Tinta Media: Polusi
Tampilkan postingan dengan label Polusi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Polusi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 18 Februari 2024

Semarang Charter, Solusi ataukah Polusi bagi Masalah Kemanusiaan?



Tinta Media - Kementerian Agama baru saja selesai menggelar perhelatan tahunan sebagai ajang mempertemukan ratusan intelektual internasional muslim untuk membahas masalah keagamaan, tepatnya dimulai tanggal 1 hingga 4 Februari 2024 kemarin. Gelaran Annual Internasional Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-23 tahun 2024 ini bertujuan merumuskan solusi dari berbagai permasalahan kemanusiaan global. Sedangkan tema yang diangkat adalah “Redefining The Roles of Religion in Addressing Human Crisis: Encountering Peace, Justice and Human Rights Issues” demi mencapai kedamaian, keadilan dan saling menghormati antarsesama. Tema ini masih sesuai dengan filosofi lahirnya AICIS yakni sebagai wadah amplifier moderasi beragama tingkat nasional hingga internasional.

Salah satu tokoh agama dari Indonesia, Elga J. Sarapung menyampaikan bahwa AICIS 2024 ini adalah aksi konkret dan tak hanya berkutat pada pemikiran dan teori saja. Dia bahkan berharap, melalui AICIS 2024 akan ada aksi konkret dalam mengatasi krisis-krisis HAM, kedamaian dan keadilan. Namun pertanyaannya, benarkah demikian adanya? Ataukah umat Islam umumnya dan para intelektual muslim khususnya justru terjebak sendiri oleh ketidakjelasan teori ‘Human Rights (HAM), Peace(Perdamaian), Justice (Keadilan) yang sengaja diusung dalam gelaran yang dianggap bergengsi ini?

Sebagaimana diketahui,  AICIS ada karena proyek moderasi di negeri-negeri muslim harus makin besar dan masif. Sejak ditabuhnya genderang perang melawan terorisme yang bermetamorfosis menjadi moderasi beragama. Maka, bukan Islam yang digadang-gadang sebagai jalan keluar dari berbagai problem keagamaan. Melainkan Islam menjadi objek yang dituduh sebagai sumber masalah. Maka, jalan yang diambil adalah harus menjauhkan Islam dari problem tersebut. Dan sebagai gantinya, umat Islam harus menerima dan mengambil perjuangan HAM, perdamaian, dan keadilan sebagai jalan keluar. Inilah tujuan moderasi yang diinginkan.

Moderasi Justru Jadi Polusi 

Moderasi beragama atas nama HAM, perdamaian dan keadilan yang digaungkan sebagai solusi atasi masalah kemanusiaan global hanya narasi tipu-tipu yang hakikinya justru menjadi polusi kemanusiaan. Bisa kita lihat dari sembilan butir Piagam Semarang sebagai hasil dari pertemuan AICIS 2024 ini. Pertama, yakni tentang keyakinan, tradisi dan praktik keagamaan di seluruh dunia yang begitu kaya, beragam. Ini tidak bisa ditafsirkan secara monopolitik. Jadi, masing-masing perlu mengenali dan menghormati keragaman ini sebagai sumber kekuatan dan pemahaman dalam merespons  krisis kemanusiaan. Begitu jelas, bagaimana nasionalisme dan ketiadaan satu institusi kepemimpinan Islam hari ini telah membuat umat Islam terombang-ambing dalam menafsirkan ‘keberagaman’. Padahal masalah kemanusiaan ini lahir dari ‘kacaunya’ pemahaman tentang keberagaman.

Kedua, terkait menghadapi krisis kemanusiaan yang terjadi akhir-akhir ini. Komunitas agama-agama harus bersama-sama memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat untuk meringankan penderitaan, membangun solidaritas, dan menciptakan keadilan dan kesetaraan. Namun pertanyaannya, bagaimana mungkin pelayanan terbaik mampu diberikan, sementara standar kemanusiaan masih dikendalikan oleh negara penjajah global Amerika Serikat dengan ideologi kapitalismenya. Berkacalah pada masalah Palestina. Siapa di balik kejahatan Zionis di sana?

Ketiga, menjadikan keharusan ajaran agama agar ditafsirkan dan diterapkan dengan cara-cara yang sejuk dan moderat demi melindungi martabat setiap individu. Maka diperlukan advokasi untuk menjaga hak asasi manusia dan keadilan sosial di setiap elemen kehidupan manusia. Padahal faktanya, semakin moderat suatu bangsa atau negeri, maka semakin jauh nilai kemanusiaan yang terjaga dan terealisasi. Karena agama yang sejatinya ada untuk memanusiakan manusia. Sedangkan moderasi adalah upaya untuk semakin menjauhkan bangsa dan negeri ini dari agama.

Keempat, untuk menghindari sedikit mungkin terjadinya konflik sosial, ekonomi bahkan politik. Maka, para pemimpin dan lembaga agama harus secara aktif terlibat dialog antar agama, membina pemahaman dan kerja sama yang utuh sebagai jembatan empati antarsesama umat manusia. Sayangnya, ajakan akan butuhnya dialog antar agama justru malah merusak keyakinan umat Islam terhadap kebenaran agamanya. Dan menuduh bahwa agama adalah sumber dari konflik sosial, ekonomi dan politik yang ada. 

Kelima, kesadaran akan hubungan yang tidak bisa dilepaskan antara agama, kemanusiaan, dan lingkungan. Dibutuhkan komitmen untuk mempromosikan segala praktik berkelanjutan yang berkontribusi pada pengelolaan lingkungan hidup dan kesejahteraan planet serta penghuninya. Seharusnya poin ini menjadi catatan kritis terkait peran agama yang dimandulkan akibat sekularisme berbaju moderasi beragama. Maka, tidak ada kamusnya bahwa moderasi itu adalah solusi konkret.

Keenam, mengajak komunitas agama dan keyakinan berkomitmen dan melakukan kerja nyata memberikan bantuan kemanusiaan kepada korban masifnya kejahatan dan kebrutalan terhadap sesama manusia. Dari ajakan ini membuktikan bahwa dunia dan bangsa ini seakan lupa bahwa kejahatan dan kebrutalan terhadap manusia hari ini adalah buah kejamnya ideologi Barat yang tidak manusiawi. Maka, kerja nyata yang harusnya dilakukan adalah mengenyahkan ideologi tersebut secara bersama-sama.

Ketujuh, komunitas agama-agama dan keyakinan berkomitmen untuk melakukan pemberdayaan dan penguatan yang berkelanjutan bagi masyarakat tanpa memandang agama dan keyakinan untuk menghindari berulangnya konflik. Di poin ini membuktikan bahwa para intelektual muslim yang menjadi peserta AICIS menerima tuduhan jika agama adalah sumber konflik. Ironis sekali!

Kedelapan, dalam rangka menjauhkan diri dari sentimen dan provokasi yang dapat merusak hubungan sosial antar sesama umat manusia. Komunitas agama dan keyakinan butuh mempromosikan penggunaan teknologi secara bijak. Di poin ini, justru mereka telah menampakkan kelemahan dalam meyakini bahwa Islam adalah pemersatu terbaik sepanjang jaman peradaban manusia ada di planet ini.

Kesembilan, mengajak para pemimpin agama-agama dan keyakinan berkomitmen untuk mendorong terbentuknya kepemimpinan moral yang dapat menumbuhkan kepercayaan dalam komunitas masing-masing dan masyarakat yang lebih luas. Dari poin ini, tergambar jelas betapa jauhnya umat, tak terkecuali tokoh umat dari gambaran institusi kepemimpinan ideologis yang bersifat global, pemersatu hakiki umat manusia. Tidak lain dan tidak bukan adalah kepemimpinan Islam bernama Khilafah Islamiyah. 

Islam, Menyatukan dan Memanusiakan Manusia

Walhasil, dari sembilan butir atau poin dari Piagam Semarang di atas dan sanggahan atasnya. Bisa disimpulkan bahwa memang sudah saatnya umat ini kembali dalam persatuan yang kokoh dan tak mudah dicerai berai. Dan jalan satu-satunya yang harus ditempuh adalah kembali berpegang teguh pada tali agama Allah, bukan yang lain, bukan juga moderasi beragama yang tertuang di dalam 'Semarang Charter'. Solusi masalah kemanusiaan telah ada sejak Rasulullah Saw. diutus dengan Islam. 

Adapun aktualisasi dari solusi ini dimulai sejak tegaknya Daulah Islam pertama di Madinah. Islam menyatukan berbagai ras, suku bangsa dan agama tanpa sedikit pun menimbulkan polusi beragama yang justru menjauhkan Islam sebagai solusi tunggal masalah kemanusiaan. Karena Allah sendirilah yang memberikan jaminan bahwa Islam itu menyatukan. Saatnya menjadi umat yang satu. It is time to be one ummah. Wallaahu a’alam



Oleh: Yulida Hasanah
(Muslimah Peduli Generasi dan Perempuan)

Senin, 11 September 2023

Bila Serius Kurangi Polusi, Turunkan Saja Harga Pertamax!

Tinta Media - Program Langit Biru (PLB) telah dicanangkan sejak 19 September 2021 oleh PT Pertamina (Persero) secara bertahap. PLB yang dimulai secara bertahap di beberapa wilayah di Nusa Tenggara Timur saat ini telah memasuki tahap 2. Program berbentuk promo sekaligus edukasi bagi konsumen dalam memilih BBM yang sesuai dengan kebutuhan kendaraan ini bertujuan untuk mengurangi dampak emisi gas buang kendaraan. Tujuan ini tentu patut diacungi jempol karena berdampak menjadikan kualitas udara menjadi lebih baik.

 

Saat ini PLB Tahap 2 sedang dalam proses pengkajian di internal. Nicke Widyawati, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) pada Rabu (30/8/2023) menghadiri Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI dalam upaya menjalani proses ini. Dalam usulannya PT Pertamina (Persero) berencana akan mencampur Pertalite dengan Ethanol 7 persen sehingga menghasilkan Pertamax Green 92. Ini untuk meningkatkan kadar oktan BBM Subsidi RON 92. Sehingga tahun depan Pertalite RON 90 dapat dihapuskan dan diganti dengan Pertamax Green RON 92.

 

Penggantian ini menurut Nicke bertujuan agar kendaraan menggunakan BBM dengan kualitas yang lebih baik, karena BBM dengan kadar oktan lebih tinggi akan semakin ramah lingkungan. Hal ini secara langsung dianggap dapat mengurangi dampak emisi gas buang terhadap udara dan kesehatan lingkungan. Sampai di sini wacana ini masih dapat kita apresiasi sebagai bentuk kepedulian PT Pertamina terhadap kesehatan lingkungan.

 

Namun, selanjutnya Nicke menyatakan bahwa jika usulan PT Pertamina (Persero) tersebut diterima menjadi program pemerintah, maka harga BBM pasti akan diatur oleh pemerintah. Menurutnya, “Tidak mungkin jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) harganya diserahkan kepada pasar karena ada mekanisme subsidi dan kompensasi di dalamnya.” Di sinilah masalah akan kembali muncul.

 

Pasalnya, setelah tiga bulan tidak ada perubahan harga, per satu September 2023, harga Pertamax resmi naik. Terbukti di wilayah Jabodetabek, Pertamax ini dibanderol seharga Rp13.300 per liter padahal sebelumnya Rp12.400 per liter. Sementara itu menurut pantauan di beberapa SPBU pada Senin (15/8/2023) ditemukan kelangkaan BBM jenis Pertalite (CNNIndonesia.com). Ini jelas menyulitkan rakyat sehingga harus mencari di SPBU-SPBU lain yang masih menyediakan Pertalite. Satu hal yang tidak bisa dipungkiri kebanyakan pengguna BBM memang lebih memilih membeli Pertalite yang lebih terjangkau harganya.

 

Meski Irto Ginting, Corporate Secretary PT Pertamina (Persero) membantah terjadinya pembatasan penyaluran Pertalite sehingga menyebabkan terjadinya kelangkaan di tingkat SPBU. Namun, ia mengakui realisasi penyaluran pertalite tahun ini memang meningkat dibandingkan tahun lalu, sehingga, stok hingga akhir tahun mulai menipis. Karenanya rakyat dihimbau untuk menggunakan BBM sesuai dengan spesifikasi mesin kendaraannya, seperti Pertamax Series dan Dex Series, supaya tidak berbondong-bondong memilih Pertalite saja.

 

Sebenarnya kami sebagai bagian dari rakyat kecil bukannya tidak mau memilih Pertamax, tetapi masalahnya membeli Pertamax sangat berat bagi kantong kami. Di sisi lain, kami sangat mendukung jika PBL bisa diwujudkan secara nyata, bukan sekadar wacana manis semata.  Manusia mana yang tidak ingin hidup dalam lingkungan yang sehat, nyaman dan bebas polusi?

 

Namun, masalahnya janganlah bebankan upaya ‘membirukan langit’ ke pundak kami sementara kami dalam kondisi kesulitan ekonomi. Selama ini untuk bisa bertahan hidup dengan pendapatan minim saja sudah demikian berat. Apalagi jika ditambah dengan naiknya harga BBM. Sudah menjadi fakta tak terbantahkan, bahwa ketika BBM naik, maka harga-harga kebutuhan hidup yang lain akan ikut naik pula.

 

Jadi jika alasan rencana penghapusan Pertalite dan kenaikan harga Pertamax adalah untuk mengurangi polusi udara, maka seharusnya Pemerintah justru menurunkan harga Pertamax serendah-rendahnya. Ini supaya rakyat berbondong-bondong menggunakannya. Bukan dengan cara sebaliknya, bukan? Menurut Islam, pemerintahan ada untuk mengurus dan membela rakyat, bukan sebaliknya.

Oleh: Dewi Purnasari (Aktivis Dakwah Politik)

  




 

 

 

 

Jumat, 18 Agustus 2023

ASPEK: WFH Bukan Solusi Tepat

Tinta Media  -  Instruksi Presiden  Joko Widodo soal bekerja di rumah (WFH) untuk mengatasi kualitas udara dan polusi di Jakarta, dinilai oleh presiden ASPEK (Asosiasi Serikat Pekerja) Indonesia Mirah Sumirat, SE., sebagai kebijakan yang mengada-ada dan bukan solusi tepat.

"WFH (work from home)  untuk mengatasi kualitas udara atau polusi di Jakarta sebagai kebijakan yang mengada-ada dan bukan solusi yang tepat," tuturnya dalam pres rilis: WFH Untuk Atasi Polusi, Kebijakan Lebay Yang Mempersulit Masyarakat, yang diterima Tinta Media, Rabu ( 16/08/2023 ).
 
Ia mempertanyakan kajian apa yang dipakai oleh Presiden Joko Widodo hingga bisa menyimpulkan bahwa WFH akan bisa mengatasi polusi udara?  "Kami menilainya sebagai kebijakan yang lucu dan aneh!" ujarnya.
 
Tak ayal kebijakan ini, menurut Mirah Sumirat yang juga merupakan Presiden Women Committee UNI Global Asia Pacific justru akan berdampak buruk bagi kehidupan sosial masyarakat. “Jika diberlakukan secara ketat sekalipun, WFH tidak akan pernah efektif untuk bisa mengatasi masalah polusi udara untuk jangka panjang," tegasnya.
 
Kehilangan Pekerjaan
 
Bahkan ia menilai  WFH ini akan menghambat pergerakan warga serta mengganggu pertumbuhan ekonomi masyarakat. "Juga berpotensi membuat banyak pekerja akan kehilangan pekerjaan dan penghasilan," imbuhnya.
 
Mirah Sumirat mengingatkan kepada  pemerintah, baik di pusat maupun di daerah untuk melibatkan stakeholder  sebelum mengambil keputusan yang akan berdampak pada masyarakat, khususnya untuk stakeholder ketenagakerjaan sebelum memutuskan kebijakan WFH.
 
“Pemerintah perlu melibatkan dan mempertimbangkan masukan dari perwakilan pekerja dan pengusaha yang ada dalam Lembaga Kerja Sama Tripartit. Andaipun terpaksa memberlakukan WFH, tidak boleh ada satu sen pun hak pekerja yang dikurangi," tegasnya.
 
Ia menilai, saat ini tidak ada urgensinya pemberlakuan WFH apalagi dengan dalih untuk mengatasi polusi udara.[] Muhammad Nur

Rabu, 16 Agustus 2023

Kualitas Udara Semakin Buruk, Dampak Penerapan Kapitalisme

Tinta Media - Kualitas udara di ibu kota dikabarkan semakin memburuk. Bahkan, disebutkan kualitas udara yang ada tidak layak untuk menunjang kehidupan. Lantas, adakah solusi pasti untuk menyelesaikan masalah lingkungan tersebut?

Udara Buruk, Bukti Semrawutnya Tata Kelola

Jakarta kembali menduduki posisi pertama sebagai kota dengan predikat kualitas udara terburuk pada minggu pagi (13/8/2023). Hal ini diketahui dari data situs pemantau kualitas udara IQAir pada pikul 06.00 WIB. Indeks kualitas udara di Jakarta menunjukkan angka 170 alias terkategori tidak sehat (CNNIndonesia.com, 13/8/2023). 

Dilansir dari liputan6.com (28/7/2023), kualitas udara yang semakin memburuk di Jakarta dipengaruhi oleh sektor transportasi. Tak hanya karena sektor transportasi, Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Asep Kuswanto menyebutkan bahwa musim kemarau menjadi penyebab memburuknya kualitas udara di ibu kota (CNNIndonesia.com, 13/8/2023). 

Untuk mengantisipasi agar kualitas udara tak semakin memburuk, Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Perhubungan akan membentuk satuan tugas untuk melakukan razia dan memberikan sanksi pada pengendara kendaraan bermotor yang tak mengantongi bukti pelaksaan uji emisi. Dinas Lingkungan Hidup pun mengimbau warga agar menggunakan moda transportasi massal dan mengurangi mobilitas menggunakan mobil pribadi (katadata.co.id, 28/7/2023).

Selain emisi kendaraan, pembakaran batubara pun menjadikan kualitas udara semakin memburuk. Hal ini dikemukakan komunitas pegiat lingkungan, Walhi DKI Jakarta. Pemerintah pusat DKI Jakarta dinilai tak pernah menyentuh persoalan industri energi dan lingkungan. Padahal, PLTU berbasis batubara berkontribusi besar mencemari udara ibukota (bbc.com, 14/8/2023). 

Pemerintah tak mampu memperketat aturan terkait industri tersebut karena kepentingan ekonomi dan politik. Demikian ungkap Muhammad Aminullah, Ketua Kampanye Walhi Jakarta. 

Semua aktivitas yang dilakukan hanya berorientasi pada keuntungan materi, tanpa memperhatikan akibat bagi alam dan lingkungan. Regulasi yang ditetapkan pemerintah pun hanya berfokus pada kepentingan korporasi-korporasi besar pemilik modal. Tentu saja secara langsung kepentingan publik akan dikendalikan oleh para investor. Semua dilakukan demi alasan mendongkrak perekonomian negara dan membuka lapangan pekerjaan sebesar-besarnya. 

Inilah realita yang disajikan sistem ekonomi kapitalisme. Keserakahan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya menjadi konsep utama penerapannya. Bahkan, mengeksploitasi lingkungan pun dijadikan salah satu konsep dasar dalam menetapkan kebijakan, tak peduli dengan akibat yang ditimbulkan. 

Akibatnya, urusan rakyat dilalaikan. Pencemaran udara yang luar biasa, limbah industri yang belum juga menemukan solusi menjadi masalah-masalah yang terus bermunculan. Sementara, solusi-solusi yang disajikan hanya solusi sementara yang tak menyentuh akar persoalan. 

Fakta ini pun nampak semakin nyata saat negara tak mampu memberi sanksi atau menindak tegas perusahaan-perusahaan yang menimbulkan pencemaran atau limbah yang merusak lingkungan. Jelaslah, segala bentuk kerusakan lingkungan dan pencemaran yang terjadi sebagai dampak diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme yang merusak. 

Tata Kelola Lingkungan ala Sistem Islam

Islam mensyariatkan bahwa lingkungan adalah bagian alam yang wajib dijaga. Ini karena kerusakan lingkungan pasti berdampak pada kehidupan. Pemanfaatan lingkungan beserta isinya harus sesuai dengan perintah Allah Swt. 

Dalam Islam, pengelolaan alam wajib diatur dalam regulasi negara agar mampu tegas mengikat semua warga negara. Sistem Islam dalam wadah khilafah, menjadikan lingkungan alam serta pengelolaannya senantiasa dalam pengaturan syariat Islam. Khilafah yang dipimpin seorang khalifah, menetapkan bahwa kepemimpinan terhadap rakyat adalah tanggung jawab yang utama. Penjagaan nyawa rakyat adalah prioritas yang harus didahulukan. 

Rasulullah saw. bersabda, 

"Seorang pemimpin adalah penggembala, dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya." 
(HR. Al Bukhari dan Muslim).

Negara bertanggung jawab atas kelestarian lingkungan. Hal ini karena lingkungan yang lestari akan menjaga nyawa rakyat dari kesengsaraan. Polusi dan pencemaran alam yang melewati ambang batas, tentu saja akan mengancam nyawa rakyat. 

Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:

"Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan."
(QS. Al-A'raf : 56)

Negara memiliki kekuatan untuk mencegah kerusakan lingkungan. Salah satunya dengan menetapkan regulasi tentang larangan privatisasi sumber daya alam oleh swasta atau pihak asing. Pengawasan negara harus dilakukan untuk menjamin keberlangsungan sistem ekonomi yang tetap menjaga keselamatan dan kesejahteraan seluruh warga negara. 

Negara juga wajib menetapkan aturan bagi setiap industri agar mampu mengolah limbah secara mandiri dan aman, tanpa mencemari lingkungan sesuai standar baku yang ditetapkan negara khilafah. Negara pun akan memanfaatkan sumber energi terbarukan yang minim polutan, sehingga tetap dapat menjaga kelestarian lingkungan. Ini demi kehidupan rakyat yang aman dan lestari berkelanjutan.

Betapa sempurnanya Islam mengelola lingkungan. Semua ditetapkan demi kualitas hidup yang aman, sejahtera, dan terjaga. Hanya dengan penerapan sistem Islam, kehidupan penuh rahmat dan berkah tercurah. 

Wallahu a'lam bisshawwab.

Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab