Tinta Media: Pragmatisme
Tampilkan postingan dengan label Pragmatisme. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pragmatisme. Tampilkan semua postingan

Kamis, 12 September 2024

Demokrasi dan Pragmatisme Menyengsarakan, Syariah Islam Menyejahterakan

Tinta Media - Pragmatisme adalah upaya meraih kepentingan tertentu dengan cara-cara yang paling efektif dan paling praktis daripada berpegang pada prinsip/idealisme ataupun ideologi tertentu. Maka asas dari pragmatisme adalah aspek kemanfaatan (kemaslahatan) semata. Di dalam demokrasi, pragmatisme sangatlah menonjol. Penguasa, pejabat, wakil rakyat maupun partai politik menunjukkan sikap pragmatis. Mereka bertindak secara politik semata-mata demi meraih kepentingan tertentu, bukan kepentingan rakyat. Buktinya, banyak undang-undang, peraturan serta kebijakan penguasa dan wakil rakyat justru merugikan rakyat. Tetapi menguntungkan oligarki, penguasa dan para wakil rakyat termasuk partai politik.

Sedangkan politik Islam adalah aktivitas mengurus dan mengelola seluruh urusan rakyat sesuai dengan ketentuan syariah Islam. Dan ini akan menyejahterakan rakyat. Politik Islam bukan sekedar permainan kekuasaan, tetapi tanggung jawab syar'i untuk menerapkan dan menegakkan hukum-hukum Allah SWT dalam mengatur kehidupan umat. Maka politik Islam terkait dengan halal dan haram, standarnya hukum-hukum Islam, bukan kemanfaatan (kemaslahatan) dan kepentingan. Yang disetir oleh dan untuk kemaslahatan atau kepentingan pihak tertentu dengan mengabaikan kesejahteraan rakyat banyak.

Pada dasarnya kaum Muslim wajib untuk terikat dengan al-Qur'an dan as sunnah dalam semua aspek kehidupan mereka termasuk dalam berpolitik. Banyak ayat al-Qur'an yang memerintahkan umat Islam untuk selalu terikat dengan syariah Islam, seperti yang terdapat dalam QS. al-Baqarah ayat 208 dan QS. al-Maidah ayat 48. Rasulullah Saw juga bersabda: "Aku telah mewariskan untuk kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh pada keduanya, yaitu: Kitab Allah SWT (al-Qur'an) dan Sunnah Nabi-nya", (HR. Malik dan al-Hakim).

Maka sudah saatnya umat Islam meninggalkan pragmatisme, juga sistem demokrasi yang terbukti hanya melahirkan banyak persoalan bagi umat ini. Yang tentu menyengsarakan dan semakin jauh dari kesejahteraan. Karena inti demokrasi adalah kedaulatan rakyat maka  artinya manusia lah -melalui para wakil rakyat yang sering tidak memiliki rakyatnya- yang berwenang untuk membuat berbagai aturan atau hukum yang sering didasarkan pada akal dan hawa nafsu semata. Padahal jelas, hak membuat hukum itu hanya ada pada Allah SWT (lihat QS. Yusuf ayat 40). Marilah kita semuanya bersegera untuk mengamalkan, menerapkan dan menegakkan syariah Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Hanya dengan itulah bangsa dan negeri ini akan bisa meraih ragam keberkahan dari langit dan bumi.

Wallahu a'lam bi ash-shawwab.

Oleh: Peni, Sahabat Tinta Media 

Selasa, 30 Mei 2023

Politik Erdogan adalah Politik Pragmatisme, Ini Penjelasannya

Tinta Media - Pengajar Hubungan Internasional Hasbi Aswar, M.A., Ph.D. mengatakan bahwa politik Erdogan itu adalah politik pragmatisme atau politik jangka pendek.

“Erdogan itu kan sebenarnya murni politik pragmatisme atau dalam kerangka politik jangka pendek,” tegasnya dalam Rubrik Dialogika: Pemilu Turki Kemenangan Islam dan Campur Tangan AS, Jumat (20/5/2023) di kanal Youtube Peradaban Islam ID.

Dia menjelaskan faktor-faktor alasan kenapa Erdogan tidak menjadi Islami betul dan juga revolusioner hanya sekedar mengambil Islam secara sebagian-sebagian.

“Sebenarnya ada beberapa faktor. Yang pertama adalah tidak mungkin dalam kondisi masyarakat yang saat ini. Misalnya tidak memperlihatkan prestasi-prestasi. Yang kedua adalah tetap menjaga hubungan dengan apa dengan Uni Eropa,” jelasnya.

Dia melanjutkan Turki tetap menjaga hubungan dan tetap memperpanjang atau tetap memperjuangkan masuknya Turki di Uni Eropa. Kalau Erdogan benar-benar ingin islami, seharusnya Erdogan tidak mengurusi itu.

“Tapi Erdogan itu memperlihatkan diri bahwa kami itu sebenarnya tidak ingin menuju kepada "jalan Islamisme" atau kami tidak ingin menuju kepada jalan yang disebut sebagai orang-orang ini ottomanisme dan seterusnya itu. Tapi, kami ingin Turki itu demokratis yang akomodatif terhadap semua golongan. Itu yang Erdogan sering katakan,” lanjutnya.

Dia membeberkan bahwa manuver politik Erdogan baik dalam maupun luar negeri itu adalah sekuler, meskipun Erdogan sering dikatakan oleh kelompok-kelompok sekuler tentang Erdogan yang membawa Turki ke dalam negara yang tertutup lebih islami dan Erdogan mengatakan tidak.

Dia melanjutkan sama halnya dengan partai Islam di Indonesia yang awal-awalnya kelihatan sangat islami tapi kemudian akhirnya kelihatan seperti itu, yang tidak konsisten pada islam.

“Karena di Indonesia dalam konteks politik elektoral, kalau ingin elektoral 5 tahunan, kalau kita ingin berkuasa, kalau ingin idealis, kita tidak akan mungkin menunggu ratusan tahun baru bisa berkuasa. Nah, ini jebakan dari politik sekuler. Dan itu akan membuat akhirnya orang-orang yang bermain dalam project sekuler itu menjadi tidak sabaran dan akhirnya meninggalkan ideologi,” pungkasnya [] Setiawan Dwi

Pengamat: Turki Jangan Sampai Berhenti pada Persoalan Pragmatisme, Tetapi...

Tinta Media - Pengamat Politik Dr. M. Riyan, M.Ag. mengatakan, Turki jangan sampai hanya berhenti atau bertahan pada kerangka sekulerisme dan juga persoalan pragmatisme tetapi juga bagaimana visi umat untuk memimpin dunia.

“Termasuk umat Islam yang ada di Turki saat ini agar kemudian tidak hanya sekedar persoalan pragmatisme politik tetapi juga bagaimana visi umat untuk memimpin dunia,” tegasnya dalam Rubrik Dialogika: Pemilu Turki; Kemenangan Islam dan Campur Tangan AS, Jumat (20/5/2023) di kanal Youtube Peradaban Islam ID.

Mungkin visi politik islam dianggap berbahaya untuk para elektoral, tetapi menurutnya, tidak boleh menerima realitas yang tidak sesuai dengan islam, maka disinilah pentingnya idealitas itu dibangun dengan proses dakwah sehingga nanti bukan hanya romantisme.

Dalam konteks sejarah Turki sendiri, kata Riyan, hanya meletakkan sejarah kebesaran Utsmani padahal itu hanyalah bagian sejarah masa lalu bukan visi perjuangan.

“Mereka jangan lupa. Berbeda itu, kalau ke belakang itu hanya sekedar menjadi romantisme, nanti tapi kalau kemudian ke depan dia akan politik. Saya kira itu yang menjadi satu hal yang musti dipahami terutama untuk generasi muda,” katanya.

Dia juga membeberkan  hari ini karena diakui atau tidak hari ini juga generasi muda di Turki termasuk juga kemudian di Indonesia itu kadang-kadang tidak menyadari tentang konstelasi internasional.

“Sehingga menganggap politik itu hanya yang ada di depan mata saja bukan justru yang ada jauh di depan mereka dalam konteks sebagai bagian dari visi kehidupan mereka,” pungkasnya.[] Setiawan 

Selasa, 08 November 2022

Santri Terjebak Sinkretisme Agama dan Pragmatisme Politik, Ahmad Sastra: Sangat disayangkan!

Tinta Media - Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra sangat menyayangkan para santri yang terjebak sinkretisme agama dan pragmatisme politik.

“Hari Santri Nasional yang digelar tiap tanggal 22 Oktober  setiap tahunnya, tapi sangat disayangkan jika para santrinya terjebak sinkretisme agama dan pragmatisme politik,” tuturnya kepada Tinta Media, Senin (7/11/2022).

Sinkretisme agama dan pragmatisme politik menurut Ahmad Sastra merupakan kemusyrikan modern yang menyerang tauhid umat muslim. “Sebagaimana terjadi sejak dulu, ini hanya lah sebuah kelanjutan masa lalu,” ujarnya.

Ia menjelaskan tentang sinkretisme agama seperti paham pluralisme dan paham moderasi agama. Dan Allah dengan tegas melarang mencampuradukkan ajaran, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat ke 42, yakni tidak mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan, dan tidak menyembunyikan kebenaran.

“Pencampuradukan ajaran agama-agama yakni dengan mengoplos yang hak dan batil, dalam bahasa filsafat disebut sinkretisme agama,” jelasnya.

Ia menilai seharusnya para santri memahami bahwa salah satu kebenaran Islam justru ditunjukkan melalui berbagai istilah-istilah yang khas dengan makna yang khas pula.
“Berbagai istilah khas Islam misalnya kata kaffah, rahmatan lil’alamin, dan washatiyah, ketiganya memiliki pengertian khas yang sahih karena berasal dari Allah langsung,” ucapnya.

Sementara istilah moderatisme, sekularisme, liberalisme, pluralisme, dan radikalisme adalah istilah yang berasal dari epistemologi Barat. “Dan tentu saja bertentangan dengan ajaran Islam,” lanjutnya.

Barat menginginkan polarisasi muslim dengan memberikan label dan kapling-kapling Islam sehingga menimbulkan berbagai friksi intelektual hingga fisik sesama muslim. Ahmad Sastra mengatakan upaya semacam ini sesungguhnya pengulangan sejarah semata. “Karena itu umat Islam khususnya santri harus cerdas dan mampu membaca dengan cepat dan tepat. Inilah yang disebut ghozwul fikr,” katanya.

Ragam Islam buatan Barat seperti Islam moderat, Islam radikal, Islam fundamentalis, Islam nusantara, Islam progresif, Islam liberal, Islam teroris, Islam sekuler, Islam tradisional, dan Islam modern. Semua ini merupakan hasil dari gerakan imperialisme epistemologi (ghozwul fikr) Barat ke dunia Islam.
“Tentu saja hal tersebut tidak akan ditemukan dalam ajaran Islam karena termasuk sinkretisme,” ungkapnya.

Ia membeberkan upaya Barat dalam bidang agama dengan memunculkan narasi pengarusutamaan moderasi agama. Di mana narasi moderasi agama adalah indikasi kecil dari islamphobia. Bertujuan mengaburkan hakikat Islam, mencampur aduk kebenaran Islam dengan agama lain.

“Selain itu bertujuan untuk mengerdilkan ajaran Islam, mendegradasi akidah umat Islam, dan melumpuhkan dakwah tauhid serta menghadang kebangkitan Islam,” bebernya.

Baginya tanpa adanya narasi moderasi agama, Islam adalah agama yang paling bisa memberikan ruang pembiaran kepada pemeluk agama lain. Islam memberikan ruang pengakuan atas fakta pluralitas sosiologis, namun tidak dengan pluralisme teologis. “Tanpa diembel-embel moderat, Islam merupakan agama yang penuh perdamaian, toleransi, adil, dan menebarkan kebaikan kepada seluruh alam semesta,” ucapnya.

Ahmad Sastra menyatakan bahwa jebakan yang tidak kalah berbahaya yang tengah menjerat kaum santri adalah jebakan pragmatisme politik. Istilah pragmatisme ini berasal dari kata Yunani, artinya perbuatan (action) atau tindakan (practice).

“Para santri, kyai, dan ulama yang menjebakkan  diri dalam permainan politik demokrasi sekuler maka mereka sesungguhnya sedang menjerumuskan ke dalam jebakan pragmatisme,” tuturnya.

Ia memaparkan bahwa pragmatisme memandang kriteria kebenaran ajaran adalah faedah atau manfaat, sedangkan pragmatisme William James menawarkan sebuah konsep baru dalam memandang kebenaran. William James menolak kebenaran sebagai sesuatu yang sifatnya statis, yang dikandung oleh suatu gagasan.
“Hal ini menimbulkan implikasi bahwa kebenaran tidak bersifat mutlak, melainkan berubah-ubah. Jelas sekali pragmatisme ini sebagai standar ide dan perbuatan yang sangat bertentangan dengan Islam. Standar perbuatan Islam ialah halal haram, bukan manfaat atau kegunaan riil untuk memenuhi kebutuhan manusia yang dihasilkan oleh sebuah ide, ajaran, teori, atau hipotesis,” paparnya.

Politik demokrasi menjadikan manfaat sebagai standar kebenaran dan mengabaikan wahyu. Ia mempertanyakan peranan santri, kyai dan ulama yang terjebak dalam pragmatisme politik.
“Lantas apa jadinya kalau para santri, kyai, dan ulama tidak lagi menjadikan wahyu sebagai standar kebenaran dalam berpolitik?” tanyanya.

“Benar apa yang disampaikan Imam Al Ghazali bahwa rusaknya rakyat karena rusaknya pemimpin, sementara rusaknya pemimpin karena rusaknya para ulama,” pungkasnya. [] Ageng Kartika
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab