Tinta Media: Protes
Tampilkan postingan dengan label Protes. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Protes. Tampilkan semua postingan

Minggu, 18 Desember 2022

Meranti Protes Keras dan Ancam Akan Angkat Senjata, Begini Kata Pamong Institute

Tinta Media - Protes kerasnya Bupati Kepulauan Meranti bahkan yang katanya akan angkat senjata terkait kebijakan pusat dalam pembagian migas mendapat tanggapan dari Direktur Pamong Institut Wahyudi al Maroky.

“Terkait protes kerasnya Bupati Meranti menurut saya ini bagian dari dinamika di pemerintahan daerah yang sudah tidak bisa ditahan. Bisa jadi juga karena daerah merasa tidak nyaman atau senang dengan kebijakan-kebijakan pusat,” tuturnya dalam rubrik Bincang Bersama Sahabat Wahyu: Meranti Protes Keras, Bahkan Angkat Senjata, Bolehkah? pada Kamis (15/12/2022) di kanal Youtube Megapolitan News Forum.
 
Kabupaten Meranti, menurut Wahyudi, bukan satu-satunya daerah yang merasa terzalimi tapi daerah lain pun ada namun tidak berani protes atau tidak tersampaikan ke publik. “Kejadian seperti ini unik karena semestinya bupati bisa langsung menyampaikan aspirasinya melalui jalur struktural di kenegaraan, baik melalui gubernur atau langsung menghadap presiden. Jadi sebaiknya tidak harus keluar ke ruang publik,” imbuhnya.  

Menurutnya, protes atau suara pemerintah daerah hingga ke ruang publik menandakan saluran-saluran secara legal atau formal sudah menyempit, buntu, bahkan mampet komunikasinya. “Jika dibicarakan baik-baik tentang kebijakan pembagian hasil migas dan aspek-aspek terkait, saya pikir tidak akan sampai terjadi protes keras meledak-ledak seperti itu,” ujarnya. 

Ia mengingatkan ada yang butuh dipahami bersama dengan adanya protes keras tersebut jangan serta merta dipandang sebagai pembangkangan. Justru seharusnya ini dipandang sebagai alarm besar bagi pemerintah pusat jika ada daerah yang merasa kurang nyaman dengan kebijakan-kebijakan pemerintah pusat. 

Bagi pemerintah daerah, Wahyudi menyarankan agar penyampaian suara atau protes ke pemerintah pusat  menggunakan diksi yang tepat sehingga substansi isi protesnya bisa tersampaikan dengan baik. Pemerintah pusat pun harus bijak dalam setiap menanggapi masukan, kritik, ataupun protes dari pemerintah daerah.  

Ia melihat bahwa substansi protes Kabupaten Meranti adalah ketidakadilan dalam pembagian hasil migasnya bagi pandangan rakyat di Meranti yang harusnya nambah namun tidak. Sedangkan pemerintah pusat tidak memberikan jawaban memusakan secara rasinonal dan menentramkan jiwa serta hati rakyat Meranti.  

“Dalam memberikan jawaban atas protes dari daerah, pemerintah pusat jangan arogan bahkan langsung mencap tidak setia NKRI. Jika ini yang terjadi, menunjukkan gagalnya pemerintah pusat berkomunikasi dengan daerah,” ulasnya.  

Jika para pejabat dalam menjalankan amanahnya berorientasi ikhlas dan ingin melayani atau mensejahterakan rakyatnya, Maroki memastikan tidak akan terjadi seperti ini. Apalagi ditambah mempunyai visi dan misi sama. “Saat ini yang harus dilakukan pemerintah pusat adalah mengevaluasi diri dan berefleksi diri untuk mencegah makin banyak daerah yang berani memprotes bahkan mengancam negara sendiri. Ini rawan. Jangan sampai negeri ini terkoyak dan terpisah,” harapnya.

Pengaturan Migas

Dalam pengelolaan migas, Wahyudi memaparkan ada perbedaan nyata antara pengelolaan menurut Kapitalis dan Islam.

“Pengelolaan kekayaan milik umum termasuk di dalamnya ada migas menurut Islam  adalah dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Daerah bisa memberikan masukan melalui mekanisme majelis wilayah di daerahnya masing-masing. Majelis wilayah adalah majelis umat yang berada di daerah,” bebernya.

Di akhir, ia memberikan masukan kepada saudara-saudara di Meranti agar lebih bertakwa, bersabar, dan berikhtiar kuat untuk mengembalikan pengelolaan kekayaan alam dengan mengusulkan perubahan sistemik lepas dari sistem Kapitalis.

"Sebagai muslim saya tawarkan mari kita mengkaji bersama konsep-konsep Islam untuk menjadi salah satu solusi memperbaiki negeri ini. Harapannya minimal kita paham mana yang lebih ideal dan kurang ideal dalam pengelolaan sumber daya alam dan pembagian hasilnya,” pungkasnya.[] Erlina

Sabtu, 17 Desember 2022

BUPATI MERANTI PROTES KERAS SOAL MIGAS, KENAPA?

Tinta Media - Bupati Meranti Muhammad Adil kini sedang mendapat sorotan tajam dari publik. Pasalnya, Adil melakukan protes keras kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) soal Dana Bagi Hasil(DBH) produksi minyak di daerahnya yang dirasa tidak adil. Hal itu disampaikan Adil ketika menghadiri Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengelolaan Pendapatan dan Belanja Daerah se-Indonesia pada 8 Desember lalu. Adil protes atas ketidakadilan itu secara langsung kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Luky Alfirman. 

Kabupaten Kepulauan Meranti merupakan daerah penghasil minyak mentah yang sedang naik produksinya. Namun jumlah penduduk miskin daerah itu masih tinggi, mencapai 25,68 persen. Bupati Meranti Adil mempertanyakan kenaikan dana yang tidak sebanding dengan kenaikan produksi. Dia mengungkapkan, lifting minyak Meranti saat ini mencapai 7.500 barrel per hari, dari sebelumnya hanya di kisaran 3.000-4.000 barrel per hari. 
 
Sedangkan asumsi harga minyak dalam APBN juga naik dari 60 dolar per barel menjadi 100 Dolar AS per barrel. Namun, dana bagi hasil yang diterimanya untuk tahun ini sebesar Rp 115 miliar. Menurut dia, jumlah ini hanya naik sekitar Rp 700 juta dari sebelumnya. 

"Meranti itu daerah termiskin se-Indonesia, penghasil minyak, termiskin, ekstrem lagi. Pertanyaan saya, bagaimana kami tidak miskin, uang kami tidak dikasihkan," tegas Adil. Dia lantas menjelaskan, sebanyak 103 sumur minyak di Meranti kini sudah kering. Saat ini wilayah itu sedang mengebor 13 sumur minyak lainnya. Selain itu, ditargetkan menambah 19 sumur baru pada 2023.

Atas protes keras itu, terjadi pro dan kontra di tengah publik. Banyak yang memberikan dukungan dan apresiasi positif. Tapi tak sedikit juga yang memberikan kritik dan hujatan kepada Bupati Meranti itu. 

Jika kita telaah pernyataan Bupati meranti itu dapat dipilah dalam dua kategori. Pertama dari sisi substansi isi protesnya dan kedua dari cara penyampaiannya. Lalu bagaimana kita semestinya menyikapinya? Setidaknya ada tiga sikap publik dalam merespon protes bupati meranti itu. 

PERTAMA, Kalangan progresif yang cenderung berfikir positif. Mereka lebih tertarik membahas isi substansi. Tidak begitu tertarik membahas cara komunikasi yang kurang baik dalam menyampaikan pesan tersebut. dalam hal ini bisa memahami cara orang menyampaikan pesan sangat beragam sesuai latarbelakang masing-masing. Oleh karenanya lebih tertarik membahas isi pesan dari pada cara menyampaikan pesan. Meski akan lebih baik jika isi pesannya baik dan cara menyampaikan juga baik.

Kebanyakan kelompok ini mengedepankan rasionalitas. Mereka mencoba memahami kenapa seorang bupati sampai begitu keras dalam memprotes kebijakan pusat. Bagi kalangan rasionalitas ini lebih tertarik menilai substansi kenapa sampai terjadi kabupaten meranti merasakan ketidakadilan dalam pembagian dana bagihasil migas.

Jika fokusnya membahas substansi maka uangkapan yang begitu keras tidakbegitu menjadi perhatian. Karena sumber masalahnya adalah ketidakadilan pembagian DBH. Jika ketidakadilan DBH migas itu diatasi maka tidak akan ada protes bahkan tidak akan ada suara keras dari daerah. Apalagi untuk sampai angkat senjata dan minta pisah dari NKRI.

Maka semestinya segera berikan solusi dengan musyawarah dimana pembagian itu bisa dirasakan adil bagi masyarakat Meranti. Setidaknya bisa menurunkan angka kemiskinan yang jumlahnya sangat besar mencapai seperampat (25,56%) jumlah penduduknya.  

KEDUA, Kalangan melankolis, yang lebih suka pada hal teknis dan bukan pada subtansinya. Mereka segera membedah teknik dan cara penyampaian yang kurang tepat pada hal-hal tertentu. Selanjutnya mengkritik balik cara penyampaian Bupati Meranti. Tapi lupa mengkritik isi dari kritikan tersebut.

Mereka tak begitu tertarik membahas isi kritik hal yang lebih substantif. Mereka tak peduli apa substansinya. Justru yang dipersoalkan bukan inti masalahnya tapi cara penyampaiannya. Selanjutnya mencari sisi kekurangan lain sang penyampai kritik tersebut. 

Sebagian kalangan ini mengambil posisi pro kepada rezim sehingga lupa menilai secara obyektif apa inti masalah utamanya. Bagi mereka mengkritik pemerintah pusat sama halnya mengkritik rezim dan sekaligus dianggap tidak loyal kepada negara. 

KETIGA, Kalangan Netralis, mereka tak peduli atas pernyataan Bupati meranti. Mereka juga tak peduli kepada pihak yang mengkritik balik cara penyampaian Sang Bupati. Bagi kalangan netralis ini, hal yang terpenting adalah kehidupan dan kesenangan mereka tidak terganggu. Bisa hidup nyaman dan bisnisnya aman, itu sudah cukup.  

Hal yang ideal adalah, isi pesannya baik dan disampaikan dengan cara yang baik serta masyarakat ikut merespon dengan baik pula. Namun semua terpulang kepada masing-masing kita. Apakah akan fokus pada substansi isu pesannya atau hendak mempersoalkan hal teknis. 

Tentu kita berharap Pemerintah pusat dapat menyikapi dengan bijak. Setiap dinamika maupun aspirasi dari berbagai daerah mesti dipandang sebagai energi positif untuk membangun negeri. Harus lebih fokus pada isi pesan ketimbang mempersoalkan hal teknis dan mengabaikan isi substansinya.

Masyarakat daerah bukanlah musuh kita. Mereka juga Warga Negara yang mesti dilindungi, dicerdaskan dan disejahterakan. Mereka bukan musuh negara. Sedangkan Bupati dan aparat daerah merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat untuk menjalankan amanat konstitusi demi menyejahterakan warganya. 

Dengan memandang dari sisi positif (khusnuzon) pada setiap dinamika pemerintahan maka akan melahirkan kebijakan yang positif juga. Termasuk akan melahirkan hasil yang positif bagi peningkatan kesejahteraan rakyat sebagaimana amanat konstitusi kita. Semoga negeri ini dijauhkan dari berbagai bencana dan terlimpah barokah dari langit dan bumi… aamiin. 

Oleh: Wahyudi al Maroky
Dir. Pamong Institute

Referensi: https://pamongreaders.com/bupati-meranti-protes-keras-soal-migas-kenapa 

NB: Penulis pernah Belajar Pemerintahan pada STPDN 1992 angkatan ke-04, IIP Jakarta angkatan ke-29 dan MIP-IIP Jakarta angkatan ke-08.

Selasa, 13 Desember 2022

MENYOAL RELASI PENGUASA DAN RAKYAT DI KUHP

Tinta Media - Setelah banyak protes dari masyarakat terkait kontroversi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) karena menyelisihi demokrasi, namun pada akhirnya disahkan juga oleh DPR RI dan pemerintah pada Selasa, 06/12/22 dalam rapat paripurna yang digelar di kompleks parlemen. Pengesahan RKUHP ini terkesan dikebut, sebab sebelumnya banyak gelombang aksi protes karena terdapat banyak substansi yang kontroversial, khususnya dilema relasi antara penguasa dan rakyatnya yang diurus.

 

Pengesahan RKUHP itu terkesan dikebut karena minimnya partisipasi publik, bahkan seolrah pemerintah dan DPR tidak mengindahkan kritik dan masukan publik. Padahal sejumlah kalangan publik dari mulai jurnalis, praktisi hukum, hingga aktivis HAM dan mahasiswa masih melihat materi dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih kacau dan memuat pasal-pasal bermasalah.

 

Relasi antara penguasa dan rakyat adalah relasi positif yakni penguasa mencintai rakyat dan rakyat mencintai pemimpinnya. Muhasabah dan nasehat rakyat kepada penguasanya adalah tanda kecintaan itu agar pemimpin tetap berjalan di jalan Allah. Demikian pula seorang pemimpin mesti menjadikan dirinya teladan bagi rakyatnya. Relasi penguasa dan rakyat bukan relasi permusuhan. Kepemimpinan adalah amanah Allah dan rakyat.

 

Pemimpin adalah pelayan rakyat, bukan boss dan rakyat pembantunya. Melalui KUHP ini seolah relasi penguasa dan rakyat bersifat tidak (mampu) menghasilkan hal baik atau tidak saling menguntungkan. Dalam filsafat relasi ini bernama kontraproduktif.

 

Saat Soekarno menyatakan bahwa jika negara berdasarkan Islam maka akan banyak daerah yang penduduknya bukan Islam akan memisahkan diri, semangat keislaman rakyat membuat mereka memprotesnya. KH Isa Anshari dari Masyumi melayangkan nota protesnya. Protes resmi juga dilayangkan oleh PBNU, Partai Islam Perti, Gerakan Pemuda Islam dan PB Persis. Rakyat juga memprotes lewat poster-poster berbunyi: “Kami cinta kepada presiden, tetapi lebih cinta kepada negara. Kami cinta kepada negara, tetapi lebih cinta kepada agama.”

 

Protes seperti ini dan semisalnya, asalkan sesuai dengan hukum syariah, hendaknya dilihat sebagai bentuk pertolongan sekaligus penunaian kewajiban rakyat. Bukan dianggap penentangan apalagi makar. Bahkan andaikan rakyat diam, penguasalah yang seharusnya turun lapangan untuk meminta kritik dari rakyat, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar ra.

 

Suatu hari, Khalifah Umar naik ke atas mimbar. Dia lalu berpidato di hadapan khalayak ramai. ”Wahai orang-orang, jangan kalian banyak-banyak dalam memberikan mas kawin kepada istri. Karena mahar Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya sebesar 400 dirham atau di bawah itu. Seandainya memperbanyak mahar bernilai takwa di sisi Allah dan mulia, jangan melampaui mereka. Aku tak pernah melihat ada lelaki yang menyerahkan mahar melebihi 400 dirham.”

 

Rupanya kebijakan ini tidak disetujui oleh sebagian kaum perempuan. Maka, usai menyampaikan keterangan, datanglah seorang perempuan menyampaikan protes. ” Hai, Amirul Mukminin, kau melarang orang-orang memberikan mahar kepada istri-istri mereka lebih dari 400 dirham?” protes wanita itu. ” Ya,” jawab Khalifah Umar. ” Apakah kau tidak pernah dengar Allah menurunkan ayat (melafalkan penggalan ayat 20 Surat An Nisa),” kata wanita itu.

 

Umar tersentak sambil berkata, ” Tiap orang lebih paham ketimbang Umar.” Menyadari kekeliruannya, Umar kembali naik mimbar dan menyampaikan pernyataan yang telah direvisi sesuai kritik yang disampaikan rakyatnya. (dikutip dari Jakarta, Masjiduna)

 

Perhatikanlah ucapan pidato Abu Bakar As Shiddiq saat dilantik menjadi seorang khalifah pertama dalam peradaban Islam : (1) Wahai manusia Aku telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu (ri’ayatu suunul ummah). (2) Padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antaramu (berakhlak : rendah hati dan tahu diri). (3) Maka jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, bantulah (ikutlah) aku (merangkul rakyat, bukan memusuhi).

(4) Tetapi jika aku berlaku salah, maka luruskanlah (tidak anti kritik, mengakui kesalahan, mendengar masukan para ahli dll). . Orang yang kamu anggap kuat, aku pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak dari padanya (ekonomi keseimbangan, bukan kapitalisme : menerapkan sistem ekonomi Islam). sejalan dengan firman Allah 59 : 7 “….agar harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya diantara kamu.

 

Dalam Draf RKUHP pasal 218 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wapres dipidana dengan pidana penjara maksimal tiga tahun atau denda paling banyak Rp. 200 juta. Kemudian pada Pasal 218 ayat (2) menyatakan bahwa hal tersebut tidak berlaku jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.



Pada bagian penjelasan Pasal 218 ayat (2) dinyatakan bahwa hal yang dimaksud dengan 'dilakukan untuk kepentingan umum' adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan salah satunya lewat aksi unjuk rasa atau demonstrasi, kritik atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan presiden dan/atau wakil presiden. Aksi atau kebebasan berekspresi itu pun diberi embel-embel bersifat 'konstruktif'.

Relasi penguasa dan rakyat dalam RKUHP dibandingkan relasi dalam Islam jelas bertentangan 180 derajat. Di RKUHP penguasa memposisikan dirinya sebagai pihak yang selalu benar dan menolak masukan, protes, nasihat dan sejenisnya dari rakyat. Padahal kata penghinaan adalah pasal karet yang bisa multitafsir, dikhawatirkan nasihat dan protes rakyat nanti dianggap sebagai bentuk penghinaan.

 

Padahal mestinya pemimpin itu bersyukur jika rakyatnya peduli dan masih mau memberikan berbagai masukan kepada pemimpinnya. Di RKUHP yang kini menjadi KUHP ini posisi rakyat seolah selalu akan jadi korban dan selalu jadi sasaran untuk disalahkan. Rakyat dianggap tak pernah benar, dilarang bicara, hanya disuruh diam dan menerima apapun yang dilakukan penguasa.

 

Pasal 192 menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan makar dengan maksud supaya sebagian atau seluruh wilayah NKRI jatuh kepada kekuasaan asing atau untuk memisahkan diri dari NKRI dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara maksimal 20 tahun. Pasal 193 ayat (1) mengatur setiap orang yang melakukan makar dengan maksud menggulingkan pemerintah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Sementara itu, Pasal 193 ayat (2) menyatakan pemimpin atau pengatur makar dipidana dengan pidana penjara maksimal 15 tahun.

 

Ini juga pasal yang kontroversial dan agak aneh sebenarnya. Jika mau berpikir sejalan mendalam, justru dengan menerapkan ideologi kapitalisme sekuler liberal, negeri ini bisa tergadaikan kepada oligarki asing dan aseng. Hingga hari ini hampir tak tersisa lagi sumber daya alam milik rakyat, kecuali dikuasai oleh asing dan aseng. Makar yang sesungguhnya adalah justru pada penerapan ideologi kapitalisme sekuler liberal di negeri ini. Oligarki asing dan aseng makin kaya di negeri ini, sementara rakyat makin sengsara.

 

Pasal ini juga bisa jadi pasal karet yang multiinterpretasi bagi rakyat yang menginginkan negeri ini menjadi lebih baik. Padahal ideologi transnasional demokrasi kapitalisme sekuler liberal yang diterapkan di negeri terbukti telah menyengsarakan rakyat. Kapitalisme adalah ideologi imperialisme warisan penjajah.

 

Jika rakyat menginginkan perubahan sistem agar menjadi lebih baik, maka melalui pasal ini, bisa jadi dianggap makar. Sebab secara filosofis, tidak ada yang final di dunia ini, semua terus akan berubah. Apakah jika negeri ini berubah menjadi lebih baik itu tidak boleh. Apakah ada intervensi oligarki dalam pengesahan RKUHP ini? Bukannya pasal 192 itu justru paradoks?

 

Pada pasal 188 paragraf 1 disebutkan tentang penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila. Sanksi pidana Di pasal 188 (1) berbunyi setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan dan mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjaran paling lama 4 (empat) tahun.

 

Pasal ini jika mau dipahami dengan baik, maka salah satu paham yang bertentangan dengan pancasila justru sedang diterapkan di negeri ini seperti sekulerisme, kapitalisme, liberalisme, pluralisme, feminisme, pragmatisme dan banyak isme lain yang justru sangat bertentangan dengan pancasila. Hampir semua kajian akademik tidak ada yang berpendapat bahwa Islam itu bertentangan dengan pancasila, bahkan secara historis, ada yang berpendapat bahwa pancasila adalah hadiah terbesar umat Islam untuk negeri ini. Ini secara akademik.

 

Namun demikian, secara politik yang terjadi justru sebaliknya, seringkali penyebaran ajaran Islam seperti syariah dan khilafah dianggap bertentangan dengan Islam, padahal keduanya tidka termasuk isme, melainkan bagian dari ajaran Islam. Logikanya, jika Islam tidak bertentangan dengan pancasila, berarti seluruh ajarannya juga tidak bertentangan. Menyebutkan ajaran khilafah sebagai isme adalah kebodohan. Karena itu pasal 188 ini sangat rawan ditarsirkan secara serampangan sehingga dakwah-dakwah Islam bisa dijadikan sasaran tuduhan anti pancasila.

 

Selama ini tuduhan keji seperti radikalisme, terorisme, fundamentalisme justru sering disasarkan kepada umat Islam, bukan kepada yang lainnya. Dengan adanya pasal 188, kemungkinan berbagai tuduhan kepada umat Islam akan terus digaungkan. Sementara kapitalisme, liberalisme, sekulerisme, dan pluralisme yang jelas bertentangan dengan pancasila malah akan terus tumbuh subur.

 

Draf RKUHP juga masih mengatur ancaman pidana bagi penghina lembaga negara seperti DPR hingga Polri. Ketentuan itu tercantum dalam Pasal 349. Pasal tersebut merupakan delik aduan. kPada ayat 1 disebutkan, setiap orang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara, dapat dipidana hingga 1,5 tahun penjara. Ancaman pidananya bisa diperberat jika penghinaan menyebabkan kerusuhan.

 

Istilah menghina kekuasaan ini tentu saya sangat multiinterpretasi. Penafsirannya sangat bergantung kepada penguasa. Pasal ini seolah menempatkan penguasa sebagai penafsir tunggal atas hak bersuara yang dimiliki oleh rakyat. Menempatkan diri sebagai penafsir tunggal, sama saja dengan menempatkan diri sebagai yang benar dan tidak pernah salah. Dikhawatirkan dengan pasal ini jika rakyat melakukan kritik atas kesalahan penguasa, maka bisa saja ditafsirkan sebagai delik penghinaan, bisa saja kan ?

 

Pasal 350, pidana bisa diperberat hingga dua tahun jika penghinaan dilakukan lewat media sosial. Sementara, yang dimaksud kekuasaan umum atau lembaga negara dalam RKUHP yaitu DPR, DPRD, Kejaksaan, hingga Polri. Sejumlah lembaga itu harus dihormati. ituTentu saja lembaga negara itu harus dihormati oleh rakyat karena mereka itu pelayan rakyat. Namun jika pelayan rakyat bersalah dan tidak melayani rakyat, maka rakyat jelas berhak mengingatkannya. Dengan pasal seperti ini tentu saja rakyat akan takut bersuara, khawatir suaranya ditafsirkan berbeda oleh penguasa. Ini relasi kontrakproduktif antara penguasa dan rakyat.

 

Draf RKUHP turut memuat ancaman pidana atau denda bagi penyelenggara demonstrasi tanpa pemberitahuan. Hal itu tertuang dalam Pasal 256. Pasal ini menuai banyak kritik dengan alasan bahwa bisa dengan mudah mengkriminalisasi dan membungkam kebebasan berpendapat. Koalisi masyarakat sipil mengatakan, pada praktiknya polisi kerap mempersulit izin demo. Konsistensi demokrasi dipertanyakan lewat pasal ini, sebab seolah penguasa melakukan pembungkaman atas hak bersuara rakyat. Sekali lagi hal ini menunjukkan bahwa ada paradigma yang salah dalam RKHUP terkait konstruksi relasi antara penguasa dan rakyatnya.

 

RKUHP juga mengatur soal penyiaran, penyebarluasan berita atau pemberitahuan yang diduga bohong. Pasal ini, dapat menyasar pers atau pekerja media. Pada Pasal 263 Ayat 1 dijelaskan bahwa seseorang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dapat dipenjara paling lama 6 tahun atau denda Rp500 juta.

Bunyi pasal 263 ayat 1 adalah sebagai berikut : Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.

Kemudian pada ayat berikutnya dikatakan setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan, padahal patut diduga berita bohong dan dapat memicu kerusuhan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 atau denda Rp200 juta. 

 

Lebih lanjut, RKUHP terbaru juga memuat ketentuan penyiaran berita yang dianggap tidak pasti dan berlebihan. Seseorang yang membuat dan menyebarkan berita tersebut dapat dipenjara 2 tahun atau denda paling banyak Rp10 juta. Hal itu tertuang dalam pasal 264. 

 

Jelas pasal ini menunjukkan relasi yang salah antara penguasa dan rakyat terutama soal tafsir dan penafsiran. Sebab disaat rakyat atau pers melakukan siaran terancam oleh bayang-bayang penjara. Tentu saja hal ini tidak sehat, terlepas secara etika memang tidak boleh menyebarkan berita bohong. Namun pasal ini selain menimbulkan suasana tidak kondusif bagi diskursus sosial politik di negeri ini, juga telah berpotensi merusak relasi antara penguasa dan rakyat.

 

Dalam pandangan Islam, penguasa dan rakyat harusnya saling menguatkan. Ibnu Qutaibah (w. 276H) mengutip perkataan Kaab al-Akhbar rahimahumalLah: “Perumpamaan antara Islam, kekuasaan dan rakyat adalah laksana tenda besar, tiang dan tali pengikat serta pasaknya. Tenda besarnya adalah Islam. Tiangnya adalah kekuasaan. Tali pengikat dan pasaknya adalah rakyat. Satu bagian tidak akan baik tanpa bagian yang lainnya.

 

Rasulullah bersabda : Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat. Dia akan diminta pertanggungjawaban tentang rakyatnya. Makna ar-râ’i adalah al-hâfidz al-mu’taman8 (penjaga, pemelihara, wali, pelindung, pengawal, pengurus, pengasuh yang diberi amanah). Penguasa/pemimpin wajib mewujudkan kemaslahatan siapa saja yang berada di bawah kepemimpinannya.

 

Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab ra. pernah melihat orang tua yang mengemis. Ia ternyata beragama Yahudi. Beliau bertanya, “Apa yang memaksa engkau mengemis?” Dia menjawab, “Untuk membayar jizyah (sejenis pajak), kebutuhan hidup dan karena aku sudah tua (tidak sanggup bekerja).” Lalu Khalifah Umar ra. mengutus dia kepada penjaga Baitul Mal dan berkata kepada penjaganya, “Lihatlah orang ini dan yang seperti dia! Demi Allah, kita tidak adil kepada dia jika kita mengambil jizyah pada masa mudanya, kemudian kita menistakannya ketika telah tua.” Setelah itu beliau membebaskan orang tua tersebut dari membayar jizyah. Bahkan beliau memberi dia subsidi dari Baitul Mal.

 

Dalam perumpamaan sebelumnya, fungsi tali dan pasak adalah untuk menjaga tiang agar tidak miring atau roboh. Demikianlah rakyat. Selain wajib taat kepada penguasa dalam perkara yang merupakan wewenang mereka dan bukan kemaksiatan, rakyat juga wajib menjaga agar penguasa tetap tegak di atas hukum syariah.

 

Semisal dari sekitar 627 pasal yang dikutip detik.com, lesbian, biseksual, gay, dan transgender (LGBT) tidak dimasukkan sebagai delik pidana.Padahal sudah lama disuarakan agar disorientasi seksual itu dimasukkan sebagai pelanggaran hukum. Tentu saja telah jelas, bahwa praktek LGBT bertentangan dengan agama sebagai living law negeri ini, termasuk bertentangan dengan Pancasila. Namun apa daya rakyat tak mampu mengatur undang-undang negeri ini, bisanya hanya memberikan masukan dan rasa benci dalam hati sebagai bentuk lemahnya iman karena dibatasi oleh kewenangan.

Jika rakyat tidak memiliki kemampuan mengubah kemungkaran penguasanya. Hal paling minim yang harus mereka lakukan adalah dengan membenci dan menampakkan sikap tidak rela terhadap kemungkaran tersebut. Ketika menjelaskan hadis Ummu Salamah r.a terkait kemungkaran penguasa, Imam an-Nawawi menyatakan : Siapa saja yang mengetahui kemungkaran dan tidak meragukan kemungkarannya, maka itu telah menjadi jalan bagi dia menuju kebebasan dari dosa dan hukuman dengan cara dia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya atau lisannya. Jika dia tidak mampu, hendaklah dia membenci kemungkaran itu dengan hatinya.

Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

(AhmadSastra,KotaHujan,07/12/22 : 14.56 WIB )
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab