Tinta Media: Politisi
Tampilkan postingan dengan label Politisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Politisi. Tampilkan semua postingan

Senin, 12 Februari 2024

Bansos: Alat Politik untuk Memenangkan Suara atau Solusi untuk Kemiskinan?



Tinta Media - Presiden Jokowi telah memberikan berbagai bantuan sosial (bansos) sejak akhir tahun lalu, seperti bantuan pangan berupa beras 10 kg, BLT El Nino Rp 200 ribu per bulan, dan BLT mitigasi risiko pangan Rp 200 ribu per bulan. Menurutnya, bansos tersebut bertujuan untuk menguatkan daya beli masyarakat, terutama masyarakat kelas bawah, di tengah kenaikan harga pangan yang tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di berbagai negara.
(detik.com 2/2/2024) 

Kendati Presiden Jokowi menegaskan bahwa pemberian bansos sama sekali tidak berkaitan dengan keuntungan politik bagi paslon tertentu dalam Pemilu 2024 dan sudah melalui persetujuan mekanisme dari DPR dan dana APBN. Namun, penyaluran bansos tersebut dianggap sebagai alat politik untuk memenangkan suara dalam Pemilu. 

Hal itu bisa di katakan wajar terjadi, akibat sebagian orang beranggapan bahwa pemberian bansos merupakan cara untuk memperoleh dukungan politik dari masyarakat. Oleh karena telah banyak pihak-pihak yang mencoba memanipulasi penyaluran bansos dengan memprioritaskan penerima bansos yang akan memberikan dukungannya pada calon tertentu dalam pemilihan. 

Hal ini menunjukkan bahwa dalam era demokrasi, kekuasaan dianggap sebagai sumber tujuan yang harus diperoleh dengan segala cara. Sebagai sistem politik yang menganut kebebasan, segala peluang akan dimanfaatkan. Namun, pada kenyataannya sistem ini jelas-jelas mengabaikan aturan agama dalam kehidupan. 

Kemiskinan merupakan masalah kronis di banyak negara, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, negara seharusnya mengentaskan kemiskinan dengan cara komprehensif dan dari akar permasalahan. Mereka harus memahami bahwa memberikan bantuan sosial (bansos) saja sepanjang waktu tidak akan memberikan perubahan besar. Terlebih lagi, semakin banyak bantuan sosial yang diberikan menjelang pemilihan umum, semakin meresahkan masyarakat karena bantuan tersebut cenderung disalahgunakan oleh sejumlah orang. 

Di sisi lain, kesadaran politik yang rendah, rendahnya pendidikan, dan kemiskinan yang menimpa, membuat masyarakat berpikir pragmatis sehingga mudah dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Masyarakat yang berada dalam kondisi kemiskinan pasti lebih membutuhkan bantuan dan saat bantuan tersebut diberikan, maka mereka akan cenderung menaruh harapan dan akan tergantung pada pemberi bantuan tersebut. Masyarakat juga akan cenderung menjadi pemilih yang mudah dipengaruhi atau bahkan dibeli dengan pemberian bantuan sosial. 

Maka jika kita bertanya, mungkinkah kesejahteraan bisa didapatkan dalam sistem kapitalisme demokrasi saat ini? Tentu saja tidak. Karena demokrasi cenderung mendukung kekuatan kapitalis yang mempromosikan liberalisasi pasar dan perdagangan bebas, sehingga mengabaikan kelompok yang lebih lemah. Itulah mengapa kemiskinan masih tinggi secara relatif dan sulit untuk diatasi, sebab negara selalu tunduk pada kekuatan pasar. 

Hal ini tentu saja jauh berbeda dengan paradigma Islam. Negara memiliki kewajiban untuk menjamin kesejahteraan rakyat satu per satu. Selain itu, pemimpin dalam Islam adalah raa'in atau pengurus urusan umat sehingga harus aktif mencampuri kehidupan rakyatnya, dengan tujuan menciptakan kesejahteraan. Melalui berbagai mekanisme yang sejalan dengan metode Islam untuk mencapai keberhasilan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, melalui sistem ekonomi Islam. 

