Tinta Media: Profesor
Tampilkan postingan dengan label Profesor. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Profesor. Tampilkan semua postingan

Jumat, 23 September 2022

Gelar Profesor Menyandang Koruptor, Ada Apa?

Tinta Media - Miris dan heran, gelar pendidikan tinggi S1, S2, hingga Profesor, tetapi melakukan tindakan tercela, korupsi. Gencarnya pemberantasan korupsi yang disampaikan banyak pihak, tak membuat ciut nyali pejabat berdasi melakukan korupsi.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri menyoroti para koruptor yang di tangkap, baik oleh instansinya maupun penegak hukum lain. Sebagian besar koruptor tersebut menyandang gelar sarjana sampai profesor.

“Lihat saja para koruptor yang dicokok KPK dan penegak hukum lainnya, sebagian besar dari mereka menyandang gelar sarjana, S1, S2, S3, bahkan Profesor,” kata Firli melalui akun Twitter-nya @firlibahuri (Beritasatu.com, 9/4/2022).

Kita sepakat bahwa manusia yang punya pendidikan tinggi tentu bersikap baik. Ketika jadi pejabat pun seharusnya menjadi pejabat yang baik. Malu, kalau melakukan perbuatan tercela. Namun, hal tersebut tidak terjadi, justru sebaliknya. Mereka memiliki gelar bergengsi, tetapi gemar korupsi. Itu sebabnya, kita patut bertanya terkait dengan sistem pendidikan sekaligus politik yang diterapkan saat ini. Ada apa?

Sistem politik negeri ini menerapkan asas Sekulerisme Demokrasi, melarang agama (lslam) untuk mengatur kehidupan publik. Inilah kesalahan fatal. 

Manusia adalah sosok yang lemah. Saat membuat aturan sendiri, tentu akan terjadi tarik ulur, penuh dengan kepentingan dan perselisihan. Kebenaran dalam sistem ini landasannya adalah voting. Asal didukung suara terbanyak, maka keputusan itu diambil sebagai sebuah aturan. Meski hal tersebut sering melanggar hukum agama, contoh minuman keras tidak dilarang karena dianggap bisa memberikan pemasukan bagi negara. Padahal dari miras muncul banyak kejahatan, pembunuhan, pencurian, terjadinya kecelakaan dan lain-lain.

Terkait sistem pendidikan dalam sistem ini, cabang dari sekulerisme yang kosong ruhiyah membuat manusia-manusia rapuh dalam menghadapi godaan dunia. Sehingga yang di pikirkan bagaimana mendapatkan materi sebanyak-banyaknya. Diperparah adanya UU Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), membuat pendidikan mahal karena penggelolannya di serahkan pihak sekolah atau kampus, selanjutnya beban di timpakan kepada wali murid atau mahasiswa. Tak heran jika alumnus pendidikan hari ini berorientasi provid, artinya biaya mahal yang di keluarkan harus bisa balik sekaligus keuntungannya. 

Sanksi yang dikenakan dalam hukum ini pun tebang pilih, jika rakyat kecil yang melanggar maka hukuman cepat dijatuhkan. Namun jika pelakunya pejabat atau orang yang dekat dengan penguasa, penanganan kasus lambat, hukumannya pun sering ada potongan dan terkesan hukuman yang dijatuhkan terkesan permainan belaka. Begitulah hukum buatan manusia menguntungkan kalangan atas, namun tidak bagi rakyat bawah.

Berbeda dengan politik lslam yang tegak selama 13 abad. Politik dalam lslam adalah, bagaimana mengurusi kebutuhan rakyat dengan landasan aqidah. Keperluan rakyat baik sandang, pangan, papan, kesehatan, keamanan dan pendidikan wajib di penuhi negara dengan murah hingga bisa gratis.
Para pejabat menjalankan politik dalam rangka menunaikan amanah. Bukan pencitraan, apalagi untuk meraih kursi jabatan lima tahunan. Mereka melaksanakan politik atas dasar aqidah dan meneladani yang dibawa Rasulullah SAW.

"Barang siapa diberi beban oleh Allah untuk memimpin rakyatnya lalu mati dalam keadaan menipu rakyat, niscaya Allah mengharamkan surga atasnya." (HR Muslim).

Hal tersebut menjadikan para pemimpin berhati-hati dalam hal jabatan. Sebagaimana Umar bin Khathab saat menjabat sebagai Khalifah menyita domba gemuk milik anaknya, di sebabkan makan rumput dekat padang gembalaan Baitul Mal negara. Beliau takut anaknya memanfaatkan jabatan ayahnya.

Dalam sistem pendidikan, juga lahir dari aqidah yaitu membentuk syaksiyah lslamiyah (kepribadian lslam). Di tambah dengan ilmu terapan dan ketrampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, tekhnik dan lain-lain. Negara juga memudahkan rakyatnya menguasai ilmu kehidupan agar manusia mencapai kemajuan materia, hal demikian membuat manusia dan khususnya umat lslam berwibawa.

Dengan pengaturan yang dilandaskan syariat lahirlah ilmuwan dalam berbagai disiplin ilmu, hingga hari ini pun apa yang di capai mereka sangat bermanfaat buat kehidupan. Seperti al Khawarizmi penemu angka nol, ibnu Sina bapak kedokteran, ar Razi ahli bedah, Abbas ibnu Firnas penemu cikal bakal pesawat dan masih banyak lagi ilmuwan terkemuka penyumbang kemajuan.

Sanksi hukum yang dikenakan pun tegas terhadap siapa saja pelaku korupsi. Jika kasus pelanggarannya berat, maka bisa dihukum mati sesuai ijtihad khalifah sebagai kepala negara. Sanksi dilaksanakan agar manusia jera dan tidak melakukan tindakan yang sama (Jawazir), serta sebagai penebus (jawabir) hukuman di akhirat yang tentu lebih pedih dan selamanya.

Sungguh manusia, bisa hidup bersih dan bermartabat baik kalangan umum maupun pejabat. Mereka tidak gila harta hingga menipu orang lain demi memperkaya diri. Pejabat memberikan teladan sebagai pemimpin yang layak di cintai dan rakyat puas dengan layanan mereka. Tidak lain semua itu hanya ada dalam sistem lslam yang di terapkan kaffah dalam semua aspek kehidupan. Allahu a’lam.

Oleh: Umi Hanif 
Sahabat Tinta Media

Jumat, 09 September 2022

ANTARA PROFESOR, KORUPTOR DAN KOMPRADOR  

Tinta Media - Demokrasi kapitalisme adalah ideologi transnasional yang sejatinya merupakan neoimperialisme negara asing aseng kepada negeri-negeri muslim. Negara yang menerapkan demokrasi kapitalisme sekuler pada hakekatnya adalah negara komprador, yakni negara budak yang tidak akan pernah merdeka. 

Watak komprador dimulai dari intervensi asing dan aseng dalam pemilu, dimana banyak calon pemimpin yang didukung dana oleh para kapitalis asing dan aseng untuk dijadikan budak setelah menjadi pemimpin. 

Pemimpin komprador sebenarnya tidak lebih dari sebuah boneka tak bernyawa, sebab hidupnya dibawah belenggu dan kendali penjajah kapitalisme dan materialisme. 

Secara bahasa kata komprador maknanya adalah pengantara bangsa pribumi yang dipakai oleh perusahaan atau perwakilan asing dalam hubungannya dengan orang-orang pribumi. 

Para pengkhianat yang berkomplot dengan penjajah hanya demi mendapatkan dunia telah terjadi sejak lama. Indonesia dijajah lebih dari 3 abad bukan karena tidak ada para pejuang yang melawannya, namun karena banyaknya pengkhianat. 

Para pengkhianat itu selalu menjadi mata-mata bagi para penjajah untuk memberikan informasi terkait negerinya sendiri. Para pengkhianat juga sering kali mengadu domba rakyat sendiri untuk ditonton oleh para penjajah. 

Para pengkhianat juga sering kali menebarkan hoax dan fitnah kepada sesama saudara sebangsa demi mendapatkan materi dari penjajah. Para komprador ini ibarat anjing yang rela makan tulang saudaranya sendiri. 

Saking parahnya sistem demokrasi sekuler ini, ada tokoh yang pernah mengatakan andai malaikat masuk sistem, maka akan jadi iblis. Perkataan ini mungkin bisa disamakan dengan, meskipun seorang profesor, jika masuk sistem bisa jadi koruptor. Bisa kan?. 

Memangnya ada seorang profesor yang jadi koruptor, ya lihat aja di penjara-penjara, ada gak? Profesor kok jadi koruptor, tapi begitulah faktanya. (UAS)

Dr. Ahmad Sastra 
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB)

Sabtu, 07 Mei 2022

Menjadi Profesor Radikal Itu Berat, Biarkan Saya Saja Prof. BSP


Tinta Media  - Menyandang jabatan akademik profesor atau guru besar itu tidak ringan bebannya. Berat pertanggungjawabannya secara akademik keilmuwan. Mengutip Pasal 49 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, berikut adalah sejumlah kewajiban dan wewenang dari seorang guru besar atau profesor:

(1) Profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi yang mempunyai kewenangan membimbing calon doktor;

(2) Profesor memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat;

(3) Profesor yang memiliki karya ilmiah atau karya monumental lainnya yang sangat istimewa dalam bidangnya dan mendapat pengakuan internasional dapat diangkat menjadi profesor paripurna.

Sekali lagi, menjadi Profesor itu berat, soalnya bukan sekedar memiliki tanggungjawab intelektual melainkan juga tanggungjawab moral. Bisa saja, profesor mengeluarkan teori "ndakik ndakik", tetapi mahasiswa akan melihat itu hanyalah 'Nato' (No Action Talk Only) saat melihat Professor tak sejalan antara perkataan dan perilakunya.

Menjadi profesor apalagi profesor radikal, itu jauh lebih sulit lagi. Nalar kebenaran harus tunduk pada logika ilmu, bukan logika kekuasaan. Saat terjadi benturan antara ilmu dan kekuasaan, profesor radikal harus memilih setia pada ilmu dan membersamainya dengan segala konsekuensinya, bukan mengabdi dan mengemis pada kekuasaan.
Akibatnya, kadangkala, bukan hanya dialienasi oleh kekuasaan bahkan rekan sejawat pendidik pun ikut menjauhi dirinya karena takut distigma dan terpapar radikal. Bukan karena tak percaya pada nalar ilmu, tapi karena takut pada persekusi kekuasaan yang bisa setiap saat merampasnya capaian yang dirintis dengan ilmu selama puluhan tahun.

Menjadi Profesor radikal ini ibarat Guru yang memiliki kewajiban "digugu lan ditiru". Bukan "wagu tur saru". Tetap menjaga dedikasi, berani membela kebenaran dan keadilan meskipun berisiko untuk dikriminalisasikan dan dipersekusi jabatannya.

Coba, nalar ilmu mana yang bisa dibenarkan, seorang profesor pengajar Pancasila plus Filsafat Pancasila hingga nyaris seperempat abad, dipersekusi jabatannya karena tuduhan anti Pancasila. Naif bukan? Tapi itulah resiko menjadi Profesor radikal, harus siap kehilangan jabatan demi kesetiaan pada visi meruhanikan ilmu. Menjadi garda kebenaran dan keadilan, walau harus terkoyak dan kehilangan jabatan. Kalau hanya bermodal Rasisme, Islamphobia dan Xenophobia, malah mendapatkan jabatan, itu sih gampang sekali. Tidak perlu menjadi profesor, "Dilan" saja sanggup untuk melakoni semua itu.

Open Mind itu terbuka pada semua, bukan hanya kepada budaya dan tradisi Barat, melainkan juga pada budaya dan tradisi intelektual agama Islam, agamanya sendiri. Ajaran Islam, telah terpatri menjadi kebiasaan yang bersumber dari dialektika intelektual dari sejumlah dalil, hingga mampu meng-istimbath hukum sebagai dasar pijakan amal.

Janganlah terlalu membanggakan Barat, tapi tidak bangga pada budaya dan tradisi intelektual agamanya sendiri. Islam memiliki tradisi intelektual yang kokoh, dalam meng-istimbath dalil-dalil syar'i hingga sampai pada kesimpulan wajibnya menutup aurat bagi setiap muslimah, apapun statusnya, baik menjadi mahasiswi maupun bukan.

"Sing salah bakal seleh", itu adalah peribahasa yang dapat diterapkan bagi setiap diri yang mampu menginsyafi kesalahan. Bukan berapologi atau mengidentifikasi diri menjadi korban kejahatan, itu tidak layak, Tuan dan Puan.

Apalagi, standar Profesor itu lebih ketat. Tak ada yang menuntut seorang Profesor lebih dari yang lain, tetapi keinsyafan dirilah yang wajib menjadikan 'wibawa gelar' menjadi bintang pemandu (leitztern) dalam setiap langkah dan tutur. Mulutmu harimaumu, adalah gambaran betapa pentingnya menjaga lisan dan betapa dahsyatnya bencana akibat kesalahan lisan.

Oleh: Prof. Pierre Suteki
Pakar Hukum Masyarakat 

Jumat, 06 Mei 2022

GUSTI ALLAH MBOTEN SARE, REKTOR ITK WAJIB DICOPOT DARI JABATANNYA!


Tinta Media  - Budi Susanto Purwokartiko (BSP) berlagak sebagai seorang korban, setelah sebelumnya secara sadis dengan bahasa implisit menyerang ajaran menutup aurat (tutup kepala manusia gurun), yang merupakan ajaran Islam. Selain anti Islam (anti ajaran menutup aurat/berhijab) profesor satu ini juga rasis. Mengaitkan ajaran Islam yang agung dengan tempat yang identik dengan Arab, sebagai tempat asal agama Islam sebelum akhirnya menyebar ke seluruh penjuru dunia.

Harusnya, kalau dia menginsyafi kesalahan cukuplah dia diam. Lantas, bermuhasabah atas kesalahan diri, kenapa semua bisa terjadi. Secara kausalitas, apa yang menimpa pada dirinya dari klaim dituduh rasis, intoleran, dicopot dari reviewer IISMA, reviewer LPDP, itu semua adalah akibat bukan sebab.

Andai saja dia bisa menjaga lisannya, tidak gegabah mengunggah curhatan yang sebenarnya itu juga tidak layak diunggah diruang publik, semua yang dia alami tidak terjadi. Sekarang dia merasa berat, meradang pribadinya diserang banyak orang. Dia lupa, betapa meradangnya umat Islam yang ajaran agamanya diserang dan dituduh hanya 'taklid' pada budaya manusia gurun (arab) ?

Naif, melalui tulisannya dia mengeluh gaji rektor yang kecil ditengah jutaan rakyat bertarung untuk melanjutkan kehidupan tanpa kejelasan gaji sebagai rakyat biasa. Tak penting pula, dia menolak parcel atau menjadi kontraktor bangun rumah. Wong dia menjadi kuli bangunan pun, masih lebih beradab dan mulia asalkan bisa menjaga lisannya, ketimbang dengan gelar profesor tapi tak dapat mengatur tutur, tak cakap menjaga lidah, dan tak sensitif pada empati ruang batin umat Islam.

Janganlah mengalihkan serangan pada dirinya, sebagai serangan kepada institusi dan yang lainnya. Fokus saja pada kesalahannya. Urusan lembaga, biar lembaga yang menangani.

Kalau memang punya wibawa, mundur sebelum dicopot dari Rektor ITK. Tak usah bermanis kata dengan mengatakan siap mundur, apalagi dikaitkan dengan potensi pendapatan jika fokus mengajar di ITS.

Memangnya, visi mendidik itu dihitung dari jumlah pendapatan ? bahaya sekali, jika visi mendidik dikalkulasi dengan potensi pendapatan ? selain itu, betapa rendahnya moral anak bangsa jika dididik oleh pendidik bermental sekuler dengan orientasi materi ?

Lagipula, yang benar itu Gusti Allah mboten sare. seketika umat Islam mengkritisi profesor kacau ini, adalah bukti bahwa Allah SWT tidak tinggal diam ajaran agama Islam direndahkan.

Apa yang menimpa BSP juga bukti Allah SWT tidak tidur.

Sekarang, BSP melalui tulisannya berujar 'Gusti Mboten Sare' sebagai ajaran nenek moyang. Gusti yang mana yang tidak tidur ? agama BSP ini apa, sehingga berat sekali dia mengungkap 'Allah SWT' sebagai bagian dari gusti yang dianggap akan menolongnya dan menuntut balas atas keadaan yang menumpa BSP, padahal itu adalah dampak dari kelakuannya sendiri ?

Sudahlah, negara tidak butuh profesor seperti ini. Masih banyak, kader bangsa yang punya ikatan kuat untuk merajut kain tenun kebangsaan, bukan malah mengoyak dan merobeknya dengan ujaran rasis dan anti Islam. Copot jabatan BSP sebagai rektor ITK ! [].

Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab