Minggu, 18 Februari 2024
Senin, 11 September 2023
Bila Serius Kurangi Polusi, Turunkan Saja Harga Pertamax!
Tinta Media - Program Langit Biru (PLB) telah dicanangkan sejak 19 September 2021 oleh PT Pertamina
(Persero) secara bertahap. PLB yang dimulai secara bertahap di beberapa wilayah
di Nusa Tenggara Timur saat ini telah memasuki tahap 2. Program berbentuk promo
sekaligus edukasi bagi konsumen dalam memilih BBM yang sesuai dengan kebutuhan
kendaraan ini bertujuan untuk mengurangi dampak emisi gas buang kendaraan. Tujuan
ini tentu patut diacungi jempol karena berdampak menjadikan kualitas udara
menjadi lebih baik.
Saat
ini PLB Tahap 2 sedang dalam proses pengkajian di internal. Nicke Widyawati,
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) pada Rabu (30/8/2023) menghadiri Rapat
Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI dalam upaya menjalani proses ini. Dalam
usulannya PT Pertamina (Persero) berencana akan mencampur Pertalite dengan
Ethanol 7 persen sehingga menghasilkan Pertamax Green 92. Ini untuk
meningkatkan kadar oktan BBM Subsidi RON 92. Sehingga tahun depan Pertalite RON
90 dapat dihapuskan dan diganti dengan Pertamax Green RON 92.
Penggantian ini menurut
Nicke bertujuan agar kendaraan menggunakan BBM dengan kualitas yang lebih baik,
karena BBM dengan kadar oktan lebih tinggi akan semakin ramah lingkungan. Hal
ini secara langsung dianggap dapat mengurangi
dampak emisi gas buang terhadap udara dan kesehatan lingkungan. Sampai di sini
wacana ini masih dapat kita apresiasi sebagai bentuk kepedulian PT Pertamina
terhadap kesehatan lingkungan.
Namun, selanjutnya Nicke menyatakan bahwa jika
usulan PT Pertamina (Persero) tersebut diterima menjadi program pemerintah,
maka harga BBM pasti akan diatur oleh pemerintah. Menurutnya, “Tidak mungkin jenis BBM
Khusus Penugasan (JBKP) harganya diserahkan kepada pasar karena ada mekanisme
subsidi dan kompensasi di dalamnya.” Di sinilah masalah akan kembali muncul.
Pasalnya, setelah tiga bulan tidak ada
perubahan harga, per satu September 2023, harga Pertamax resmi naik. Terbukti
di wilayah Jabodetabek, Pertamax ini dibanderol seharga Rp13.300 per liter
padahal sebelumnya Rp12.400 per liter. Sementara itu menurut pantauan di
beberapa SPBU pada Senin (15/8/2023) ditemukan kelangkaan BBM jenis Pertalite
(CNNIndonesia.com). Ini jelas menyulitkan rakyat sehingga harus mencari di
SPBU-SPBU lain yang masih menyediakan Pertalite. Satu hal yang tidak bisa
dipungkiri kebanyakan pengguna BBM memang lebih memilih membeli Pertalite yang
lebih terjangkau harganya.
Meski Irto Ginting, Corporate
Secretary PT Pertamina (Persero) membantah terjadinya pembatasan penyaluran
Pertalite sehingga menyebabkan terjadinya kelangkaan di tingkat SPBU. Namun, ia
mengakui realisasi penyaluran
pertalite tahun ini memang meningkat dibandingkan tahun lalu, sehingga, stok
hingga akhir tahun mulai menipis. Karenanya rakyat dihimbau untuk menggunakan
BBM sesuai dengan spesifikasi mesin kendaraannya, seperti Pertamax Series dan
Dex Series, supaya tidak berbondong-bondong memilih Pertalite saja.
Sebenarnya kami sebagai bagian dari rakyat
kecil bukannya tidak mau memilih Pertamax, tetapi masalahnya membeli Pertamax
sangat berat bagi kantong kami. Di sisi lain, kami sangat mendukung jika PBL
bisa diwujudkan secara nyata, bukan sekadar wacana manis semata. Manusia mana yang tidak ingin hidup dalam
lingkungan yang sehat, nyaman dan bebas polusi?
Namun, masalahnya janganlah bebankan upaya
‘membirukan langit’ ke pundak kami sementara kami dalam kondisi kesulitan
ekonomi. Selama ini untuk bisa bertahan hidup dengan pendapatan minim saja
sudah demikian berat. Apalagi jika ditambah dengan naiknya harga BBM. Sudah
menjadi fakta tak terbantahkan, bahwa ketika BBM naik, maka harga-harga
kebutuhan hidup yang lain akan ikut naik pula.
Jadi jika alasan rencana penghapusan Pertalite
dan kenaikan harga Pertamax adalah untuk mengurangi polusi udara, maka
seharusnya Pemerintah justru menurunkan harga Pertamax serendah-rendahnya. Ini
supaya rakyat berbondong-bondong menggunakannya. Bukan dengan cara sebaliknya,
bukan? Menurut Islam, pemerintahan ada untuk mengurus dan membela rakyat, bukan
sebaliknya.
Oleh:
Dewi Purnasari (Aktivis Dakwah Politik)
Jumat, 18 Agustus 2023
ASPEK: WFH Bukan Solusi Tepat
"WFH (work from home) untuk mengatasi kualitas udara atau polusi di Jakarta sebagai kebijakan yang mengada-ada dan bukan solusi yang tepat," tuturnya dalam pres rilis: WFH Untuk Atasi Polusi, Kebijakan Lebay Yang Mempersulit Masyarakat, yang diterima Tinta Media, Rabu ( 16/08/2023 ).
Ia mempertanyakan kajian apa yang dipakai oleh Presiden Joko Widodo hingga bisa menyimpulkan bahwa WFH akan bisa mengatasi polusi udara? "Kami menilainya sebagai kebijakan yang lucu dan aneh!" ujarnya.
Tak ayal kebijakan ini, menurut Mirah Sumirat yang juga merupakan Presiden Women Committee UNI Global Asia Pacific justru akan berdampak buruk bagi kehidupan sosial masyarakat. “Jika diberlakukan secara ketat sekalipun, WFH tidak akan pernah efektif untuk bisa mengatasi masalah polusi udara untuk jangka panjang," tegasnya.
Kehilangan Pekerjaan
Bahkan ia menilai WFH ini akan menghambat pergerakan warga serta mengganggu pertumbuhan ekonomi masyarakat. "Juga berpotensi membuat banyak pekerja akan kehilangan pekerjaan dan penghasilan," imbuhnya.
Mirah Sumirat mengingatkan kepada pemerintah, baik di pusat maupun di daerah untuk melibatkan stakeholder sebelum mengambil keputusan yang akan berdampak pada masyarakat, khususnya untuk stakeholder ketenagakerjaan sebelum memutuskan kebijakan WFH.
“Pemerintah perlu melibatkan dan mempertimbangkan masukan dari perwakilan pekerja dan pengusaha yang ada dalam Lembaga Kerja Sama Tripartit. Andaipun terpaksa memberlakukan WFH, tidak boleh ada satu sen pun hak pekerja yang dikurangi," tegasnya.
Ia menilai, saat ini tidak ada urgensinya pemberlakuan WFH apalagi dengan dalih untuk mengatasi polusi udara.[] Muhammad Nur