Tinta Media: Privatisasi
Tampilkan postingan dengan label Privatisasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Privatisasi. Tampilkan semua postingan

Senin, 08 Mei 2023

Dalam Islam, SDA Haram Diprivatisasi

Tinta Media - Narator Muslimah Media Center (MMC) menegaskan bahwa prinsip dasar pengelolaan sumber daya alam (SDA) dalam kacamata Islam adalah harta kepemilikan umum yang haram diprivatisasi. 

"Dalam Islam, kekayaan alam dapat memberikan kemaslahatan luar biasa untuk rakyat dan negara karena prinsip dasar pengelolaan sumber daya alam dalam kacamata Islam adalah harta kepemilikan umum yang haram diprivatisasi," tegasnya dalam Program Serba-Serbi: Izin Ekspor Freeport Diperpanjang, Kekayaan Alam Negara Hanya Dinikmati Asing? Di kanal Youtube Muslimah Media Center, Ahad (30/4/2023).

Narator menjelaskan melalui hadits riwayat Ibnu Majah bahwa Rasulullah SAW menyatakan ada tiga hal yang tidak boleh dimonopoli yaitu air, rumput, dan api. Pada hadits yang lain, yaitu riwayat At Tirmizi, juga diceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah meluluskan permintaan sahabat bernama Abiyadh bin Hammal untuk mengelola sebuah tambang garam. Tapi kemudian Rasulullah SAW diingatkan oleh seorang sahabat lainnya bahwa Nabi telah memberikan sesuatu bagaikan air mengalir sehingga Nabi bersabda untuk mengambil kembali tambang tersebut.

Dalam kitabnya berjudul "Nizhamul Isqtishadiy", lanjut narator, Al Allamah Syekh Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan bahwa tatkala Nabi SAW mengetahui bahwa tambang tersebut laksana air yang mengalir yang mana air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis seperti mata air dan air bor, maka beliau mencabut kembali pemberian beliau.

"Ini karena sunnah Rasulullah dalam masalah padang, api, dan air menyatakan bahwa semua manusia bersekutu dalam masalah tersebut sehingga beliau melarang siapapun untuk memilikinya," tegasnya.

Dalam Islam, lanjutnya, semua barang tambang seperti emas, batu bara, perak, minyak, dan gas yang jumlah depositnya besar dikategorikan sebagai harta kepemilikan umum. "Harta ini tidak boleh dimiliki oleh individu, termasuk swasta dan asing. Konsekuensinya, harta tersebut dikelola oleh negara," pungkasnya. (HAN)


Sabtu, 24 Desember 2022

Invest: Privatisasi PLN Itu Penjajahan

Tinta Media - Koordinator Indonesia Valuation for Energy and Infrastructure (Invest) Ahmad Daryoko mengatakan privatisasi PLN itu penjajahan.
 
“Kalau dirunut dari akar masalahnya, program privatisasi PLN ini esensinya penjajahan juga, karena berawal dari terbitnya LOI (Letter Of Intent) pada 31 Oktober 1997 sebagai dampak dari hutang luar negeri  yang saat itu terakumulasi sebesar AS$ 140 miliar,” tuturnya kepada Tinta Media, Jumat (23/12/2022).
 
Diantara isi LOI adalah, negara diminta untuk tidak urus lagi BUMN Strategis Pelayanan Publik (seperti PLN). “Dari sini saja sudah terlihat bahwa kedaulatan ekonomi sudah diacak-acak oleh eksternal, apa itu artinya kalau bukan penjajahan gaya baru?” tanyanya retoris.
 
Apalagi, lanjutnya, pada 25 Agustus 1998 IFIs  (WB,ADB,IMF) mengarahkan strategi privatisasi tersebut dalam sebuah grand design bernama The Power Sector Restructuring Program (PSRP) yang kemudian menjadi naskah akademik lahirnya Undang-Undang  Ketenagalistrikan.
 
“Dalam PSRP tersebut jelas-jelas  IFIs mendikte Pemerintah agar PLN di unbundling  secara horisontal menjadi; pertama, kawasan PLN Jawa-Bali. Selanjutnya kawasan Jawa-Bali  diterapkan kebijakan privatisasi/dijual ke swasta secara unbundling vertikal.  Dan saat ini sudah  dikuasai Aseng, Asing dan Taipan 9 Naga,” urainya.
 
Selanjutnya kawasan Luar Jawa-Bali, kata Daryoko, di bentuk PLW (Perusahaan Listrik Wilayah)  yang nantinya diserahkan ke PEMDA setempat. “Dan untuk menggolkan PSRP serta mempersiapkan RUU Ketenagalistrikan pada 1999, ADB menggelontorkan dana ke Pemerintah Indonesia sebesar AS$ 400 juta dengan rincian : AS $ 380 juta sebagai bantuan program, AS $ 20 juta sebagai bantuan Capacity Building,”bebernya.
 
Menolak
 
Daryoko mengatakan, begitu lahir pada 18 Agustus 1999 Serikat Pekerja  PLN  (SP PLN) langsung bereaksi menolak PSRP diatas karena dinilai sebagai penjajahan ekonomi.Tidak perlu sampai melihat bahwa akibat penjajahan ekonomi ini kemudian tarif listrik menjadi sangat mahal akibat dikuasai Asing. “Sekali lagi karena adanya semangat tidak mau dijajah karena penjajah pasti akan memeras keuntungan dari yang dijajah,” tegasnya.
 
Dari adanya sense of freedom (semangat tidak mau dijajah tersebut), lanjutnya,  SP PLN kemudian bergabung dengan PSI (Public Service International yang berpusat di Jeneva) pada 2001 dan mengikuti Seminar Ketenagalistrikan di luar negeri.
 
“Dari situlah  tahu bagaimana apabila sebuah Perusahaan Listrik Negara di privatisasi/dijual ke swasta baik lokal maupun internasional, akhirnya tarif listrik melejit antara 4-5 kali lipat, dan bahkan seperti Kamerun saat peak load bisa melejit sampai 10 kali lipat,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab