Kamis, 28 Desember 2023
Kamis, 21 Desember 2023
Muncul Istilah Politik 'Gemoy', UIY: Politik Itu Sangat Serius
Rabu, 13 Desember 2023
Seniman Dilarang Bicara Politik, FDMPB: Ruang Kritis Rakyat Sipil Makin Sempit
Selasa, 12 Desember 2023
Politik Demokrasi Hanya untuk Kekuasaan, Perubahan Hakiki Hanya dengan Islam
Tinta Media - Bertebaran makna politik di sepanjang jalan yang memaknai politik hanya bersenang-senang untuk meraih kekuasaan. Politik riang gembira, politik jalan ninja kita atau pernyataan lainnya yang tidak memahami politik sebagai aktivitas untuk mengurusi umat. Berjoget riang gembira dengan bagi-bagi amplop atau bingkisan sembako menjelang pemilu dianggap langkah pragmatis untuk meraih simpati rakyat agar mau menjatuhkan pilihannya. Aturan dibuat untuk dilanggar, money politik dianggap sedekah yang dilakukan caleg atau capres-cawapres untuk mendapatkan dukungan. Blusukan dan janji-janji manis ditebar dengan memberikan harapan palsu pada rakyat yang menginginkan perubahan dan bisa hidup srjahtera. Namun, pergantian aktor politik atau rezim tidak membawa angin perubahan ke arah yang lebih baik, malah ambisi untuk terus berkuasa ditampakkan secara vulgar oleh mereka yang sudah menikmati kue kekuasaan. Koalisi dilakukan hanya untuk menggalang kekuatan.
Kedaulatan ditangan rakyat adalah ide utopis, janji demokrasi yang tidak pernah terbukti, faktanya kedaulatan ditangan oligarki. Rakyat diberi angan-angan semu untuk menentukan nasib mereka sendiri. Nyatanya, atas nama rakyat banyak aturan dibuat hanya menguntungkan oligarki, tapi merugikan rakyat. Suara buruh yang menyuarakan perbaikan nasib mereka tidak ditanggapi. Suara oligarki lebih didengar dan diberi jalan untuk menguasai negeri yang memiliki kejayaan dan keindahan yang luar biasa. Masihkah sistem demokrasi layak dipertahankan jika ingin sebuah perubahan hakiki.
Sejarah membuktikan demokrasi sistem yang tidak manusiawi. Pergantian rezim tidak membawa perubahan hakiki. Setiap rezim menginginkan politik dinasti yang menjadikan anak keturunannya terus berkuasa, meskipun menghalalkan segala cara bahkan melanggar prinsip-prinsip dalam berdemokrasi. Ambisi kuat untuk mempertahankan kekuasaan ditunjukkan dengan menyalahgunakan kekuasaan, bahkan dengan mengubah aturan yang mereka buat sendiri.
Tentunya hanya dengan Islam kita berharap untuk melakukan perubahan hakiki, yang memaknai politik tidak hanya berebut kekuasaan, tapi lebih pada usaha untuk mengurusi rakyat agar terpenuhi hak dan kebutuhan mereka untuk bisa hidup aman dan sejahtera. Keadilan akan dirasakan oleh semua rakyat dengan menerapkan hukum dari Sang Pencipta manusia, hidup dan alam semesta. Sebuah sistem yang menjaga jiwa, keamanan, kehormatan manusia. Menjaga rakyat dan juga pemimpinnya dari keburukan, bujukan setan yang terkutuk dengan selalu mengaitkan setiap perbuatan dengan semua perintah dan larangan-Nya agar Allah SWT. Ridho pada mereka. Pemimpin yang amanah dan dicintai rakyat akan mampu membawa gerbong perubahan menuju Indonesia maju.
Sementara, politik demokrasi hanya jalan di tempat, Indonesia maju hanya janji semu yang jauh dari kenyataan. Bagaimana bisa Indonesia maju ditopang oleh hutang riba yang terus menggunung tanpa ada usaha untuk menyelesaikannya. Biaya politik yang tinggi membuat para pejabat yang terpilih menyalahgunakan kekuasaan dengan mencuri uang rakyat. Korupsi menggurita karena hikum buatan manusia telah menyuburkannya. Hukum tidak tegas dan memberi celah bagi koruptor, pencuri uang rakyat terbebas dari hukuman. Kehidupan sekuler membuat hidup semakin sulit karena pintu berkah dari langit dan bumi tertutup bagi penduduk suatu negeri yang lebih memilih diatur dengan hukum peninggalan kolonial penjajah.
Politik kotor hanya demi kekuasaan harus diganti dengan politik bersih dan mulia dalam sistem Islam agar kehidupan Islami bisa terwujud untuk menciptakan penduduk suatu negeri yang beriman dan bertakwa. Allah SWT. Membuka pintu berkah langit dan bumi, karena penduduknya yang beriman dan bertakwa. “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Surat Al-A’raf Ayat 96). Saatnya beralih ke politik Islam untuk perubahan hakiki dengan meninggalkan politik demokrasi yang hanya untuk ambisi merebut kekuasaan. Politik dalam sistem Islam yang menghasilkan pemimpin amanah untuk mengurusi rakyat karena dorongan iman dan takwa. Begitu pula rakyat peduli dan mencintai pemimpinnya dengan terus melakukan muhasabah agar pemimpinya bisa tetap lurus menjalankan tugasnya dengan menerapkan Islam secara kaffah.
Seorang muslim yakin bahwa penerapan Islam secara kaffah akan membawa kebaikan. Sebaliknya meninggalkan dan mendustakan syariat-Nya, hanya akan mendatangkan keburukan dan azab yang pedih. Kehidupan dunia yang hanya sementara tidak layak dijadikan tujuan, karena semua ini akan segera tinggalkan. Semua yang ada di dunia akan menjadi cerita pada waktunya nanti saat kita harus kembali kepada-Nya. Sementara, kehidupan akhirat akan menjadi nyata dan kita akan tinggal selama-lamanya. Lalu bagaimana bisa kita meninggalkan Islam saat berpolitik dan mati-matian mengejar kekuasaan dan nikmat dunia yang segera kita tinggalkan. Sudah saatnya kita berpikir cerdas untuk mengatur hidup kita dengan Islam termasuk juga saat kita berpolitik agar Allah SWT. Ridho dengan apa yang kita kerjakan sehingga kita akan mendapatkan kebaikan di dunia terlebih di akhirat nanti.
Oleh: Mochamad Efendi
Sahabat Tinta Media
Minggu, 03 Desember 2023
Drama Politik Demokrasi
Kamis, 30 November 2023
Diamnya Pemimpin Muslim pada Zionis, FKUA: Negeri Muslim Mengalami Kekalahan Politik
Jumat, 24 November 2023
UIY: Hukum Dimainkan untuk Kepentingan Politik
Minggu, 05 November 2023
Ada Lobi Politik di Balik Pertemuan Tiga Capres dengan Jokowi?
ANTROPOSENTRISME DEMOKRASI DAN DISORIENTASI POLITIK
Kamis, 26 Oktober 2023
PAKTA: Putusan MK Tentang Batas Usia Minimal Capres Cawapres Bukti Bobroknya Demokrasi
Minggu, 22 Oktober 2023
Sistem Demokrasi Gagal Memberantas Korupsi, Islam Solusi Hakiki
Minggu, 24 September 2023
Politik Tanpa Agama? No Way!
Dalam situasi panas kompetisi mengumpulkan
pendukung, Menteri Agama Yaqut Cholil mengeluarkan pernyataan yang
menimbulkan pertanyaan banyak pihak. Pak Menag memperingatkan masyarakat agar
tidak memilih capres dan cawapres yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk
mendapatkan kekuasaan. Agama Islam adalah rahmat untuk semesta alam,
bukan hanya rahmat bagi umat Islam saja, katanya.
Pernyataan Menag ini mengandung pesan bahwa
agama Islam jika menyatu dengan politik akan menjadi sesuatu yang buruk, harus
dihindari. Pernyataan Menag juga menjadi bukti bahwa negara ini memang
sekuler, memisahkan agama dari kehidupan berpolitik.
Pencitraan negatif agama Islam dalam
politik asalnya datang dari Barat, dari kaum orientalis yang bertujuan untuk
menciptakan Islamofobia. Sungguh ironis kalau sekarang tuduhan itu keluar
dari mulut seorang menteri agama yang notabene seorang muslim.
Padahal kenyataannya politik sekularisme -
demokrasi yang digunakan saat inilah yang rusak, karena menerapkan prinsip
Machiavelli: Menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Kegiatan
pencitraan peduli pada rakyat, blusukan ke pesantren dan pasar,
berpakaian bagai orang taat beragama, berfoto saat beribadah dan politik
uang atau bantuan adalah formula baku banyak politisi saat pemilu menjelang
agar dipilih kaum muslim.
Politik uang juga menjadi suatu hal yang
lumrah dilakukan menjelang pemilu. Seorang cawapres dan anggota legislatif
mengatakan bahwa bila seseorang dicalonkan untuk menjadi anggota legislatif
pusat butuh dana Rp 40 Milyar, untuk menjadi Bupati / Walikota butuh uang
Rp 30 Milyar dan Gubernur bisa mencapai Rp 100 Milyar, maka seorang calon
presiden harus menyediakan dana sampai trilyunan. Tentu biaya yang besar ini
tidak mungkin disediakan secara mandiri, pasti ada bantuan dari pihak
lain. Saking besarnya politik uang di negeri ini, menurut standar
internasional, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan politik uang
ke-3 terbesar di dunia. Bukan prestasi yang patut dibanggakan.
Mekanisme pemilu demokrasi sekuler seperti
itu dapat dipastikan hanya akan menghasilkan para eksekutif dan legislatif yang
setelah terpilih, sibuk mencari cara bagaimana mengembalikan modal daripada
bekerja memikirkan kesejahteraan rakyat. Jabatan dan kewenangan dimanfaatkan
untuk mengganti ongkos politik saat pemilu. Tidak ada rasa takut kepada Allah
SWT atas dosa perbuatan itu.
Berbeda dengan sistem Islam, politik dan
agama tidak dapat dipisahkan karena agama menjadi landasan pelaksanaan politik.
Islam bukan saja mengatur masalah spiritual tapi juga mengatur masalah urusan
duniawi seperti politik, ekonomi, sosial, pemerintahan dan
lain-lain. Orientasi politik Islam adalah mengurusi urusan umat dengan
menerapkan hukum-hukum Allah SWT dan menjadikan Islam sebagai Rahmatan lil
'alamiin.
Kegiatan politik dilakukan oleh umat
(rakyat) dan negara (Pemerintah). Pemerintah mengatur urusan rakyatnya
secara praktis dan rakyat mengontrol juga mengoreksi Pemerintah dalam melakukan
tugasnya. Kedaulatan membuat hukum ada pada Allah SWT.
Dalil-dalil syariah merupakan kontrol
terhadap aktivitas politik dalam Islam, seperti HR Bukhari yang berbunyi:
Seseorang yang ditetapkan Allah untuk mengurus kepentingan umat, tetapi
dia tidak memberikan nasihat kepada mereka, tidak akan mencium baunya
surga.
Atau HR Bukhari - Muslim yang berbunyi:
Tidaklah seorang hamba yang ditetapkan Allah untuk mengurus rakyat, lalu
ia mati dalam keadaan menipu mereka, kecuali Allah mengharamkan dirinya
masuk surga.
Dengan begitu, dalam Islam tidak ada
satu pun aktivitas seorang muslim yang dapat terpisah dari syariah agama.
Begitu pula dalam aktivitas politik. Tidak mungkin kekuasaan terpisah
dari agama, seperti pernyataan Ibnu Taimiyah, Jika kekuasaan terpisah
dari agama atau agama terpisah dari kekuasaan, niscaya perkataan manusia akan
rusak. Hanya dengan agama Islam pelaksanaan politik dapat terjaga dari
bermaksiat kepada Allah SWT.
Wallahu a'lam bish shawwab
Oleh: Wiwin
Sahabat Tinta Media