Tinta Media: Program
Tampilkan postingan dengan label Program. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Program. Tampilkan semua postingan

Selasa, 20 Agustus 2024

Program Besti Wujudkan Cita-Cita




Tinta Media - Fiki Sa'adatul Fatimah (20)  berhasil mendapatkan program Besti (Beasiswa Ti Bupati) yang merupakan program terobosan dari Bupati Bandung, Dadang Supriatna. 

Diketahui bahwa program Besti yang mulai digulirkan pada tahun 2022 ini merupakan salah satu program Bupati Bandung kepada generasi muda yang mempunyai keterbatasan finansial untuk mewujudkan cita-citanya melalui bantuan beasiswa perkuliahan hingga selesai.

Program tersebut tentu saja dengan syarat dan ketentuan berlaku, karena tidak semua generasi muda bisa mendapatkan akibat keterbatasan informasi dan regulasi yang lumayan panjang.

Berbeda dengan tahun-tahun terakhir ini, ketika program tersebut sudah pada tahap akhir masa jabatan bupati, program tersebut digembar-gemborkan dengan regulasi yang lebih mudah. Kabarnya ini untuk meraih simpati rakyat, apalagi mendekati pilkada yang diharapkan dapat mendulang suara rakyat. Inilah pola politik ciri khas demokrasi.

Seharusnya, program pemerintah ini murni dalam rangka menjalankan fungsi pengurusan kebutuhan rakyat, termasuk dalam pemenuhan kebutuhan terhadap pendidikan, tidak diembel-embeli nuansa kampanye terselubung untuk pemenangan pemilu. Pelaksanaan program pun tidak murni untuk kepentingan rakyat, justru dijadikan alat untuk kepentingan para elit.

Inilah yang terjadi di negeri yang menerapkan sistem demokrasi sekuler liberal. Semua yang dilakukan adalah berasaskan  manfaat, seperti kepemipinan saat ini. Ketika mendekati pilkada, para politisi berbondong-bondong  memberikan berbagai kemudahan dan program menguntungkan sesaat bagi rakyat. 

Ini karena ada tujuan, yaitu menginginkan suaranya  dalam pemilihan. Namun, ketika mereka sudah terpilih, maka rakyat pun kembali tak didengar suaranya, karena kepentingan pribadi dan kelompoknya telah terpenuhi.

Padahal, di dalam Islam, kepemimpinan adalah hal yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di sisi Allah, apalagi kepemimpinan dalam mengurusi rakyat. 

Dilandaskan pada pemahaman bahwa politik di dalam Islam merupakan ri'ayah su'unil ummah (pengaturan urusan umat), maka berbagai kebijakan dan program yang dibuat semata adalah untuk kepentingan umat (rakyat), dapat menyentuh semua kalangan tanpa melihat kaya ataukah miskin.  

Semua warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak, dan negaralah yang wajib menyelenggarakannya. Hubungan yang terjalin antara negara dan rakyat semata-mata dilandaskan kepada ketakwaan kepada Allah Swt. bukan kepentingan duniawi, sebagaimana Rasulullah saw. bersabda, yang artinya:

"Sebaik-baiknya pemimpin adalah mereka yang kamu cintai dan mereka mencintai kamu. Kamu berdo'a untuk mereka dan mereka berdo'a untukmu. Seburuk-buruknya pemimpin adalah mereka yang membeci kamu, dan kamu melaknati mereka dan mereka melaknatimu." (HR Muslim)

Gambaran kepemimpinan seperti ini hanya akan ada ketika syariat Islam diterapkan secara komprehensif dalam naungan daulah Islamiyah yang berlandaskan pada Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Keberadaan para pemimpin benar-benar menjalankan amanahnya dalam meriayah umat, karena mereka paham beratnya tanggung jawab, bukan hanya kepada rakyat, tetapi juga kepada Allah Swt. Walahu Alam bishawab.


Oleh: Risna Sp
Sahabat Tinta Media

Minggu, 09 Juni 2024

Program Ambisius Penguasa, Benarkah untuk Rakyat?



Tinta Media - Tugas utama seorang pemimpin adalah menyejahterakan rakyatnya. Maka, yang harus dilakukan adalah membuat program kerja untuk kemaslahatan rakyat. Hal ini dilakukan agar segala sesuatu yang direncanakan bisa direalisasikan dengan terarah dan sesuai tujuan. Program kerja yang dibuat pun harus berdasarkan kebutuhan rakyat dan menjadi prioritas.

Seperti yang diungkapkan oleh Dadang Supriatna, Bupati Bandung, bahwasanya dirinya telah berhasil merealisasikan 13 program prioritas. Salah satunya adalah program insentif guru ngaji dengan anggaran Rp109 miliar. Dari target 17.000 orang, baru terserap 15.881 orang. 

Sebanyak 314 penghargaan pun berhasil diraih, Pendapatan Asli Daerah (PAD) meningkat dari Rp960 miliar menjadi Rp1,3 triliun. Dana APBD ikut merangkak dari Rp4,6 triliun menjadi Rp7,4 triliun. 

Pertanyaannya adalah apakah banyaknya 'award', meningkatnya PAD dan APBD diiringi juga dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat? 

Program prioritas adalah program yang ditujukan kepentingan umum, lintas urusan, berskala besar, memiliki urgensi tinggi, serta memberikan dampak luas bagi masyarakat. Seperti misalnya aspek pendidikan, kesehatan, perumahan dan pemukiman, pengembangan usaha dan pariwisata, ketahanan energi, ketahanan pangan, penanggulangan kemiskinan dan infrastruktur.

Tentunya, untuk membuat program prioritas harus dilakukan perencanaan yang matang dan tepat, sebab akan menjadi pegangan dan tolok ukur dalam mencapai target. Maka dari itu, dalam membuat program prioritas, yang harus disiapkan adalah niat dan keseriusan untuk menyejahterakan rakyat, kemampuan anggaran, analisis yang tepat, kerja sama dan tanggung jawab seluruh pihak terkait.

Namun, jika melihat fakta, program pemerintah yang digadang-gadang mampu menyejahterakan rakyat ini praktiknya tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Seperti misalnya, maraknya PHK secara sepihak oleh perusahaan sehingga berakibat pada bertambahnya jumlah pengangguran  pembangunan kereta cepat dengan harga tiket yang mahal dinilai tidak tepat sasaran. Perumahan bersubsidi dengan kualitas asal-asalan, juga mahalnya biaya pendidikan hingga banyak pelajar putus sekolah turut melengkapi ketidakseriusan proyek tersebut.

Selain itu, banyak alih fungsi lahan yang merugikan rakyat dan lingkungan, tingginya biaya kesehatan, ketimpangan sosial dan ekonomi semakin terlihat, angka kemiskinan tak kalah meningkat, bahkan kelangkaan bahan pangan sering terjadi dan sering pula harganya meroket. 

Kalau faktanya seperti ini, artinya pemerintah tidak serius membuat program kerja. Pemerintah tidak menjadikan kebutuhan vital rakyat sebagai prioritas. 

Di sisi lain, anggaran untuk menjalankan satu program prioritas saja sudah menggelontorkan dana Rp109 miliar, belum  lagi program-program lainya. Bersyukur jika anggaran tersebut benar-benar tepat sasaran, tetapi bukan rahasia lagi, proyek-proyek besar seperti ini rawan akan praktik korupsi. 

Faktanya, banyak terjadi kebocoran anggaran di sepanjang jalan yang dilakukan pihak terkait. Akibatnya, pelaksanaan program kerja tersendat hingga terbengkalai karena kehabisan anggaran. Lagi dan lagi, rakyat selalu jadi korban kerakusan para birokrat.

Akhirnya, solusi negara adalah meminjam uang pada pihak asing dan tak jarang menyerahkan proyek tersebut untuk dikelola oleh pihak swasta atau asing. Ujung-ujungnya, program prioritas ini tidak dirasakan kemaslahatannya oleh rakyat, tetapi hanya dirasakan para oligarki dan kapitalis.

Fakta-fakta tersebut menjadi bukti, ketika kekuasaan sudah tersekularisasi dan penguasa menerapkan sistem ekonomi kapitalisme dalam meriayah rakyat, maka yang terjadi adalah penguasa tidak akan mampu memecahkan problematika kehidupan rakyat, sekalipun seribu program prioritas dibuat.

Arah pandang sistem sekularisme kapitalisme hanya sebatas kebahagiaan dunia. Maka, program kerja yang dibuat pun hanya mengejar pahala dunia (award), yang hanya dinilai oleh segelintir orang. Dalam sistem ini, persoalan data dan angka bisa diutak-atik alias diperjualbelikan. 

Di tengah karut-marutnya kehidupan ini, negara harus mencari sistem alternatif pengganti sistem sekularisme kapitalisme, yaitu sistem Islam. Sistem ini Allah Ta'ala buat untuk mengatur dan memecahkan problematika kehidupan. Sejarah mencatat, sistem Islam pernah berjaya dengan menerapkan syariat Islam hampir 14 abad.

Negara Islam (Khilafah) yang dipimpin oleh seorang Khalifah, memosisikan kepentingan rakyat di atas kepentingan kelompok dan pribadi. Oleh sebab itu, setiap program kerja yang dibuat pun akan sesuai dengan apa yang dibutuhkan rakyat. Hal itu dilakukan semata-mata karena adanya kesadaran hubungan dengan Sang Khalik yang memberi amanah, bukan karena berharap apresiasi, materi, dan pujian dari manusia. 

Seorang Khalifah akan berusaha keras mewujudkan kesejahteraan rakyat dalam seluruh aspek kehidupan. Khilafah dengan sistem ekonomi Islamnya, mampu memenuhi kebutuhan rakyat, baik sandang, pangan, ataupun papan. Khalifah juga akan memberikan peluang usaha bagi rakyat dengan menyediakan sarana prasarananya secara cuma-cuma. 

Kemampuan Khilafah memenuhi kebutuhan rakyat tidak diragukan. Pendapatan negara yang luar biasa bersumber dari harta fa'i, kharaj, ghanimah, anfal, rikaz, khumus, zakat, jizyah, dan pengelolaan barang tambang. Seluruh hasil pengelolaannya kemudian disimpan di kas negara (baitul mal) dan dialokasikan untuk kepentingan rakyat.

Inilah Islam. Kepemimpinan tidak sekadar mendudukkan seseorang di panggung kekuasaan, tetapi yang lebih utama adalah bagaimana kekuasaannya itu digunakan untuk menjaga, menerapkan, dan mendakwahkan Islam, serta bertanggung jawab dunia akhirat dalam mengurus rakyat dengan hukum-hukum Allah Swt.

Maka dari itu, program kerja dibuat oleh Khalifah berdasarkan kebutuhan vital rakyat, yang disandarkan pada hukum syara. Sungguh, hanya dengan penerapan syariah secara kaffah, pemimpin mampu bekerja dengan baik, menjalankan seluruh program prioritasnya hanya dengan berharap ridha Allah Swt.
Wallahualam bisshawab.

Oleh: Neng Mae
Sahabat Tinta Media

Senin, 01 Agustus 2022

Program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan (DP3), Mampukah Mewujudkan Kesejahteraan bagi Masyarakat?

Tinta Media - Di tengah tahapan Pemilu 2024, Jajaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten bersinergi untuk melakukan sosialisasi program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan (DP3). KPU berharap, melalui pertemuan ini, semua elemen bisa menyukseskan Pemilu. Karena menurutnya, Pemilu akan menjadi cikal bakal menuju kesejahteraan masyarakat, dan yang lainnya.

Namun kenyataannya, pemilu yang dilakukan selama ini belum mampu membawa pada perubahan besar untuk rakyat.
Problem pemilu, mulai dari anggaran yang begitu fantastis, hingga politik uang, semestinya menjadi pelajaran bagi kita. Problem utama pemilu bukan pada proses pemilihannya, langsung atau tidak langsung. Karena kenyataannya, baik langsung ataupun tidak, pemilu lima tahunan ini tidak pernah melahirkan penguasa amanah, seperti yang rakyat harapkan.

Pemilu dalam sistem demokrasi akhirnya tak ubahnya seperti meja perjudian. Para pemburu kekuasaan dan semua yang berkepentingan, harus siap membayar berapa pun yang dibutuhkan demi mendapat keuntungan besar yang dijanjikan. Bahkan yang lebih mengerikan, mereka siap melakukan cara apa pun demi memenangkan pertarungan. Sehingga, penyebaran hoax, politik uang, pembunuhan karakter, menjadi hal yang begitu lumrah dalam pesta yang diselenggarakan.

Proses Pemilu dalam Islam

Pemilu di dalam Islam hanyalah salah satu dari sekian prosedur praktis dalam pengangkatan khalifah/penguasa. Sebab, satu-satunya metode pengangkatan khalifah yang sesuai dengan Al-Qur’an dan sunah adalah baiat. Kaum muslimin berbaiat kepada khalifah untuk memerintah berdasarkan kitabullah dan sunah Rasulullah.

Artinya, Khalifah tidak berhak melegislasi hukum karena yang berhak membuat aturan hanyalah Allah Swt. Sedangkan Khalifah hanya berhak berijtihad, yaitu menggali hukum dari Al-Qur’an dan sunah. Kekuasaan dalam Islam bersifat sentralistik, berpusat pada khalifah dan dibantu oleh para muawin-nya.

Sistem politik Islam dibangun berdasarkan akidah Islam sehingga ikatan yang terjalin adalah ikatan akidah, bukan maslahat. Dengan demikian, individu yang terlibat dalam pemerintahan adalah individu yang menginginkan berkhidmat lebih dalam pada penciptanya. Sebab, jabatan dalam sistem Islam adalah amanah tempat mendulang pahala, sekaligus amanah yang berat karena Allah Swt. akan haramkan surga jika tidak amanah.

“Tidaklah seseorang diamanahi memimpin suatu kaum kemudian ia meninggal dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, maka diharamkan baginya surga” (HR Bukhari-Muslim).

Oleh karena itu, kecurangan dalam pemilihan diganjar oleh Allah Swt. dengan haramnya ia masuk surga. Jika ada sekelompok orang alias oligarki yang mencurangi suara, lalu dengannya ia memimpin, maka sejatinya Allah Swt. sedang menghimpun mereka di neraka. Inilah seburuk-buruk balasan bagi penguasa yang curang dan menipu rakyatnya.

Pemilu Utsman bin Affan

Prosedur praktis yang bisa menyempurnakan pengangkatan Khalifah sebelum dibai'at boleh berbeda-beda. Di antara proses tersebut, yang masyhur dan sering dijadikan contoh dalam pembahasan pemilu sesuai syariat adalah pada saat pengangkatan Khalifah Utsman bin Affan. Dalam kitab Ajhizatu ad-Daulah al-Khilafah dijelaskan bahwa saat itu ketika Khalifah Umar tertikam, beliau mengajukan calon sebanyak enam orang kepada kaum muslimin.

Khalifah Umar menunjuk Suhaib untuk mengimami masyarakat dan untuk memimpin enam orang yang telah dicalonkan hingga terpilih satu dari mereka. Kemudian Umar menunjuk Abu Thalhah al-Anshari bersama 50 orang lainnya untuk mengawal mereka dan menugasi Miqdad untuk mencarikan tempat untuk para calon berkumpul.

Setelah Khalifah Umar wafat dan para calon terkumpul, salah satu calon, Abdurrahman bin Auf mengundurkan diri dan mulai meminta pendapat kelima calon tersebut. Jawaban mereka mengerucut pada 2 kandidat, yaitu Ali bin Abu Thalib dan Utsman bin Affan.

Setelah itu, Abdurrahman mulai merujuk pada pendapat kaum muslimin dengan menanyai mereka, siapa di antara Ali dan Utsman yang mereka kehendaki menjadi khalifah. Abdurrahman mengetuk pintu-pintu rumah warga, malam dan siang hari, baik laki-laki maupun perempuan. Setelah Abdurrahman bertanya pada kedua calon, maka saat salat Subuh, pembai'atan Utsman sempurna.

Dengan bai'at kaum muslimin itulah Utsman menjadi khalifah. Dari kisah pengangkatan Utsman bin Affan, bisa kita tarik bahwa pemilihan khalifah benar-benar representasi dari umat. Sebab, khalifah adalah orang yang bertanggung jawab dalam seluruh permasalahan umat.

Calon khalifah adalah mereka yang terbaik dari sisi ketakwaan dan kapabilitas leadership-nya. Selain itu, yang ditugasi untuk mengawal berjalannya proses pemilihan adalah orang-orang terbaik. Mereka sama sekali tidak memiliki kepentingan, selain kepentingan umat. Sebagaimana independensi Abdurrahman bin Auf sangat terlihat saat ia gigih mengetuk pintu-pintu rumah untuk bertanya, siapakah yang lebih layak menjadi Khalifah.

Khatimah

Oleh karena itu, mengharapkan pemilu yang bersih dan bebas dari kepentingan politik dalam sistem demokrasi adalah mustahil. Sebab, justru sistem inilah yang melanggengkan politik transaksional yang pada gilirannya akan menghantarkan pada kecurangan untuk menang. Walhasil, tidak akan pernah terpilih pemimpin yang amanah dan peduli pada umat.

Hanya dengan sistem politik Islamlah pemilu yang bersih akan terwujud sehingga akan terpilih pemimpin sesuai dengan keinginan umat, serta pemimpin yang amanah melayani umat. Sedangkan sistem politik Islam akan berjalan secara sempurna, hanya dalam pemerintahan khilafah yang menerapkan syariat Islam secara kaffah.

Wahai kaum muslimin, Daulah Khilafah Islamiyah telah runtuh pada 28 Rajab 1342 H atau 3 Maret 1924 M. Sejak saat itulah, kaum muslimin tidak memiliki lagi sistem pemerintahan yang menaunginya. Oleh karenanya, marilah berjuang mewujudkan kembali khilafah agar terlahir para pemimpin dambaan umat yang akan membawa peradaban manusia menuju kegemilangannya. 

Wallahu a'lam bishawab.

Oleh: Willy Waliah
Sahabat Tinta Media


Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab