Politisasi Desa dalam Perpanjangan Masa Jabatan
Tinta Media - Untuk mewujudkan kemajuan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di desa, dibutuhkan sistem tata kelola desa yang mampu memberikan kemaslahatan bagi seluruh masyarakat. Tentu saja yang mampu menerapkan dan menjalankan tata kelola yang baik adalah seorang pemimpin yang amanah dalam menjalankan tanggung jawab, bukan dilihat dari panjang atau pendeknya masa jabatan. Untuk apa masa jabatan panjang jika tidak mampu menyejahterakan rakyatnya.
Seorang pemimpin haruslah loyal terhadap rakyat, menjadikan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau kelompok.
Terkait masa jabatan, seperti yang terjadi di Kabupaten Bandung, sebanyak 270 kepala desa telah menerima petikan SK perpanjangan masa jabatan. Seiring perubahan UU Desa yang sudah disahkan, jabatan kades diperpanjang dari 6 tahun menjadi 8 tahun. Hal itu disampaikan secara langsung oleh Bupati Bandung Dadang Supriatna.
Perpanjangan masa jabatan kades adalah perpanjangan amanah yang diharapkan bisa menyukseskan program-program Bupati. Salah satu tujuannya adalah untuk kesejahteraan masyarakat. Namun, sepertinya kesejahteraan masyarakat hanyalah jargon semata, iming-iming demi melanggengkan kekuasaan.
Sebetulnya ada yang harus dikhawatirkan dari perpanjangan masa jabatan ini. Masa jabatan yang panjang akan memengaruhi kinerja pemerintah desa. Potensi bekerja jadi tidak efektif dan efisien, berleha-leha, membuang-buang waktu karena beranggapan bahwa masa jabatan masih lama.
Kemudian, masa jabatan yang lama ini berpotensi terjadi penyalahgunaan anggaran atau praktik korupsi.
Menurut Indonesia Coruption Watch (ICW), yang mencengangkan adalah praktik korupsi di level desa menempati peringkat pertama sebagai sektor yang paling banyak ditindaklanjuti. Sepanjang tahun 2015-2021 ada 592 kasus korupsi di tingkat desa dengan kerugian negara sebesar Rp433,8 miliar.
Banyaknya kasus korupsi ini mengakibatkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa tidak optimal. Padahal alokasi anggaran untuk pembangunan desa sejak tahun 2015-2021 telah digelontorkan sebesar Rp400,1 triliun.
Selain itu, aroma politisasi tercium dari perpanjangan masa jabatan kades ini. Demi kepentingan oligarki, UU Desa pun diubah demi melanggengkan kekuasaan.
Inilah bukti ketika negara menerapkan sistem demokrasi kapitalisme, menjadikan para penguasa yang abai dan materialistis. Mereka fokus pada jabatan, tetapi tidak serius terhadap tanggung jawab mengurus rakyat.
Faktanya, yang berdaulat di dalam sistem demokrasi adalah para elit politik yang mengklaim sebagai wakil rakyat. Alhasil, kemakmuran dan kesejahteraan hanya dirasakan oleh mereka, yaitu para penguasa dan pemilik modal.
Akibatnya, mayoritas masyarakat masih hidup dalam kemiskinan. Lantas, apakah perpanjangan masa jabatan ini tepat dijadikan sebagai solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa? Atau jangan-jangan menjadi pintu perubahan UU lainnya yang menguntungan oligarki?
Lain halnya dalam sistem Islam. Di dalam Islam, pemimpin bertanggung jawab penuh dalam mengurus rakyat. Pemimpin bukan sebatas jenjang karier, tetapi sebagai amanah menjalankan tugas mengurus rakyat semata-mata karena mengharap ridho Allah swt.
Dalam Islam, memilih seorang pemimpin haruslah berdasarkan keimanannya yang kuat, bukan karena sikapnya yang ramah, baik, populer, berwibawa, tampan, lucu, dan sebagainya. Seperti halnya dalam sistem kapitalisme.
Sebagai contoh, dahulu Rasulullah saw. mengangkat Abu Bakar ra. dan Umar bin Khattab ra. sebagai pembantu beliau dalam urusan pemerintahan berdasarkan keimanan dan ketakwaan yang mumpuni.
Oleh karena itu, Islam sebagai ideologi sempurna mampu mencetak para pemimpin yang amanah.
Dalam Islam, selama pemimpin tidak melanggar syariat Islam, memimpin rakyat dengan baik, fokus dan memaksimalkan kinerjanya dalam menyejahterakan rakyat, serta bertanggung jawab dunia dan akhirat, maka selama itu pula mereka layak menjadi pemimpin di tengah-tengah masyarakat.
Berbeda halnya dalam sistem demokrasi kapitalisme, mantan narapidana masih bisa menjabat sebagai pemimpin. Selama ada cuan, jabatan pun kembali ke tangan, itulah watak kapitalisme.
Selain itu, keimanan dan ketakwaan akan senantiasa mencegah para pemimpin dari perbuatan melanggar syariat Islam, seperti misalnya, perbuatan asusila, dan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) yang banyak terjadi dalam sistem demokrasi kapitalisme.
Kalaupun terjadi pelanggaran syariat Islam, maka akan diberhentikan dari jabatannya dan diberi sanksi tegas oleh hakim sesuai kadar kesalahannya.
Maka dari itu, akar permasalahan dari sulitnya mewujudkan kesejahteraan masyarakat adalah penerapan aturan, bukan perubahan memperpanjang masa jabatan. Hanya penerapan Islam secara kaffah yang mampu melahirkan pemimpin amanah yang mampu menyejahterakan rakyat. Wallahualam bisshawab.
Oleh: Neng Mae, Sahabat Tinta Media