Keunggulan sistem ekonomi Islam terlihat  dari pengaturan dan pemisahan kepemilikan harta secara jelas, pengelolaan harta dengan mengutamakan pembelanjaan wajib, sunnah, dan mubah, distribusi kekayaan secara adil tanpa penimbunan, memajukan sektor riil yang tidak eksploitatif, menciptakan mekanisme pasar internasional yang adil tanpa intervensi harga dan memberikan sanksi ta'zir pada pemanfaatan harta haram, dan menerapkan mata uang berbasis emas dan perak sebagai alat tukar internasional yang universal. Semua ini bertujuan mencapai kesejahteraan dan peningkatan taraf ekonomi yang lebih baik bagi masyarakat secara keseluruhan. 

Islam pun mengajarkan bahwa segala bentuk kekuasaan adalah amanah, dan penguasa harus bertanggung jawab di hadapan Allah SWT. Dalam artian, penguasa wajib mengurus rakyat sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, negara juga harus mengedukasi rakyat dengan nilai-nilai Islam, termasuk dalam memilih pemimpin. Hal ini bertujuan agar rakyat memiliki kesadaran atas kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang menjalankan amanah dan jujur, jelas akan lebih berkualitas, karena keimanannya dan takwa kepada Allah SWT, serta memiliki kompetensi sebagai bekal dalam memimpin tanpa perlu pencitraan agar disukai rakyat. 

Oleh karena itu, dalam rangka mengentaskan kemiskinan, negara perlu memberikan pendidikan yang layak dan berkualitas. Sebab salah satu faktor rendahnya kesadaran politik adalah kurangnya pendidikan dan informasi yang benar. Dengan pendidikan yang layak dan berkualitas, masyarakat akan lebih mudah memahami situasi politik dan lingkungannya. Ini akan meningkatkan kesadaran politik mereka dan membuat mereka lebih mudah untuk memilih calon pemimpin yang kompeten dan berkualitas. 

Dalam kesimpulannya, keberhasilan sebuah negara tidak hanya dinilai dari kekuatannya dalam perekonomian saja, namun juga dinilai dari kualitas kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu, sebagai masyarakat Indonesia, kita perlu memahami situasi politik dan berbagai persoalan yang tengah di hadapi bangsa, salah satunya kemiskinan. Sedangkan sebagai seorang pemimpin, penting untuk memiliki kepekaan sosial dan menjalankan amanah dengan kejujuran serta mengutamakan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan serta berperan aktif dalam mengentaskan kemiskinan. 

Dan sebagai umat muslim, penting untuk kita mengutamakan nilai-nilai ini dalam berpolitik dan mengambil keputusan yang selaras dengan ajaran Islam. Dengan menerapkan Islam secara kaffah, maka kita akan menjadi generasi yang mampu mengatasi berbagai masalah yang ada di Indonesia. 

Wallahu'alam.

Oleh: Indri Wulan Pertiwi
Aktivis Muslimah Semarang 

Jumat, 09 Februari 2024

Khilafah News: Gen Z Sasaran Empuk Para Parpol dan Politisi



Tinta Media - Narator Khilafah News menyatakan bahwa Gen Z menjadi sasaran empuk para parpol dan politisi. 

"Gen Z ini menjadi sasaran empuk para parpol dan politisi. Ini bisa dimanfaatkan mereka untuk kepentingan politik," tuturnya dalam video: Gen Z Target Empuk Politisi Pragmatis? Kamis (1/2/2024) di kanal Youtube Khilafah News. 

Ia menyesalkan, tak jarang para generasi milenial dan Gen Z hanya dijadikan sebagai obyek politik semata. 

“Dalam era digital dan teknologi informasi yang semakin canggih, generasi milenial dan Gen Z telah menjadi kekuatan politik yang signifikan,” imbuhnya. 

Ia melanjutkan, dengan jumlah pemilih yang besar, kelompok ini terdiri dari individu yang lahir antara tahun 1980 hingga pertengahan tahun 2000-an yang telah tumbuh dalam era globalisasi, diversifikasi informasi dan akses internet yang luas. 

"Dengan ciri khasnya yang berbeda dari generasi sebelumnya, potensi generasi milenial dan Gen Z menggiurkan bagi para kandidat dan parpol prodemokrasi untuk mendapatkan dukungan suara yang signifikan," ujarnya. 

Ia mengungkapkan, di balik upaya parpol dan politisi untuk mendapatkan dukungan dari generasi milenial dan Gen Z terdapat risiko bahwa kelompok ini hanya dijadikan objek politik saja. 

"Selain itu juga, terdapat fenomena yang dikenal sebagai virtue signaling yang bermakna bahwa politisi atau parpol-parpol menggunakan isu sosial yang populer di kalangan generasi milenial dan Gen Z untuk memamerkan dukungan mereka tanpa melakukan tindakan nyata yang substansial," ungkapnya. 

"Hal ini, nilainya,  tentunya dapat mengakibatkan kekecewaan dan rasa ketidakpercayaan dari pihak generasi ini terhadap politik. 

Menurutnya, generasi milenial dan Gen Z tidak dijadikan sebagai kelompok yang benar-benar dihargai dan didengar. 

“Oleh karena itu, penting bagi generasi milenial dan Gen Z untuk sadar dan terus dibimbing oleh ulama agar tidak menjadikan diri sebagai sasaran empuk para parpol dan politisi sekuler pragmatis. Tetapi juga berperan aktif dalam memilih sistem dan pemimpin yang diridhai Allah Swt.," terangnya. 

Ia memandang , selain punya potensi yang menjadi pemantik perubahan besar. Generasi muda muslim juga memiliki potensi untuk terlibat secara aktif dalam politik Islam. "Baik melalui pembinaan, mengemban dakwah, aksi advokasi, bahkan pencalonan diri sebagai pemimpin yang saleh di masa depan," pungkasnya.[] Ajira

Minggu, 02 Juli 2023

MUNAFIKNYA PARA POLITISI, HAJI YANG DIPOLITISASI

Tinta Media - Saat elektabilitas menjadi tuhan, apapun akan dipertaruhkan. Termasuk untuk mempertaruhkan keimanan, menjadi kaum munafik, menjadi kaum yang menelan ludahnya sendiri yang sudah terbuang ke tanah.

Kepada Islam, bencinya ga karuan. Untuk berkamuflase menghindari ketahuan membenci Islam secara langsung, digunakanlah ungkapan tolak politik identitas. Padahal, maksudnya tolak politik Islam.

Tapi begitu realitasnya mayoritas rakyat di negeri ini adalah Muslim. kunci kemenangan adalah ketika memenangi suara Umat Islam, para pengusung politik identitas ini menjadi munafik.

Suara kaum sekuler cuma seupil. Suara kaum liberal nasionalis cuma sauprit. Kuncinya, tetap suara umat Islam yang mayoritas.

Menolak Syari'ah, menolak Khilafah, menuduh radikal radikul, membubarkan dakwah, menyerang pejuang Islam, nyinyir kodran-kadrun, giliran musim haji mengunggah kesolehan palsu melalui ibadah haji. Saat Pemilu yang ga pernah ke masjid sibuk ke masjid, baju dibuat se muslim mungkin, kopiah dan jilbab menjadi atribut resmi jelang Pemilu dan menjadi kostum resmi saat kampanye.

Syiar ibadah yang semestinya menjadi hubungan yang sakral antara hamba dan tuhannya, tiba-tiba berubah menjadi ajang kontestasi. Layaknya eventaintmen, seluruh seluk beluk aurat kesucian ibadah diumbar demi elektabilitas.

Padahal, tidak ada dari mereka yang komitmen terhadap syariat Islam. Tidak ada yang ingin menerapkan hukum Allah SWT. Islam hanya dijual bak komoditi, dengan bagian kompensasi elektabilitas untuk kepentingan kontestasi.

Hancur lebur nilai sakral sebuah ibadah. Tak ada nilai ketundukan hamba, untuk menuhankan ilahi sang pencipta manusia, untuk menggunakan hukum-Nya.

Padahal haji adalah ibadah sakral, sarana ketundukan. Di dalamnya terdapat ibadah kurban, dimana manusia diminta berkorban, mengorbankan nafsunya, dan menyembah hanya kepada Allah SWT semata.

Haji yang sakral menjadi sekadar ajang untuk viral. Menjadi modus operandi untuk menipu Umat Islam, demi raihan suara yang mereka pertuhankan.

Tiba-tiba semua politisi merasa sok agamis, sok paling dekat dengan Rab-Nya, padahal mereka semua mencampakkan hukum-hukum-Nya. Ya Allah, jauhkan dan selamatkan kami dari para politisi busuk yang hanya mengeksploitasi Islam demi tujuan kekuasaan. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Sabtu, 22 Oktober 2022

Taraf Berpikir Politisi Islam

Tinta Media - Berpikir adalah menghubungkan informasi dengan fakta yang terindera, atau fakta dengan informasi yang sudah ada sebelumnya di dalam otak, untuk mendapatkan sebuah kesimpulan baru menggantikan kesimpulan sebelumnya. 

Bila penginderaan terhadap fakta atau informasi yang didapat salah, maka hasil pemikirannya pasti salah pula. Jadi, pemikiran adalah hasil dari sebuah proses berpikir yang dilakukan oleh manusia, yang kebenarannya tergantung dari keakuratan penginderaan fakta dan informasi yang telah dia yakini sebelumnya.

Pemikiran itu sendiri merupakan harta yang paling mahal yang dimiliki oleh suatu bangsa di semua waktu yang pernah dilalui oleh umat manusia. Karena dengan pemikiranlah suatu bangsa bisa digolongkan menjadi bangsa yang beradab atau sebaliknya, sebagai bangsa yang biadab.

Oleh sebab itu, tingginya peradaban suatu bangsa sangat ditentukan oleh ketinggian taraf berpikir masyarakatnya. Hal itu karena dari pemikiran atau konsep hidup itulah dibangun peradaban khas yang unik antara satu bangsa dengan bangsa yang lain.

Sebuah peradaban yang tinggi pasti memiliki konsep hidup dan politik yang juga tinggi. Tidak pernah ada sebuah peradaban yang tinggi, tetapi dibangun dari konsep hidup liar bagaikan binatang yang hidup di dalam hutan. Karena ketinggian peradaban itulah yang membedakan manusia dari binatang dan juga mahluk lainnya, maka mustahil ada peradaban tinggi yang dibangun diatas pemikiran yang amburadul.

Dalam kehidupan bermasyarakat, mereka pasti memiliki tata cara yang apik dalam penerapan aturan atau politik yang telah teruji ketahanannya. Bagaimana mereka menerapkan aturan ekonomi, sosial, ritus ritual, pertahanan, dan lain sebagainya, tentu dikendalikan oleh sebuah institusi politik yang kuat dan memperoleh legalitas dari rakyatnya.

Peradaban Islam adalah salah satu peradaban yang tinggi, bahkan peradaban yang paling tinggi yang pernah dicapai oleh manusia. Hal itu dikarenakan peradaban Islam tidak hanya menghasilkan benda budaya dan penemuan fisik yang lain, tetapi karena peradaban Islam memiliki aspek spiritual yang tidak dimiliki peradaban sebelumnya. Umat Islam tidak hanya memikirkan kehidupan dunia saja, tetapi tujuan hidup mereka adalah surga.

Konsep dasar peradaban Islam adalah pengakuan bahwa manusia, alam semesta, dan kehidupan adalah makhluk dari Sang Maha Pencipta, yaitu Allah Subhanahu wa ta'ala. Peradaban ini dibangun untuk menjadikan manusia tunduk dan patuh kepada aturan Tuhannya, karena mereka sadar bahwa segala perbuatannya akan dipertanggungjawabkan kepada Sang Pencipta di kehidupan selanjutnya.

Saat ini, ketika Islam tidak lagi diterapkan, seorang politikus Islam dituntut untuk memiliki ketinggian taraf berpikir yang membedakan ia dari kerendahan pemikiran sekuler yang sedang diterapkan. Dari ketinggian taraf berpikir inilah dia sadar untuk melakukan perubahan karena dia memiliki pemikiran pengganti yang lebih baik dari yang sudah ada.

Namun demikian, ia hanya akan bisa mendapatkan pemahaman politik yang benar bila sering mengkaji fakta yang ada dan membandingkannya dengan Ideologi Islam yang sudah ia ketahui sebelumnya. Tanpa pernah terjun di dalam pergolakan pemikiran dan perjuangan politik, mustahil ia memperoleh ketajaman intuisi politik yang diperlukan dalam aktivitas politik.

Ia harus melakukan edukasi kepada masyarakat untuk membuktikan kebenaran Ideologi yang dia emban dengan cara meningkatkan taraf berpikir mereka. Ia juga melakukan agregasi dengan menyatukan perbedaan cabang yang ada dengan visi dan misi ideologi dengan gerak politik yang sama. Selain itu, ia juga akan melakukan artikulasi maslahat yang dibutuhkan oleh umat agar bisa hidup selamat dan mendapatkan rida dari Allah Swt. Di sinilah pentingnya mendakwahkan Ideologi Islam dalam melakukan perubahan sosial.

Aktivitas politik yang tidak didasari dengan ideologi Islam akan membawa kepada kegagalan. Perasaan umat Islam yang telah terbakar oleh kezaliman rezim dan kerusakan sistem yang diterapkan harus mendapatkan jalan keluar. Jangan sampai umat merasa sendirian, kecewa, dan putus asa, yang pada akhirnya akan menyebabkan sikap apatis yang tidak produktif.

Aspirasi mereka untuk perubahan harus diarahkan untuk mendapatkan solusi yang integral, yaitu kembalinya kehidupan Islam. Tanpa aktivitas politik yang berlandaskan Ideologi Islam, maka energi umat akan mudah terbelokkan dengan solusi pragmatis dan parsial yang menipu dan menjerumuskan.

Oleh karena itu, dalam perang pemikiran melawan ideologi Barat, para pengemban dakwah harus serius meningkatkan taraf berpikir agar umat juga ikut meningkat kesadaran untuk melakukan perubahan. Sebagai orang yang diandalkan, ia harus mampu memimpin umat dengan Ideologi Islam, yaitu akidah dan syari'at Islam.

Ketinggian taraf berpikir ini adalah pemikiran yang didasari keimanan. Karena hanya akidah dan pemikiran Islamlah yang bisa menyatukan umat Islam tanpa harus mempermasalahkan perbedaan yang tidak mendasar. Dengan bersatunya umat Islam dalam kemashlahatan untuk bergerak bersama-sama mengembalikan kehidupan Islam, perubahan fundamental dan kemenangan Islam tidak bisa dielakkan. [dsh]

Oleh: Trisyuono Donapaste
Sahabat Tinta Media

Kamis, 14 Juli 2022

Siapakah Politisi Itu?

Tinta Media - Sastrawan Politik Ahmad Khozinudin, menyampaikan bahwa politisi adalah orang yang beraktivitas politik, yakni orang yang terlibat dalam mengurusi (ria'yah) urusan umat (publik).

"Politisi adalah orang yang beraktivitas politik, yakni orang yang terlibat dalam mengurusi (ria'yah) urusan umat (publik)," tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (13/7/2022).

Menurutnya, ada kalanya seorang politisi itu penguasa, ia mengurusi urusan umat dengan kekuasaannya secara langsung. Ada kalanya, politisi itu bukan penguasa. 

"Politisi yang bukan penguasa, akan mengurusi urusan umat dengan pemikiran dan politik, agar umat dan penguasa berjalan diatas rel politik yang ditentukannya. Politisi bukan penguasa itu lebih sulit, karena dia mengontrol jalannnya kekuasaan tanpa memiliki kewenangan," terangnya.

Dia, lanjutnya, melakukan aktivitas politik untuk mempengaruhi umat dan penguasa sekaligus. Pada saat yang sama, dia tidak memiliki kewenangan (kekuasaan) dan tidak mendapatkan santunan (gaji) atas aktivitas politik yang dilakukannya.

Sastrawan politik ini mengurai empat karakter dan juga kapabilitas yang harus dimiliki oleh seorang politisi sejati.

Pertama, harus alim, yakni mengetahui bahkan hingga paham secara menyeluruh syariat Islam, karena syariat Islam adalah asas untuk mengatur urusan umat. "Syariat adalah asas untuk membangun ketaatan penguasa dan kontrol umat atas kekuasaan yang dijalankan," tandasnya.

Kedua, harus alim, yakni mengetahui bahkan hingga paham secara menyeluruh fakta atau problem kehidupan yang dihadapi umat. RrtaSebab, menurutnya, seorang politisi mustahil dapat mengarahkan penguasa bahkan sekaligus menggerakan umat, kalau dia tidak paham atas masalah yang dihadapi.
 
Ketiga, harus memiliki keberanian untuk mengontrol jalannya kekuasaan, menjelaskan masalah yang dihadapi. "Menjelaskan solusi syariat Islam terhadapnya, dan menyampaikannya secara terbuka kepada penguasa dan publik," terangnya.

Sebab, Ahmad melanjutkan, tuntutan pengaturan itu diarahkan kepada penguasa dan umat.

Keempat, harus memiliki iman yang kuat dan ketaqwaan yang tinggi. "Sebab, tiga sifat sebelumnya jika dilakukan pasti akan mendapatkan hambatan dan tantangan," tandasnya.

Sastrawan politik ini menilai, Iman dan Taqwa yang menghujam, akan menghindarkannya dari kemalasan, kelalaian dan rasa bosan untuk terus mengurusi urusan umat. Karena motifnya adalah mencari pahala dan Ridlo-Nya.

"Iman dan Taqwa yang menghujam, akan menjadi benteng yang kokoh atas ujian, hambatan, tantangan hingga kezaliman penguasa. Motif mencari pahala dan Ridlo-Nya, akan membuatnya sepele menghadapi semua ujian kehidupan," paparnya.

Ia menilai, seorang politisi yang hanya berbekal kealiman ilmu, kefasihan analisis tanpa keberanian terjun ke masyarakat, menyelami setiap gelombang tantangan, hanya akan menjadi politisi utopia.

"Yakni, politisi yang hanya terikat dengan idealita di dalam benak, namun tidak memiliki keberanian untuk mengubah fakta yang rusak," tegasnya.

Apalagi, ia melanjutkan, politisi yang hanya mengulang-ngulang narasi teks nilai-nilai dan ideologi perjuangan, namun tidak terjun dalam pertarungan, maka dirinya hanya akan dihinggapi rasa khawatir dan ketakutan yang tidak berdasar, karena tidak pernah mengonfirmasi fakta kehidupan dengan parameter ideologinya.

"Politisi yang mengarang takdir, yang tidak bergiat dalam amal, tidak terjun dan menyelami gelombang samudera kehidupan hanya khawatir dengan berbagai asumsi dan pikiran-pikiran yang tidak berdasar, asyik dengan kegiatan ta'lim dan memperdalam ilmu dan tsaqofah saja, akan berpotensi menunda datangnya pertolongan dan kemenangan," pungkasnya.
[]'Aziimatul Azka

Rabu, 13 Juli 2022

MENJADI POLITISI SEJATI


Tinta Media - Politisi adalah orang yang  beraktivitas politik, yakni orang yang terlibat dalam  mengurusi (ria'yah) urusan umat (publik). Ada kalanya seorang politisi itu penguasa, ia mengurusi urusan umat dengan kekuasaannya secara langsung. Ada kalanya, politisi itu bukan penguasa. 

Politisi yang bukan penguasa, akan mengurusi urusan umat dengan pemikiran dan politik, agar umat dan penguasa berjalan diatas rel politik yang ditentukannya. Politisi bukan penguasa itu lebih sulit, karena dia mengontrol jalannnya kekuasaan tanpa memiliki kewenangan.

Dia melakukan aktivitas politik untuk mempengaruhi umat dan penguasa sekaligus. Pada saat yang sama, dia tidak memiliki kewenangan (kekuasaan) dan tidak mendapatkan santunan (gaji) atas aktivitas politik yang dilakukannya.

Untuk menjadi politisi sejati -apalagi politisi yang belum memegang tampuk kekuasaan- maka dia harus memiliki kemampuan sebagai berikut :

Pertama, dia harus alim, yakni mengetahui bahkan hingga paham secara menyeluruh syariat Islam, karena syariat Islam adalah asas untuk mengatur urusan umat. Syariat adalah asas untuk membangun ketaatan penguasa dan kontrol umat atas kekuasaan yang dijalankan.

Kedua, dia harus alim, yakni mengetahui bahkan hingga paham secara menyeluruh fakta atau problem kehidupan yang dihadapi umat. Sebab, seorang politisi mustahil dapat mengarahkan penguasa bahkan sekaligus menggerakan umat, kalau dia tidak paham atas masalah yang dihadapi.

Ketiga, dia harus memiliki keberanian untuk mengontrol jalannya kekuasaan, menjelaskan masalah yang dihadapi, menjelas solusi syariat Islam terhadapnya, dan menyampaikannya secara terbuka kepada penguasa dan publik. Sebab, tuntutan pengaturan itu diarahkan kepada penguasa dan umat.

*Keempat,* dia harus memiliki iman yang kuat dan ketaqwaan yang tinggi. Sebab, tiga sifat sebelumnya jika dilakukan pasti akan mendapatkan hambatan dan tantangan.

Iman dan Taqwa yang menghujam, akan menghindarkannya dari kemalasan, kelalaian dan rasa bosan untuk terus mengurusi urusan umat. Karena motifnya adalah mencari pahala dan Ridlo-Nya.

Iman dan Taqwa yang menghujam, akan menjadi benteng yang kokoh atas ujian, hambatan, tantangan hingga kezaliman penguasa. Motif mencari pahala dan Ridlo-Nya, akan membuatnya sepele menghadapi semua ujian kehidupan.

Seorang politisi yang hanya berbekal kealiman ilmu, kefasihan analisis tanpa keberanian terjun ke masyarakat, menyelami setiap gelombang tantangan, hanya akan menjadi politisi utopia. Yakni, politisi yang hanya terikat dengan idealita didalam benak, namun tidak memiliki keberanian untuk merubah fakta yang rusak.

Apalagi, politisi yang hanya mengulang-ngulang narasi teks nilai-nilai dan ideologi perjuangan, namun tidak terjun dalam pertarungan, maka dirinya hanya akan dihinggapi rasa khawatir dan ketakutan yang tidak berdasar, karena tidak pernah mengkonfirmasi fakta kehidupan dengan parameter ideologinya. Politisi yang mengarang takdir, yang tidak bergiat dalam amal, tidak terjun dan menyelami gelombang samudera kehidupan hanya khawatir dengan berbagai asumsi dan pikiran-pikiran yang tidak berdasar, asyik dengan kegiatan ta'lim dan memperdalam ilmu dan tsaqofah saja, akan berpotensi menunda datangnya pertolongan dan kemenangan.[]

Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik



Sabtu, 02 Juli 2022

Ahmad Khozinudin: Politisi Akan Terus Bermain Citra dengan Membodohi Rakyat


Tinta Media - “Mereka, para politisi akan terus bermain citra dengan membodohi rakyat, melalui acting mereka yang seolah merakyat dan pro wong cilik,” tutur Sastrawan Politik Ahmad Khozinudin kepada Tinta Media, Kamis (30/6/2022).

Menurutnya, identitas Islami dan merakyat, akan jadi perburuan para pemburu kekuasaan di Pilpres 2024. “Bukan untuk membela Islam atau tukang baksonya, ini cuma soal citra dan perburuan elektabilitas,” ungkapnya.

“Sementara masalah utang negara, penguasaan tambang oleh swasta, asing dan aseng, serbuan TKA Cina, kriminalisasi ulama hingga ajaran Islam, terorisasi Khilafah,  pasti tidak akan mereka bahas,” lanjutnya. 

Ia memperkirakan bahwa ke depan, menjelang Pilpres atribut yang dekat dengan rakyat, dari tukang bakso, tukang becak, hingga tukang tambal ban akan marak menjadi objek teater pencitraan. “Kita semua masih ingat, betapa merakyat dan ndesonya Jokowi saat berpose sebagai tukang tambal ban,” paparnya.

Dia mengingatkan masyarakat agar jangan heran, jika menjelang Pilpres nanti banyak tokoh yang pake pici, baju koko, jadi tukang bakso, pedagang cilok, tukang tambal ban bahkan mungkin saja ada yang mengulangi masuk gorong-gorong. “Semua hanya demi citra dan elektabilitas,” jelasnya.

Ahmad Khozinudin juga mengulas ulang Megawati yang sebenarnya sama, sering menggunakan atribut wong cilik untuk meningkatkan elektabilitas partainya.

“Dulu kita masih ingat, bagaimana pasangan Megapro (Megawati Prabowo) mengambil tempat iconik wong cilik. Deklarasi Mega-Prabowo dibuat dengan kesan merakyat. Mega-Prabowo  mendeklarasikan diri di 'gunung sampah' Bantar Gebang, Bekasi, pada Minggu 24 Mei 2009 lalu,” paparnya.

“Namun sayang, saat acara partai beberapa hari lalu Mega mungkin selip lidah. Sehingga statemennya soal tukang bakso dan orang papua panen kritikan rakyat,” jelasnya lebih lanjut.

Sekarang, Khozinudin melihat Anies mengambil  atribut wong Cilik dengan angle yang lain. Anies, turut menghadirkan seorang pengusaha Bakso Malang Aroma SoWan, Rully Rinaldi, bersama Sahroni, ketua panitia Formula E.

"Di samping kiri saya adalah bapak Rully renaldi. Pak Rinaldi adalah pengusaha Bakso Bakwan Aroma SoWan yang kemarin ikut juga berpartisipasi," kata Anies.

Khozinudin mempertanyakan mengapa tukang Bakso yang dihadirkan, bukan tukang martabak atau tukang kerak telor? “Mengapa harus diperkenalkan, bahkan berdampingan dengan ketua OC Formula E, tidak menjadi tamu undangan biasa? Mengapa momentum ini terjadi, tidak berselang lama pasca kritik publik terhadap Megawati soal tukang bakso?” tanyanya.

“Itulah pencitraan politik. Itulah, perburuan elektabilitas,” pungkasnya.[] Raras
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab