Tinta Media: Program
Tampilkan postingan dengan label Program. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Program. Tampilkan semua postingan

Kamis, 31 Oktober 2024

Dampak Program Cegah Kawin Anak bagi Umat Islam



Tinta Media - Belakangan ini program pencegahan perkawinan anak menjadi sorotan utama di berbagai media dan forum nasional. Isu ini kerap diangkat sebagai salah satu hambatan terbesar dalam mewujudkan generasi berkualitas. 

Pernikahan anak sering kali dianggap sebagai penyebab berbagai permasalahan sosial, seperti putus sekolah, tingginya angka perceraian, kematian ibu dan bayi, serta terjadinya stunting dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Bahkan, muncul wacana untuk mengangkat remaja sebagai agen perubahan dalam upaya pencegahan pernikahan anak.

Seperti halnya pada acara Seminar Cegah Kawin Anak yang diadakan Kemenag di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Semarang, MAN 2 Semarang, dan sejumlah SMA di Semarang, Kamis (19/9/2024). Dalam kesempatan tersebut, Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah, Cecep Khairul Anwar, mengungkapkan bahwa Kemenag telah mengambil sejumlah langkah untuk mencegah perkawinan anak. 

Salah satunya melalui pembinaan kepada siswa-siswi madrasah untuk menjadi agen yang aktif menyebarkan kesadaran tentang risiko nikah dini, sekaligus menginspirasi teman-teman sebaya untuk menolak perkawinan di usia mereka.

Namun, di balik narasi ini, terdapat beberapa hal yang perlu dikaji lebih dalam. Meskipun tampaknya positif dalam upaya melindungi anak-anak dari berbagai risiko, perlu dipertanyakan apakah pernikahan anak benar-benar menjadi akar dari semua masalah tersebut? Ataukah kesimpulan ini justru terburu-buru dan berbahaya, sehingga menjerumuskan masyarakat dalam pemikiran yang tidak sesuai dengan aturan Islam?

Faktanya, di tengah kampanye intens untuk mencegah pernikahan anak, remaja justru dihadapkan pada derasnya arus pornografi dan kebijakan yang cenderung memfasilitasi pergaulan bebas. Menikah dini dianggap keliru, sementara pergaulan bebas seolah dibiarkan tanpa batas.

Pertanyaannya, apakah pemerintah benar-benar berkomitmen untuk melindungi generasi muda dari dampak buruk pernikahan dini, ataukah ada agenda lain yang lebih besar di balik kampanye ini?

Pencegahan perkawinan anak sejatinya merupakan amanat dari Sustainable Development Goals (SDGs), sebuah program global yang turut diadopsi oleh semua negara anggota PBB, termasuk Indonesia untuk dicapai pada 2030. Program ini jelas berpijak pada paradigma Barat yang kerap kali tidak selaras dengan syariat Islam. 

Salah satu target SDGs adalah mengentaskan stunting dan menurunkan angka pernikahan anak. Hal ini tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Pemerintah menargetkan penurunan angka perkawinan anak dari 11,2% pada tahun 2018 menjadi 8,74% pada 2024.

Tidak dimungkiri bahwa kampanye ini berdampak secara signifikan terhadap angka kelahiran, khususnya dalam keluarga muslim. Jika target ini tercapai, maka akan ada penurunan jumlah generasi muslim yang lahir, yang secara tidak langsung berpotensi melemahkan kekuatan demografis umat Islam. 

Di sinilah kita perlu waspada, apakah kebijakan ini benar-benar untuk melindungi anak, ataukah ada agenda tersembunyi untuk mengendalikan populasi umat Islam?

Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamiin, menjaga kesejahteraan manusia secara keseluruhan di tiap aspek kehidupan. Islam memiliki aturan yang jelas dan komprehensif terkait pernikahan. Di antaranya, menurut syariat, usia baligh menandakan kesiapan fisik dan mental seseorang untuk menikah, bukan hanya sekadar angka. 

Oleh karena itu, pengaturan usia minimum untuk menikah yang didasarkan pada standar Barat, tanpa mempertimbangkan aspek syariah, bisa jadi justru bertentangan dengan ajaran Islam.

Negara yang menerapkan Islam secara kaffah tentu akan menjamin terlaksananya aturan-aturan yang sesuai dengan syariat Allah. Dalam sistem Islam, berbagai masalah yang timbul akibat penerapan sistem sekuler kapitalisme, seperti pergaulan bebas, pornografi, dan dampak buruk lainnya, dapat diatasi dengan penegakan hukum Islam yang tegas. 

Sistem ekonomi Islam juga akan menjamin kesejahteraan rakyat sehingga keluarga-keluarga Muslim bisa hidup dengan sejahtera. 

Di samping itu, media Islam akan memperkuat kepribadian generasi muda, menjauhkan mereka dari arus hedonisme dan liberalisme yang merusak.

Oleh karena itu, daripada hanya fokus pada pencegahan pernikahan anak, pemerintah seharusnya lebih serius dalam menangani akar masalah yang sesungguhnya, yaitu derasnya arus liberalisasi dan degradasi moral yang menyerang generasi muda. 

Edukasi yang menekankan pentingnya menjaga kehormatan diri dan menghindari pergaulan bebas jauh lebih bermanfaat daripada sekadar melarang pernikahan dini yang sebenarnya menurut kategori bukan lagi termasuk anak-anak dan pernikahan mereka sah menurut syariat.



Oleh: Aisyah Nurul Afyna
Mahasiswi Universitas Gunadarma

Minggu, 22 September 2024

Pork Barrel Politic di Balik Program Penguasa


Tinta Media - Sejatinya, guru adalah sosok mulia yang sangat berjasa bagi generasi bangsa. Dari mereka, kita mengetahui banyak hal. Mereka menjadi sosok panutan yang menginspirasi generasi muda. Maka dari itu, guru sangat pantas mendapatkan perhatian dan jaminan kesejahteraan dari pemerintah agar mereka fokus terhadap tugas utamanya, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Hal ini pula yang dilakukan oleh Bupati Bandung Dadang Supriatna. Atas perhatiannya kepada guru agama di Kabupaten Bandung, ribuan guru PAI mengungkapkan rasa terima kasihnya. Oleh karena itu, mereka siap mendukung Kang DS untuk memenangkan Pilkada 27 November mendatang.

Kewajiban seorang pemimpin adalah menjamin kesejahteraan seluruh masyarakat, bukan hanya seorang guru. Namun dalam sistem saat ini, karena ada tujuan yang ingin dicapai, penguasa sering kali memanfaatkan situasi yang terjadi dengan meluncurkan program-program yang seolah-olah menjadi angin surga.

Bukan rahasia lagi, bagaimana kondisi guru saat ini, apalagi guru honorer. Dengan upah yang sangat minim, perlakuan terhadap mereka sangat berbeda. Padahal, tanggung jawab mereka sama dengan guru PNS. Situasi inilah yang dimanfaatkan oleh penguasa. Ketika rakyat dalam kesusahan, terinjak-injak, dan terhimpit, begitu diberi perhatian sedikit saja, mereka merasa penguasa tersebut sangat baik.

Rakyat lupa penderitaan yang selama ini dirasakan akibat kezaliman para penguasa. Penguasa akan menebar kebaikan dengan meluncurkan program-program merakyat. Cara ini disebut _pork barrel politic_ atau politik gentong babi. 

Cara ini sangat menguntungkan penguasa dan kelompoknya. Alhasil, penguasa mendapatkan popularitas di tengah-tengah masyarakat dengan maksud dan tujuan meraih dukungan dari masyarakat dalam pencalonan berikutnya. 

Salah satu target adalah guru PAI. Dukungan mereka  menyiratkan ada politik balas budi atas program-program yang telah diluncurkan. Dalam sistem demokrasi, para guru terjebak dalam arus pusaran politik penguasa.

Lantas, kesejahteraan seperti apa yang dirasakan para guru PAI? Kesejahteraan hakiki ataukah insidental? Seharusnya bukan hanya para guru PAI yang mendapatkan kesejahteraan atau perhatian pemerintah, tetapi semua guru harus mendapatkan perlakuan yang sama. 

Selain guru, setiap elemen masyarakat  harus mendapatkan perhatian juga. Kapan dan di mana pun rakyat membutuhkan, pemimpin harus siap dan mampu memenuhi kebutuhan rakyat, tanpa ketentuan dan syarat, sehingga rakyat pun tidak diharuskan untuk membalas budi dari segala kebaikan seorang pemimpin. Ini karena sudah menjadi kewajiban pemimpin untuk melayani dan meriayah rakyat.

Dalam Islam, menjadi pemimpin adalah amanah. Tugasnya adalah melaksanakan ketentuan Allah Swt. yang telah diwahyukan kepada Rasulullah saw. Pemimpin dalam Islam mempunyai kesadaran bahwa mereka akan  dimintai pertanggungjawaban atas amanah yang diemban kelak di akhirat oleh Allah Swt. 

Pemimpin atau khalifah laksana penggembala. Ia menjaga gembalaannya sebaik mungkin. Seperti itulah pemimpin, tanpa mengharapkan balas jasa atas apa yang dilakukan kepada rakyat. Pemimpin harus terus fokus bekerja dengan maksimal, sehingga kebijakan atau program yang dibuat bisa dirasakan langsung manfaatnya oleh seluruh rakyat, termasuk menjamin kesejahteraan para guru.

Sosok guru dalam sistem Islam mempunyai peranan penting. Bukan hanya mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga menjadi pencetak generasi yang mempunyai pola pikir dan pola sikap Islam. Maka dari itu, sebagai bentuk terima kasih, negara akan mengupah para guru dengan upah yang sangat besar.

Ketika masa Khalifah Umar bin Khattab, guru mendapatkan gaji sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas). Tidak heran jika saat itu banyak dijumpai generasi cerdas dan saleh. Selain karena para guru terjamin kesejahteraannya, fasilitas  pendukung pendidikan pun bisa dinikmati oleh seluruh rakyat secara gratis. 

Begitu sejahteranya rakyat ketika pemimpin menerapkan Islam secara kaffah. Keberkahan akan dirasakan oleh seluruh makhluk. Pemimpin tidak akan memanfaatkan rakyat untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, tidak juga menuntut rakyat untuk membalas budi atas kebaikannya. Apa pun yang dilakukan, semata-mata mencari rida Allah Swt.

Tidakkah kita jemu atas kezaliman yang terus kita rasakan akibat sistem bobrok, yaitu sistem demokrasi kapitalisme? Sistem ini menjual nama rakyat untuk keuntungan oligarki. Sesungguhnya, hanya sistem Islam dalam naungan Daulah Islamiyyah yang mampu mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Wallahu'alam bishawab.



Oleh: Neng Mae
Sahabat Tinta Media

Selasa, 20 Agustus 2024

Program Besti Wujudkan Cita-Cita




Tinta Media - Fiki Sa'adatul Fatimah (20)  berhasil mendapatkan program Besti (Beasiswa Ti Bupati) yang merupakan program terobosan dari Bupati Bandung, Dadang Supriatna. 

Diketahui bahwa program Besti yang mulai digulirkan pada tahun 2022 ini merupakan salah satu program Bupati Bandung kepada generasi muda yang mempunyai keterbatasan finansial untuk mewujudkan cita-citanya melalui bantuan beasiswa perkuliahan hingga selesai.

Program tersebut tentu saja dengan syarat dan ketentuan berlaku, karena tidak semua generasi muda bisa mendapatkan akibat keterbatasan informasi dan regulasi yang lumayan panjang.

Berbeda dengan tahun-tahun terakhir ini, ketika program tersebut sudah pada tahap akhir masa jabatan bupati, program tersebut digembar-gemborkan dengan regulasi yang lebih mudah. Kabarnya ini untuk meraih simpati rakyat, apalagi mendekati pilkada yang diharapkan dapat mendulang suara rakyat. Inilah pola politik ciri khas demokrasi.

Seharusnya, program pemerintah ini murni dalam rangka menjalankan fungsi pengurusan kebutuhan rakyat, termasuk dalam pemenuhan kebutuhan terhadap pendidikan, tidak diembel-embeli nuansa kampanye terselubung untuk pemenangan pemilu. Pelaksanaan program pun tidak murni untuk kepentingan rakyat, justru dijadikan alat untuk kepentingan para elit.

Inilah yang terjadi di negeri yang menerapkan sistem demokrasi sekuler liberal. Semua yang dilakukan adalah berasaskan  manfaat, seperti kepemipinan saat ini. Ketika mendekati pilkada, para politisi berbondong-bondong  memberikan berbagai kemudahan dan program menguntungkan sesaat bagi rakyat. 

Ini karena ada tujuan, yaitu menginginkan suaranya  dalam pemilihan. Namun, ketika mereka sudah terpilih, maka rakyat pun kembali tak didengar suaranya, karena kepentingan pribadi dan kelompoknya telah terpenuhi.

Padahal, di dalam Islam, kepemimpinan adalah hal yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di sisi Allah, apalagi kepemimpinan dalam mengurusi rakyat. 

Dilandaskan pada pemahaman bahwa politik di dalam Islam merupakan ri'ayah su'unil ummah (pengaturan urusan umat), maka berbagai kebijakan dan program yang dibuat semata adalah untuk kepentingan umat (rakyat), dapat menyentuh semua kalangan tanpa melihat kaya ataukah miskin.  

Semua warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak, dan negaralah yang wajib menyelenggarakannya. Hubungan yang terjalin antara negara dan rakyat semata-mata dilandaskan kepada ketakwaan kepada Allah Swt. bukan kepentingan duniawi, sebagaimana Rasulullah saw. bersabda, yang artinya:

"Sebaik-baiknya pemimpin adalah mereka yang kamu cintai dan mereka mencintai kamu. Kamu berdo'a untuk mereka dan mereka berdo'a untukmu. Seburuk-buruknya pemimpin adalah mereka yang membeci kamu, dan kamu melaknati mereka dan mereka melaknatimu." (HR Muslim)

Gambaran kepemimpinan seperti ini hanya akan ada ketika syariat Islam diterapkan secara komprehensif dalam naungan daulah Islamiyah yang berlandaskan pada Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Keberadaan para pemimpin benar-benar menjalankan amanahnya dalam meriayah umat, karena mereka paham beratnya tanggung jawab, bukan hanya kepada rakyat, tetapi juga kepada Allah Swt. Walahu Alam bishawab.


Oleh: Risna Sp
Sahabat Tinta Media

Minggu, 09 Juni 2024

Program Ambisius Penguasa, Benarkah untuk Rakyat?



Tinta Media - Tugas utama seorang pemimpin adalah menyejahterakan rakyatnya. Maka, yang harus dilakukan adalah membuat program kerja untuk kemaslahatan rakyat. Hal ini dilakukan agar segala sesuatu yang direncanakan bisa direalisasikan dengan terarah dan sesuai tujuan. Program kerja yang dibuat pun harus berdasarkan kebutuhan rakyat dan menjadi prioritas.

Seperti yang diungkapkan oleh Dadang Supriatna, Bupati Bandung, bahwasanya dirinya telah berhasil merealisasikan 13 program prioritas. Salah satunya adalah program insentif guru ngaji dengan anggaran Rp109 miliar. Dari target 17.000 orang, baru terserap 15.881 orang. 

Sebanyak 314 penghargaan pun berhasil diraih, Pendapatan Asli Daerah (PAD) meningkat dari Rp960 miliar menjadi Rp1,3 triliun. Dana APBD ikut merangkak dari Rp4,6 triliun menjadi Rp7,4 triliun. 

Pertanyaannya adalah apakah banyaknya 'award', meningkatnya PAD dan APBD diiringi juga dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat? 

Program prioritas adalah program yang ditujukan kepentingan umum, lintas urusan, berskala besar, memiliki urgensi tinggi, serta memberikan dampak luas bagi masyarakat. Seperti misalnya aspek pendidikan, kesehatan, perumahan dan pemukiman, pengembangan usaha dan pariwisata, ketahanan energi, ketahanan pangan, penanggulangan kemiskinan dan infrastruktur.

Tentunya, untuk membuat program prioritas harus dilakukan perencanaan yang matang dan tepat, sebab akan menjadi pegangan dan tolok ukur dalam mencapai target. Maka dari itu, dalam membuat program prioritas, yang harus disiapkan adalah niat dan keseriusan untuk menyejahterakan rakyat, kemampuan anggaran, analisis yang tepat, kerja sama dan tanggung jawab seluruh pihak terkait.

Namun, jika melihat fakta, program pemerintah yang digadang-gadang mampu menyejahterakan rakyat ini praktiknya tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Seperti misalnya, maraknya PHK secara sepihak oleh perusahaan sehingga berakibat pada bertambahnya jumlah pengangguran  pembangunan kereta cepat dengan harga tiket yang mahal dinilai tidak tepat sasaran. Perumahan bersubsidi dengan kualitas asal-asalan, juga mahalnya biaya pendidikan hingga banyak pelajar putus sekolah turut melengkapi ketidakseriusan proyek tersebut.

Selain itu, banyak alih fungsi lahan yang merugikan rakyat dan lingkungan, tingginya biaya kesehatan, ketimpangan sosial dan ekonomi semakin terlihat, angka kemiskinan tak kalah meningkat, bahkan kelangkaan bahan pangan sering terjadi dan sering pula harganya meroket. 

Kalau faktanya seperti ini, artinya pemerintah tidak serius membuat program kerja. Pemerintah tidak menjadikan kebutuhan vital rakyat sebagai prioritas. 

Di sisi lain, anggaran untuk menjalankan satu program prioritas saja sudah menggelontorkan dana Rp109 miliar, belum  lagi program-program lainya. Bersyukur jika anggaran tersebut benar-benar tepat sasaran, tetapi bukan rahasia lagi, proyek-proyek besar seperti ini rawan akan praktik korupsi. 

Faktanya, banyak terjadi kebocoran anggaran di sepanjang jalan yang dilakukan pihak terkait. Akibatnya, pelaksanaan program kerja tersendat hingga terbengkalai karena kehabisan anggaran. Lagi dan lagi, rakyat selalu jadi korban kerakusan para birokrat.

Akhirnya, solusi negara adalah meminjam uang pada pihak asing dan tak jarang menyerahkan proyek tersebut untuk dikelola oleh pihak swasta atau asing. Ujung-ujungnya, program prioritas ini tidak dirasakan kemaslahatannya oleh rakyat, tetapi hanya dirasakan para oligarki dan kapitalis.

Fakta-fakta tersebut menjadi bukti, ketika kekuasaan sudah tersekularisasi dan penguasa menerapkan sistem ekonomi kapitalisme dalam meriayah rakyat, maka yang terjadi adalah penguasa tidak akan mampu memecahkan problematika kehidupan rakyat, sekalipun seribu program prioritas dibuat.

Arah pandang sistem sekularisme kapitalisme hanya sebatas kebahagiaan dunia. Maka, program kerja yang dibuat pun hanya mengejar pahala dunia (award), yang hanya dinilai oleh segelintir orang. Dalam sistem ini, persoalan data dan angka bisa diutak-atik alias diperjualbelikan. 

Di tengah karut-marutnya kehidupan ini, negara harus mencari sistem alternatif pengganti sistem sekularisme kapitalisme, yaitu sistem Islam. Sistem ini Allah Ta'ala buat untuk mengatur dan memecahkan problematika kehidupan. Sejarah mencatat, sistem Islam pernah berjaya dengan menerapkan syariat Islam hampir 14 abad.

Negara Islam (Khilafah) yang dipimpin oleh seorang Khalifah, memosisikan kepentingan rakyat di atas kepentingan kelompok dan pribadi. Oleh sebab itu, setiap program kerja yang dibuat pun akan sesuai dengan apa yang dibutuhkan rakyat. Hal itu dilakukan semata-mata karena adanya kesadaran hubungan dengan Sang Khalik yang memberi amanah, bukan karena berharap apresiasi, materi, dan pujian dari manusia. 

Seorang Khalifah akan berusaha keras mewujudkan kesejahteraan rakyat dalam seluruh aspek kehidupan. Khilafah dengan sistem ekonomi Islamnya, mampu memenuhi kebutuhan rakyat, baik sandang, pangan, ataupun papan. Khalifah juga akan memberikan peluang usaha bagi rakyat dengan menyediakan sarana prasarananya secara cuma-cuma. 

Kemampuan Khilafah memenuhi kebutuhan rakyat tidak diragukan. Pendapatan negara yang luar biasa bersumber dari harta fa'i, kharaj, ghanimah, anfal, rikaz, khumus, zakat, jizyah, dan pengelolaan barang tambang. Seluruh hasil pengelolaannya kemudian disimpan di kas negara (baitul mal) dan dialokasikan untuk kepentingan rakyat.

Inilah Islam. Kepemimpinan tidak sekadar mendudukkan seseorang di panggung kekuasaan, tetapi yang lebih utama adalah bagaimana kekuasaannya itu digunakan untuk menjaga, menerapkan, dan mendakwahkan Islam, serta bertanggung jawab dunia akhirat dalam mengurus rakyat dengan hukum-hukum Allah Swt.

Maka dari itu, program kerja dibuat oleh Khalifah berdasarkan kebutuhan vital rakyat, yang disandarkan pada hukum syara. Sungguh, hanya dengan penerapan syariah secara kaffah, pemimpin mampu bekerja dengan baik, menjalankan seluruh program prioritasnya hanya dengan berharap ridha Allah Swt.
Wallahualam bisshawab.

Oleh: Neng Mae
Sahabat Tinta Media

Senin, 01 Agustus 2022

Program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan (DP3), Mampukah Mewujudkan Kesejahteraan bagi Masyarakat?

Tinta Media - Di tengah tahapan Pemilu 2024, Jajaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten bersinergi untuk melakukan sosialisasi program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan (DP3). KPU berharap, melalui pertemuan ini, semua elemen bisa menyukseskan Pemilu. Karena menurutnya, Pemilu akan menjadi cikal bakal menuju kesejahteraan masyarakat, dan yang lainnya.

Namun kenyataannya, pemilu yang dilakukan selama ini belum mampu membawa pada perubahan besar untuk rakyat.
Problem pemilu, mulai dari anggaran yang begitu fantastis, hingga politik uang, semestinya menjadi pelajaran bagi kita. Problem utama pemilu bukan pada proses pemilihannya, langsung atau tidak langsung. Karena kenyataannya, baik langsung ataupun tidak, pemilu lima tahunan ini tidak pernah melahirkan penguasa amanah, seperti yang rakyat harapkan.

Pemilu dalam sistem demokrasi akhirnya tak ubahnya seperti meja perjudian. Para pemburu kekuasaan dan semua yang berkepentingan, harus siap membayar berapa pun yang dibutuhkan demi mendapat keuntungan besar yang dijanjikan. Bahkan yang lebih mengerikan, mereka siap melakukan cara apa pun demi memenangkan pertarungan. Sehingga, penyebaran hoax, politik uang, pembunuhan karakter, menjadi hal yang begitu lumrah dalam pesta yang diselenggarakan.

Proses Pemilu dalam Islam

Pemilu di dalam Islam hanyalah salah satu dari sekian prosedur praktis dalam pengangkatan khalifah/penguasa. Sebab, satu-satunya metode pengangkatan khalifah yang sesuai dengan Al-Qur’an dan sunah adalah baiat. Kaum muslimin berbaiat kepada khalifah untuk memerintah berdasarkan kitabullah dan sunah Rasulullah.

Artinya, Khalifah tidak berhak melegislasi hukum karena yang berhak membuat aturan hanyalah Allah Swt. Sedangkan Khalifah hanya berhak berijtihad, yaitu menggali hukum dari Al-Qur’an dan sunah. Kekuasaan dalam Islam bersifat sentralistik, berpusat pada khalifah dan dibantu oleh para muawin-nya.

Sistem politik Islam dibangun berdasarkan akidah Islam sehingga ikatan yang terjalin adalah ikatan akidah, bukan maslahat. Dengan demikian, individu yang terlibat dalam pemerintahan adalah individu yang menginginkan berkhidmat lebih dalam pada penciptanya. Sebab, jabatan dalam sistem Islam adalah amanah tempat mendulang pahala, sekaligus amanah yang berat karena Allah Swt. akan haramkan surga jika tidak amanah.

“Tidaklah seseorang diamanahi memimpin suatu kaum kemudian ia meninggal dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, maka diharamkan baginya surga” (HR Bukhari-Muslim).

Oleh karena itu, kecurangan dalam pemilihan diganjar oleh Allah Swt. dengan haramnya ia masuk surga. Jika ada sekelompok orang alias oligarki yang mencurangi suara, lalu dengannya ia memimpin, maka sejatinya Allah Swt. sedang menghimpun mereka di neraka. Inilah seburuk-buruk balasan bagi penguasa yang curang dan menipu rakyatnya.

Pemilu Utsman bin Affan

Prosedur praktis yang bisa menyempurnakan pengangkatan Khalifah sebelum dibai'at boleh berbeda-beda. Di antara proses tersebut, yang masyhur dan sering dijadikan contoh dalam pembahasan pemilu sesuai syariat adalah pada saat pengangkatan Khalifah Utsman bin Affan. Dalam kitab Ajhizatu ad-Daulah al-Khilafah dijelaskan bahwa saat itu ketika Khalifah Umar tertikam, beliau mengajukan calon sebanyak enam orang kepada kaum muslimin.

Khalifah Umar menunjuk Suhaib untuk mengimami masyarakat dan untuk memimpin enam orang yang telah dicalonkan hingga terpilih satu dari mereka. Kemudian Umar menunjuk Abu Thalhah al-Anshari bersama 50 orang lainnya untuk mengawal mereka dan menugasi Miqdad untuk mencarikan tempat untuk para calon berkumpul.

Setelah Khalifah Umar wafat dan para calon terkumpul, salah satu calon, Abdurrahman bin Auf mengundurkan diri dan mulai meminta pendapat kelima calon tersebut. Jawaban mereka mengerucut pada 2 kandidat, yaitu Ali bin Abu Thalib dan Utsman bin Affan.

Setelah itu, Abdurrahman mulai merujuk pada pendapat kaum muslimin dengan menanyai mereka, siapa di antara Ali dan Utsman yang mereka kehendaki menjadi khalifah. Abdurrahman mengetuk pintu-pintu rumah warga, malam dan siang hari, baik laki-laki maupun perempuan. Setelah Abdurrahman bertanya pada kedua calon, maka saat salat Subuh, pembai'atan Utsman sempurna.

Dengan bai'at kaum muslimin itulah Utsman menjadi khalifah. Dari kisah pengangkatan Utsman bin Affan, bisa kita tarik bahwa pemilihan khalifah benar-benar representasi dari umat. Sebab, khalifah adalah orang yang bertanggung jawab dalam seluruh permasalahan umat.

Calon khalifah adalah mereka yang terbaik dari sisi ketakwaan dan kapabilitas leadership-nya. Selain itu, yang ditugasi untuk mengawal berjalannya proses pemilihan adalah orang-orang terbaik. Mereka sama sekali tidak memiliki kepentingan, selain kepentingan umat. Sebagaimana independensi Abdurrahman bin Auf sangat terlihat saat ia gigih mengetuk pintu-pintu rumah untuk bertanya, siapakah yang lebih layak menjadi Khalifah.

Khatimah

Oleh karena itu, mengharapkan pemilu yang bersih dan bebas dari kepentingan politik dalam sistem demokrasi adalah mustahil. Sebab, justru sistem inilah yang melanggengkan politik transaksional yang pada gilirannya akan menghantarkan pada kecurangan untuk menang. Walhasil, tidak akan pernah terpilih pemimpin yang amanah dan peduli pada umat.

Hanya dengan sistem politik Islamlah pemilu yang bersih akan terwujud sehingga akan terpilih pemimpin sesuai dengan keinginan umat, serta pemimpin yang amanah melayani umat. Sedangkan sistem politik Islam akan berjalan secara sempurna, hanya dalam pemerintahan khilafah yang menerapkan syariat Islam secara kaffah.

Wahai kaum muslimin, Daulah Khilafah Islamiyah telah runtuh pada 28 Rajab 1342 H atau 3 Maret 1924 M. Sejak saat itulah, kaum muslimin tidak memiliki lagi sistem pemerintahan yang menaunginya. Oleh karenanya, marilah berjuang mewujudkan kembali khilafah agar terlahir para pemimpin dambaan umat yang akan membawa peradaban manusia menuju kegemilangannya. 

Wallahu a'lam bishawab.

Oleh: Willy Waliah
Sahabat Tinta Media


Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab