al 'Aini, dalam kitab 'Umdatul Qari Syarah Shahih Al Bukhari, syarah hadits no. 603, 5/339; Ibnu Qudamah, Al Mughni, 5/44. “Imam Badruddin Al-'Aini menjelaskan bahwa "Hari Arafah" (yauma 'Arafah) menunjukkan waktu (al zamaan) dan tempat (al makaan) sekaligus. Dari segi waktu, hari Arafah adalah hari ke-9 bulan Dzulhijjah. Sedang dari segi tempat, hari Arafah adalah hari di mana para jamaah haji berwukuf di Arafah,” terangnya.

Jadi,  lanjutnya, definisi syar'i untuk ‘Hari Arafah’ (yauma 'Arafah) adalah hari yang para jamaah haji berwukuf di Arafah (al yaumu alladzi yaqifu fiihi al hajiij bi-'arafah).

“Definisi inilah yang dianggap kuat (rajih) oleh Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al 'Ilmiyyah wal Ifta (Dewan Tetap untuk Pengkajian Ilmiah dan Fatwa Saudi) di bawah pimpinan Syeikh Abdul Aziz bin Baz, juga oleh Lajnah Al Ifta Al Mashriyyah (Dewan Fatwa Mesir), Syeikh Hisamuddin 'Ifanah dari Yordania, Syeikh Abdurrahman As Sahiim, dan lain-lain,” tegasnya dengan mengatakan bahwa pendapat tersebut dirujuk dari Abu Muhammad bin Khalil, dalam kitab  An Nuur As Saathi’ min Ufuq Al Thawaali’ fi Tahdiid Yaumi ‘Arafah Idzaa Ikhtalafal Mathaali’, halaman 3.

Kiai Shiddiq menegaskan bahwa definisi tersebut didasarkan pada beberapa dalil hadis. Di antaranya sabda Rasulullah SAW,"Arafah adalah hari yang kamu kenal." ('arafah yauma ta'rifuun). (HR. Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 5/176, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami', no 4224).

“Maka dari itu, jika seorang Muslim berpuasa Arafah pada hari yang dianggapnya tanggal 9 Dzulhijjah, namun bukan hari wukuf di Arafah, misalnya berpuasa satu hari sebelumnya maupun sesudahnya, berarti dia telah menyalahi hukum syariah,” simpulnya.

Padahal jelas Kiai Shiddiq, berdasarkan hadis riwayat Bukhari no 2550 dan Muslim no 1718,  Islam telah melarang seorang Muslim untuk melakukan amal yang menyalahi hukum syariah, berdasarkan dalil umum dari sabda Rasulullah SAW, "Barangsiapa melakukan suatu perbuatan (amal) yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak."

“Kedua, karena berpuasa Arafah secara berbeda dengan waktu wukuf di Arafah telah menyalahi patokan wajib untuk menentukan Idul Adha dan rangkaian manasik haji di bulan Dzulhijjah, yaitu rukyatul hilal yang dilakukan oleh Wali Mekkah (penguasa Mekah),” paparnya.
 
Dengan kata lain, sambungnya, patokannya bukanlah hisab, dan juga bukan rukyatul hilal di masing-masing negeri Islam berdasarkan prinsip ikhtilaful mathali' (perbedaan mathla').

“Yang lebih tepat, perbedaan mathla' tidak dapat dijadikan patokan (laa 'ibrata bikhtilaf al mathali'), karena telah terdapat dalil khusus yang menunjukkan bahwa penentuan Idul Adha, termasuk waktu manasik haji seperti wukuf di Arafah, wajib mengikuti rukyatul hilal Wali Mekah, bukan yang lain,” tegasnya.

“Jika Wali Mekah tidak berhasil merukyat hilal, barulah kemudian Wali Mekah mengamalkan rukyat dari negeri-negeri Islam di luar Mekah,” tambahnya.

Kiai Shiddiq menyertakan dalil yang dirujuk dari hadis riwayat  Abu Dawud, hadis no 2340. Dari Husain bin Al-Harits Al-Jadali Ra dari  Jadilah Qais, dia berkata, "Amir (penguasa) Mekah berkhutbah kemudian dia berkata, "Rasulullah SAW telah berpesan kepada kita agar kita menjalankan manasik haji berdasarkan rukyat. Lalu jika kita tidak melihat hilal, dan ada dua orang saksi yang adil yang menyaksikannya, maka kita akan menjalankan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya."

Ia mengatakan, Imam Daruquthni berkata, "Hadis ini isnadnya muttashil dan shahih.” Lihat Sunan Ad Daruquthni, 2/267. Syeikh Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud(2/54) berkata, "Hadis ini shahih."

Hadis ini, menurutnya, menunjukkan bahwa yang mempunyai otoritas menetapkan hari-hari manasik haji, seperti hari Arafah dan Idul Adha, adalah Amir Mekah (penguasa Mekah), bukan yang lain.

“Maka berpuasa Arafah secara berbeda dengan hari Arafah karena mengikuti rukyat masing-masing negeri Islam, haram hukumnya, karena telah meninggalkan patokan wajib yang ditetapkan Rasulullah SAW, yaitu rukyatul hilal penguasa Mekah,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 

Kamis, 30 Juni 2022

Hukum Puasa Arafah Berbeda dengan Hari Wukuf

Tinta Media - Haram hukumnya Muslim berpuasa Arafah pada hari yang berbeda dengan waktu wukuf di Arafah. Inilah pendapat terkuat (rajih) dalam masalah ini berdasarkan dua dalil sebagai berikut:

Pertama, karena puasa hari Arafah yang berbeda dengan hari wukuf di Arafah telah menyimpang dari definisi syariah (al ta’rif al syar’i) untuk puasa hari Arafah.

Imam Badruddin Al 'Aini menjelaskan bahwa "Hari Arafah" (yauma 'Arafah) menunjukkan waktu (al zamaan) dan tempat (al makaan) sekaligus. Dari segi waktu, hari Arafah adalah hari ke-9 bulan Dzulhijjah. Sedang dari segi tempat, hari Arafah adalah hari di mana para jamaah haji berwukuf di Arafah. (Badruddin Al 'Aini, 'Umdatul Qari Syarah Shahih Al Bukhari, syarah hadits no. 603, 5/339; Ibnu Qudamah, Al Mughni, 5/44).

Jadi, definisi syar'i untuk "Hari Arafah" (yauma 'Arafah) adalah hari yang para jamaah haji berwukuf di Arafah (al yaumu alladzi yaqifu fiihi al hajiij bi-'arafah). Definisi inilah yang dianggap kuat (rajih) oleh Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al 'Ilmiyyah wal Ifta (Dewan Tetap untuk Pengkajian Ilmiah dan Fatwa Saudi) di bawah pimpinan Syeikh Abdul Aziz bin Baz, juga oleh Lajnah Al Ifta Al Mashriyyah (Dewan Fatwa Mesir), Syeikh Hisamuddin 'Ifanah dari Yordania, Syeikh Abdurrahman As Sahiim, dan lain-lain. (Abu Muhammad bin Khalil, An Nuur As Saathi’ min Ufuq Al Thawaali’ fi Tahdiid Yaumi ‘Arafah Idzaa Ikhtalafal Mathaali’, hlm. 3).

Definisi tersebut didasarkan pada beberapa dalil hadis. Di antaranya sabda Rasulullah SAW,"Arafah adalah hari yang kamu kenal." ('arafah yauma ta'rifuun). (HR. Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 5/176, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami', no 4224).

Maka dari itu, jika seorang Muslim berpuasa Arafah pada hari yang dianggapnya tanggal 9 Dzulhijjah, namun bukan hari wukuf di Arafah, misalnya berpuasa satu hari sebelumnya maupun sesudahnya, berarti dia telah menyalahi hukum syariah.

Padahal Islam telah melarang seorang Muslim untuk melakukan amal yang menyalahi hukum syariah, berdasarkan dalil umum dari sabda Rasulullah SAW, "Barangsiapa melakukan suatu perbuatan (amal) yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak." (HR. Bukhari no 2550; Muslim no 1718).

Kedua, karena berpuasa Arafah secara berbeda dengan waktu wukuf di Arafah telah menyalahi patokan wajib untuk menentukan Idul Adha dan rangkaian manasik haji di bulan Dzulhijjah, yaitu rukyatul hilal yang dilakukan oleh Wali Mekkah (penguasa Mekah). Dengan kata lain, patokannya bukanlah hisab, dan juga bukan rukyatul hilal di masing-masing negeri Islam berdasarkan prinsip ikhtilaful mathali' (perbedaan mathla').

Yang lebih tepat, perbedaan mathla' tidak dapat dijadikan patokan (laa 'ibrata bikhtilaf al mathali'), karena telah terdapat dalil khusus yang menunjukkan bahwa penentuan Idul Adha, termasuk waktu manasik haji seperti wukuf di Arafah, wajib mengikuti rukyatul hilal Wali Mekah, bukan yang lain.

Jika Wali Mekah tidak berhasil merukyat hilal, barulah kemudian Wali Mekah mengamalkan rukyat dari negeri-negeri Islam di luar Mekah.

Dari Husain bin Al-Harits Al-Jadali Ra dari  Jadilah Qais, dia berkata, "Amir (penguasa) Mekah berkhutbah kemudian dia berkata, "Rasulullah SAW telah berpesan kepada kita agar kita menjalankan manasik haji berdasarkan rukyat. Lalu jika kita tidak melihat hilal, dan ada dua orang saksi yang adil yang menyaksikannya, maka kita akan menjalankan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya." (HR. Abu Dawud, hadis no 2340. Imam Daruquthni berkata, "Hadis ini isnadnya muttashil dan shahih." Lihat Sunan Ad Daruquthni, 2/267. Syeikh Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud(2/54) berkata, "Hadis ini shahih").

Hadis ini menunjukkan bahwa yang mempunyai otoritas menetapkan hari-hari manasik haji, seperti hari Arafah dan Idul Adha, adalah Amir Mekah (penguasa Mekah), bukan yang lain. Maka berpuasa Arafah secara berbeda dengan hari Arafah karena mengikuti rukyat masing-masing negeri Islam, haram hukumnya, karena telah meninggalkan patokan wajib yang ditetapkan Rasulullah SAW, yaitu rukyatul hilal penguasa Mekah. Wallahu a'lam.[*]

Oleh: KH. Muhammad Shiddiq Al Jawi
Pakar Fikih Kontemporer 


Rabu, 04 Mei 2022

Puasa Sunnah Syawal Sebelum Meng-qadha Puasa Ramadhan, Bolehkah?


Tinta Media  - Tanya : Ustadz, bolehkah seseorang yang masih punya utang puasa Ramadhan misal perempuan yang haid, berpuasa sunnah 6 hari di bulan Syawal lebih dulu baru mengqadha` puasa Ramadhannya? (Fauzi Saifurrahman, Yogyakarta).

Jawab :

Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya seseorang berpuasa sunnah 6 hari di bulan Syawal sebelum mengqadha` puasa Ramadhannya dalam dua pendapat. Pertama, jumhur ulama, yaitu ulama mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i secara global membolehkannya. Ulama mazhab Hanafi membolehkan secara mutlak tanpa disertai kemakruhan, sedang ulama mazhab Maliki dan Syafi’i membolehkan disertai kemakruhan (jaa`iz ma’a al karaahah). Kedua, ulama mazhab Hanbali mengharamkan puasa sunnah 6 hari bulan Syawal sebelum mengqadha` puasa Ramadhan. (Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz III, hlm. 145; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, Juz XXVIII, hlm. 92-93).

Pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah pendapat jumhur ulama yang membolehkan seseorang berpuasa sunnah 6 hari di bulan Syawal sebelum mengqadha` puasa Ramadhannya. Hal itu dikarenakan mengqadha` puasa Ramadhan adalah kewajiban yang longgar waktunya (wajib muwassa’), yaitu dapat dikerjakan mulai bulan Syawal hingga bulan Sya’ban.[]

Oleh: KH Shiddiq Al Jawi
Founder Institute Muamalah Indonesia

Minggu, 01 Mei 2022

Puasa Mengikis Cinta Dunia


Tinta Media- Di antara pelajaran Ramadhan (durus ramadhaniyah) bagi kita, adalah Ramadhan mengajarkan kita untuk mengikis kecintaan kepada dunia.

Lihatlah orang yang berpuasa. Bagaimana ia meninggalkan kesenangan dunia, memilih menderita demi melaksanakan titah Allah SWT. Ini adalah pelajaran bagi kita, hendaknya kita bisa mengikis kecintaan kepada dunia (bersenang- senang dengan mengumbar nafsu perut dan syahwat) baik di bulan Ramadhan atau di bulan-bulan yang lain.

Memang manusia secara fitrah memiliki kecenderungan untuk mencintai dunia. Wujud dunia yang dicintai manusia bisa berbentuk harta kekayaan, anak dan istri, jabatan dan popularitas, atau apa saja.

Allah berirman QS. Ali Imran ayat 14

Kenapa kecintaan kepada dunia harus dikikis? Karena kecintaan kepada dunia jika terus berkecamuk dalam hati manusia, niscaya akan menghalangi kita dari ibadah kepada Allah dan berjuang di jalan-Nya

Allah berfirman:

Wahai orang-orang yang beriman: ada apa dengan kalian, kenapa ketika dikatakan : berangkatlah (berjihad) di jalan Allah, kalian merasa berat?. Apakah kalian lebih suka kehidupan dunia dari pada akhirat?. Tidaklah kenikamatan dunia dibanding dengan akhirat kecuai hanya kenikmatan yang sedikit.

Kecintaan kepada dunia harus dikikis karena akan menjadi penyebab lemahnya kaum muslimin. Dalam hadits riwayat Abu daud Rasulullah menjelaskan bahwa akan datang suatu masa, di mana kaum muslimin lemah tidak berdaya di hadapan musuh-musuhnya. Saat itu kaum muslimin bagaikan makanan pada nampan yang dikerubuti oleh musuh. Kaum muslimin saat itu banyak namun lemah bagaikan buih. Musuh tidak merasa gentar ketika berhadapan dengan mereka. Penyebabnya adalah penyakit wahn. Yaitu cinta dunia dan takut mati.

Rasulullah bersabda:  telah dekat suatu masa dimana kalian akan dikerubuti oleh umat-umat yang lain sebagaimana suatu kaum mengerubuti nampan makanan mereka. Rawi berkata: Rasulullah ditanya: Apakah hal itu disebabkan karena sedikitnya (jumlah kami)?. Rasul bersabda: Bukan, melainkan karena kalian bagaikan buih banjir. Akan dijadikan penyakit wahn (lemah) pada hati-hati kalian, dan akan dicabut rasa takut dari musuh-mush kalian, karena kecintaan kalian pada dunia dan takutnya kalian akan kematian

Pada saat perang Uhud kaum muslimin kocar-kacir, dikalahkan oleh musuh. Penyebabnya adalah karena pasukan pemanah yang ada di atas bukit uhud meninggalkan posisinya. Padahal Rasulullah telah berpesan agar mereka tetap di posisi itu, apapaun yang terjadi sampai diperintahkan oleh Rasulullah untuk turun. Namun karena mereka melihat kaum muslimin yang berada di bawah bukit sedang sibuk memperebutkan harta rampasan perang. Maka mereka-pun lupa akan pesan Rasulullah SAW . Akhirnya mereka turun bergabung dengan kaum muslimin yang lain. Kondisi itu dimanfaatkan oleh musuh. Ketika melihat pasukan di balik bukit sudah tidak ada, maka musuhpun datang dari belakang kaum muslimin melancarkan serangan. Kaum muslim akhirnya terdesak mundur.

Bagaimana cara mengikis cinta dunia dalam diri kita,sehingga dunia tidak menjadi penghalang ibadah dan berjuang di jalan Allah?

Selain mengetahui bahaya cinta dunia sebegaimana di jelaskan tadi. Kita juga harus mengetahui hakikat dunia.

Pertama, QS. Al-An’am: 32: Kehidupan dunia adalah permainan dan senda gurau.

Tidaklah kehidupan dunia kecuali bagikan permainan dan senda gurau semata. Dan sungguh negeri Akhirat itu pasti lebih bagi orang-orang yang bertakawa. Apakah mereka tidak berpikir?

Kedua, At-Taubah ayat: 38: Kenikmatan dunia adalah kenikmatan yang sedikit

Tidaklah kenikamatan dunia disbanding dengan akhirat kecuai hanya kenikmatan yang sedikit …

Ketiga, QS Luqman: 33: Kehidupan dunia adalah kehidupan yang menipu

Janganlah kalian tertipu oleh kehidupan dunia..

Ditengah kehidupan yang didominasi oleh kapitalisme yang meterialistik, akan sangat sulit mengikis kecintaan terhadap kehidupan dunia dari diri kita. Selain kita harus menyadari hakikat dunia menurut Allah SWT, kita juga butuh suasana yang mendukung di tengah-tengah masyarakat kita. Jika suasana dan lingkungan masyarakat kita masih di dominasi dengan materialisme dalam segala bidang, maka sepertinya hanya orang-orang yang hebat imannyalah yang tidak akan terbawa arus materialistik yang sangat deras menyapu relung-relung  kehidupan kaum muslimin saat ini.

Karena itulah, mutlak diperlukan sebuah peradaban yang tidak materialistik, mutlak dibutuhkan sebuah system kehidupan yang bisa memosisikan dunia pada tempatnya, mutlkak juga dibutuhkan sebuah kekuatan yang bisa mengkondisikan dan mengubah suasana masyarakat agar tidak terseret dan didominasi dengan materialism. Itulah peradaban Islam, itulah sistem kehidupan Islam.

Oleh: H Yasin Muthohar
Mudir Ma’had Al-Abqary Serang Banten
 

Kamis, 28 April 2022

UIY: Allah Menjadikan Agama Ini Mudah


“Allah SWT menjadikan agama ini mudah. Allah menginginkan kemudahan tidak menginginkan kesulitan. Dan tidaklah Allah menjadikan di dalam agama ini kesulitan,” tutur Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY) dalam Tausiyah: Takwa dan Totalitas Perjuangan, Rabu (27/4/2022) melalui Channel Youtube Aspirasi News.

UIY lalu membacakan al-Quran surat al Baqarah ayat 185. Yurîdullahu bikumul yusra walâ yurîdu bikumul ‘usra (Allah menginginkan kemudahan dan tidak menginginkan kesulitan).

Oleh karena itu, menurutnya, secara pasti seluruh perintah Allah SWT di dalam agama ini bisa dilaksanakan oleh hambaNya. "Allah SWT menjamin hal itu di dalam Al-Quran, laa yukallifullahu nafsan illa wus'aha (Allah tidak akan membebani hamba-Nya kecuali sesuai dengan kemampuannya),” simpulnya.

Artinya lanjut UIY,  bahwa seluruh kewajiban itu pada dasarnya bisa dilaksanakan oleh manusia siapa pun. Ketika kemampuan manusia itu menurun, Allah akan memberikan rukhsah.

“Shalat misalnya, pada awalnya harus ditunaikan dengan berdiri. Tetapi ketika kita tidak mampu berdiri, bisa ditunaikan dengan duduk. Kalau duduk pun tidak mampu kita bisa tunaikan sambil berbaring sekedar menggerakkan anggota tubuh kita,” jelas UIY memberikan contoh.

Begitu juga dengan puasa, lanjutnya, puasa pasti bisa dilaksanakan oleh siapa pun karena Allah SWT tidak meminta kita untuk tidak makan dan minum berhari-hari. Rata-ratanya hanya 12 jam. Ketika kemampuan manusia menjalankan puasa menurun, Allah memberikan rukhshah.

“Siapa yang dalam perjalanan atau sakit maka baginya boleh tidak berpuasa dengan syarat mengganti di hari yang lain,” terangnya  mengutip al-Quran Surat al-Baqarah ayat 185 memberikan contoh rukhshah itu.

“Karena itu, maka sesungguhnya yang diperlukan dalam kita melaksanakan kewajiban agama ini adalah kemauan. Karena setiap orang pasti memiliki kemampuan. Tetapi ketika tidak ada kemauan maka perkara yang mudah pun akan tampak menjadi sulit. Perkara yang ringan akan terasa berat ” terangnya.

Menurutnya, itulah yang terjadi pada manusia dewasa ini. Banyak sekali kewajiban agama yang sesungguhnya sangat ringan, seperti   zakat hanya dua setengah persen, shalat lima waktu yang  ditempuh kurang  lebih sekitar 3-4 menit pun ditinggalkan. Apalagi untuk perkara-perkara yang lebih berat dari itu.

Kemauan untuk Taat

UIY menilai bahwa puasa ini sesungguhnya menempa umat Islam untuk memiliki kemauan. Kemauan untuk taat kepada Allah SWT.

“Pada bulan puasa kita diminta untuk meninggalkan yang sejatinya pada bulan biasa itu dihalalkan oleh Allah SWT. Makan di siang hari, berhubungan dengan suami dan istri kita itu halal, tetapi di siang hari bulan Ramadhan, itu semua dilarang oleh Allah SWT. Dan hasilnya ternyata kita bisa,” tukasnya.

Jadi, ketika ada kemauan, umat Islam bisa meninggalkan, jangankan yang haram yang halal sekalipun juga bisa. Intinya adalah kemauan. “Kemauan untuk taat itulah taqwa,” tegasnya.

“Ujung dari puasa ini adalah takwa. Karena itu penting bagi kita untuk menunaikan shaum Ramadhan dengan penuh penghayatan, agar kita bisa memetik hikmah terbesar dari puasa yaitu lahirnya takwa. Yaitu kemampuan untuk taat kepada Allah SWT dengan  taat setaat-taatnya,” nasehatnya memungkasi penuturan. [] Irianti Aminatun

Ustazah Noval Tawang: Sabar Adalah Kunci Kemenangan Pengemban Dakwah


Tinta Media  - Aktivis Muslimah Ustazah Noval Tawang mengatakan bahwa sabar adalah kunci kemenangan pengemban dakwah.

"Karena itulah, pengemban dakwah harus menyadari bahwa sabar adalah kunci kemenangan," tuturnya dalam One Minute Booster Extra: Ramadhan, Bulan Melatih Kesabaran di Kanal YouTube Muslimah Media Center, Jum'at (22/4/2022).

"Pasalnya, dakwah bukanlah aktivitas yang mudah. Seringkali dakwah mendapatkan penentangan dari orang yang didakwahi, baik dari masyarakat bahkan dari keluarga sendiri," lanjutnya.

Menurutnya, hal serupa juga dialami oleh Rasulullah SAW saat berdakwah di Mekkah. Berbagai celaan, fitnahan, hinaan, kekerasan hingga ancaman bunuh dari orang-orang kafir telah beliau terima.

"Namun beliau tetap bersabar dan bukti kesabaran itu adalah beliau sama sekali tidak menyurutkan langkah di dalam dakwah, bahkan semakin menguatkan semangat dakwah beliau," ungkapnya.

Ia melihat bahwa kesabaran di dalam dakwah tidak akan pernah menjadikan pengemban dakwah mudah lelah, mudah menyerah dan menjadi manusia yang lemah. "Pengemban dakwah akan senantiasa bersemangat dan semakin bersemangat di dalam menjalankan amanah-amanah dakwah demi menjemput pertolongan Allah SWT," ucapnya.

Ia melanjutkan bahwa berlatih untuk bersabar adalah pelajaran penting yang bisa dipetik dari ibadah puasa di bulan Ramadhan. Puasa melatih umat Islam untuk bersabar di dalam menjalankan perintah Allah SWT, bersabar dalam menjauhi larangan Allah SWT dan bersabar menerima ketetapan Allah SWT.

"Coba kita perhatikan orang-orang yang berpuasa di bulan Ramadhan. Mereka begitu bersabar menjalankan perintah Allah SWT, meski harus menghadapi penderitaan karenanya. Mereka bersabar menjauhi segala yang dilarang oleh Allah SWT, meski sangat menggoda dan menggiurkan," ujarnya.

"Mereka juga bersabar menerima ketentuan Allah SWT ketika menikmati rezeki dari Allah SWT hanya dalam dua waktu, yaitu pada saat sahur dan berbuka. Yang itu berbeda dari bulan-bulan lainnya," tambahnya.

Ustadzah Noval menjelaskan bahwa para ulama menyebutkan, sabar adalah mendorong jiwa untuk ridha menerima ketentuan, serta mendorong jiwa untuk terikat dengan Islam dan meleburkan diri dalam Islam. "Puasa adalah latihan bersabar agar kaum muslimin terbiasa menderita di jalan Allah. Seandainya kaum muslimin tidak bisa bersabar menerima perintah berpuasa dan tidak sabar menderita lapar dan dahaga. Maka bagaimana mungkin mereka akan mampu bersabar menerima perintah yang jauh lebih besar dari ibadah puasa," paparnya.

Syeikh Muhammad Ali as-Shobuni ketika menjelaskan hikmah disyariatkannya ibadah puasa di bulan Ramadhan. "Beliau berkata bahwa dengan berpuasa di bulan Ramadhan, kaum muslimin dibiasakan untuk menderita, merasakan kesulitan agar mereka siap menerima penderitaan yang lebih besar lagi, yaitu penderitaan ketika berjihad fisabilillah," ungkapnya.

"Jadi sabar yang diinginkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya bukanlah hanya kesabaran di dalam jalankan ibadah ritual tetapi lebih jauh lagi yaitu kesabaran dalam berjuang dan berjihad di jalan Allah SWT. Termasuk dalam hal ini adalah sabar di dalam menjalankan perintah dakwah menyeru umat manusia kepada Islam kaffah," pungkasnya.[] Ajirah

Rabu, 27 April 2022

Puasa Mengasah Kepedulian


Tinta Media - Suatu ketika Nabi Yusuf Alaihis salam ditanya :“ Kenapa engkau selalu lapar, tidak banyak makan ?. Beliau menjawab : Aku khawatir jika aku kenyang akan melupakan orang yang lapar.

Ibadah puasa yang tengah kita jalani di bulan yang agung ini bukan sekedar mengasah spiritualitas kita, melainkan juga menajamkan kepekaan sosial kita. Allah memerintahkan kita untuk berlapar-lapar dan berhaus-haus agar kita merasakan derita orang di sekitar, hingga kita terdorong untuk mengulurkan tangan membantu mengentaskan derita dan menghilangkan kesulitan mereka.

Dari Ibadah puasa diharapkan ada dampak sosial yang nyata, yaitu merasakan derita dan peduli terhadap lingkungan sosial yang membutuhkan uluran tangan kita.

Islam adalah agama yang diturunkan bukan hanya untuk menyambung tali kedekatan dengan pencipta semata, melainkan juga untuk menyambung tali asih dengan sesama di sekitar kita. Islam bukan hanya agama spiritual, tapi juga agama sosial – politik ( politik dalam arti pengelolaan terhadap urusan umat). Islam adalah agama yang diturunkan untuk menjadi solusi, dengan menghadirkan konsep-konsep sosial, ekonomi, Pendidikan, budaya dan pilitik kenegaraan.

Salah satu solusi yang ditunjukan Islam adalah nilai kepedulian yang diajarkan melalui puasa kita. Nilai kepedulian ini harus nyata dalam bentuk sikap dan tutur kata kita, dalam prilaku antar individu. Yang lebih penting prinsif kepedulian ini harus menjelma nyata dalam bentuk kebijakan para pengambil kebijakan.

Secara invidu kita harus peka terhadap keadaan sesama, tidak boleh membiarkan orang menderita ada di sekitar kita.

Rasulullah SAW bersabda :

Tidak beriman kepadaku orang yang terlelap tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya lapar (dan ia membiarkannya) padahal dia mengetahui (HR. Hakim dalam al-Mustadrak )

Kita diajarkan untuk menebar sikap kasih sayang yang menjelma dalam sikap peduli membantu menyelesaikan kebutuhan orang-orang yang terhalang dari menunaikannya

Rasulullah bersabda :

Allah akan selalu menolong seseorang selama ia berusaha menolong saudara-nya. HR. Muslim.

Rasulullah SAW mengajarkan :

Orang-orang yang menyayangi akan disyangi oleh Allah yang Maha Rahman. Sayangilah siapa saja yang ada di muka bumi ini, niscaya yang di langit akan menyayangi kalian (HR. Tirmidzi )

Dalam tataran kebijakan, Islam melarang keras para pengambil kebijakan mengeluarkan kebijakan dan aturan-aturan yang menyulitkan rakyat. Aturan yang menyulitkan adalah bukti matinya rasa peduli dan sifat kasih sayang.

Rasulullah SAW mendokan para pemimpin :

Ya Allah.. Siapa saja yang diserahi mengurusi urusan umat-ku kemudian dia berlaku lembut (baca; saying) kepada mereka, sikapilah mereka dengan lembut (baca: sayangilah mereka). Dan siapa saja yang diserahi mengurusi urusan umatku kemudian dia menyulitkan mereka, berilah kesulitan kepada mereka. (HR. Muslim)

Sungguh ironi disaat kita sedang menjalani ibadah puasa yang mengajarkan kepekaan dan kepedulian, justru kita melihat banyak kesulitan dan penderitaan di sekitar kita. Apalagi jika kesulitan dan penderitaan  itu sebagai akibat dari kebijakan yang menyulitkan kehidupan dari para pemimpin, pengambil kebijakan.

Sepertinya kita, siapapun kita, apapun posisi kita, perlu merenungi kembali puasa kita. Agar puasa kita tidak sekedar rutinitas belaka, agar puasa kita tidak sekedar menahan lapar dan dahaga, agar puasa kita melahirkan sifat peka dan peduli pada sesama.

Kita merindukan adanya individu-individu bergerak meringankan beban orang lain, dan selalu terdorong untuk mengilangkan kesulitan dan penderitaan sebagai buah dari ibdah puasa yang dijalaninya.  

Kita- juga merindukan adanya para pemangku kebijakan yang cinta kepada rakyat dan dicintai rakyat karena mengeluarkan kebijakan yang memudahkan dan menyejahterakan rakyat. Yaitu para pemimpin sebagaimana sabda Rasulullah SAW : Sebaik-baiknya pemimpin kalian adalah orang-orang yang mencintai- kalian dan mereka mencintai kalian, mereka mendoakan kalian dan kalianpun mendokan mereka. (HR. Muslim)

Kita berlindung dari para pemimpin yang dibenci rakyat-nya karena mereka juga membenci rakyat, tidak punya rasa belas kasih, sehingga mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyulitkan rakyat.

Rasulullah bersabda : Seburuk-buruknya pemimpin kalian adalah pemimoin yang membenci kalian dan kalian-pun membenci mereka. Pemimpin yang melaknat kalian dan kalian-pun melaknat mereka. (HR. Muslim)

Oleh: H Yasin Muthohar
Mudir Ma’had al-Abqary Serang Banten


 

 

 

 

 

 

Selasa, 26 April 2022

Puasa adalah Perisai


Tinta Media  - Rasulullah bersabda :

Puasa itu adalah perisai. Dan jika telah tiba hari berpuasa siapapun dari kalian, maka hendaklah ia tidak melakukan rofats, tidak melakukan sakhob. Dan jika ada seseorang yg mencacinya hendaklah ia berkata : Aku sedang berpuasa. (HR. Bukhari-Muslim)

Dalam hadits ini Rasulullah saw menjelaskan hakikat Puasa, yaitu perisai atau benteng. Maksudnya Puasa adalah benteng dari maksiat, benteng dari dosa.  Itulah hakikat Puasa. Puasa bukan sekedar menahan dari makan, minum dan syahwat. Puasa adalah benteng kita dari maksiat. Baik maksiat hati, maksiat lisan, maksiat mata, maksiat telinga, maupun maksiat seluruh anggota badan.

Maksiat adalah lawan dari taat, atau bisa juga dimaknai dosa dan segala bentuk penyimpangan dari perinta Allah. Maksiat kepada Allah artinya menentang perintah Allah dengan meninggalkan perintah dan menjalankan larangan Allah SWT.  Maksiat terbesar dalam hidup ini adalah menentang aturan Allah SWT . Menolak syariat Allah SWT.

Dengan demikian orang yang berpuasa akan selalu tunduk patuh kepada Allah SWT, akan selalu taat kepada Allah SWT secara mutlak,  menjalankan hukum-hukum-hukum-Nya.

Dalam hadits tersebut Rasulullah SAW menjelaskan contoh konsekuensi dari puasa sebagai perisai.

Pertama: Falaa Yarfuts. Janganlah ia melakukan Rofats. Apa itu Rofats?. Rofats adalah mengatakan kata-kata kotor dan melakukan perbuatan kotor, termasuk di dalamnya kata-kata dan perbuatan jorok dan seronok.  Orang yang berpuasa akan selalu menjaga kesucian lisan dan perbuatannya, sehingga terhindar dari perkataan dan perbuatan kotor, jorok, nista dan dosa. Dari mulut dan anggota tubuh orang yang berpuasa akan keluar ucapan dan prilaku yang baik dan indah.

Kedua, wala yashkhob, artinya janganlah ia berteriak-teriak ketika berpuasa. Maksudnya jangan bertengkar dan berselisih sehingga berteriak mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas.

Orang yang berpuasa hakikatnya sedang belajar mengendalikan diri, menahan diri dari perselisihan. Sehingga berpuasa sejatinya melahirkan kedamaian, ketenangan dan ketentraman dalam hubungan sosial.

Kalau hari ini kita melihat ada kejadian dan perselisihan dalam kehidupan publik, atau di antara para politisi misalnya, padahal mereka sedang berpuasa, itu berarti puasanya belum sampai pada hakikat. Puasanya masih kulit belum sampai pada inti dari puasa, yaitu tidak menyebar perselisihan,kegaduhan dan provokasi di antara sesama.

Ketiga, jika ada orang yang mencaci, memaki dan memancing emosi, Rasulullah memerintahkan orang yang berpuasa untuk mengatakan : “Aku sedang berpuasa”.

Maksudnya orang yang berpuasa akan selalu menahan diri dari mengumbar emosi, dia akan bersabar untuk tidak membalas siapa saja yang menyakiti, dia akan bersabar menahan amarah. Puasa akan membentengi kita dari bersikap rekatif tanpa berpikir. Puasa adalah latihan menahan emosi dan mengendalikan diri. Dengan begitu orang yang berpuasa pada hakikatnya sedang ditraining untuk menjadi manusia hebat dan kuat.

Rasulullah SAW bersabda : Orang kuat (baca; gagah perkasa) bukanlah dengan mengalahkan musuh saat bertarung. Melainkan orang yang mampu menguasai dirinya saat ,marah. (HR. Bukhari-Muslim)

Sungguh indah jika kita bisa merealisasikan prinsif agung dari puasa ini. Kehidupan kita akan bersih dari kegaduhan,perselisihan karena hawa nafsu dan kepentingan dunia. Kehidupan akan dihiasi dengan ketaatan yang melahirkan kedamaian dan kententraman.

Dari perespektif ini puasa adalah salah satu wasilah melahirkan kehidupan yang diidamkan oleh semua orang. Masyarakat yang berpuasa akan mengiasi segala interaksinya dengan taat, tunduk dan patuh pada hukum Allah, jauh dari kegaduhan, perselisihan, pertengkaran dan perpecahan. Dari pribadi-prbadi yang bertaqwa ini akan lahirlah ketakwaan yang bukan sekedar ketakwaan individu tapi juga ketakwaan komunal, ketakwaan kolektif. Ketakwaan kolektif yang mewujud dalam ketundukan bersama pada wahyu menjauhi tuntuntan nafsu.

Akhirnya apa yang Allah tuturkan dalam al-Qur’an tentang penduduk yang bertakwa yang penuh dengan keberkahan -pun Insya Allah menjadi kenyataan. 

Allah berfirman : Andaikata penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, maka kami pasti akan membukakan kepada mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. QS. Al-A’raf : 96.

Ya Allah jadikan puasa kami menjadi perisai dari maksiat dan dosa, sehingga kehidupan kami dipenuhi dengan ketaatan pada Syariat-Mu yang agung.

Oleh: H Yasin Muthohar
Mudir Ma’had Al-Abqary Serang Banten

Jumat, 22 April 2022

Ustazah Najmah Sa'iidah: Didiklah Anak dengan Al-Qur'an


Tinta Media - Aktivis Muslimah Ustazah Najmah Sa'iidah berpesan kepada orang tua agar mendidik anaknya dengan Al-Qur'an.

"Nah inilah sebenarnya kenapa kemudian kita harus mendidik anak kita dengan Al-Quran," tuturnya dalam acara Ngabuburit di Tatar Sunda: Mendidik Anak dengan Bahagia Bersama Al-Qur'an, melalui Kanal YouTube Rayah TV, Ahad (17/4/2022).

Menurutnya, ketika orang tua mendidik anak-anaknya, tentu orang tua ingin selamat, ingin anak-anaknya bahagia. "Kita juga bahagia, semuanya bahagia. Dan itu akan tercapai ketika kita mendidik anak-anak kita dengan Al-Qur'an. Mengapa begitu? Karena, siapapun juga ketika ditanya apa itu Al-Qur'an, maka setiap orang atau muslim pasti akan menjawab, bahwasannya itu adalah pedomannya kaum muslimin, itu adalah pijakannya kaum muslimin," ujarnya.

Ia menggambarkan Al-Qur'an ibarat rel sebuah jalan, yang harus ditapaki oleh setiap umat Islam. Walaupun tentu saja tidak hanya Al-Qur'an, tapi juga ada hadis Rasulullah SAW

"Dalam hal ini Rasulullah SAW sebagai contoh yang terbaik untuk kita semua. Sehingga, dengan kondisi yang seperti ini, tentu saja kita harus atau wajib menjadikan Al-Qur'an ini sebagai pijakan bagi kita semua. Sebagai sandaran bagi umat islam di dalam menjalani kehidupan ini," ungkapnya.

Menurutnya, ketika Al-Qur'an ini diyakini datang dari Allah SWT, al-Khaliq al-Mudabbir, yaitu Al-Qur'an itu datang dari Allah Yang Maha Pencipta, Yang Maha Pengatur dan dijadikan pedoman bagi semua maka tentu saja umat Islam akan berusaha untuk bisa melaksanakan semuanya itu dengan baik. "Sebagai seorang ibu yang mengikuti apa saja yang telah diminta atau diingini oleh Allah SWT," paparnya.

Kemudian, ketika yakin kepada Al-Qur'an bahwasannya itu adalah dari Allah SWT, katanya, maka tentu saja dalam hal ini yang menjadikan tanda iman atau tidak iman.

"Ini yang harus kita yakini betul. Ketika kita iman kepada Al-Qur'an, berarti kita menjadikan Al-Qur'an ini sebagai pijakan di dalam melakukan segala amal perbuatan kita," ujarnya.

Artinya, setiap muslim wajib untuk meyakini keberadaaan Al-Quran ini, bahwa Al-Quran itu ada, dan itu disampaikan oleh yang Maha Baik Allah SWT, melalui yang terbaik Malaikat Jibril, kepada orang terbaik, orang yang paling baik, orang yang terbaik yaitu Rasulullah SAW.

"Dan ini disampaikan kepada kita semua. Tentu saja kita ingin menjadi orang yang terbaik," ungkapnya.

Ustazah Najmah memandang, ketika ingin menjadi orang yang terbaik, maka  harus melaksanakan semua yang telah disampaikan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur'an nur Kariim ini. "Dan kalau kita melihat di dalam nash-nash ini, di dalam ayat-ayat Al-Quran ini, sudah sangat jelas, sekalipun dalam bentuk khutuuth 'ariidhoh, dalam bentuk garis-garis besar, tetapi sudah mencakup seluruh perbuatan manusia," ungkapnya.

Menurutnya, kalau mau melaksanakan termasuk dalam hal mendidik anak-anak dengan yang tercantum di dalam Al-Quran, maka bisa dipastilan bahwa itu akan bahagia.

"Kita itu akan bisa menjadi keluarga yang selamat, anak-anak kita selamat, ibu-ibunya selamat, bapak-bapaknya selamat, keluarganya selamat, in syaa Allah. Masyarakatnya juga selamat, dan nanti akan terwujud peradaban yang mulia, peradaban yang selamat, ketika semuanya itu menjalankan apa yang telah dituntunkan atau yang telah disampaikan oleh Allah SWT kepada kita semua," jelasnya.

"Karena Al-Qur'an adalah pijakan, pedoman bagi umat islam yang itu akan membawa kepada kebahagiaan dunia akhirat, in syaa Allah," pungkasnya. []'Aziimatul Azka

Selasa, 19 April 2022

Puasa Ramadhan Mengajarkan untuk Memiliki Sifat Muraqabah


Tinta Media - Aktivis Muslimah Ustazah Noval Tawang menyampaikan bahwa ibadah puasa Ramadhan Mengajarkan untuk memiliki sifat muraqabah.

"Ibadah puasa Ramadhan mengajarkan kita untuk memiliki sifat muraqabah yaitu sifat yang selalu merasa diawasi oleh Allah," tuturnya dalam One Minute Booster: Pengemban Dakwah Harus Selalu Merasa Diawasi Allah, Selasa (12/04/2022) di kanal YouTube Muslimah Media Center.

Ustazah Noval menjelaskan alasan karena merasa diawasi Allah, orang yang berpuasa di bulan Ramadhan tidak berani makan dan minum atau memperturutkan syahwatnya meski sedang berada di tempat yang sepi. "Bahkan tidak ada siapa pun kecuali dirinya," jelasnya.

Menurutnya, para pengemban dakwah harus menyadari bahwa kemaksiatan sekecil apapun hanya akan menjauhkan dari pertolongan Allah. "Meninggalkan atau mengabaikan aktivitas dakwah adalah salah satu dari bentuk kemaksiatan, karena itu para pengemban dakwah harus menyibukkan pikiran dan raganya dengan dakwah," paparnya.

"Memikirkan uslub terbaik bagi dakwah yang mampu memahamkan umat tentang kewajiban-kewajiban mereka di dalam Islam. Sebab umat harus dikabarkan bahwa hidup dalam sistem kapitalisme sekuler hanya akan menjauhkan mereka dari Islam. Bahkan menghalangi penerapan syariat Islam secara menyeluruh," terangnya.

Ia mengingatkan para pengemban dakwah tidak boleh merasa betah hidup berdampingan dengan sistem kapitalisme bahkan sampai menikmati produk dari sistem ini. "Sebab sistem ini telah merebut hak-hak sebagian besar manusia hanya demi segelintir manusia yang rakus dan zalim," ungkapnya.

Menurutnya arah pengemban dakwah harus fokus mengejar cita-cita dakwah dengan banyak beramal dakwah sebagaimana yang telah dicontohkan oleh rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat. "Mereka menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk dakwah dan sebagai balasannya Allah memuliakan mereka di dunia dan di akhirat," tegasnya.

"Semoga para pengemban dakwah mengambil langkah untuk mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat," harapnya.[]Raras

Senin, 18 April 2022

Dalam Fikih Islam, Sistem Pemerintahan Islam disebut al-Khilafah


Tinta Media - Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS)  Farid Wadjdi, dalam tausiyahnya menjelaskan bahwa dalam Fiqih Islam, Sistem Pemerintahan Islam disebut al-Khilafah.

“Dalam Fiqih Islam, sistem pemerintahan Islam disebut dengan  al- Khilafah.  Hal ini dijelaskan dalam buku Fiqih Islam yang ditulis oleh Kiai Haji Sulaiman Rasyid. Kitab fiqih ini dalam bab  al-khilafah menjelaskan apa yang dimaksud dengan al-Khilafah itu,” tuturnya dalam acara Tausiyah Sahur: Sistem yang Menyatukan Umat Muslim Dunia, Sabtu (16/4/2022) melalui kanal Youtube Khilafah Channel Reborn.

Jadi, al-Khilafah itu, lanjutnya, adalah suatu susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran Islam. Dan sistem pemerintahan inilah yang dijalankan oleh para Khulafaur Rasyidin. Ketika yang menjadi pemimpin  khalifahnya itu adalah Abu Bakar r.a. kemudian dilanjutkan oleh Umar Bin Khattab r.a. dan seterusnya.

“Sistem pemerintahan Islam itu adalah al-Khilafah sementara pemimpinnya disebut khalifah,” tegasnya.

Ustaz Farid lalu menjelaskan fungsi dari al-Khilafah. "Kalau kita lihat fungsi al-Khilafah ini bisa kita eksplorasi  dari definisi Al Khilafah yang dituliskan oleh Syekh Taqiyuddin an Nabhani Rahimahullah. Dalam Kitab Nidzomul Hukmi fil Islam, beliau menjelaskan apa yang disebut dengan al-Khilafah. Khilafah  adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan syariat Islam dan untuk menyebarluaskan dakwah ke seluruh penjuru dunia,” paparnya.

 Ia juga mengatakan bahwa  fungsi al-khilafah  itu ada tiga Pertama, menyatukan kaum muslimin di bawah satu kepemimpinan yang didasarkan pada prinsip ukhuwah islamiyah. Kedua, menerapkan seluruh Syariah Islam. Ketiga, berdakwah menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia.

“Inilah tiga fungsi sistem pemerintahan dalam Islam yang membedakan dengan sistem pemerintahan sekuler liberal atau sistem pemerintahan yang diciptakan oleh manusia,” pungkasnya [] Irianti Aminatun

Jumat, 15 April 2022

Biasakanlah Mata Kalian Menangis dan Hati kalian untuk Berpikir

https://drive.google.com/uc?export=view&id=18Go8VGkwB-jQId7zCb7hdySFB_jiFzDT

Tinta Media - Sobat. Dunia hanyalah  bunga  tidur  atau ibarat bayang-bayang yang akan lenyap. Sesungguhnya orang  yang berakal tidak akan tertipu oleh semacam itu.

Sobat. Allah memuji orang-orang yang berpikir. Umar  bin Abd al-‘Aziz  berkata,”Memikirkan nikmat-nikmat Allah SWT lebih utama daripada ibadah.” Ibnu Abbas pernah berkata, “Dua rokaat yang sebentar  dan berisi pikiran, itu lebih baik daripada bangun malam tanpa hati.”  Suatu hari  Abu Syuraih  berjalan. Tiba-tiba dia duduk  dan menutup kepalanya dengan bajunya, lalu dia mulai menangis. Ada yang bertanya, “ Apa yang membuatmu menangis?” Dia menjawab, “Aku  memikirkan hilangnya umurku, kurangnya amalku, dan dekatnya ajalku.”

Allah SWT  berfirman :

ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ 
(١٩١)

“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” ( QS. Ali Imran (3): 191 ).

Sobat. Salah satu ciri khas bagi orang berakal yang merupakan sifat khusus manusia dan kelengkapan ini dinilai sebagai makhluk yang memiliki keunggulan dibanding makhluk lain, yaitu apabila ia memperhatikan sesuatu, selalu memperoleh manfaat dan faedah, ia selalu menggambarkan kebesaran Allah, mengingat dan mengenang kebijaksanaan, keutamaan dan banyaknya nikmat Allah kepadanya. Ia selalu mengingat Allah di setiap waktu dan keadaan, baik pada waktu ia berdiri, duduk atau berbaring. Tidak ada satu waktu dan keadaan dibiarkan berlalu begitu saja, kecuali diisi dan digunakannya untuk memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. Memikirkan keajaiban-keajaiban yang terdapat di dalamnya, yang menggambarkan kesempurnaan alam dan kekuasaan Allah.

Sobat. Dengan berulang-ulang direnungkan hal-hal tersebut secara mendalam, sesuai dengan sabda Nabi saw, "Pikirkan dan renungkanlah segala sesuatu yang mengenai makhluk Allah, dan jangan sekali-kali kamu memikirkan dan merenungkan tentang zat dan hakikat penciptanya, karena bagaimanapun juga kamu tidak akan sampai dan tidak akan dapat mencapai hakikat Zat-Nya.

Sobat. Akhirnya setiap orang yang berakal akan mengambil kesimpulan dan berkata, "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini semua, yaitu langit dan bumi serta segala isinya dengan sia-sia, tidak mempunyai hikmah yang mendalam dan tujuan tertentu yang akan membahagiakan kami di dunia dan di akhirat. Mahasuci Engkau Ya Allah dari segala sangkaan yang bukan-bukan yang ditujukan kepada Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka yang telah disediakan bagi orang-orang yang tidak beriman.

Sobat. Penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang, sungguh merupakan fenomena yang sangat kompleks, yang terus menerus menjadi obyek penelitian umat manusia, sejak awal lahirnya peradaban manusia.

Dalam beberapa surah, antara lain Surah al-Araf/7 ayat 54, disebutkan bahwa penciptaan langit dan bumi berlangsung dalam waktu enam masa (lihat pula Telaah Ilmiah Surah al-Araf/7:54).

Sobat. Begitu kompleksnya penciptaan langit dan bumi yang berlangsung dalam enam masa telah dijelaskan oleh Dr.Achmad Marconi (lihat: Bagaimana Alam Semesta Diciptakan, Pendekatan al-Qur'an dan Sains Modern, Pustaka Jaya, 2003) sebagai berikut: Kata ayyam adalah bentuk jamak dari yaum. Kata yaum dalam arti sehari-hari dipakai untuk menunjukkan keadaan terangnya siang, ditafsirkan sebagai 'masa. Sedang bentuk jamaknya: ayyam, dapat berarti 'beberapa hari dan bahkan dapat berarti 'waktu yang lama.

Dilihat dari penggunaan kata ayyam pada ayat di atas menunjukkan sifat relatif waktu dengan memperbandingkan waktu manusia dengan waktu yang berlaku bagi gerak energi-materi alam semesta. Oleh Abdullah Yusuf Ali, (The Holy Qur'an, Text, Translation and Commentary,1934), kata yaum (bentuk tunggal dari ayyam) disetarakan dengan kata dalam bahasa Inggris age atau aeon. Oleh Abdus Suud, ahli tafsir abad ke-16, kata yaum disetarakan dengan pengertian "peristiwa" atau naubat. Lebih tepat bila kata yaum diterjemahkan sebagai "tahap" atau periode atau masa. Dengan demikian kalimat fi sittati ayyam dalam ayat-54 Surah al-Araf/7 di atas, tepat untuk diterjemahkan sebagai 'dalam enam masa.

Sobat. Marconi (2003) menjelaskan keenam masa tersebut adalah: Masa Pertama, Sejak 'Dentuman Besar (Big Bang) dari Singularity, sampai terpisahnya Gaya Gravitasi dari Gaya Tunggal (Superforce), ruang-waktu mulai memisah. Namun Kontinuum Ruang-Waktu yang lahir masih berujud samar-samar, di mana energi-materi dan ruang-waktu tidak jelas bedanya. Masa Kedua, massa terbentuknya inflasi Jagad Raya, namun Jagad Raya ini masih belum jelas bentuknya, dan disebut sebagai Cosmic Soup (Sup Kosmos). Gaya Nuklir-Kuat memisahkan diri dari Gaya Elektro-Lemah, serta mulai terbentuknya materi-materi fundamental: quarks, antiquarks, dsb. Jagad Raya mulai mengembang. 

Masa Ketiga, masa terbentuknya inti-inti atom di Jagad Raya ini. Gaya Nuklir-Lemah mulai terpisah dari Gaya Elektromagnetik. Inti-inti atom seperti proton, netron, dan meson tersusun dari quark-quark ini. Masa ini dikenal sebagai masa pembentukan inti-inti atom (Nucleosyntheses). Ruang, waktu serta materi dan energi, mulai terlihat terpisah. Masa Keempat, elektron-elektron mulai terbentuk, namun masih dalam keadaan bebas, belum terikat oleh inti-atom untuk membentuk atom yang stabil. 

Masa Kelima, terbentuknya atom-atom yang stabil, memisahnya materi dan radiasi, dan Jagad Raya, terus mengembang dan mulai nampak transparan. Masa Keenam, Jagad raya terus mengembang, atom-atom mulai membentuk aggregat menjadi molekul-molekul, makro-molekul, kemudian membentuk proto-galaksi, galaksi-galaksi, bintang-bintang, tata surya-tata surya, dan planet-planet.

Sobat. Demikian pula silih bergantinya malam dan siang, merupakan fenomena yang sangat kompleks. Fenomena ini melibatkan 'rotasi bumi (yaitu bumi berputar pada sumbunya), seraya 'mengelilingi matahari dengan sumbu bumi miring. Dalam fenomena fisika bumi berkitar (precession) mengelilingi matahari. 

Jadi silih bergantinya malam dan siang terjadi karena adanya gerakan rotasi bumi yang berkitar mengelilingi sebuah bintang, yaitu matahari. Karena gerakannya miring, gerakan perkitaran bumi mengelilingi matahari juga memberikan dampak musim yang berbeda-beda, tergantung dari posisi tempat di bumi terhadap matahari. 

Selain itu rotasi bumi dalam berkitar mengelilingi matahari, distabilkan oleh bulan yang berputar mengelilingi bumi, dalam istilah astronomi, bulan memberikan rotational dynamic stability pada rotasi bumi yang berkitar mengelilingi matahari. Planet-planet lain yang juga mengelilingi matahari, memberikan pula rotational dinamic stability kepada perkitaran bumi terhadap matahari, Subhanallah! Terbukti bahwa eksistensi bulan sangat diperlukan agar precession (perkitaran) bumi pada sumbunya stabil.

Bulan memberikan kestabilan dalam dimensi waktu 10-100 tahun, sedang Venus dan Mars memberikan kestabilan dalam dimensi waktu 100-500 tahun. Sedang planet Jupiter dan Saturnus, juga ikut memberikan rotational dynamic stability terhadap bumi kita ini, selain juga bertindak sebagai shield (perisai) bagi bumi terhadap hamburan meteor yang akan membentur bumi (komunikasi personal dengan Prof. Dr. Ir. Said D. Jenie, pakar Mekanika Benda Langit ITB)(lihat juga Telaah Ilmiah Surah al-Anam, ayat 96).

Sobat. Jelaslah, begitu kompleksnya fenomena ciptaan Allah swt. tentang 'Penciptaan Langit dan Bumi, serta silih bergantinya malam dan siang ini. Hanya para ilmuwan dan filosof yang sangat ulung dan tekun serta tawadhu, yang akan mampu menyingkap rahasia alam ini. Merekalah yang disebut sebagai Ulil Albab pada ayat di atas.

Penciptaan Langit dan Bumi sangat kompleks, dan baru 'sedikit yang diketahui manusia tentang itu. Silih bergantinya malam pun juga sangat kompleks. Dalam era modern ini, ilmu pengetahuan telah mampu menyingkap bahwa bulan, planet Venus, Mars, Jupiter, dan Saturnus, semuanya memberikan pengaruh berupa rotational dynamic stability pada rotasi bumi dalam berkitar mengelilingi matahari itu. Mereka inilah (para ulil albab) yang sampai kepada kesimpulan: "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka".

Sobat. “Berpikir kebaikan itu mengajak kita mengamalkannya. Menyesali keburukan itu mengajak kita untuk meninggalkannya.” Kata Ibnu Abbas. “Biasakanlah  mata kalian  untuk menangis  dan hati kalian untuk berpikir.” Jelas Abu Sulaiman. Mengambil pelajaran bisa menambah ilmu. Berzikir bisa menambah cinta. Berpikir bisa menambah takut.

Oleh: Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
CEO Educoach dan Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana IAI Tribakti Lirboyo. Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab